Sponsor Links

Wednesday, July 30, 2008

Nasionalisme Budaya

Oleh
Wajiran, S.S.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,
Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta)

Pendahuluan
Derasnya arus globalisasi telah merubah berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Di sisi lain mengalami kemajuan yang sangat pesat, tetapi di tempat lain juga mengakibatkan kerusakan yang luar biasa. Kemajuan yang terjadi dapat dirasakan dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, yang menjadi kegelisahan adalah bebasnya arus informasi di negeri ini. Hal ini menyebabkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa sebagai akibat dari globalisasi. Kemorosotan inilah yang perlu mendapat perhatian bagi kita semua sebagai bangsa yang berbudaya.
Persoalan moral merupakan isu yang paling urgen untuk diperhatikan. Moral akan sangat menentukan kehidupan masa depan bangsa. Jika budaya leluhur sudah mulai luntur, maka bakal dipastikan akan hilang juga identitas suatu bangsa. Berbagai level masyarakat telah kehilangan jati diri dengan gaya hidup yang tidak memperlihatkan jati diri bangsa. Hal ini dikarenakan banyaknya kalangan masyarakat kita yang lebih suka meniru gaya hidup barat ketimbang mempertahankan karakteristik budaya sendiri.
Bahasa merupakan salah satu aspek kebudayaan. Melalui Bahasa juga memungkinkan aspek-aspek kebudayaan tersebar ke berbagai level masyarakat. Dengan semakin meningkatkan masyarakat Indonesia mempelajar bahasa asing, maka nilai-nilai dari lain pun akan semakin mudah mereka serap. Kenyataan yang sekarang ini terjadi adalah masyarakat lebih cenderung mempelajari Bahasa Inggris. Hal ini menunjukan bagaimana dominasi budaya yang datang dari negara-negara yang barat semakin kuat di negara kita. Apakah hal ini juga yang menyebabkan lunturnya kebudayaan kita?
Bukti lemahnya minat masyarakat Indonesia untuk memahami budaya sendiri juga dapat dilihat pada minimnya peminat para pelajar/mahasiswa yang mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di sekolah-sekolah atau pun perguruan tinggi, jurusan ini tidak diminati sebagaimana halnya Bahasa Inggris. Demikian juga dengan pertunjukan kesenian tradisional atau kesenian daerah yang saat ini sudah hampir dilupakan oleh generasi muda. Kondisi inilah yang nampaknya menjadi persoalan rumit di negeri kita ini. Masyarakat, khususnya kaum muda lebih suka kepada kebudayaan asing dibanding dengan budaya sendiri. Mereka lebih menyukai musik jazz, rock, atau musik-musik yang berbau barat ketimbang kesenian tradisional seperti wayang, ketroprak, reok yang merupakan produk budaya Indonesia yang sesungguhnya.
Selain karena trend, kecenderungan masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis masyarakat kita. Sebagai negara berkembang masyarakat Indonesia memang masih sangat lemah dalam berbagai segi. Kondisi ekonomi yang sangat lemah menjadikan mereka tergiur untuk meniru budaya asing yang menurut mereka dipandang menyenangkan. Gemerlap kehidupan masyarakat barat itu mendoktrin melalui berbagai media massa, baik media cetak maupun eleoktronik. Disinilah kemengan mereka dalam menanamkan kebudayaan yang kini merenggut generasi muda bangsa Indonesia.
Melihat kondisi yang demikian, nampaknya diperlukan suatu tindakan yang bisa mengkonter dampak negatif dari budaya asing itu. Hal ini bisa dilakukan dari segi-segi yang paling kecil. Bahasa Indonesia merupakan aspek budaya yang sangat penting. Karena dengan pengajaran bahasa dapat sekaligus menanamkan nilai-nilai budaya leluhur bangsa yang terdapat dalam karya-karya anak negeri sendiri. Nilai-nilai luhur akan semakin melekat dibenak para generasi muda jika mereka memahami kelebihannya dibanding dengan budaya lain. Kita bisa mencontoh pengajaran bahasa ibu (Mother tongue) di negara-negara maju. Bahasa Inggris, meskipun merupakan bahasa ibu di negara Inggris dan Amerika, tetapi masih tetap menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Menariknya dalam setiap jenjang pendidikan, para siswa diwajibkan membaca menimal 10 karya sastra dalam bentuk novel. Cara-cara seperti ini nampaknya perlu ditiru di sekolah-sekolah kita. Karena dengan begitu nilai-nilai leluhur bangsa ini tidak akan terkikis bersamaan dengan terkikisnya minat para generasi muda untuk mempelajari bahasa mereka sendiri.

Identitas bangsa
Ada kekhawatiran akan hilangnya rasa nasionalisme bersamaan dengan adanya proses globalisasi. Kekhawatiran itu mungkin wajar karena pada era globalisasi batas atau sekat komunikasi hampir tidak ada. Bahkan dengan adanya teknologi komunikasi, informasi dari negara maju semakin mudah diakses dimanapun. Akibatnya dominasi kebudayaan negara-negara maju makin terasakan di negara kita ini. Kebudayaan Amerika misalnya, saat ini sudah sedemikian melekat dalam segala tingkah laku remaja kita. Dari segi pakaian, hiburan bahkan makanan remaja kita sudah sangat Amerikanis.
Percaturan atau interaksi budaya sebenarnya bukan sebuah ancaman. Adanya interaksi itu justru akan memperkaya kebudayan kita masing-masing. Oleh karena itu kita tidak perlu menutup diri dengan tidak bergaul dengan bangsa lain. Kita harus banyak belajar dari kebudayaan lain yang dalam segi-segi tertentu lebih baik dari kebudayaan kita. Budaya disiplin dan kerja keras misalnya perlu kita tiru dari negara-negara barat yang telah terbukti lebih unggul dari kita.
Yang diperlukan saat ini adalah strategi kita memilih aspek budaya yang baik dari budaya asing itu. Karena hanya dengan cara seperti itu negara kita akan mengalami kemajuan. Malaysia merupakan contoh negara yang terbuka namun masih tetap mampu mempertahankan kebudayaan aslinya. Di negeri yang belum lama merdeka ini rasanya tidak ada tekanan untuk menggunakan bahasa Melayu saja. Bahkan tidak ada aturan menggunakan bahasa Melayu yang dibakukan. Justru bahasa mereka bercampur dengan bahasa asing secara alami. Kondisi ini justru menguntungkan bagi semua kalangan, karena dengan begitu orang tidak lagi malu menggunakan bahasa Melayu yang bercampur dengan Bahasa Inggris. Itulah sebabnya masyarakat Malaysia umumnya memahami Bahasa Inggris lebih baik dibandingkan dengan masyarakat Indonesia.
Kondisi ini sungguh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Di negara kita orang cenderung merasa malu menggunakan bahasa campuran, Indonesa dan Inggris karena takut dianggap sombong. Masyarakat kita belum terbiasa menggunakan bahasa asing termasuk sekedar menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau barat. Akibatnya masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami Bahasa Inggris yang sangat penting dalam pergaulan global. Kondisi seperti ini terjadi juga di dunia pendidikan. Para siswa tidak bisa menggunakan bahasa Inggris secara aktif meskipun secara teori mereka menguasainya.
Untuk mempertahankan identitas bangsa, kita tidak perlu menutup diri dari percaturan global. Tetapi kita harus terbuka demi mencari format kebudayaan yang lebih baik. Karena percaturan itu akan menyadarkan akan pentingnya bahasa dan budaya sendiri. Prof. Dr. Mursai Esten menyatakakan ketika Bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa ibu akan dirasa menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat. Karena itu kekhawatiran akan hilangnya Bahasa Indonesia dengan adanya bahasa asing adalah hal yang tidak perlu kita alami.
Kesenian dan pariwisata merupakan bidang yang mendapat angin segar di era globalisasi. Sebagaimana yang dikatakan dikatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Megatrend 2000, bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan hiburan bagi masyarakat modern. Akibat tuntutan persaingan hidup yang begitu ketat, menjadikan manusia haus akan hiburan. Dalam kondisi seperti ini masyarakat membutuhkan hiburan guna melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan. Hal inilah yang menjadikan masyarakat mengeluarkan banyak uang di bidang kesenian dan pariwisata.
Bidang kesenian dan pariwisata turut berperan dalam pertukaran budaya. Pertukaran budaya sebagai akibat dari interaksi atau komunikasi antar budaya itu. Dan hal itu hanya terjadi melalui bahasa. Adanya pertukaran budaya yang semakin intensif menjadikan peranan bahasa dan budaya Indonesia semakin penting. Karena dengan begitu proses berfikir tidak akan pernah lepas dari bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang akrab dengan masyarakatnyalah yang akan digunakan. Walhasil, bahasa itu akan melahirkan proses kreatif, proses ekpresif yang akhirnya melahirkan karya sastra, yaitu karya sastra Indonesia. (Prof. Dr. Mursal Esten, 2006).

Masa Depan Bahasa Indonesia
Indonesia merupakan negara yang berpeluang sebagai pusat kebudayaan terutama di wilayah Asia Pasifik. Jika dibanding dengan negara-negara lain, Indonesia memiliki keunikan budaya yang sudah bisa dibilang mapan. Hal ini terbukti juga dengan semakin banyaknya karya-karya anak negeri yang laku di negeri lain. Malaysia adalah negeri yang masyarakatnya sangat menyukai karya-karya sastra Indonesia. Hal ini senada dengan prediksi Prof. Dr. Mursai Esten, bahwa kawasan Indonesia akan menjadi global-tribe yang paling penting di dunia selain Malaysia, Thailand, Brunai dan Filipina. Dari semua negara Asia itu Indonesia memiliki kebudayaan yang paling mapan dan unik.
Saat inipun sesungguhnya bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang mendominasi di kawasan nusantara. Bahasa yang awalnya dari bahasa Melayu-Riau itu telah mengalahkan bahasa-bahasa besar yang sebenarnya lebih dahulu digunakan, yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Dengan demikian, sastra Indonesia modern pada hakekatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal. Orang lebih mudah memahami bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Yang menjadi masalah disini adalah bagaimana menjadikan bahasa Indonesia dan sastra Indonesia memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah percaturan budaya global. Lebih penting lagi seperti yang dikemukakan oleh Prof. Mursai adalah bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakat Indonesia memiliki posisi kuat di tengah masyarakat dunia.

Kesimpulan
Persoalan di atas merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi para pengajar bahasa, sastra dan budaya Indonesia. Oleh karena itu sejak dini harus dilakukan langkah-langkah strategis untuk menanamkan kecintaan terhadap bahasa, sastra dan budaya kita sendiri. Hal yang demikian itu hanya bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan yang ada di negeri ini.
Disamping itu pula, interaksi budaya memang harus dibiarkan mengalir secara alami. Karena dinamika itu akan melahirkan budaya sebagai jati diri yang lebih baik. Dalam arti yang lebih sesuai dengan karakteristik bangsa kita. Karena sesungguhnya mempertahankan budaya dengan cara defensif atau menutup diri dari percaturan budaya budaya global adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membuat kondisi dimana bahasa dan budaya Indonesia itu sangat dibutuhkan dalam percaturan global. Mekanisme “pasar”lah yang akan menentukan perkembangan bahasa dan budaya kita. Yitu bahasa yang sesuai dengan kebutuhan adalah bahasa yang akan tetap dipergunakan. Karenanya masyarakat Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai upaya mempertahankan eksistensi Bahasa Indonesia dengan cara menerbikan karya-karya sastra berbahasa Indonesia. Hanya dengan cara seperti itulah bahasa Indonesia akan menjadi kekuatan budaya bangsa kita di masa yang akan datang. Wallahua’lam bish shawab.

Yogyakarta, 30 April 2008

0 comments: