Sponsor Links

Tuesday, December 30, 2008

Refleksi Sosio Budaya Masyarakat Inggris dan Indonesia yang Terdapat dalam Man and Superman dan Jalan Menikung

The Reflection of sociological culture of the English and the Indonesian
in Man and Superman and Jalan Menikung
(A comparative study)


I. Latar belakang
Latar belakang sosial budaya akan sangat berpengaruh terhadap isi atau corak suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya yang dihasilkan di suatu negara akan memiliki perbedaan dengan karya sastra yang dihasilkan di negara lain. Perbedaan itu bisa disebabkan oleh adanya perbedaan adat istiadat, tingkat ekonomi maupun keadaan sosial budaya masyarakatnya. Seperti yang dinyatakan dalam tulisan Sapardi Djoko Damono (1979:1), yang menyatakan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan medium bahasa yang menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Sebagai suatu kenyataan sosial, kesusastraan mempunyai arti penting sebagai sarana untuk mengenalkan tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran suatu bangsa atau kelompok manusia (Achadiati Ikram, 1988). Pernyataan ini menegaskan keterkaitan yang erat antara karya sastra dengan kondisi masyarakatnya.
Selain latar belakang kebudayaan, perbedaan jaman juga akan mengakibatkan adanya perbedaan muatan karya sastra. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat jaman itu (Jan van Luxemburg, dkk., 1982: 23). Jika suatu jaman itu sedang bergolak mengenai masalah kemiskinan, maka banyak karya sastra yang berbicara tentang kemiskinan. Demikian juga dengan trend-trend yang lain, seperti masalah perjuangan wanita misalnya, maka karya sastra pun akan secara serempak bicara mengenai wanita. Sapardi Djoko Damono (1979: 19) menyatakan bahwa lakon adalah potret yang tepat dari tata cara dan tingkah laku orang-orang pada jaman naskah itu ditulis.
Tren-tren yang tergambar dalam karya sastra tersebut di atas secara tidak langsung akan mengekpresikan latar belakang budaya suatu negara. Karena itu bisa dikatakan suatu karya sastra bisa mencerminkan budaya asal karya sastra itu. Meskipun demikian, gambaran yang ada dalam karya sastra tersebut sangat tergantung pada latar belakang atau minat dari penulis karya sastra tersebut. Hal ini selaras dengan ungkapan Aristotles yang menyatakan bahwa sastrawan adalah seorang yang melakukan peniruan terhadap suatu kehidupan (Aristotle Poetic: 39). Seorang penulis yang berminat di bidang sosial ia akan banyak menulis tentang sosial, demikian juga bidang-bidang yang lain seperti politik, ekonomi, agama, gender dan lain sebagainya.
Mengingat keterkaitan yang begitu nyata antara karya sastra dengan kehidupan masyarakat, maka tugas ilmuan sastra adalah menelaah keterkaitan-keterkaitan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Swingwood (1972: iv) bahwa sosiologi sastra bertugas menghubungkan pengalaman karakter-karakter dan situasi-situasi penulis dengan iklim historis mereka. Dengan demikian akan ditemukan hubungan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat itu sendiri. Selain mampu memberikan pengaruh kepada masyarakat, karya sastra sangat dipengaruhi oleh isu-isu yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri.
Plato mengatakan bahwa kenyataan sosial yang tergambar dalam suatu karya sastra merupakan tiruan atau imitasi dari apa yang terjadi di masyarakatnya (via Damono, 1979:18). Inilah yang mempertegas keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakatnya. Tiruan tersebut memiliki tujuan tidak sekedar menggambarkan begitu saja, tetapi juga merupakan suatu cara untuk mengkritisi, mendukung atau dengan maksud mengenalkan pribadi suatu bangsa. Dalam hal sastra yang mengajarkan nilai-nilai kepada masyarakat, Renewellek dkk. (1995: ) menyatakan bahwa kegunaan karya sastra adalah berguna dan mendidik. Di tempat lain, kita juga mengenal adanya sastra propaganda, yaitu suatu karya sastra yang diciptakan untuk mempengaruhi sekaligus menuntut agar masyarakat mengikuti apa yang diajarkan di dalamnya. Di dalam penanaman nilai-nilai itu akan terjadi ketegangan-ketegangan, dan itulah ciri-ciri utama dalam novel politik (Howe, 1967 via Sapardi Djoko Damono: 51).
Karya sastra Jalan Menikung tulisan Umar Kayam dan Man and Superman karya George bernard Shaw peneliti anggap merefleksikan gagasan tersebut di atas. Kedua karya ini mewakili keadaan sosial politik masing-masing negara, karena keduanya merupakan karya sastra yang mengkritisi kebobrokan perilaku masyarakatnya. Drama Man and Sperman secara jelas menggambarkan sifat khas masyarakat Inggris yang terefleksikan melalui watak tokoh-tokohnya. Sifat dan tingkah laku masing-masing tokoh mencerminkan keangkuhan dan keegoisan individu dalam kehidupan masyarakat Inggris. Demikian juga yang ada dalam karya sastra Jalan Menikung, yang sedikit banyak menggambarkan ciri-ciri masyarakat Indonesia khususnya Jawa.
Karya drama Man and Superman merupakan karya yang sangat penting untuk dipahami, karena selain berisikan kritik sosial karya ini mencermikan gagasan politik penulisnya (Wajiran, 2005). George Bernard Shaw atau sering disebut GBS adalah seorang aktivis politik yang secara langsung berperan besar terhadap perubahan negara Inggris pada saat itu. Disamping karena dari segi isinya, Man and Superman sangat penting untuk dipahami karena penulisnya adalah pemenang hadiah Nobel pada tahun 1925. Hadiah Nobel adalah sebuah penganugrahan yang sangat prestisius. Karena itu, penulis yang mendapatkan hadiah ini adalah penulis yang dianggap paling berpengaruh terhadap perubahan dunia. Hal inilah yang memperkuat akan pentingnya menelaah karya-karya yang dihasilkan oleh GBS, terutama Man and Superman.
Tidak jauh berbeda dengan GBS, Umar Kayam merupakan seorang penulis terkenal di Indonesia. Ia terkenal sebagai seorang ilmuan yang memiliki multi talenta. Selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai ilmuan di bidang antropologi. Latar belakang ilmu sosial budaya yang dimiliki sangat berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Oleh karena itu juga bobot kritik sosial dalam karya-karyanya lebih mengena dibandingkan dengan penulis lain. Apa yang dilukiskan dalam karya sastranya berdasarkan pengamatan atau penelitian yang mendalam terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia. Meskipun tidak secara langsung terlibat dalam politik, sebagaimana halnya GBS, Umar Kayam lebih memilih “jalur hijau” dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Ia memperjuangkan ide-idenya melalui dunia pendidikan dan kebudayaan.
Berdasar dari kenyataan di atas, penelitian ini mencoba membandingkan muatan yang ada dalam kedua karya sastra tersebut. Perbandingan yang dimaksud adalah pada persoalan tatanan keluarga, hegemoni, dan kedudukan perempuan. Dengan perbandingan ini diharapkan peneliti dapat memahami perbedaan sosio budaya yang melatarbelakangi lahirnya masing-masing karya sastra tersebut. Disamping itu juga hal ini diharapkan dapat membuktikan bahwa perbedaan budaya akan melahirkan karya sastra yang berbeda pula.

II. Rumusan Masalah
Karya sastra Man and Superman memiliki tema yang hampir sama dengan apa yang ada pada Jalan Menikung. Dari urutan permasalahan yang dikemukakan keduanya nampak memiliki persamaan. Masalah utama yang dibahas dalam drama Man and Superman adalah persoalan anak perempuan, sedangkan dalam novel Jalan Menikung permasalahan utamanya adalah mengenai strata sosial. Namun demikian, keduanya jelas-jelas menyinggung mengenai persoalan anak perempuan. Hal inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk membahas persoalan yang ada dalam kedua karya sastra tersebut.
Meskipun keduanya tidak secara terang-terangan menunjukan persamaan yang tegas, keduanya menggambarkan kondisi sosial politik yang peneliti anggap mewakili budaya masing-masing negara asal karya sastra tersebut. Oleh karena itu melalui penelitian bandingan ini peneliti ingin mendeskripsikan beberapa persamaan mengenai tema yang ada dalam kedua karya sastra tersebut. Persamaan yang ada dalam kedua karya sastra itu, nampaknya bukan semata-mata pengaruh atau akibat intertektual. Tetapi lebih pada adanya common ground yang secara kebetulan kebudayaan yang melatarbelakangi kedua karya sastra ini memiliki sejarah sistem pemerintahan yang sama; yaitu sistem kerajaan.
Selain pemahaman akan adanya kesamaan dari konsep sosial yang melatari kedua karya sastra itu, peneliti juga ingin mengungkap beberapa perbedaan sosio budaya yang melatari lahirnya karya sastra tersebut. Dengan demikian keadaan sosio budaya pada saat karya sastra itu ditulis dapat diungkap melalui karya sastra ini.
Dengan menganalisis persamaan dan perbedaan yang ada dalam kedua karya sastra tersebut diharapkan akan dikaitkan dengan kontek sosio budaya masing-masing negara dimana kedua karya sastra tersebut diciptakan. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa latar belakang sosial budaya akan sangat berpengaruh terhadap corak suatu karya sastra.

***
1. Apakan persamaan antara Man and Superman dengan Jalan Menikung?
2. Bagaimana perbedaan keadaan sosial politik berpengaruh terhadap karya sastra yang ada dalam Man and Superman dan Jalan Menikung?
3. Bagaimana latar belakang keadaan sosial politik dari masing-masing karya sastra tersebut?
****

III. Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan dilakukannya penelitian ini; yaitu tujugan teoritis dan tujuan praktis. Ada kurang lebih tiga tujuan teoritis yang ingin diungkap dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Untuk menemukan adanya persamaan tema dalam Man and Superman dan Jalan Menikung.
2. Menemukan konsep sosial yang ada dalam kedua karya sastra tersebut
3. Menemukan perbedaan sosio-Budaya masyarakat Inggris dan Indonesia yang tercermin dalam kedua karya sastra tersebut.

Selain tujuan teoritis, ada juga tujuan praktis dari penelitian ini yang diantaranya adalah; Pertama, penelitian ini diharapkan akan memberikan suatu alternatif kajian terhadap suatu karya sastra menggunakan model komparatif atau bandingan. Untuk memberikan sumbangan pemikiran, bahwa karya sastra merupakan gambaran sesungguhnya dari masyarakat pendukung kebudayaan yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebut. Disamping itu penelitian ini juga menunjukan adanya keterkaitan yang erat antara karya sastra dengan latar belakang pengarangnya.

IV. Tinjauan Pustaka
Sebenarnya buku yang membicarakan mengenai karya Umar Kayam sudah sangat banyak, namun untuk buku atau hasil penelitian yang membicarakan mengenai karya-karya George Bernard Shaw masih sangat jarang di negeri ini. Salah satu hasil penelitian mengenai Man and Superman adalah hasil penelitian penulis sendiri mengenai konsep politik yang ada dalam drama tersebut. Penelitian itu masih sangat terbatas pemahamanya pada persoalan ekpresif, yaitu penelitian yang menekankan pada hubungan karya dengan penulisnya. Berdasar hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa drama Man and Superman merupakan representasi gagasan politik yang diperjuangkan penulis melalui karya sastranya.
Selain penelitian tersebut, hasil ulasan yang memfokuskan diri pada Man and Superman adalah sebuah uraian mengenai analisis tokoh-tokoh yang ada dalam drama tersebut. Analisis tersebut dilakukan oleh Wade Bradford. Ia menganalisis tokoh-tokoh dalam drama yang dikaitkan dengan karakteristik masyarakat Inggris. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa tokoh Ramsdem merupakan tokoh yang merepresentasikan kaum tua masyarakat Inggris. Dimana Inggris sebagai negara yang berbasis kerajaan, sangat mengagungkan atau patuh pada kaum tua. Kaum tua memiliki keistimewaan tersendiri sehingga segala keputusan hendaknya mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kaum tua.
Sedangkan untuk analisis Jalan Menikung dapat kita lihat pada sebuah hasil penelitian yang tidak diketahui penelitinya. Penelitian tersebut menekankan pada sebuah perbandingan antara konsep yang ditulis oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java dengan Para Priyayi dan Jalan Menikung. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tulisan Umar Kayam tersebut dapat melengkapi gagasan Clifford Geertz, dan juga menyanggah bagian-bagian tertentu mengenai struktur budaya masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa, yang sekaligus ilmuan budaya, Umar Kayam dianggap lebih mampu menggambarkan kebudayaan Jawa secara utuh melalui dua karyanya; terutama yang terdapat dalam Para Priyayi dan Jalan Menikung.
Dari penelitian tersebut dapat dipahami bahwa menurut Clifford Geertz, struktur masyarakat Jawa terbagi dalam tiga tingkatan; yaitu kaum priyayi, santri dan abangan. Dari ketiga level ini, masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri juga, yang paling penting adalah karakteristik mereka yang saling berbeda. Hal itu bukan hanya dapat dilihat dari tampilan fisik; rumah, pakaian kendaraan dan lain-lain, tetapi juga bahasa yang mereka gunakan. Dalam bahasa Jawa kita mengenal tiga tingkatan bahasa; yaitu kromo, madya dan ngoko. Nah, kelas sosial juga sangat menentukan bahasa yang harus digunakan dalam pergaulan. Kepada siapa mereka berbicara, itu harus menggunakan tingkatan yang berbeda-beda. Geertz menyatkan bahwa kelas sosial menentukan gaya bahasa dan dialek (Anonim).


V. Landasan Teori
a. Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra akan digunakan dalam memandang aspek-aspek sosiologis yang terdapat dalam kedua karya sastra ini. Hal ini dilakukan berdasar atas pertimbangan bahwa kandungan yang terdapat dalam kedua karya sastra tersebut lebih banyak menyinggung persoalan-persoalan kehidupan suatu masyarakat atau individu dalam masyarakat. Pendekatan sosiologi menekankan pada aspek-aspek sosiologis yang ada dalam suatu karya sastra baik dalam kaitannya dengan persoalan keluarga, ekonomi, politik (kekuasaan), aktualisasi diri dan lain sebagainya. Dalam kontek ini Sosiologi Marxisme akan menjadi landasan utama dalam memandang persoalan yang ada dalam karya sastra tersebut.
Laurenson (1972) menyatakan bahwa sosiologi sastra tidak jauh berbeda dengan sosiologi. Karena karya sastra juga memiliki keterkaitan dengan dunia sosial seseorang, adaptasinya dan keinginannya untuk merubah dunia sosial tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa novel sebagai bagian dari karya sastra juga merupakan usaha menciptakan kembali dunia sosial seseorang baik dengan keluarganya, politik, dan negara; yang bisa meliputi ketegangan-ketegangan antara kelompok-kelompok dan kelas sosial tertentu (Diana Laurenson dkk., 1972: 12). Berdasarkan pemahaman ini jelaslah bahwa karya sastra memang tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial budaya masyarakatnya.
Menurut Guljaev (1970) karya sastra merupakan hasil krativitas subjektif dan reflektif atas realita objektif (via Fokema, dkk., 1998). Karena seorang pengarang merupakan seorang pengamat sekaligus pengkhotbah. Atau dengan kata lain pengarang dianjurkan untuk melukiskan realita secara realistis dan membuat propaganda sosialis pada waktu yang bersamaan.
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat jaman tersebut (Jan van Luxemburg, dkk., 1982: 23). Lenin menyatakan bahwa sebuah karya sastra harus memiliki tiga syarat; 1. sastra harus mempunyai suaatu fungsi sosial; 2. sastra harus mengabdi kepada rakkyat banyak; 3. sastra harus merupakan suatu bagian di dalam kegiatan partai komunis. Dengan demikian sastra dijadikan suatu bagian di dalam mekanisme sosial-demokratik, yang digerakan oleh gugus depan segenap kelas kaum pekerja yang sadar akan politik. “Literature must become part of the organized, methodical, and unified labours of social-democratic party. (via Jan van Luxemburg, 1982, Peter Berry, 1995: 160).
Hubungan antara karya sastra dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Karena sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Sapardi Djoko Damono, 1979: 1). Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. (Renne Wellek, dkk., 1990; 109).
De Bonald menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. (literature is an expression of society) (via Renne Wellek, dkk., 1990; 110). Apa yang terjadi di dalam masyarakat akan terefleksikan dalam karya sastra itu sesuai dengan daya tangkap pengarang. Disinilah kedudukan pengarang sebagai bagian dari masyarakat memiliki peran penting dalam mengungkap persoalan-persoalan sosial itu. Karena pengarang pada dasarnya hanya mengekspresikan pengalaman dan pandangannya tentang kehidupan itu sendiri.
Renne Wellek, dkk., (1990: 112-112) menyebutkan bahwa secara deskriptif keterkaitan sastra dan masyarakat dapat dipilah sebagai berikut;
Pertama, adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra akan sangat berpengaruh terhadap corak karya sastra yang diciptakan. Kedua, adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.
Berdasar dari pemahaman di atas, sejarah hidup pengarang sangat penting untuk dipahami. Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan atau melalui tempat pengarang tinggal dan berasal. Kita dapat mengumpulkan informasi latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. (Renne Wellek, dkk., 1990; 112). Meskipun demikian tidak seluruhnya pengarang melakukan hal yang demikian. Shelley, Carlyle, dan Tolstoy merupakan contoh pengarang yang selama ini dianggap membelot dari kelas sosial mereka. Penulis-penulis ini justru menggambarkan sesuatu yang tidak berkaitan dengan latar sosial masyarakatnya.
Jika disususun secara sistematis, masalah asal, keterlibatan, dan ideologi sosial akan mengarah pada sosiologi pengarang sebagai tipe, atau sebagai suatu tipe pada waktu dan tempat tertentu. Kita dapat membedakan pengarang menurut kadar integrasi mereka dalam proses sosial. Pada karya-karya pop kadar ini tinggi, akan tetapi pada karya-karya yang beraliran bohemianisme, karya poete maudit, dan karya pengarang yang menekankan kebebasan berkreasi, kadar ini kecil, bahkan mungkin tercipta jarak sosial yang ekstrim. (Renne Wellek, dkk., 1990; 114).
Keterkaitan antara karya sastra dan masyarakat bukan hanya dari pengarang yang mendapat inspirasi dari kejadian sosial. Tetapi juga karya sastra bisa mempengaruhi kondisi sosial. Oleh karena itu karya sastra dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat. Dengan kata lain seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya (Renne Wellek, dkk., 1990; 120). Kondisi seperti inilah yang menjadikan kita menyadari bahwa karya sastra sangat penting sebagai media pembelajaran bagi masyarakat.
Dalam kaitannya dengan persoalan masyarakat Diana Louranson (1971: 14) menyatakan bahwa pengalaman pengarang sangat berpengaruh terhadap isi dari karya sastranya. Untuk itu pengalaman pengarang akan menjadi dasar dalam memahami masyarakat pada saat karya itu ditulis.
It is the task of the sociologist of literature to relate the experience of the writer’s imaginary characters and situations to the historical climate from which they derive.

Dalam ungkapan yang lebih lanjut Diana menyatakan bahwa struktur sosial merupakan bagian dari struktur karya sastra yang masing-masing memiliki peran yang hampir sama. Struktur dalam sastra berfungsi memperjelas pokok persoalan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dan semua itu tidak lepas dari bagaimana pengarang mencontoh apa yang terdapat dalam masyarakatnya. Dimana norma-norma dan nilai-nilai akan menjadi ukuran yang diolah sedemikian rupa sehingga karya sastra lahir sebagai suatu kritik terhadap persoalan sosial yang sesungguhnya ada.
For society is more than an ensemble of social institutions that make up social structure: it contains both norms, the standards of behavior which individuals come to accept as right ways of acting and judging, as well as values which are consciously formulated and which people strive to realize socially. Literature clearly reflects norms, attitudes to sex by the working class and middle class, ... (Diana Louranson, dkk., 1971: 15).

Selain meniru struktur sosial masyarakat, karya sastra juga merupakan representasi keinginan pengarang. Pengarang dengan segala pemikirannya mencoba mengkombinasikan sekaligus memberikan solusi-solusi terhadap persoalan masyarakat yang ada pada saat itu. Dengan cara seperti inilah pengarang mempengaruhi masyarakatnya, yaitu dengan cara mengkritik atau mendukung gagasan salah satu kelompok dalam masyarakatnya. Oleh karena itu pengarang sering menciptakan suatu struktur sosial yang bertentangan dengan struktur masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada karya Siti Nurbaya, dimana pengarang mencoba mengkritisi sistem kekeluargaan yang ada pada masyarakat Minangkabau. Itulah yang disebutkan oleh Diana Lourance dengan istilah penciptaan kembali dunia sosial.
Thus the novel, as the major literary genre of industrial society, can be seen as a faithful attempt to re-create the social world of man’s relation with his family, with politics, with the States; it delineates too his roles within the family and other institutions, the conflicts and tensions between groups and social classes. In the purely documentary sense, one can see the novel as dealing eight much the same social, economic, and political textures as sociology. (Diana Louranson, dkk., 1971: 12)

Dalam kaitannya dengan keterlibatan pengarang terutama dalam percaturan sosial, Howe menyatakan bahwa novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik. Karena kalau tidak demikian, karyanya akan mentah (via Sapardi Djoko Damono, 1979; 53). Karya sastra yang menggambarkan kondisi sosial atau politik itu oleh Max Adereth (1975) disebut sebagai sastra terlibat (Litterature engagee). Karena menurut Adereth antara karya sastra, pengarang dan ideologi politik tidak bisa dipisahkan.
Yang dimaksud dengan kondisi politik adalah segala persoalan hidup yang terjadi di komunitas masyarakat, terutama menyangkut ideologi dan moral. Adereth menyatakan bahwa krisis politik merupakan pernyataan yang terpenting diantara krisis yang ada di jaman ini. Semua konflik moral dan ideologi dalam suatu jaman mempunyai latar belakang politik. Tak ada satu segi perjuangan hidup kita, baik yang bersifat individual maupun sosial, yang tidak berbau politik. Bahkan ada benarnya kalau dikatakan bahwa pada jaman ini semua nasib manusia ditentukan oleh politik. (Sapardi Djoko Damono, 1979; 54)
Menurut Raymond William ada tujuh macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukan gagasan sosialnya ke dalam novel (karya sastra); (1). Mempropagandakanya lewat novel, (2). Menambahkan gagasan ke dalam novel, (3). Memperbantahkan gagasan dalam novel, (4). Menyodorkanya sebagai konvensi, (5) Memunculkan gagasan sebagai tokoh, (6). Melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi, dan (7). Menampilkannya sebagai superstruktur. (via Sapardi Djoko Damono, 1979; 57).


b. Sastra Banding
Sastra banding atau yang sering disebut dengan literary comparative merupakan usaha membandingkan dua karya sastra. Dalam perbandingan ini tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi juga aspek-aspek yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Sastra banding juga bisa menggunakan teori lain sebagai alat pembandingnya. Sapardi Djoko Damono (2005: 2) menyatakan bahwa sastra bandingan merupakan pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Tetapi teori apa pun dapat digunakan dalam penelitian sastra banding. Dalam beberapa tulisan, sastra bandingan juga disebut sebagai studi atau kajian. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 2)
Meskipun teori sastra tidak melahirkan karya tersendiri, teori bandingan masih menjadi perdebatan mengenai fokus penelitianya. Apakah penelitian bandingan bisa membandingkan sembarang karya sastra atau harus membandingankan dengan karya sastra di suatu negara dengan negara lain. Jika demikian lalu apakah yang harus menjadi titik tolak penelitian dalam sastra banding?
Menurut Remak (1990, 1) sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain, seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni binda dan seni musik), filsafat, sejarah, dan sains sosial (misal politik, ekonomi, sosiologi) agama, dll. Ringkasnya sastra bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 2).
Tidak jauh berbeda dengan pandangan di atas, Nada (1999: 9) menyatakan bahwa sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain. Bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya? apa yang telah diambil suatu karya sastra? Dan apa pula yang telah disumbangkanya? (Sapardi Djoko Damono, 2005: 4). Hal ini senada dengan pendapat De Zepetnek, (1998; 13) menyatakan :
In principle, the disipline of Comparative Literature is in toto a method in the study of literature in at least two way. First, comparative literatue means the knowledge of more than one national languge and literature, and/or it means the knowledge and application of other disciplines in and for the study of literture and second, comparative literature has an ideology of inclusion of the other, be that a marginal literature in its several meanings or marginality, a genre, various text types, etc. (via Muh. Arif Rakhman, 2007: 2).

Nada (1999) menambahkan bahwa yang merupakan hal penting bagi pengamat sastra itu adalah bahwa perbedaan bahasa merupakan salah satu syarat utama bagi sastra bandingan. Ia menegaskan bahwa kajian yang hanya menyangkut satu bahasa tidak dapat disebut sastra badingan; (via Sapardi Djoko Damono, 2005: 4). Karya sastra yang ditulis dalam bahasa yang sama dianggap memberikan ciri pemikiran yang sama dan umumnya pada bangsa-bangsa yang telah menghasilkannya karena adanya kesamaan dalam pola pikir dan cara hidup mereka dalam memandang masalah kehidupan. Oleh karena itu pada hakikatnya tidak ada perbedaan asasi pada karya-karya tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan antara sastra Inggris dan Amerika yang memiliki perbedaan baik kekayaan kosa kata, gaya bahasa dan pola pikirnya. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 5).
Sastra bandingan melampaui batas-batas bangsa dan negara untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kecenderungan dan gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan negara. Khususnya mengenai sastra Barat, Jan Brandt Cortius beranggapan bahwa dengan memandang objek kajian sastra-teks, genre, gerakan, kritik-dalam perspektif antarbangsa, sastra bandingan dapat memberikan sumbangan terhadap pengetahuan kita mengenai kesusastraan yang lebih luas. (via Sapardi Djoko Damono, 2005: 7).
Untuk mengakomodasi perbedaan persepsi di atas Clements menyebutkan ada lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian sastra bandingan;
1. tema/mitos
2. genre/bentuk
3. gerakan/jaman
4. hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan
5. pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus menerus bergulir.

Berbeda dengan Clements, Jost (1974:33) membagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang;
1. pengaruh dan analogi
2. gerakan dan kecenderungan,
3. genre dan bentuk, dan
4. motif, tipe, dan tema (via Sapardi Djoko Damono, 2005: 9).

Adanya pemilahan atau penentuan pokok-pokok masalah di atas mempertegas adanya kebebasan dalam membandingkan karya sastra dengan syarat adanya perbedaan bahasa. Atau dengan kata lain perbandingan itu haruslah membandingkan suatu karya sastra di suatu negara dengan negara lain. Hanya dengan cara seperti itulah wawasan kita tentang karya sastra akan semakin komprehensif disebabkan oleh muatan nilai-nilai yang ada dalam masing-masing karya sastra yang dibandingkan itu.

VI. Metode Penelitian
VI.1 Kategori Penelitian
Jika dilihat dari tekanan pokok persoalan dalam penelitian ini merupakan penelitian sastra komparatif (comparative Literature) dengan memadukan pendekatan lainnya yaitu pendekatan sosiologi dan ekpresif. Pendekatan yang menggunakan model sosiologi sastra menekankan pada hubungan karya sastra dengan latar belakang sosial politik karya sastra tersebut. Sedangkan pendekatan ekpresif menekankan pada pengaruh latar belakang pengarang terhadap isi yang ada dalam masing-masing karya sastra tersebut.
Sebagai suatu penelitian sastra banding, penelitian ini membandingkan dua karya sastra yang lahir dari negara yang berbeda dan dengan bahasa yang berbeda pula. Sebagaimana yang disebutkan dalam tulisan Sapardi Djoko Damono (2005; 2), yang menyatakan bahwa sastra bandingan haruslah membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan.
VII.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah sebuah tek drama berjudul Man and Superman dan sebuah novel Jalan Menikung. Man and Superman adalah sebuah drama komedi yang ditulis oleh George Bernard Shaw (GBS) pada tahun 1903. Penelitian ini akan mendasarkan pada tek drama tersebut yang ditulis kembali oleh John A. Bertolini yang diterbitkan pada tahun 2004 di cetak oleh Creative Media Inc. di Amerika Serikat. Oleh Bertolini buku tersebut diberi judul Man and Superman and Three other Plays, karena di dalamnya terdapat tiga tek drama lain, diantaranya; Mrs. Warren Profession, Candida dan The Devil’s Diciple .
Objek penelitian kedua adalah sebuah novel karya Umar Kayam yang berjudul Jalan Menikung. Novel ini diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 2002. Novel ini nampaknya mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat karena sudah mengalami cetak ulang empat kali yaitu pada cetakan pertama 1999, cetakan kedua pada Mei 2000, ketiga pada Juli 2001, dan cetakan keempat pada bulan Juli 2002. Pada versi terakhir inilah yang dijadikan objek dalam penelitian ini.

VIII.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dilakukan metode library research yaitu penelitian pustaka yang dilakukan dengan membaca buku-buku ataupun dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian. Setelah data terkumpul, penulis mengklasifikasi data tersebut sehingga memudahkan peneliti menyusun hasil penelitian tersebut dalam bentuk yang lebih mudah dipahami.

VII. Sistematika Penyajian
Penulisan tesis ini akan dilakukan dengan cara sebagai berikut;
Bab pertama akan dibahas mengenai latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.
Bab kedua, akan berbicara menganai konsep sosiologi sastra, kedudukan pengarang dalam karya sastra, sosiologi sastra Marxisme, dan perkembangan teori Marxisme.
Bab ke tiga, berbicara mengenai perbandingan kedua karya sastra Man and Superman dan Jalan Menikung. Perbandingan tema, penokohan, dan aspek-aspek sosial yang terdapat dalam kedua karya tersebut.
Bab keempat merupakan inti dari tujuan penelitian ini, yaitu mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dari drama Man and Superman dan Jalan Menikung, konsep sosial yang ada dalam drama Man and Superman dan juga Jalan Menikung, dan perbandingan sosio budaya masyarakat dari kedua karya sastra tersebut.
Bab kelima merupakan simpulan dan saran. Simpulan diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Karena dari hasil penelitian ini tentunya akan didapat beberapa poin penting yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya. Sedangkan saran dimaksudkan agar pembaca dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini.









DAFTAR PUSTAKA


Abram, M.H., 1981, The Mirror and The Lamp., London, Oxford University Press., London.
Bernard, Shaw, George, 2004, Man and Superman and Other Three Plays, (Introduced by John A. Bertolini), Barnes & Noble Classic, New York.
Berry, Peter, 1995, Begining Theory An Introduction to Literary and Cultural Theory, Manchester University Press, New York.
Bradford, Waded, Character analisys on Man and Superman, http://plays.about.com/od/monologues/a/superman Act04/_2.htm
Damono, Sapardi Djoko, 1975, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Else, Gerald F., 2003, Aristotle Poetic, Terjemahan oleh Sugiyanto, University of Michigan Press, New York.
Ikram, Achadiati, 1988, Bunga Rampai Bahasa, Sastra dan budaya, Intermasa, Jakarta.
Jost, Francois, 1974, Introducation to Comparative Literature, A Division of The Bobbs-Merrill Company, Inc., United States of America.
Kayam, Umar, 2002, Jalan Menikung Para Priyayi 2, Grafiti, Yogyakarta.
Laurenson, Diana, etc., 1972, The Sosiology of Literature, Granada Publishing, London.
Luxemburg, Jan, van, dkk., 1982, Inleiding in de Literatuurwetenschap, terjemahan, Dick Hartoko, Pengantar Ilmu Sastra, PT Gramedia, Jakarta.
Rachman, Arif, dkk., 2007, Politik Sastra Banding; Potret Abad 20 dan 21, Aditya Media, Yogyakarta.

0 comments: