Sponsor Links

Wednesday, September 5, 2007

KONSEP SASTRA MENURUT SIGMUND FREUD



Oleh
Wajiran, S.S.
(Dosen Universitas Ahmad dahlan dan
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)

Abstract

Psychoanalysis is a method of treating someone’s mental problems or disorders by making them aware of experiences in their early life and tracing the connection between these and their present behavior or feelings (Oxford English Dictionary). As the method of mental analysis, Psychoanalysis also dealt with the literary process. Literary work is treated as the process of mental illness. The literary work will never be created if there is no stimulant of mental disorder.

This research is done by reading all of Freud’s work especially the work that correlated with human’s creativity. As the first book the Interpretation of Dream is the main source that can be the basic data of this research. It is because the book is the fundament of Freud’s work.

Key words: psychoanalysis, mental disorder, literary work. etc.


A. Latar Belakang
Perdebatan mengenai keterkaitan antara karya sastra dengan penulisnya sudah lama terjadi. Namun demikian, bagaimanapun juga karya sastra tidak pernah lepas dari kejiwaan dan subjektifitas penulisnya. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman akan hubungan karya sastra dengan psikologi penulisnya.
Salah satu teori sastra yang membicarakan keterkaitan antara sastra dengan kejiwaan penulis adalah psikoanalisis. Dalam kamus Oxford English Dictionary, Psikoanalisis diartikan sebagai a method of treating someone’s mental problems or disorders by making them aware of experiences in their early life and tracing the connection between these and their prsent behaviour or feelings. Yaitu sebuah metode untuk mengobati persoalan mental atau kelainan mental dengan menyadarkan mereka akan pengalaman masa lalu mereka dan menghubungakan pengalaman itu dengan tindakan mereka saat ini. Dari pengertian dasar ini sastra dianggap cerminan dari kejiwaan penulisnya.
Konsepsi seperti tersebut di atas mendapat berbagai pertentangan, baik dari para sastrawan maupun dari para kritikus lain. Jika karya sastra dikaitkan dengan kalainan kejiwaan atau semata-mata ekpresi pengarang maka tidak ada keilmuan dalam karya sastra. Sastra tidak akan bernilai tinggi jika hanya berkaitan dengan kejiwaan pengarang. Karena hal itu biasanya akan berkaitan dengan kesulitan hidup, keputus asaan dan ketakutan-ketakutan pengarang terhadap kehidupan. Dengan begitu sastra tidak akan memiliki nilai yang positif sebagai sebuah karya ilmiah, karena berkaitan dengan perasaan.
Psikoanalisis melandaskan analisisnya pada kejiwaan manusia. Kecenderungan manusia selalu menjadi fokus persoalan dalam berkarya. Oleh karena itu tidak akan terlahir sebuah karya sastra tampa adanya stimulus dari sebuah kendala emosional yang terjadi pada diri pengarang. Konsep penelitian inilah yang menjadikan teori Psikoanalisis mendapat berbagai pertentangan. Karena dengan demikian akan merendahkan derajat pengarang. Pengarang akan dianggap hina karena diketahui kekurangan-kekurangan kejiwaannya dalam berkarya.
Kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teori Psikoanalisis dapat kita lihat pada pertentangan teoritis sampai sekarang ini. Teori Psikoanalisis diangap sangat sulit dibuktikan. Para analisis beranggapan bahwa penelitian yang melandaskan pada perasaan (jiwa) seseorang membutuhkan waktu yang cukup lama. Nawal EL Saadawi merupakan orang yang secara langsung menolak teori Psikoanalisis. Teori Psikoanalisis dianggap tidak mempunyai rasionalitas baik dalam kaintannya dalam bidang pengobatan maupun karya sastra.
Pada awalnya teori Psikoanalisis merupakan penemuan dari praktek psikeitri yang dilakukan oleh Freud. Singmund Freud mempelajari kejiwaan pasien-pasiennya dengan metode pengungkapan masa lalu pasiennya. Dari hasil analisis ini, Freud menemukan korelasi antara mimpi dengan kondisi kejiwaan ataupun kelainan-kealinan syaraf pada seseorang. Dari sinilah yang kemudian dikaitkan antara konsdisi kejiwaan dengan kreativitas pikiran manusia.
Penentangan terhadap teori psikoanalisis terus saja bergema dari bergai kalangan. Ironisnya pertentangan yang dilakukan oleh para kritikus itu justru menjadikan teori ini banyak diminati orang. Beberapa kritikus yang menggunakan konsep ini adalah Eric Fromm, Jaques Lacan, George Tarabishi dan J.C. Jung. Mereka yang pada awalnya menolak teori ini, akhirnya banyak mengambil pemikiran dari teori ini. Para kritikus ini banyak mengadopsi konsep yang ada dalam Psikoanalisis.
Ada beberapa kemungkinan teori psikoanalisis ini disangsikan. Pertama adalah penelitian yang berorientasi pada kondisi bawah sadar manusia sangat sulit untuk dilakukan. Dengan demikian teori ini juga sangat sulit untuk dibuktikan. Kedua, teori ini mengandung aspek-aspek yang berkaitan dengan harga diri seseorang. Sehingga jika hal itu dilakukan akan mendapatkan penolakan dari orang yang bersangkutan (sastrawan). Ketiga aplikasi dari Psikoanalisis dianggap tidak bisa memberikan sesuatu yang lebih positif, baik dalam bidang penelitian sastra maupun dalam bidang pengobatan.
Berangkat dari permasalahan tersebut di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa alasan teoritis mengenai rasionalitas teori ini sebagai salah satu teori pendekatan sastra. Diharapkan penemuan ini bisa meyakinkan kita untuk menggunakan teori Psikoanalis dalam pendekatan sastra.

B. Sejarah Hidup Sigmund Freud
Sigmund Freud adalah penemu teori psikoanalisis. Oleh karena itu ia disebut sebagai babak Psikoanalisis. Nama asli Sigmund Freud adalah Sigismund Freud. Ia dilahirkan pada 6 Mei 1856, dengan nama Yahudi, Schlomo. Tempat kelahirannya adalah di Freiberg yang sekarang disebut dengan Pribor di Moravia. Ayahnya bernama Jacob Freud seorang pengusaha tekstil, memiliki dua anak dari perkawinan sebelumnya bernama Emmanuel dan Philippe. Ibu Freud sebenarnya bernama Amalia Nathansohn 1835-1930. Sebagai anak pertama Freud adalah anak yang paling disayangi oleh ibunya. Ia sering disebut dengan “My Golden Sigi”.(Jean Chiriac).
Meskipun dari keluarga yang sangat sederhana, Freud adalah anak yang sangat berprestasi. Ia menerima penghargaan summa cum laudae sewaktu di sekolah dasar. Pada usia ini ia sudah menguasai beberapa bahasa, Freud adalah siswa yang mempunyai prestasi dalam bahasa Jerman.
Seperti apa yang disebutkan dalam tulisan Peter Gray, pada usia 17 tahun Freud masuk Universitas Vienna. Ia merencanakan masuk di jurusan hukum, namun tapa alasan yang jelas ia masuk di jurusan kedokteran. Freud merupakan orang yang sangat tekun, ia sangat tertarik pada bidang fisiologi dan neurologi. Sigmund Freud lulus dari unversitas Vienna pada tahun 1881.
Pada saat masuk di universitas Vienna, Freud adalah seorang ateis. Bisa dikatakan bahwa dia tidak percaya pada Tuhan. Ia sangat konsen pada hal-hal yang bersifat mistis (Myth). Pandangan dan ideologinya inilah yang kemudian mempengaruhi karya-karyanya. Kalau dilihat dari teman dan gurunya, Freud adalah seorang yang positifistik. Gurunya yang paling ia kenang adalah Ernst Bruene, yaitu seorang ahli fisiologi yang keras.
Dari sisi keluarga, Freud tidak pernah mendapat penekanan pada salah satu agama. Keluarganya memberi kebebasan kepadanya untuk berfikir sesuai dengan apa yang diyakini. Wajarlah jika akhirnya ia pun nampak tidak punya pendirian yang jelas mengenai suatu agama. Bahkan kaitannya dengan hal ini, Freud beranggapan bahwa agama adalah illusi. Setiap orang yang taat pada agama dianggapnya sebagai orang yang berada dalam ketakutan dan dalam ketidakberdayaan. (baca: agama).
Pada tahun 1882, Freud meninggalkan perkejaanya di laboratiorium dan menerima pekerjaan di RSU Veinna. Pada saat itu Freud bertemu dengan seorang gadis bernama Martha Bernays yang kemudian menjadi istrinya. Dari perkawinan inilah lahir Anna, yang kemudian menjadi seorang tokoh psychoanalysis terkemuka.
Pada tahun 1890an Freud mulai menemukan fokus keahliannya yaitu dibidang psikologi. Ia telah membentuk teori psikoanalisis. Konsentrasi ini awalnya didasari atas dorongan dari Jean-Martin Charton, seorang ahli neurologi Prancis. Martin memberikan pemahaman yang mendalam tentang hipnotis. Sebagai sarana dalam mengatasi gangguan medis. Tesisnya menyatakan bahwa histeria merupakan suatu penyakit ringan yang diderita baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah menemukan ketertarikannya pada bidang psikologi, Freud mulai belajar gejala-gejala psilogis dari teman dan pasien-pasiennya. Freud bahkan semakin menspesialisasikan diri pada para perempuan yang menderita histeria. Dari proses mendengarkan keluhan-keluhan pasien inilah Freud banyak menemukan kebenaran-kebenaran dari apa yang ia pesepsikan. Pada tahun 1895, Freud bersama dengan Joseph Breuer menerbitkan Studies of Hysteria. Majalah ini membahas tentang kisah-kisah pasien Breuer “Anna O”. Anna O merupakan pasien yang paling penting dalam penelitian psikoanalisis. Mulai dari sinilah Freud menyadari bahwa histeria merupakan akibat kesalahan fungsi seksual dan gejala-gejalan histeria adalah sesuatu yang bisa dibicarakan.
Seiring dengan semakin matangnya ketertarikan Freud pada psikoanalisis, ia mengembangkan gagasan psikoanalisis dari mimpi-mimpinya sendiri. Hal ini ia lakukan dengan menganalisis mimpi-mimpinya sendiri pada saat yang hampir bersamaan Freud juga menemukan bahwa gejala psikologis sangat penting dalam mempengaruhi hidup seseorang. Hal ini ia buktikan saat ayahnya meninggal pada tahun 1896. Kematian sang ayah memberikan dampak sangat penting atas diri Freud dan juga psikoanalisis. Setelah kesedihan inilah Freud mulia memfokuskan diri pada psikoanalisis pada diri sendiri.
Karya pertama Freud tentang psikoanalisis adalah The Interpretation of Dream tahun 1899. Meskipun karya ini tidak mendapat sambutan positif Freud tetap optimis dan selalu mengembangkan teori psikoanalisis dengan menulis buku yang kedua. Buku kedua ini diberi judul Psychopathology of Every Day Life ditulis pada 1901. Pada karya kedua inilah Freud mulai mendapat sambutan dari pembaca. Meskipun mendapat berbagai pertentangan dan kontraversi atas pemikirannya, akhirnya Freud mendapat gelar Professor di universitas Vienna. Sepanjang tahun 1908 Freud mulai menyebarkan pemikiran psikoanalisisnya dengan diskusi-diskusi. Sampailah akhirnya terbentuk kelompok diskusi yang diberi nama Veinna Psychoanalytic Society.

C. Konsep Sastra dalam Psikoanalisis
Setelah melakukan analisis secara mendalam dari seluruh karya Sigmund Freud, peneliti tidak menemukan konsep yang secara tegas membicarakan sastra. Freud lebih banyak membicarakan gejala-gejala psikologis yang diakibatkan oleh kerusakan syaraf pada seseorang. Gejala inilah yang menurut Freud membuat seseorang melakukan proses kreatif yang tertuang dalam bentuk karya.
Meskipun tidak secara tegas membicarakan konsep sastra, teori psikoanalisis banyak mengupas tentang proses kreatif seseorang. Proses inilah yang kemungkinan dianggap oleh sebagian kritkus berkaitan erat dengan proses terbentuknya karya sastra. Proses kreatif yang dimaksudkan disini adalah semua hasil karya hidup manusia. Ilmu pengetahuan, filsafat, seni, termasuk agama menurut Prof. Freud adalah hasil kreatifitas manusia. Jika demikian karya sastra merupakan bagian dari proses kreatif itu.
Emosi pengarang sangat dominan dalam penciptaan karya sastra. Oleh karena itu karya ini tidak akan pernah lepas dari kondisi mental manusia. Kondisi mental akan mendorong seseorang melakukan sesuatu yang disebut dengan proses kreatif. Inilah mengapa kondisi psikologis sering juga mempengaruhi nilai-nilai atau corak sebuah karya sastra. Kondisi psikologis sering menjadi materi dalam karya sastra.
Terlepas dari ada tidaknya konsep sastra dalam teori psikoanalisis berikut ini akan peneliti sampaikan konsep-konsep dasar psikoanalisis, yang kemungkianan juga ada kaitannya dengan proses penciptaan sastra itu sendiri. Penelitian ini dimulai dari penelaahan karya monumental Freud yang berjudul Introduction to Psichoanalysis dan The Intrepretation of Dream. Kedua buku inilah yang menjadi fondasi dasar terbentuknya psikoanalisis yang sangat terkenal itu.
Dari dua buku ini peneliti menemukan konsep dasar psikoanalisis, yang berkaitan dengan proses kreatif manusia. Ada beberapa konsep dasar yang bisa kita bicarakan dalam penelitian ini. Kosep dasar pertama adalah gejala atau tanda akan adanya ganguan mental manusia dalam berkaya. Konsep dasar itu adalah konsep kesalahan dan konsep mimpi. Dua hal ini merupakan bentuk lain yang diakibatkan oleh ganguan mental manusia. Mimpi dan kesalahan dalam bertindak sering diasosiasikan dengan gambaran mental seseorang.
Untuk mengetahui terjadinya proses kreatif manusia yang dianggap sama dengan proses mimpi dan gejala neurosis. Kiranya perlu disampaikan disini konsep-konsep dasar itu. Berikut ini akan peneliti sampaikan konsep psikoanalisis sebagai gambaran singkat terbentuknya proses kreatifitas manusia.

D. Psikologi kesalahan
Prof. Freud menganalisis beberapa keanehan mental yang terefleksi dalam tindakan seseorang. Freud percaya bahwa tindakan seseorang menggambarkan kondisi kejiwaan orang itu sendiri. Keanehan-keanehan yang sering dialami manusia pada umumnya adalah kesalahan bertindak dalam kehidupan sehari-hari (salah ucap, salah tulis, lupa nama orang, dll.) dan juga mimpi.
Konsep pertama Freud berkaitan dengan psikologi kesalahan. Gejala ini menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang. Kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi pada seseorang merupakan petunjuk yang sangat penting dalam psikoanalisis. Kesalahan ucap, baik karena lupa, maupun karena keseleo lidah bisa dijadikan sebagai intrepretasi adanya gangguan mental. Dari kesalahan-kesalahan kecil ini kita bisa membaca kondisi psikologis seseorang.
Freud mencontohkan bahwa seseorang yang melakukan kesahan ucap memiliki beberapa faktor peyebab. yaitu bila dia lelah atau kurang sehat, bila seseorang terlalu bersemangat atau bila konsentrasinya terganggu (Intro to Psi, 18)
Pernyataan ini menunjukan keyakinan Sigmund Freud akan keterkaitan kondisi fisik dengan gejala-gejala mental manusia yang terefleksi dalam tindakan. Konsep inilah yang kemudian dikaitkan dengan kreatifitas manusia. Proses kreatif seseorang baik dalam bidang ilmu maupun seni juga dianggap memiliki kesamaan latarbelakang.

E. Mimpi
Pengertian akan mimpi memang masih sangat membingungkan bagi sebagian orang. Namun demikian dari analisis yang disampaikan oleh Sigmund Freud kita bisa menemukan dua jenis mimpi yang terjadi pada manusia. Ada perbedaan perngertian mimpi, antara orang sekarang dengan orang-orang jaman primitif. Meskipun masih juga banyak orang mempercayai bahwa mimpi mempunyai aspek supranatural atau mistik, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang primitif.
Pengertian mimpi yang pertama bisa kita pahami menurut Aristoteles bahwa mimpi tak lebih dari persoalan psikologis. Mimpi bukanlah ilham dari dewa, dan juga tidak ada kaitanya dengan hal-hal yang berbau kedewaan (devine), tetapi sebaliknya dari sifat-sifat kejam atau jahat (demonic). Sifat jahat itulah sifat manusia yang sebenarnya (The Interpretation of Dream, 3).
Berbeda dengan pandangan Aristoteles, penulis-penulis jaman sebelumnya tidak memandang mimpi sebagai suatu produk jiwa malainkan ilham yang berasal dari dewa (devine orgin). Oleh karena itu manusia jaman purba membedakan mimpi sebagai berikut; Pertama, mimpi yang nyata dan berharga, diturunkan pada si pemimpi sebagai peringatan atau untuk meramalkan kejadian-kejadian dimasa depan. Kedua, mimpi yang tak berharga, kosong dan menipu, bertujuan untuk menyesatkan atau menuntun si pemimpi pada kehancuran (tafsir Mimpi, 3). Dari kedua pengertian ini, kita menjadi sadar akan adanya makna yang terkandung dalam mimpi. Meskipun tetap dipahami juga bahwa tidak semua mimpi memiliki makna yang berkaitan dengan kehidupan kita.
Dengan mengacu pada Macrobius dan Artemindorus, Gruppe berpendapat bahwa mimpi bisa dipilah dalam dua golongan. Golongan pertama adalah mimpi yang diyakini hanya dipengaruhi oleh masa kini (atau masa lalu), dan tidak berkorelasi positif dengan masa depan. Termasuk dalam kategori ini adalah Enuknia (insomnia), yang secara langsung mereproduksi rangsangan yang diberikan atau pun sebaliknya, merangsang secara berlebihan, seperti mimpi buruk menentukan atau mempunyai korelasi yang pasti dengan masa depan. Termasuk di dalammnya adalah: (1) peramalan yang langsung diterima dalam mimpi (chrematismos, oraculum); (2) pemberitahuan tentang kejadian-kejadian di masa depan (orama, visio); dan (3) mimpi simbolik, yang membutuhkan interpretasi (oneiros, somnium). Konsep inilah yang sudah berabad-abad menjadi kepercayaan manusia (The Interpretation of Dream, 4).
Pengeritan mimpi di atas merupakan gambaran mimpi yang dilihat dari prosesnya. Di sisi lain kita juga bisa mengetahui makna mimpi dari muatan yang ada dalam mimpi itu sendiri. Menurut Weygandt, mimpi meneruskan kehidupan alam sadar. Mimpi kita selalu menghubungkan dirinya dengan pikiran-pikiran tertentu yang sesaat sebelumnya muncul dalam kesadaran kita. Oleh karena itu muatan mimpi selalu ditentukan kurang lebih oleh kepribadian, umur, jenis kelamin, lingkungan, pendidikan dan kebiasaan, serta oleh kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman dari seluruh kehidupan masa lalu seorang indivudu (Maury, 1855).
Dari pengertian-pengertian di atas Freud memegang teguh pendiriannya atas teori mimpi. Meskipun Ia mengakui akan adanya kesulitan di dalam membuktikan gagasan-gagasannya itu. Ia tetap berkeyakinan akan adanya beberapa titik terang bahwa mimpi bisa dipengaruhi oleh kondisi fisik dan pengalaman alam sadarnya. Mimpi hanya reaksi tidak teratur dari fenomena mental yang berasal dari stimulasi fisik. Freud mencontohkan seseorang yang sedang tidur kemudian ia bermimpi sedang minum. Maka sudah bisa dipastikan bahwa pada saat itu ia sedang merasakan kehausan (Intro to Psychoanalysis, 86).
Lebih konkritnya Freud mencontohkan hubungan antara isi mimpi dengan kandung kemih atau kondisi rangasangan seksual ternyata sangat kuat. Orang yang sudah puber juga diawali dengan mimpi basah atau mimpi berhubungan dengan lawan jenis. Hal ini merupakan bukti yang paling mudah dipahami bagi setiap orang. Disinilah yang memperkuat keterkaitan antara mimpi dengan kondisi riil kehidupan seseorang. Dalam hal ini konsep mimpi terbuka bagi kita lewat tiga jalan. Yaitu lewat pendekatan stimuli pengganggu tidur, lewat lamunan, dan lewat mimpi yang diatur selama hipnotis (Psiko, 102).
Dari seluruh aspek mimpi yang sudah kita bicarakan di atas, pengertian mimpi bagi Freud adalah perwujudan dari harapan yang tidak bisa direalisasikan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, mimpi mempunyai dua karakteristik utama. Yaitu sebagai pemenuhan keinginan dan merupakan pengalaman halusinatif (psiko, 133). Untuk lebih memperjelas proses atau sebab terjadinya mimpi akan kita jelaskan sedikit sebab akibat terjadinya mimpi pada manusia.
Ransangan dan Sumber Mimpi
Dari pengertian dan sebab-sebab terbentuknya mimpi, kita juga harus mengetahui rangsangan dan sumber yang melahirkan mimpi. Jika manusia jaman kuno selalu menghubungkan mimpi dengan bisikan syaitan atau tuhan. Maka yang jadi persoalan adalah apakah mimpi bersifat psikologis atau fisiologis. Dari pertanyaan ini baru bisa kita jabarkan akan beberapa benyebab lahirnya mimpi itu sendiri. Freud kemudian memformulasikan empat variable sumber mimpi. Yaitu rangsangan inderawi eksternal (berorientasi pada objek), rangsangan inderawi internal (berorientasi pada subjek), rangsangan fisik internal (beroritenasi pada organ-organ tubuh), dan yang terakhir adalah sumber-sumber rangsangan psikis murni (The Interpretation of Dream, hlm. 25).
a) Rangsangan inderawi eksternal
Dalam veriabel ini Freud memandang bahwa selama tidur jiwa manusia atau indera manusia tetap akan bisa merasakan sesuatu yang ada di luar dirinya. Pikiran tetap berkomnukasi secara terus menerus dengan dunia luar meski kita dalam kondisi tidur. Rangsangan yang mencapai tubuh selama kita tidak bisa dengan mudah menjadi sumber mimpi.
Dalam kontek ini Jessen telah melacak berbagai rangsangan inderawi seseorang yang sedang tidur. Ia mengatakan bahwa setiap suara yang ditangkap, walaupun samar-samar akan merangsang reaksi baru agar sesuai dengan representasi mimpi; gelegar suara petir akan membawa kita ketengah pertempuran, kokok ayam jantan mungkin akan ditransformasikan kedalam jeritan manusia. Dan suara derit pintu mungkin akan memunculkan mimpi tentang pencuri yang masuk ke dalam rumah. Contoh lain ketika kita tidur di tepi tempat tidur dan kaki terjulur sampai ke ujung, mungkin kita akan bermimpi sedang berdiri di tepi tebing yang curam dan kita bisa berteriak karena kita merasa seolah jatuh ke tebing yang curam itu. Itulah beberapa contoh yang bisa kita pelajari dari variabel ini.

b) Rangsangan inderawi internal ( berorientasi subjek)
Bukti utama dari kekuatan pendorong mimpi melalui rangsangan inderawi berorientasi subjek diberikan oleh apa yang disebut halusinasi hipnogogis (halusiansi yang muncul ketika berada dalam keadaan mengantuk). Atau yang disebut oleh Johann Muller sebagai “manifestasi visual yang fantastis”. Rangsangan inderawi subjek ini adalah gambar-gambar hidup yang dapat berubah-ubah, yang pada banyak orang muncul terus menerus selama periode sebelum tidur dan bisa jadi masih melekat bahkan setelah membuka mata. Dengan kata lain Wundt mengatakan bahwa sebuah peran penting dimainkan dalam ilusi-ilusi mimpi oleh sensasi berorientasi subjek dari penglihatan dan pendengaran yang kita kenal di alam sadar. Seperti cahaya berkilauan di kegelapan, bunyi dering, dengung, dan sebagainya.
Tidak hanya pada gambar, halusinasi suara dari kata-kata, nama juga bisa timbul secara hipnogogis dan kemudian mengulang dirinya dalam mimpi. G. Trumbull Ladd mengadakan pendelitan yang berhasil memperoleh kemampuan untuk menyadarkan dirinya sendiri secara tiba-tiba, tampa membuka mata, kedua atau lima menit setelah berangsur-angsur tertidur. Hal ini memungkinkannya untuk membandingkan proses menghilangkannya sensasi retina dengan gambar-gambar mimpi yang masih melekat di ingatannya. Dia meyakinkan kita bahwa hubungan erat antara keduannya dapat selalu dikenali, karena titik-titik berkilauan dan garis-garis bercahaya yang seara spontan diterima retina, boleh dikatakan menghasilkan kerangka atau pola dari gambar-gambar mimpi yang diterima secara psikis. Sebagi contoh, sebuah mimpi dimana di depannya ia melihat dengan jelas baris-baris cetakan, yang dia baca dan pelajari, dapat disamakan dengan sejumlah titik-titk bercaya yang tersusun dalam baris-baris pararel.


c) Rangkaian fisik internal (berorientasi organ)
Rangsangan fisik internal terdapat pada tubuh manusia itu sendiri. Organ tubuh yang terserang penyakit akan menjadi materi dalam mimpi. Menurut Tissie organ-organ yang berpenyakit menanamkan ciri-cirinya dalam isi mimpi (Freud; 1911). Ia menceritakan tentang wanita berumur 43 tahun yang selama beberapa tahun terlihat sehat, terganggu dengan mimpi yang membuatnya gelisah. Dan akhirnya dalam pemeriksaan ia dinyatakan terkena penyakit jantung, sama dengan yang ada dalam mimpinya.
Masih berkaitan dengan rangsangan mimpi fisik internal, Krauss mengatakan organ tubuh bisa dipecah menjadi dua kelas; (1) Sensasi-sensasi umum-yang mempengaruhi keseluruhan sisitem; (2). Sensasi-sensasi spesifik, yang berasal dari sistem pokok organ-organ vegetatif, yang pada gilirannya bisa dipecah lagi menjadi 5 kelompok; (a) otot, (b) pernapasan, (c) pencernaan, (d) seksual, (e) sensasi-sensasi pendukung. (Freud; 1911,42).

d) Sumber-sumber rangsangan psikis
Setelah memahami peran penting dari pengaruh ekternal dan pengalaman seseorang, mimpi juga ternyata sangat berkaitan dengan sumber rangsangan psikis. Dari semua keterangan itu dapat disimpulkan bahwa konsep mimpi memang sangat komplek, disamping pengalaman dan pengaruh ekternal juga kondisi kejiwaan memiliki peranan yang besar dalam terbentuknya mimpi. Menurut Wundt, pada kenyanyakan mimpi terdapat kerjasma dari rangsangan jasmani (somatic) dan rangasangan psikis yang keduanya tidak diketahui atau dikenali memalui perhatian dan keterterikan-ketertarikan selama hari sebelumnya.

F. Neurosis
Neurosis adalah penyakit mental yang disebabkan oleh depresi atau tingkah laku tidak normal, yang bisa dilihat dari gejala-gejala fisik tetapi tampa adanya tanda-tanda sakit / a mental illness that causes depression or abnormal behaviour, often with pshysical symptoms but with no sign of disease (Oxford English Dictionary). Gejala neorosis ini juga bisa disebabkan atas ketakutan akan kehilangan sesuatu yang sangat dicintainya, takut tidak dihargai, ataupun bisa juga ketakutan karena kesalahan yang menurut pelaku adalah sesuatu dosa yang besar.
Dalam psikoanalisis ada dua neurosis yaitu neurosis histeria yang ditemukan oleh J. Breuer (1880-1882), yang kedua adalah neurosis obsesional. Kita akan fokuskan pada neurosis yang kedua. Neurosis obsesional disibut juga dengan tekanan mental (compulsion neurosis) terjadi bila pikiran pasien dipenuhi pemikiran-pemikiran yang benar-benar tidak menarik baginya, dia merasakan hasrat yang asing baginya dan dia terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang tidak disukainya tapi tidak berdaya menolaknya. (Introduction to Psycho; 276). Yang lebih menarik lagi bahwa orang yang terserang penyakit neurosis obsesional adalah orang yang justru energik, sangat keras pendiriannya dan sering dikaruniai intelektual di atas rata-rata. Karena itu dia selalu menuntut standar yang tinggi atas perkembagnan etika, terlalu hati-hati dan sering benar dalam bertindak.
Terjadinya kesalahan ucap, kesalahan tindakan, atau lupa terhadap nama seseorang yang sangat dekat dengan kita, merupakan dampak dari gejala adanya gangguan mental. Gangguan mental itulah yang menyebabkan terjadinya ketidakselarasan antara pikiran dan tindakan. Hal ini sama halnya dengan apa yang terjadi dalam mimpi. Mimpi juga diyakini memiliki keterkaitan baik secara fisik maupun secara psikis. Itulah sebabnya pemahaman akan mimpi memberikan kesadaran pada kita akan rasionalitas kaitan antara sastra dengan kondisi psikologis penulis (neurosis).

G. Proses Kreatif Manusia dalam Pandangan Psikoanalisis
Pembahasan kita tentang keanehan-keanehan yang terjadi pada manusia merupakan langkah awal untuk memahami proses terbentuknya karya sastra. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, gangguan mental itu menstimuli seseorang untuk melakukan tindakan kreatif. Tindakan kreatif manusia itu diantaranya adalah ilmu pengetahuan, agama, filsafat, seni dan juga karya sastra.
Jika demikian maka perlu dipahami juga bagaimana keterkaitan antara karya sastra dengan psikoanalisis itu sendiri. Setelah membahas proses mimpi dan juga gangguan psikis pada manusia, kita pun akan membicarakan proses kreatif yang disampaikan oleh Sigmund Freud. Setelah Introduction to Psychoanalysis (1958) dan juga The Interpretation of Dream (1911), Freud banyak menulis tentang sejarah pemikiran Yunani yang berkaitan dengan mitos, dorongan seksual pada manusia dan juga kekecewaan-kekecewaan manusia yang ditemui selama dalam hidupnya. Beberapa karya Freud yang bisa disebutkan disini adalah; Totem and Taboo (1918), Civilization and Its Discontents (1930), Leonardo da Vinci and A Memoir of His Childhood (1989), dll.
Leonardo da Vince and A memoir of His Childhood merupakan buku yang paling nyata mengungkap keterkaitan antara kecerdasan dengan emosi seseorang. Freud ingin menunjukan bahwa teori Psikoanalisis bisa diaplikasikan dalam berbagai karya manusia. Dalam buku ini Ia beranggapan bahwa seorang yang jenius adalah orang yang anti sosial dan tidak bisa menikmati keindahan dunia. Namun sayangnya apa yang didapatkan dari sisi kehidupan Leonardo da Vinci adalah hal yang diluar dugaan. Leonardo adalah orang yang periang, suka pada keindahan alam dan suka bergual dengan orang-orang di sekelilingnya. ( Freud; 1989,11).
Jika sastra berkaitan dengan kondisi emosional, lalu bagaimana keterkaitan antara mimpi dengan karya sastra? Perbandingan paling nyata antara mimpi dengan karya sastra adalah adalah lamunan (day dream). Kedua kejadian ini hampir sama meskipun dalam kontek yang berbeda. Dari lamunan seorang penulis mampu membuat materi dasar karya-karya puitis. Penulis bisa mengubah, menyamarkan atau memodifikasi lamunannya menjadi cerita novel, dan drama. Pahlawan dalam cerita itu adalah dirinya sendiri yang digambarkan dengan terang-terangan atau diasosiasikan menjadi orang lain.
Konsep psikoanalisis menitikberatkan pada impuls-impuls kejiwaan manusia. Dorongan atau inpuls yang paling utama dalam diri seseorang adalah; keinginan seksual, kebutuhan akan makan dan minum yang merupakan faktor internal. Kedua faktor ini merupakan kebutuhan pokok atau basic need pada setiap manusia. Di sisi lain manusia juga mempunya pengaruh ekternal yang sangat berpengaruh terhadap kejiwaannya. Faktor ekternal itu adalah dorongan yang didapat dari lingkungan atau orang lain. Faktor ini merupakan tantangan paling komplek dan sangat berpengaruh terhadap pembentukan jiwa seseorang (C. George Boeree; 1997).
Dorongan seksual bukan hanya semata-mata keinginan untuk mendapatkan keturunan, tetapi juga menjadi penggerak utama manusia berkarya. Dorongan inilah yang menjadikan, manusia mencapai taraf hidup lebih baik. Dorongan seksual juga bisa bersifat negatif dan juga positif. Dalam Psikoanalisis, dorongan seksual yang diasumsikan sebagai sesuatu yang positif dinamakan dengan sublimasi. Yaitu mengarahkan dorongan instingtual ke dalam bentuk tindakan-tindakan intelektual. Dalam buku Leonardo da Vinci and A Memoir of His Childhood, Freud menandaskan bahwa Leonardo bukanlah orang yang tidak memiliki hasrat sama sekali, tetapi dia memiliki semua yang secara langsung atau tidak langsung merupakan kekuatan penggerak-il primo motore- dibalik semua tindakanya. (Freud; 1930,24).
Bukan hanya dorongan seksual sebenarnya yang menjadi motive terbentuknya pemikiran kreatif manusia, tetapi juga kebutuhan dasar lainnya. Kebutuhan makan dan minum nampaknya juga sangat berkaitan dengan tindakan manusia. Setiap individu bekerja atau berkarya tidak lain dan tidak bukan merupakan upaya memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan akan makan dan minum merupakan kebutuhan dasar yang tidak pernah lepas dari semua mahkhluk hidup. Dari gagasan inilah yang juga melahirkan meterialisme dialektik ala pemikiran Karl Marx yang melandaskan pada materi sebagai satu-satunya tujuan hidup manusia.
Kebutuhan untuk diakui merupakan faktor lain dari kebutuhan dasar manusia. Jika kebutuhan seksual dan makan/minum sebagai faktor internal, kebutuhan manusia untuk diakui merupakan faktor eksternal. Kebutuhan ini dalam bahasa psikoanalisis disebut dengan kebutuhan atas pengakuan. Kebutuhan ini biasanya memiliki tekanan psikologis yang lebih berat terhadap manusia. Sehingga tekanan yang diakibatkan oleh kebutuhan ini biasanya lebih dominan pada diri manusia.
Kekecewaan-kekecewaan yang disebabkan oleh ketidaksesuaian kehidupan sosial melahirkan sebuah motivasi atau keinginan yang kuat untuk berkarya pada seseorang. Kondisi yang sulit dalam hal hubungan sosial sering menjadi motivasi seseorang berkarya. Konsep seperti inilah yang nampaknya melatarbelakangi Sigmund Freud berasumsi meneliti sejarah kehidupan sosial Leonardo da Vinci. Seperti yang sudah disebutkan diatas, Freud justru heran ketika menemukan bahwa Leonardo adalah seorang yang ramah dan periang. Karena dalam konsepsi Freud sebelumnya bahwa kebanyakan para jenius adalah orang yang serius dan sering menhadapi persoalan dalam kehidupan sosial.
Akibat dari tekanan emosional yang dialami oleh manusia bukan hanya menimbulkan daya kreatif berupa ilmu pengetahuan dan budaya, tetapi juga agama. Sigmund Freud beranggapan bahwa agama hanyalah suatu illusi manusia. Manusia yang tidak mampu menyelesaikan segala persoalan dunia, mencari-cari sesuatu yang bisa menenangkan batinnya yang sebut dengan agama. Menurut Sigmund Freud agama tidak lain dan tidak bukan hanyalah hasil kreatifitas pikiran manusia. (Sigmund Freud; 1930).
Latar belakang lahirnya agama menurut Freud disebabkan oleh adanya anggapan bahwa kehidupan manusia pada dasarnya ada dalam penderitaan. Dalam kenyataannya, ketidakbahagiaan jauh lebih mudah dialami oleh manusia. Akibatnya manusia terancam penderitaan dari tiga arah: dari tubuh kita sendiri, yang ditakdirkan untuk rusak dan membusuk, dan bahkan tanda-tanda peringatan untuk itu pun selalu berupa rasa sakit dan kegelisahan. Kedua, dari dunia luar, tantangan ini mungkin melanda kita dengan kekuatan merusak yang berlimpah dan tanpa ampun. Dan yang terakhir dari hubungan kita dengan sesama. Penderitaan yang paling sering muncul adalah penderitaan yang terakhir ini. Hubungan kita dengan sesama sering menimbulkan penderitaan tiada tara, yang terkadang tidak bisa kita lampiaskan secara langsung dengan orang-orang yang bermasalah dengan kita. Karena itu usaha kita untuk mengalihkannya adalah dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang kita sebut dengan kreatifitas pikiran itu.

H. Penutup
Urian diatas memberikan gambaran secara jelas akan keterkaitan antara karya sastra dengan kejiwaan seorang sastrawan. Sastra merupakan cerimanan atau gambaran yang ada pada penulisnya sendiri. oleh karena itu sastra tidak bisa lepas dari latar belakang penulisnya. Sastra akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir, kejiwaan dan kedewasaan penciptanya. Meskipun demikian sastra tidak selalu identik dengan penulisnya yang sengsara. Karena ekpresi yang dilakukan penulis bukan semata-mata dari apa yang ada dalam dirinya tetapi juga kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya.

Berkenaan dengan hal tersebut sastra bisa merupakan kritik terhadap kondisi sosial. Baik secara global maupun sempit sastra bisa merupakan reflesi sosial. Sastrawan yang tertindas secara politik tentu akan banyak menggambarkan kedholiman perpolitikan yang dialami. Sedangkan seorang sastrawan yang secara sosial berada dalam posisi yang sulit secara ekonomi, tentu akan menggambarkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kesulitan hidup yang dihadapi. Meskipun semuanya tidak jaminan akan demikian, tetapi stimulan yang dialami oleh pengarang jelas akan sangat berpengaruh pada diri dan karya yang dibuat oleh seorang pengarang.


DAFTAR PUSKATA


Daiches, David, 1981, Critical Approaches to Literature, Longman, London and New York.
Freud, Sigmund, 1930, Civilization and Its Discontents, Norton & Company, New York.
.........................., 1989, Leonardo da Vinci and A Memory of His Childhood, London, New York.
............................, 1918, Totem and Taboo, Vintage Books, New York.
............................, 1911, The Interpretation of Dream, Vintage Books, New York.
............................, 1958, A General Introduction to Psychoanalysis, Permabooks, New York.
Wellek, Renne, dkk., 1990, Teori Kesusastraan, PT. Gramedia, Jakarta.
Wittkower, Margot, dkk., 1969, Born Under Saturn The Character and Conduct of Artist; Documented history From Antiquity to The French Revolution, WW. Norton & Company, Inc., New York.

Monday, September 3, 2007

Sastra dan Perubahan Masyarakat


Oleh
Wajiran, S.S.
(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM dan
Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

Pengantar
Sampai saat ini masih banyak orang meremehkan sastra. Dengan kata lain orang cenderung menganggap sastra sebagai sesuatu yang tidak penting dalam pembangunan masyarakat. Dibandingkan dengan bidang lain, seperti ilmu pengetahuan alam, tehnik, kesehatan dan bidang praktis lain, sastra dianggap sesuatu yang tidak mendatangkan nilai ekonomis. Hal ini terlihat pada animo para mahasiswa yang mayoritas lebih memilih jurusan eksata dibandingkan jurusan yang berbau sastra. Sastra atau ilmu budaya biasanya menjadi pilihan terakhir setelah yang lain tidak bisa didapatkan. Pandangan ini merupakan gambaran akan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra.
Dibandingkan dengan bidang eksata, sastra memang tidak mempunyai pengaruh secara langsung atau secara fisik. Peranan sastra sebenarnya lebih pada emosi atau spiritual. Sastra merubah seseorang melalui pola pikir, wawasan dalam memandang hidup dan lain sebagainya. Ahmadun Yosi (2007) mengatakan bahwa sejarah pergolakan suatu bangsa tidak pernah lepas dari dorongan-dorongan yang diekpresikan melalui karya sastra. Karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower) dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial yang begitu dasyat di lingkuangan masyarkat pembacanya.
Jabrohim (2005) mengatakan bahwa kedudukan sastra sama dengan ilmu pengetahuan yang lain, yaitu sesuatu yang penting bagi kemajuan masyarakat. Dengan karya sastra pengarang bisa menanamkan nilai-nilai moral dan pesan-pesan tertentu kepada masyarakat pembacanya. Subjektivitas yang disampaikan pengarang melaui karya sastra mampu memberikan motivasi atau dorongan bagi suatu perubahan baik secara individu maupun kolektif (masyarakat).
Yang menjadi pertanyaan, kenapa sastra bisa mempengaruhi masyarakat? Plato mengatakan bahwa sastra merupakan refleksi sosial (Diana Laurenson, dkk. 1971). Sebagai suatu reflesi sosial ia akan menggambarkan kondisi sosial yang ada di sekelilingnya. Karena muatan yang ada dalam sastra adalah gambaran atau reflesi sosial, sastra akan mendapatkan tanggapan dan kritik sekaligus penilaian dari pembaca. Dari jalan ini sastra akan mempengaruhi pola pikir masyarakatnya.
Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra diakibatkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap pentingnya sastra dalam perubahan sosial. Masyarakat masih banyak yang tidak memahami nilai-nilai moral dan kritik yang ada dalam sastra. Disamping itu membaca karya sastra memang membutuhkan waktu yang cukup menyita dibandingkan dengan media lain. Dibandingkan dengan film dan drama, karya sastra membutuhkan waktu yang lebih lama. Ditambah lagi budaya membaca masyarakat kita yang memang masih sangat rendah.
Dewasa ini tanggapan masyarakat masih sebatas golongan terdidik saja. Para pelajar dan mahasiswa sudah mulai memahami pentingnya menelaah karya sastra. Meskipun mereka membaca karya sastra masih sebatas sebagai hiburan, tetap nilai-nilai moral tetap akan mempengaruhi mereka. Sehingga tidak jarang penulis-penulis terkenal di negeri ini mulai digandrungi oleh para remaja Indonesia.

Funsi Sastra
Sastra sebagaimana yang disebutkan Horace berfungsi sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna (Renne Wellek, dkk 1995). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa peranan sastra bukan sekedar menghibur tetapi juga mengajarkan sesuatu.
Karena perenannya yang menghibur sekaligus berguna inilah maka sastra dianggap sebagai media yang paling efektif. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh Prof. Chamamah Soeratno sastra adalah means that not transmitable by other means, karya sastra bisa dikatakan sebagai media yang tidak tergantikan oleh media lain. Ada beberapa poin yang harus kita perhatikan kelebihan sastra dibanding dengan media kritik lain.
Sastra merupakan sarana kritik yang menghibur sehingga pesan yang tersampaikan bisa meresap dalam pikiran manusia secara tidak disadari. Dengan demikian konfrontasi terhadap nilai suatu ideologi yang ada dalam sastra tidak kasar, tetapi merasuk secara perlahan-lahan. Sastra yang memiliki pengaruh seperti ini biasanya adalah sastra yang mengandung nilai didaktis yang tinggi; dan umumnya sastra yang demikian biasanya karya sastra yang berkaitan dengan suatu agama atau ideologi politik.
Montgomery Belgion dalam buku Renne Wellek mengatakan;
“Irresponsible propagandist”. That is to say, every writer adopts a view or theory of life... the effect of the work is always to persuade the reader to accept that view or theory. This persuasion is to say, the reader is always led to believe something, and that assent is hypnotic-the art of the presentation seduces the reader...
Sastra yang berkaitan dengan agama bisa kita lihat pada karya sastra modern saat ini. Karya Helvi Tiana Rosa misalnya merupakan contoh yang paling kongkrit dari sastra yang berbau keagamaan. Karya-karya Helvi telah mempengaruhi kalangan muda Indonesia yang gemar membaca karya-karya sastra islami. Dan objek dari sastra ini adalah kaum muda yang biasanya sangat optimis terhadap kehidupan. Sastrawan-sastrawan yang seirama dengan Helvi adalah Gola Gong, Asna Nadia, dll.
Sastra yang biasanya kontraversial dan sering menimbulkan polemik adalah sastra yang berbau ideologi politik. Sastra yang seperti ini sering mengkonfrotasi penguasa yang dholim. Pramudia Ananta Toer merupakan sastrawan yang bisa dikatakan mewakili sastrawan politik. Karya-karyanya sempat dilarang terbit oleh pemerintahan Orde Baru karena dianggap membahayakan penguasa Suharto. Selain Pramudya masih banyak sastrawan Indonesia yang menyerukan perlawanan terhadap kedholiman penguasa diantaranya; Rendah, M.H. Ainun Najib, Ratna Sarumpaet, dan Nano Riantarno. Mereka adalah sastrawan yang pernah sercara langsung dianggap berbahaya oleh pemerintaha Orde Baru.
Adanya pelarangan atau pembredelan terhadap suatu karya sastra menunjukan pentingnya sastra terhadap perubahan pola pikir pembacanya. Sastra bisa menyadarkan seseorang akan eksistensinya dan juga kebenaran-kebenaran yang harus diperjugankan dalam kehidupan. Dengan karya sastralah orang akan mampu memberikan suatu pemahaman atau pemikiran secara leluasa dan independen. Sastra merupakan sarana nation formation atau nation building yang berarti sastra sebagai pembentuk karakteristik masyarakat.
Sastra merupakan benteng terakhir dari kebudayaan dan peradaban kita yang masih mampu kita pertahankan dari hempasan gelombang penjajahan ekonomi, politik dan militer dari penjajah kafir (Jabrohim, 2005). Dengan karya sastra kita bisa melihat betapa kejayaan masa lalu telah bisa merubah negeri ini seperti yang kita nikmati selama ini. Dengan adanya karya sastra kita bisa melihat dan mengerti pemikiran para pejuang dan leluhur yang telah melukiskan pemikiran mereka dalam karya sastra yang mereka tinggalkan. Peninggalan-peninggalan seperti hikayat, kitab-kitab, babad dan serat yang ditulis para pujangga mampu memberikan gambaran kehebatan leluhur kita dimasa yang lalu.
Lebih lanjut sastra merupakan ekpresi identitas yang bisa digunakan untuk memperteguh identitas suatu bangsa. Nilai-nilai yang ada dalam sastra yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat tentu akan memberikan corak tersendiri dalam masyarakat dimana sastra itu lahir. Seorang sastrawan akan memberikan nilai-nilai didactic sebagai kritik sekaligus peringatan kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan menyadari kekurangan dan kekhilafan yang telah dilakukan. Dari sinilah nilai-nilai identitas akan muncul dan terjaga karena karya sastra itu. Sastra akan menanamkan nilai-nilai itu tampa disadari oleh siapapun.
Penutup
Gambaran di atas menunjukan betapa karya sastra tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat. Sebagai cerminan masyarakat, sastra mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu penting kiranya dipahami bahwa sastra sudah sepantasnya untuk diperhatikan dan diapresiasi sebagai sesuatu yang sangat perlu untuk baca, dipahami dan jika perlu dikembangkan.
Maraknya sastra islami merupakan angin segar bagi kaum muslim bagi penyebaran nilai-nilai islam di negeri ini. Lahirnya sastra ini mampu mengimbangi karya sekuler dan erotik yang membahayakan kaum muda. Lahirnya karya sastra islami perlu diberikan appresiasi yang tinggi mengingat peranannya yang begitu penting bagi keberlangsungan generasi muda kita. Umat islam perlu terus memotivasi dan mendorong para sastrawan muslim untuk berdakwah melalui karya sastra. Dengan demikian kita akan mampu memperjuangkan eksistensi ideologi islam menggunakan media yang sangat istimewa ini. Wallahua’alamu bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi D., MERETAS RANAH Bahasa, Semiotika, dan Budaya, suntingan Husen, Ida, Sundari, dkk., Bentang, Yogyakarta, 2001.
Jabrohim, Kekuatan Sastra, Majalah Suara Muhammadiyah, n0.21/TH. Ke-89/1-15 November 2005.
Sedyawati, Edi, MERETAS RANAH Bahasa, Semiotika, dan Budaya, suntingan Husen, Ida, Sundari, dkk., Bentang, Yogyakarta, 2001.
Wellek, Renne, dkk., The theory of Literature, translated by Melani Budianta, Teori Kesusastraan, 1995, Gramedia, Jakarta