Sponsor Links

Tuesday, December 30, 2008

Refleksi Sosio Budaya Masyarakat Inggris dan Indonesia yang Terdapat dalam Man and Superman dan Jalan Menikung

The Reflection of sociological culture of the English and the Indonesian
in Man and Superman and Jalan Menikung
(A comparative study)


I. Latar belakang
Latar belakang sosial budaya akan sangat berpengaruh terhadap isi atau corak suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya yang dihasilkan di suatu negara akan memiliki perbedaan dengan karya sastra yang dihasilkan di negara lain. Perbedaan itu bisa disebabkan oleh adanya perbedaan adat istiadat, tingkat ekonomi maupun keadaan sosial budaya masyarakatnya. Seperti yang dinyatakan dalam tulisan Sapardi Djoko Damono (1979:1), yang menyatakan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan medium bahasa yang menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Sebagai suatu kenyataan sosial, kesusastraan mempunyai arti penting sebagai sarana untuk mengenalkan tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran suatu bangsa atau kelompok manusia (Achadiati Ikram, 1988). Pernyataan ini menegaskan keterkaitan yang erat antara karya sastra dengan kondisi masyarakatnya.
Selain latar belakang kebudayaan, perbedaan jaman juga akan mengakibatkan adanya perbedaan muatan karya sastra. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat jaman itu (Jan van Luxemburg, dkk., 1982: 23). Jika suatu jaman itu sedang bergolak mengenai masalah kemiskinan, maka banyak karya sastra yang berbicara tentang kemiskinan. Demikian juga dengan trend-trend yang lain, seperti masalah perjuangan wanita misalnya, maka karya sastra pun akan secara serempak bicara mengenai wanita. Sapardi Djoko Damono (1979: 19) menyatakan bahwa lakon adalah potret yang tepat dari tata cara dan tingkah laku orang-orang pada jaman naskah itu ditulis.
Tren-tren yang tergambar dalam karya sastra tersebut di atas secara tidak langsung akan mengekpresikan latar belakang budaya suatu negara. Karena itu bisa dikatakan suatu karya sastra bisa mencerminkan budaya asal karya sastra itu. Meskipun demikian, gambaran yang ada dalam karya sastra tersebut sangat tergantung pada latar belakang atau minat dari penulis karya sastra tersebut. Hal ini selaras dengan ungkapan Aristotles yang menyatakan bahwa sastrawan adalah seorang yang melakukan peniruan terhadap suatu kehidupan (Aristotle Poetic: 39). Seorang penulis yang berminat di bidang sosial ia akan banyak menulis tentang sosial, demikian juga bidang-bidang yang lain seperti politik, ekonomi, agama, gender dan lain sebagainya.
Mengingat keterkaitan yang begitu nyata antara karya sastra dengan kehidupan masyarakat, maka tugas ilmuan sastra adalah menelaah keterkaitan-keterkaitan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Swingwood (1972: iv) bahwa sosiologi sastra bertugas menghubungkan pengalaman karakter-karakter dan situasi-situasi penulis dengan iklim historis mereka. Dengan demikian akan ditemukan hubungan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat itu sendiri. Selain mampu memberikan pengaruh kepada masyarakat, karya sastra sangat dipengaruhi oleh isu-isu yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri.
Plato mengatakan bahwa kenyataan sosial yang tergambar dalam suatu karya sastra merupakan tiruan atau imitasi dari apa yang terjadi di masyarakatnya (via Damono, 1979:18). Inilah yang mempertegas keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakatnya. Tiruan tersebut memiliki tujuan tidak sekedar menggambarkan begitu saja, tetapi juga merupakan suatu cara untuk mengkritisi, mendukung atau dengan maksud mengenalkan pribadi suatu bangsa. Dalam hal sastra yang mengajarkan nilai-nilai kepada masyarakat, Renewellek dkk. (1995: ) menyatakan bahwa kegunaan karya sastra adalah berguna dan mendidik. Di tempat lain, kita juga mengenal adanya sastra propaganda, yaitu suatu karya sastra yang diciptakan untuk mempengaruhi sekaligus menuntut agar masyarakat mengikuti apa yang diajarkan di dalamnya. Di dalam penanaman nilai-nilai itu akan terjadi ketegangan-ketegangan, dan itulah ciri-ciri utama dalam novel politik (Howe, 1967 via Sapardi Djoko Damono: 51).
Karya sastra Jalan Menikung tulisan Umar Kayam dan Man and Superman karya George bernard Shaw peneliti anggap merefleksikan gagasan tersebut di atas. Kedua karya ini mewakili keadaan sosial politik masing-masing negara, karena keduanya merupakan karya sastra yang mengkritisi kebobrokan perilaku masyarakatnya. Drama Man and Sperman secara jelas menggambarkan sifat khas masyarakat Inggris yang terefleksikan melalui watak tokoh-tokohnya. Sifat dan tingkah laku masing-masing tokoh mencerminkan keangkuhan dan keegoisan individu dalam kehidupan masyarakat Inggris. Demikian juga yang ada dalam karya sastra Jalan Menikung, yang sedikit banyak menggambarkan ciri-ciri masyarakat Indonesia khususnya Jawa.
Karya drama Man and Superman merupakan karya yang sangat penting untuk dipahami, karena selain berisikan kritik sosial karya ini mencermikan gagasan politik penulisnya (Wajiran, 2005). George Bernard Shaw atau sering disebut GBS adalah seorang aktivis politik yang secara langsung berperan besar terhadap perubahan negara Inggris pada saat itu. Disamping karena dari segi isinya, Man and Superman sangat penting untuk dipahami karena penulisnya adalah pemenang hadiah Nobel pada tahun 1925. Hadiah Nobel adalah sebuah penganugrahan yang sangat prestisius. Karena itu, penulis yang mendapatkan hadiah ini adalah penulis yang dianggap paling berpengaruh terhadap perubahan dunia. Hal inilah yang memperkuat akan pentingnya menelaah karya-karya yang dihasilkan oleh GBS, terutama Man and Superman.
Tidak jauh berbeda dengan GBS, Umar Kayam merupakan seorang penulis terkenal di Indonesia. Ia terkenal sebagai seorang ilmuan yang memiliki multi talenta. Selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai ilmuan di bidang antropologi. Latar belakang ilmu sosial budaya yang dimiliki sangat berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Oleh karena itu juga bobot kritik sosial dalam karya-karyanya lebih mengena dibandingkan dengan penulis lain. Apa yang dilukiskan dalam karya sastranya berdasarkan pengamatan atau penelitian yang mendalam terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia. Meskipun tidak secara langsung terlibat dalam politik, sebagaimana halnya GBS, Umar Kayam lebih memilih “jalur hijau” dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Ia memperjuangkan ide-idenya melalui dunia pendidikan dan kebudayaan.
Berdasar dari kenyataan di atas, penelitian ini mencoba membandingkan muatan yang ada dalam kedua karya sastra tersebut. Perbandingan yang dimaksud adalah pada persoalan tatanan keluarga, hegemoni, dan kedudukan perempuan. Dengan perbandingan ini diharapkan peneliti dapat memahami perbedaan sosio budaya yang melatarbelakangi lahirnya masing-masing karya sastra tersebut. Disamping itu juga hal ini diharapkan dapat membuktikan bahwa perbedaan budaya akan melahirkan karya sastra yang berbeda pula.

II. Rumusan Masalah
Karya sastra Man and Superman memiliki tema yang hampir sama dengan apa yang ada pada Jalan Menikung. Dari urutan permasalahan yang dikemukakan keduanya nampak memiliki persamaan. Masalah utama yang dibahas dalam drama Man and Superman adalah persoalan anak perempuan, sedangkan dalam novel Jalan Menikung permasalahan utamanya adalah mengenai strata sosial. Namun demikian, keduanya jelas-jelas menyinggung mengenai persoalan anak perempuan. Hal inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk membahas persoalan yang ada dalam kedua karya sastra tersebut.
Meskipun keduanya tidak secara terang-terangan menunjukan persamaan yang tegas, keduanya menggambarkan kondisi sosial politik yang peneliti anggap mewakili budaya masing-masing negara asal karya sastra tersebut. Oleh karena itu melalui penelitian bandingan ini peneliti ingin mendeskripsikan beberapa persamaan mengenai tema yang ada dalam kedua karya sastra tersebut. Persamaan yang ada dalam kedua karya sastra itu, nampaknya bukan semata-mata pengaruh atau akibat intertektual. Tetapi lebih pada adanya common ground yang secara kebetulan kebudayaan yang melatarbelakangi kedua karya sastra ini memiliki sejarah sistem pemerintahan yang sama; yaitu sistem kerajaan.
Selain pemahaman akan adanya kesamaan dari konsep sosial yang melatari kedua karya sastra itu, peneliti juga ingin mengungkap beberapa perbedaan sosio budaya yang melatari lahirnya karya sastra tersebut. Dengan demikian keadaan sosio budaya pada saat karya sastra itu ditulis dapat diungkap melalui karya sastra ini.
Dengan menganalisis persamaan dan perbedaan yang ada dalam kedua karya sastra tersebut diharapkan akan dikaitkan dengan kontek sosio budaya masing-masing negara dimana kedua karya sastra tersebut diciptakan. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa latar belakang sosial budaya akan sangat berpengaruh terhadap corak suatu karya sastra.

***
1. Apakan persamaan antara Man and Superman dengan Jalan Menikung?
2. Bagaimana perbedaan keadaan sosial politik berpengaruh terhadap karya sastra yang ada dalam Man and Superman dan Jalan Menikung?
3. Bagaimana latar belakang keadaan sosial politik dari masing-masing karya sastra tersebut?
****

III. Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan dilakukannya penelitian ini; yaitu tujugan teoritis dan tujuan praktis. Ada kurang lebih tiga tujuan teoritis yang ingin diungkap dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Untuk menemukan adanya persamaan tema dalam Man and Superman dan Jalan Menikung.
2. Menemukan konsep sosial yang ada dalam kedua karya sastra tersebut
3. Menemukan perbedaan sosio-Budaya masyarakat Inggris dan Indonesia yang tercermin dalam kedua karya sastra tersebut.

Selain tujuan teoritis, ada juga tujuan praktis dari penelitian ini yang diantaranya adalah; Pertama, penelitian ini diharapkan akan memberikan suatu alternatif kajian terhadap suatu karya sastra menggunakan model komparatif atau bandingan. Untuk memberikan sumbangan pemikiran, bahwa karya sastra merupakan gambaran sesungguhnya dari masyarakat pendukung kebudayaan yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebut. Disamping itu penelitian ini juga menunjukan adanya keterkaitan yang erat antara karya sastra dengan latar belakang pengarangnya.

IV. Tinjauan Pustaka
Sebenarnya buku yang membicarakan mengenai karya Umar Kayam sudah sangat banyak, namun untuk buku atau hasil penelitian yang membicarakan mengenai karya-karya George Bernard Shaw masih sangat jarang di negeri ini. Salah satu hasil penelitian mengenai Man and Superman adalah hasil penelitian penulis sendiri mengenai konsep politik yang ada dalam drama tersebut. Penelitian itu masih sangat terbatas pemahamanya pada persoalan ekpresif, yaitu penelitian yang menekankan pada hubungan karya dengan penulisnya. Berdasar hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa drama Man and Superman merupakan representasi gagasan politik yang diperjuangkan penulis melalui karya sastranya.
Selain penelitian tersebut, hasil ulasan yang memfokuskan diri pada Man and Superman adalah sebuah uraian mengenai analisis tokoh-tokoh yang ada dalam drama tersebut. Analisis tersebut dilakukan oleh Wade Bradford. Ia menganalisis tokoh-tokoh dalam drama yang dikaitkan dengan karakteristik masyarakat Inggris. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa tokoh Ramsdem merupakan tokoh yang merepresentasikan kaum tua masyarakat Inggris. Dimana Inggris sebagai negara yang berbasis kerajaan, sangat mengagungkan atau patuh pada kaum tua. Kaum tua memiliki keistimewaan tersendiri sehingga segala keputusan hendaknya mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kaum tua.
Sedangkan untuk analisis Jalan Menikung dapat kita lihat pada sebuah hasil penelitian yang tidak diketahui penelitinya. Penelitian tersebut menekankan pada sebuah perbandingan antara konsep yang ditulis oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java dengan Para Priyayi dan Jalan Menikung. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tulisan Umar Kayam tersebut dapat melengkapi gagasan Clifford Geertz, dan juga menyanggah bagian-bagian tertentu mengenai struktur budaya masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa, yang sekaligus ilmuan budaya, Umar Kayam dianggap lebih mampu menggambarkan kebudayaan Jawa secara utuh melalui dua karyanya; terutama yang terdapat dalam Para Priyayi dan Jalan Menikung.
Dari penelitian tersebut dapat dipahami bahwa menurut Clifford Geertz, struktur masyarakat Jawa terbagi dalam tiga tingkatan; yaitu kaum priyayi, santri dan abangan. Dari ketiga level ini, masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri juga, yang paling penting adalah karakteristik mereka yang saling berbeda. Hal itu bukan hanya dapat dilihat dari tampilan fisik; rumah, pakaian kendaraan dan lain-lain, tetapi juga bahasa yang mereka gunakan. Dalam bahasa Jawa kita mengenal tiga tingkatan bahasa; yaitu kromo, madya dan ngoko. Nah, kelas sosial juga sangat menentukan bahasa yang harus digunakan dalam pergaulan. Kepada siapa mereka berbicara, itu harus menggunakan tingkatan yang berbeda-beda. Geertz menyatkan bahwa kelas sosial menentukan gaya bahasa dan dialek (Anonim).


V. Landasan Teori
a. Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra akan digunakan dalam memandang aspek-aspek sosiologis yang terdapat dalam kedua karya sastra ini. Hal ini dilakukan berdasar atas pertimbangan bahwa kandungan yang terdapat dalam kedua karya sastra tersebut lebih banyak menyinggung persoalan-persoalan kehidupan suatu masyarakat atau individu dalam masyarakat. Pendekatan sosiologi menekankan pada aspek-aspek sosiologis yang ada dalam suatu karya sastra baik dalam kaitannya dengan persoalan keluarga, ekonomi, politik (kekuasaan), aktualisasi diri dan lain sebagainya. Dalam kontek ini Sosiologi Marxisme akan menjadi landasan utama dalam memandang persoalan yang ada dalam karya sastra tersebut.
Laurenson (1972) menyatakan bahwa sosiologi sastra tidak jauh berbeda dengan sosiologi. Karena karya sastra juga memiliki keterkaitan dengan dunia sosial seseorang, adaptasinya dan keinginannya untuk merubah dunia sosial tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa novel sebagai bagian dari karya sastra juga merupakan usaha menciptakan kembali dunia sosial seseorang baik dengan keluarganya, politik, dan negara; yang bisa meliputi ketegangan-ketegangan antara kelompok-kelompok dan kelas sosial tertentu (Diana Laurenson dkk., 1972: 12). Berdasarkan pemahaman ini jelaslah bahwa karya sastra memang tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial budaya masyarakatnya.
Menurut Guljaev (1970) karya sastra merupakan hasil krativitas subjektif dan reflektif atas realita objektif (via Fokema, dkk., 1998). Karena seorang pengarang merupakan seorang pengamat sekaligus pengkhotbah. Atau dengan kata lain pengarang dianjurkan untuk melukiskan realita secara realistis dan membuat propaganda sosialis pada waktu yang bersamaan.
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat jaman tersebut (Jan van Luxemburg, dkk., 1982: 23). Lenin menyatakan bahwa sebuah karya sastra harus memiliki tiga syarat; 1. sastra harus mempunyai suaatu fungsi sosial; 2. sastra harus mengabdi kepada rakkyat banyak; 3. sastra harus merupakan suatu bagian di dalam kegiatan partai komunis. Dengan demikian sastra dijadikan suatu bagian di dalam mekanisme sosial-demokratik, yang digerakan oleh gugus depan segenap kelas kaum pekerja yang sadar akan politik. “Literature must become part of the organized, methodical, and unified labours of social-democratic party. (via Jan van Luxemburg, 1982, Peter Berry, 1995: 160).
Hubungan antara karya sastra dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Karena sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Sapardi Djoko Damono, 1979: 1). Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. (Renne Wellek, dkk., 1990; 109).
De Bonald menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. (literature is an expression of society) (via Renne Wellek, dkk., 1990; 110). Apa yang terjadi di dalam masyarakat akan terefleksikan dalam karya sastra itu sesuai dengan daya tangkap pengarang. Disinilah kedudukan pengarang sebagai bagian dari masyarakat memiliki peran penting dalam mengungkap persoalan-persoalan sosial itu. Karena pengarang pada dasarnya hanya mengekspresikan pengalaman dan pandangannya tentang kehidupan itu sendiri.
Renne Wellek, dkk., (1990: 112-112) menyebutkan bahwa secara deskriptif keterkaitan sastra dan masyarakat dapat dipilah sebagai berikut;
Pertama, adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra akan sangat berpengaruh terhadap corak karya sastra yang diciptakan. Kedua, adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.
Berdasar dari pemahaman di atas, sejarah hidup pengarang sangat penting untuk dipahami. Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan atau melalui tempat pengarang tinggal dan berasal. Kita dapat mengumpulkan informasi latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. (Renne Wellek, dkk., 1990; 112). Meskipun demikian tidak seluruhnya pengarang melakukan hal yang demikian. Shelley, Carlyle, dan Tolstoy merupakan contoh pengarang yang selama ini dianggap membelot dari kelas sosial mereka. Penulis-penulis ini justru menggambarkan sesuatu yang tidak berkaitan dengan latar sosial masyarakatnya.
Jika disususun secara sistematis, masalah asal, keterlibatan, dan ideologi sosial akan mengarah pada sosiologi pengarang sebagai tipe, atau sebagai suatu tipe pada waktu dan tempat tertentu. Kita dapat membedakan pengarang menurut kadar integrasi mereka dalam proses sosial. Pada karya-karya pop kadar ini tinggi, akan tetapi pada karya-karya yang beraliran bohemianisme, karya poete maudit, dan karya pengarang yang menekankan kebebasan berkreasi, kadar ini kecil, bahkan mungkin tercipta jarak sosial yang ekstrim. (Renne Wellek, dkk., 1990; 114).
Keterkaitan antara karya sastra dan masyarakat bukan hanya dari pengarang yang mendapat inspirasi dari kejadian sosial. Tetapi juga karya sastra bisa mempengaruhi kondisi sosial. Oleh karena itu karya sastra dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat. Dengan kata lain seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya (Renne Wellek, dkk., 1990; 120). Kondisi seperti inilah yang menjadikan kita menyadari bahwa karya sastra sangat penting sebagai media pembelajaran bagi masyarakat.
Dalam kaitannya dengan persoalan masyarakat Diana Louranson (1971: 14) menyatakan bahwa pengalaman pengarang sangat berpengaruh terhadap isi dari karya sastranya. Untuk itu pengalaman pengarang akan menjadi dasar dalam memahami masyarakat pada saat karya itu ditulis.
It is the task of the sociologist of literature to relate the experience of the writer’s imaginary characters and situations to the historical climate from which they derive.

Dalam ungkapan yang lebih lanjut Diana menyatakan bahwa struktur sosial merupakan bagian dari struktur karya sastra yang masing-masing memiliki peran yang hampir sama. Struktur dalam sastra berfungsi memperjelas pokok persoalan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dan semua itu tidak lepas dari bagaimana pengarang mencontoh apa yang terdapat dalam masyarakatnya. Dimana norma-norma dan nilai-nilai akan menjadi ukuran yang diolah sedemikian rupa sehingga karya sastra lahir sebagai suatu kritik terhadap persoalan sosial yang sesungguhnya ada.
For society is more than an ensemble of social institutions that make up social structure: it contains both norms, the standards of behavior which individuals come to accept as right ways of acting and judging, as well as values which are consciously formulated and which people strive to realize socially. Literature clearly reflects norms, attitudes to sex by the working class and middle class, ... (Diana Louranson, dkk., 1971: 15).

Selain meniru struktur sosial masyarakat, karya sastra juga merupakan representasi keinginan pengarang. Pengarang dengan segala pemikirannya mencoba mengkombinasikan sekaligus memberikan solusi-solusi terhadap persoalan masyarakat yang ada pada saat itu. Dengan cara seperti inilah pengarang mempengaruhi masyarakatnya, yaitu dengan cara mengkritik atau mendukung gagasan salah satu kelompok dalam masyarakatnya. Oleh karena itu pengarang sering menciptakan suatu struktur sosial yang bertentangan dengan struktur masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada karya Siti Nurbaya, dimana pengarang mencoba mengkritisi sistem kekeluargaan yang ada pada masyarakat Minangkabau. Itulah yang disebutkan oleh Diana Lourance dengan istilah penciptaan kembali dunia sosial.
Thus the novel, as the major literary genre of industrial society, can be seen as a faithful attempt to re-create the social world of man’s relation with his family, with politics, with the States; it delineates too his roles within the family and other institutions, the conflicts and tensions between groups and social classes. In the purely documentary sense, one can see the novel as dealing eight much the same social, economic, and political textures as sociology. (Diana Louranson, dkk., 1971: 12)

Dalam kaitannya dengan keterlibatan pengarang terutama dalam percaturan sosial, Howe menyatakan bahwa novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik. Karena kalau tidak demikian, karyanya akan mentah (via Sapardi Djoko Damono, 1979; 53). Karya sastra yang menggambarkan kondisi sosial atau politik itu oleh Max Adereth (1975) disebut sebagai sastra terlibat (Litterature engagee). Karena menurut Adereth antara karya sastra, pengarang dan ideologi politik tidak bisa dipisahkan.
Yang dimaksud dengan kondisi politik adalah segala persoalan hidup yang terjadi di komunitas masyarakat, terutama menyangkut ideologi dan moral. Adereth menyatakan bahwa krisis politik merupakan pernyataan yang terpenting diantara krisis yang ada di jaman ini. Semua konflik moral dan ideologi dalam suatu jaman mempunyai latar belakang politik. Tak ada satu segi perjuangan hidup kita, baik yang bersifat individual maupun sosial, yang tidak berbau politik. Bahkan ada benarnya kalau dikatakan bahwa pada jaman ini semua nasib manusia ditentukan oleh politik. (Sapardi Djoko Damono, 1979; 54)
Menurut Raymond William ada tujuh macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukan gagasan sosialnya ke dalam novel (karya sastra); (1). Mempropagandakanya lewat novel, (2). Menambahkan gagasan ke dalam novel, (3). Memperbantahkan gagasan dalam novel, (4). Menyodorkanya sebagai konvensi, (5) Memunculkan gagasan sebagai tokoh, (6). Melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi, dan (7). Menampilkannya sebagai superstruktur. (via Sapardi Djoko Damono, 1979; 57).


b. Sastra Banding
Sastra banding atau yang sering disebut dengan literary comparative merupakan usaha membandingkan dua karya sastra. Dalam perbandingan ini tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi juga aspek-aspek yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Sastra banding juga bisa menggunakan teori lain sebagai alat pembandingnya. Sapardi Djoko Damono (2005: 2) menyatakan bahwa sastra bandingan merupakan pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Tetapi teori apa pun dapat digunakan dalam penelitian sastra banding. Dalam beberapa tulisan, sastra bandingan juga disebut sebagai studi atau kajian. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 2)
Meskipun teori sastra tidak melahirkan karya tersendiri, teori bandingan masih menjadi perdebatan mengenai fokus penelitianya. Apakah penelitian bandingan bisa membandingkan sembarang karya sastra atau harus membandingankan dengan karya sastra di suatu negara dengan negara lain. Jika demikian lalu apakah yang harus menjadi titik tolak penelitian dalam sastra banding?
Menurut Remak (1990, 1) sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain, seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni binda dan seni musik), filsafat, sejarah, dan sains sosial (misal politik, ekonomi, sosiologi) agama, dll. Ringkasnya sastra bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 2).
Tidak jauh berbeda dengan pandangan di atas, Nada (1999: 9) menyatakan bahwa sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain. Bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya? apa yang telah diambil suatu karya sastra? Dan apa pula yang telah disumbangkanya? (Sapardi Djoko Damono, 2005: 4). Hal ini senada dengan pendapat De Zepetnek, (1998; 13) menyatakan :
In principle, the disipline of Comparative Literature is in toto a method in the study of literature in at least two way. First, comparative literatue means the knowledge of more than one national languge and literature, and/or it means the knowledge and application of other disciplines in and for the study of literture and second, comparative literature has an ideology of inclusion of the other, be that a marginal literature in its several meanings or marginality, a genre, various text types, etc. (via Muh. Arif Rakhman, 2007: 2).

Nada (1999) menambahkan bahwa yang merupakan hal penting bagi pengamat sastra itu adalah bahwa perbedaan bahasa merupakan salah satu syarat utama bagi sastra bandingan. Ia menegaskan bahwa kajian yang hanya menyangkut satu bahasa tidak dapat disebut sastra badingan; (via Sapardi Djoko Damono, 2005: 4). Karya sastra yang ditulis dalam bahasa yang sama dianggap memberikan ciri pemikiran yang sama dan umumnya pada bangsa-bangsa yang telah menghasilkannya karena adanya kesamaan dalam pola pikir dan cara hidup mereka dalam memandang masalah kehidupan. Oleh karena itu pada hakikatnya tidak ada perbedaan asasi pada karya-karya tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan antara sastra Inggris dan Amerika yang memiliki perbedaan baik kekayaan kosa kata, gaya bahasa dan pola pikirnya. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 5).
Sastra bandingan melampaui batas-batas bangsa dan negara untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kecenderungan dan gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan negara. Khususnya mengenai sastra Barat, Jan Brandt Cortius beranggapan bahwa dengan memandang objek kajian sastra-teks, genre, gerakan, kritik-dalam perspektif antarbangsa, sastra bandingan dapat memberikan sumbangan terhadap pengetahuan kita mengenai kesusastraan yang lebih luas. (via Sapardi Djoko Damono, 2005: 7).
Untuk mengakomodasi perbedaan persepsi di atas Clements menyebutkan ada lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian sastra bandingan;
1. tema/mitos
2. genre/bentuk
3. gerakan/jaman
4. hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan
5. pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus menerus bergulir.

Berbeda dengan Clements, Jost (1974:33) membagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang;
1. pengaruh dan analogi
2. gerakan dan kecenderungan,
3. genre dan bentuk, dan
4. motif, tipe, dan tema (via Sapardi Djoko Damono, 2005: 9).

Adanya pemilahan atau penentuan pokok-pokok masalah di atas mempertegas adanya kebebasan dalam membandingkan karya sastra dengan syarat adanya perbedaan bahasa. Atau dengan kata lain perbandingan itu haruslah membandingkan suatu karya sastra di suatu negara dengan negara lain. Hanya dengan cara seperti itulah wawasan kita tentang karya sastra akan semakin komprehensif disebabkan oleh muatan nilai-nilai yang ada dalam masing-masing karya sastra yang dibandingkan itu.

VI. Metode Penelitian
VI.1 Kategori Penelitian
Jika dilihat dari tekanan pokok persoalan dalam penelitian ini merupakan penelitian sastra komparatif (comparative Literature) dengan memadukan pendekatan lainnya yaitu pendekatan sosiologi dan ekpresif. Pendekatan yang menggunakan model sosiologi sastra menekankan pada hubungan karya sastra dengan latar belakang sosial politik karya sastra tersebut. Sedangkan pendekatan ekpresif menekankan pada pengaruh latar belakang pengarang terhadap isi yang ada dalam masing-masing karya sastra tersebut.
Sebagai suatu penelitian sastra banding, penelitian ini membandingkan dua karya sastra yang lahir dari negara yang berbeda dan dengan bahasa yang berbeda pula. Sebagaimana yang disebutkan dalam tulisan Sapardi Djoko Damono (2005; 2), yang menyatakan bahwa sastra bandingan haruslah membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan.
VII.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah sebuah tek drama berjudul Man and Superman dan sebuah novel Jalan Menikung. Man and Superman adalah sebuah drama komedi yang ditulis oleh George Bernard Shaw (GBS) pada tahun 1903. Penelitian ini akan mendasarkan pada tek drama tersebut yang ditulis kembali oleh John A. Bertolini yang diterbitkan pada tahun 2004 di cetak oleh Creative Media Inc. di Amerika Serikat. Oleh Bertolini buku tersebut diberi judul Man and Superman and Three other Plays, karena di dalamnya terdapat tiga tek drama lain, diantaranya; Mrs. Warren Profession, Candida dan The Devil’s Diciple .
Objek penelitian kedua adalah sebuah novel karya Umar Kayam yang berjudul Jalan Menikung. Novel ini diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 2002. Novel ini nampaknya mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat karena sudah mengalami cetak ulang empat kali yaitu pada cetakan pertama 1999, cetakan kedua pada Mei 2000, ketiga pada Juli 2001, dan cetakan keempat pada bulan Juli 2002. Pada versi terakhir inilah yang dijadikan objek dalam penelitian ini.

VIII.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dilakukan metode library research yaitu penelitian pustaka yang dilakukan dengan membaca buku-buku ataupun dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian. Setelah data terkumpul, penulis mengklasifikasi data tersebut sehingga memudahkan peneliti menyusun hasil penelitian tersebut dalam bentuk yang lebih mudah dipahami.

VII. Sistematika Penyajian
Penulisan tesis ini akan dilakukan dengan cara sebagai berikut;
Bab pertama akan dibahas mengenai latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.
Bab kedua, akan berbicara menganai konsep sosiologi sastra, kedudukan pengarang dalam karya sastra, sosiologi sastra Marxisme, dan perkembangan teori Marxisme.
Bab ke tiga, berbicara mengenai perbandingan kedua karya sastra Man and Superman dan Jalan Menikung. Perbandingan tema, penokohan, dan aspek-aspek sosial yang terdapat dalam kedua karya tersebut.
Bab keempat merupakan inti dari tujuan penelitian ini, yaitu mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dari drama Man and Superman dan Jalan Menikung, konsep sosial yang ada dalam drama Man and Superman dan juga Jalan Menikung, dan perbandingan sosio budaya masyarakat dari kedua karya sastra tersebut.
Bab kelima merupakan simpulan dan saran. Simpulan diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Karena dari hasil penelitian ini tentunya akan didapat beberapa poin penting yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya. Sedangkan saran dimaksudkan agar pembaca dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini.









DAFTAR PUSTAKA


Abram, M.H., 1981, The Mirror and The Lamp., London, Oxford University Press., London.
Bernard, Shaw, George, 2004, Man and Superman and Other Three Plays, (Introduced by John A. Bertolini), Barnes & Noble Classic, New York.
Berry, Peter, 1995, Begining Theory An Introduction to Literary and Cultural Theory, Manchester University Press, New York.
Bradford, Waded, Character analisys on Man and Superman, http://plays.about.com/od/monologues/a/superman Act04/_2.htm
Damono, Sapardi Djoko, 1975, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Else, Gerald F., 2003, Aristotle Poetic, Terjemahan oleh Sugiyanto, University of Michigan Press, New York.
Ikram, Achadiati, 1988, Bunga Rampai Bahasa, Sastra dan budaya, Intermasa, Jakarta.
Jost, Francois, 1974, Introducation to Comparative Literature, A Division of The Bobbs-Merrill Company, Inc., United States of America.
Kayam, Umar, 2002, Jalan Menikung Para Priyayi 2, Grafiti, Yogyakarta.
Laurenson, Diana, etc., 1972, The Sosiology of Literature, Granada Publishing, London.
Luxemburg, Jan, van, dkk., 1982, Inleiding in de Literatuurwetenschap, terjemahan, Dick Hartoko, Pengantar Ilmu Sastra, PT Gramedia, Jakarta.
Rachman, Arif, dkk., 2007, Politik Sastra Banding; Potret Abad 20 dan 21, Aditya Media, Yogyakarta.

SASTRA BANDING

STUDI KOMPARATIF

Sastra banding atau yang sering disebut dengan literary comparative merupakan usaha membandingkan dua karya sastra. Dalam perbandingan ini tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi juga aspek-aspek yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Bahkan sastra banding juga bisa menggunakan teori lain sebagai alat pembandingnya. Sapardi Djoko Damono (2005: 2) menyatakan bahwa sastra bandingan meruakan pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Dalam arti bahwa teori apa pun dapat digunakan dalam penelitian sastra banding.

Dalam beberapa tulisan, sasta bandingan juga disebut sebagai studi atau kajian. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 2)

Menurut Remak (1990, 1) sastra bandingan adalah kajian sastra di luar baas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni (misalnya, seni lukis, seni uir, seni binda dan seni musik), filsasfat, sejarah, dan sains sosial (misal politik, ekonomi, sosiologi) sain, agama, dll. Ringkasnya sastra bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 2).

Menurut Nada (1999,9), sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu banggsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, apa yan telah diambil sautu sastra, dan apa pua yan telahdisumbangkanya. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 4).

Nada menyebutkan bahwa yan merupaan hal penting bagi pengamat sastra itu adalahbahwa perbedaan bahasa merupakan salah satu syarat utama bagi sastra bandingan. Menurutnya, kajianyang hanya menyangku satu bahasa tidak dapat disebu sastra badngingan; (Sapardi Djoko Damono, 2005: 4).

Nada beranggapan bahwa karya sastra yang ditulis dalam bahsa yang sama memberikan ciri pemikiran yang sama dan umumnya pada bangsa-bangsa yang telah menghsilkannya karena adanya kesamaan dalam pola pikir dan cara hidup mereka dalam memandang masalah kehidupan, oleh karena itu pada hakikatnya tidak ada perbedaan asasi antara karya-karya tersebut. Tetapi di sisi lain ia juga mempercayai adanya perbedaan antara sastra Inggris dan Amerika yang memiliki perbedaan baik kekayaan kosa kata, gaya bahasa dan pola pikirnya. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 5).

Sastra bandingan melampaui batas-batas bangsa dan negara untuk mendapatkan ppemahaman ang lebih baik tentang kecenderungan dan gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan negara. Khususnya mengenai sastra barat, Jan Brandt Cortius beranggapan bahwa dengan memandang objek kajian sastra-teks, genre, gerakan, kritik-dalam perspektif antarbangsa sastra bandingan dapat memberikan sumbangan terhadap pengetahuan kita mengenai kesusastraan. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 7).

Menurut Clements ada lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian sastra bandingan;
1. tema/mitos
2. genre/bentuk
3. gerakan/jaman
4. hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan
5. pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus menerus berguir. (Sapardi Djoko Damono, 2005: 7-8).

Berbeda dengan Clements, Jost (1974:33) membagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang;
1. pengaruh dan analogi
2. gerakan dan kecenderungan,
3. genre dan bentuk, dan
4. motif, tipe, dan tema (Sapardi Djoko Damono, 2005: 9).


De Zepetnek, (1998; 13) menyatakan
In principle, the disipline of Comparative Literature is in toto a method in the study of literatue in at least two way. First, comparative literatue means th knowledge of more than one national languge and literture, and/or it means the knowledge and applicatiion of other disciplines in and for the study of literture and second, comparative literature has an ideology of inclusio of the other, be that a marginal literture in its several meanings or marginality, a genre, various text types, etc. (via Muh. Arif Rakhman, 2007: 2).

Wednesday, July 30, 2008

Nasionalisme Budaya

Oleh
Wajiran, S.S.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,
Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta)

Pendahuluan
Derasnya arus globalisasi telah merubah berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Di sisi lain mengalami kemajuan yang sangat pesat, tetapi di tempat lain juga mengakibatkan kerusakan yang luar biasa. Kemajuan yang terjadi dapat dirasakan dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, yang menjadi kegelisahan adalah bebasnya arus informasi di negeri ini. Hal ini menyebabkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa sebagai akibat dari globalisasi. Kemorosotan inilah yang perlu mendapat perhatian bagi kita semua sebagai bangsa yang berbudaya.
Persoalan moral merupakan isu yang paling urgen untuk diperhatikan. Moral akan sangat menentukan kehidupan masa depan bangsa. Jika budaya leluhur sudah mulai luntur, maka bakal dipastikan akan hilang juga identitas suatu bangsa. Berbagai level masyarakat telah kehilangan jati diri dengan gaya hidup yang tidak memperlihatkan jati diri bangsa. Hal ini dikarenakan banyaknya kalangan masyarakat kita yang lebih suka meniru gaya hidup barat ketimbang mempertahankan karakteristik budaya sendiri.
Bahasa merupakan salah satu aspek kebudayaan. Melalui Bahasa juga memungkinkan aspek-aspek kebudayaan tersebar ke berbagai level masyarakat. Dengan semakin meningkatkan masyarakat Indonesia mempelajar bahasa asing, maka nilai-nilai dari lain pun akan semakin mudah mereka serap. Kenyataan yang sekarang ini terjadi adalah masyarakat lebih cenderung mempelajari Bahasa Inggris. Hal ini menunjukan bagaimana dominasi budaya yang datang dari negara-negara yang barat semakin kuat di negara kita. Apakah hal ini juga yang menyebabkan lunturnya kebudayaan kita?
Bukti lemahnya minat masyarakat Indonesia untuk memahami budaya sendiri juga dapat dilihat pada minimnya peminat para pelajar/mahasiswa yang mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di sekolah-sekolah atau pun perguruan tinggi, jurusan ini tidak diminati sebagaimana halnya Bahasa Inggris. Demikian juga dengan pertunjukan kesenian tradisional atau kesenian daerah yang saat ini sudah hampir dilupakan oleh generasi muda. Kondisi inilah yang nampaknya menjadi persoalan rumit di negeri kita ini. Masyarakat, khususnya kaum muda lebih suka kepada kebudayaan asing dibanding dengan budaya sendiri. Mereka lebih menyukai musik jazz, rock, atau musik-musik yang berbau barat ketimbang kesenian tradisional seperti wayang, ketroprak, reok yang merupakan produk budaya Indonesia yang sesungguhnya.
Selain karena trend, kecenderungan masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis masyarakat kita. Sebagai negara berkembang masyarakat Indonesia memang masih sangat lemah dalam berbagai segi. Kondisi ekonomi yang sangat lemah menjadikan mereka tergiur untuk meniru budaya asing yang menurut mereka dipandang menyenangkan. Gemerlap kehidupan masyarakat barat itu mendoktrin melalui berbagai media massa, baik media cetak maupun eleoktronik. Disinilah kemengan mereka dalam menanamkan kebudayaan yang kini merenggut generasi muda bangsa Indonesia.
Melihat kondisi yang demikian, nampaknya diperlukan suatu tindakan yang bisa mengkonter dampak negatif dari budaya asing itu. Hal ini bisa dilakukan dari segi-segi yang paling kecil. Bahasa Indonesia merupakan aspek budaya yang sangat penting. Karena dengan pengajaran bahasa dapat sekaligus menanamkan nilai-nilai budaya leluhur bangsa yang terdapat dalam karya-karya anak negeri sendiri. Nilai-nilai luhur akan semakin melekat dibenak para generasi muda jika mereka memahami kelebihannya dibanding dengan budaya lain. Kita bisa mencontoh pengajaran bahasa ibu (Mother tongue) di negara-negara maju. Bahasa Inggris, meskipun merupakan bahasa ibu di negara Inggris dan Amerika, tetapi masih tetap menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Menariknya dalam setiap jenjang pendidikan, para siswa diwajibkan membaca menimal 10 karya sastra dalam bentuk novel. Cara-cara seperti ini nampaknya perlu ditiru di sekolah-sekolah kita. Karena dengan begitu nilai-nilai leluhur bangsa ini tidak akan terkikis bersamaan dengan terkikisnya minat para generasi muda untuk mempelajari bahasa mereka sendiri.

Identitas bangsa
Ada kekhawatiran akan hilangnya rasa nasionalisme bersamaan dengan adanya proses globalisasi. Kekhawatiran itu mungkin wajar karena pada era globalisasi batas atau sekat komunikasi hampir tidak ada. Bahkan dengan adanya teknologi komunikasi, informasi dari negara maju semakin mudah diakses dimanapun. Akibatnya dominasi kebudayaan negara-negara maju makin terasakan di negara kita ini. Kebudayaan Amerika misalnya, saat ini sudah sedemikian melekat dalam segala tingkah laku remaja kita. Dari segi pakaian, hiburan bahkan makanan remaja kita sudah sangat Amerikanis.
Percaturan atau interaksi budaya sebenarnya bukan sebuah ancaman. Adanya interaksi itu justru akan memperkaya kebudayan kita masing-masing. Oleh karena itu kita tidak perlu menutup diri dengan tidak bergaul dengan bangsa lain. Kita harus banyak belajar dari kebudayaan lain yang dalam segi-segi tertentu lebih baik dari kebudayaan kita. Budaya disiplin dan kerja keras misalnya perlu kita tiru dari negara-negara barat yang telah terbukti lebih unggul dari kita.
Yang diperlukan saat ini adalah strategi kita memilih aspek budaya yang baik dari budaya asing itu. Karena hanya dengan cara seperti itu negara kita akan mengalami kemajuan. Malaysia merupakan contoh negara yang terbuka namun masih tetap mampu mempertahankan kebudayaan aslinya. Di negeri yang belum lama merdeka ini rasanya tidak ada tekanan untuk menggunakan bahasa Melayu saja. Bahkan tidak ada aturan menggunakan bahasa Melayu yang dibakukan. Justru bahasa mereka bercampur dengan bahasa asing secara alami. Kondisi ini justru menguntungkan bagi semua kalangan, karena dengan begitu orang tidak lagi malu menggunakan bahasa Melayu yang bercampur dengan Bahasa Inggris. Itulah sebabnya masyarakat Malaysia umumnya memahami Bahasa Inggris lebih baik dibandingkan dengan masyarakat Indonesia.
Kondisi ini sungguh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Di negara kita orang cenderung merasa malu menggunakan bahasa campuran, Indonesa dan Inggris karena takut dianggap sombong. Masyarakat kita belum terbiasa menggunakan bahasa asing termasuk sekedar menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau barat. Akibatnya masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami Bahasa Inggris yang sangat penting dalam pergaulan global. Kondisi seperti ini terjadi juga di dunia pendidikan. Para siswa tidak bisa menggunakan bahasa Inggris secara aktif meskipun secara teori mereka menguasainya.
Untuk mempertahankan identitas bangsa, kita tidak perlu menutup diri dari percaturan global. Tetapi kita harus terbuka demi mencari format kebudayaan yang lebih baik. Karena percaturan itu akan menyadarkan akan pentingnya bahasa dan budaya sendiri. Prof. Dr. Mursai Esten menyatakakan ketika Bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa ibu akan dirasa menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat. Karena itu kekhawatiran akan hilangnya Bahasa Indonesia dengan adanya bahasa asing adalah hal yang tidak perlu kita alami.
Kesenian dan pariwisata merupakan bidang yang mendapat angin segar di era globalisasi. Sebagaimana yang dikatakan dikatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Megatrend 2000, bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan hiburan bagi masyarakat modern. Akibat tuntutan persaingan hidup yang begitu ketat, menjadikan manusia haus akan hiburan. Dalam kondisi seperti ini masyarakat membutuhkan hiburan guna melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan. Hal inilah yang menjadikan masyarakat mengeluarkan banyak uang di bidang kesenian dan pariwisata.
Bidang kesenian dan pariwisata turut berperan dalam pertukaran budaya. Pertukaran budaya sebagai akibat dari interaksi atau komunikasi antar budaya itu. Dan hal itu hanya terjadi melalui bahasa. Adanya pertukaran budaya yang semakin intensif menjadikan peranan bahasa dan budaya Indonesia semakin penting. Karena dengan begitu proses berfikir tidak akan pernah lepas dari bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang akrab dengan masyarakatnyalah yang akan digunakan. Walhasil, bahasa itu akan melahirkan proses kreatif, proses ekpresif yang akhirnya melahirkan karya sastra, yaitu karya sastra Indonesia. (Prof. Dr. Mursal Esten, 2006).

Masa Depan Bahasa Indonesia
Indonesia merupakan negara yang berpeluang sebagai pusat kebudayaan terutama di wilayah Asia Pasifik. Jika dibanding dengan negara-negara lain, Indonesia memiliki keunikan budaya yang sudah bisa dibilang mapan. Hal ini terbukti juga dengan semakin banyaknya karya-karya anak negeri yang laku di negeri lain. Malaysia adalah negeri yang masyarakatnya sangat menyukai karya-karya sastra Indonesia. Hal ini senada dengan prediksi Prof. Dr. Mursai Esten, bahwa kawasan Indonesia akan menjadi global-tribe yang paling penting di dunia selain Malaysia, Thailand, Brunai dan Filipina. Dari semua negara Asia itu Indonesia memiliki kebudayaan yang paling mapan dan unik.
Saat inipun sesungguhnya bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang mendominasi di kawasan nusantara. Bahasa yang awalnya dari bahasa Melayu-Riau itu telah mengalahkan bahasa-bahasa besar yang sebenarnya lebih dahulu digunakan, yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Dengan demikian, sastra Indonesia modern pada hakekatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal. Orang lebih mudah memahami bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Yang menjadi masalah disini adalah bagaimana menjadikan bahasa Indonesia dan sastra Indonesia memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah percaturan budaya global. Lebih penting lagi seperti yang dikemukakan oleh Prof. Mursai adalah bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakat Indonesia memiliki posisi kuat di tengah masyarakat dunia.

Kesimpulan
Persoalan di atas merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi para pengajar bahasa, sastra dan budaya Indonesia. Oleh karena itu sejak dini harus dilakukan langkah-langkah strategis untuk menanamkan kecintaan terhadap bahasa, sastra dan budaya kita sendiri. Hal yang demikian itu hanya bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan yang ada di negeri ini.
Disamping itu pula, interaksi budaya memang harus dibiarkan mengalir secara alami. Karena dinamika itu akan melahirkan budaya sebagai jati diri yang lebih baik. Dalam arti yang lebih sesuai dengan karakteristik bangsa kita. Karena sesungguhnya mempertahankan budaya dengan cara defensif atau menutup diri dari percaturan budaya budaya global adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membuat kondisi dimana bahasa dan budaya Indonesia itu sangat dibutuhkan dalam percaturan global. Mekanisme “pasar”lah yang akan menentukan perkembangan bahasa dan budaya kita. Yitu bahasa yang sesuai dengan kebutuhan adalah bahasa yang akan tetap dipergunakan. Karenanya masyarakat Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai upaya mempertahankan eksistensi Bahasa Indonesia dengan cara menerbikan karya-karya sastra berbahasa Indonesia. Hanya dengan cara seperti itulah bahasa Indonesia akan menjadi kekuatan budaya bangsa kita di masa yang akan datang. Wallahua’lam bish shawab.

Yogyakarta, 30 April 2008

Sastra dan Kekuasaan (Nyi Roro Kidul adalah Propaganda Politik Kerajaan)

Oleh
Wajiran, S.S.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan dan
Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM)




A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan produk masyarakat. Ia diciptakan oleh seorang pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu karya sastra tidak pernah lepas dari gambaran apa yang terjadi di masyarakatnya saat karya itu lahir. Gejala sosial atau fenomena sosial merupakan hipogram (stimulan) bagi terbentuknya karya sastra. Hipogram yang ada dalam karya sastra tersebut bisa mendukung, tetapi bisa juga bersifat menolak nilai-nilai yang ada di masyarakatnya.
Karya sastra telah ada bersamaan dengan adanya manusia itu sendiri. Karya sastra berkembang dari yang paling sederhana sampai pada taraf yang paling modern sekarang ini. Dulu karya sastra masih bersifat lisan, penyebarannya dari mulut kemulut. Namun seiring dengan perkembangan jaman, karya sastra telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hampir semua media modern dapat digunakan sebagai media ekpresi sastra. Dengan demikian karya sastra pun banyak mengalami transformasi, dari lisan menjadi tulisan kemudian berkembang dengan media audiovideo dan lain sebagainya.
Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan perkembangan karya sastra tersebut. Tetapi lebih pada gambaran keterkaitan antara karya sastra dengan kekuasaan pemerintah. Hal ini dikarenakan kedekatan karya sastra dengan kekuasaan penguasa terutama di pemerintahan yang berbentuk kerajaan (Feodal).
Sastra dan kekuasaan hampir tidak bisa dipisahkan. Di negara terbelakang (kerajaan) sampai negara yang paling maju pun karya sastra sangat erat kaitannya dengan hegemoni penguasa. Di Inggris misalnya, banyak karya sastra atau sastrawan yang dibayar agar membuat karya sastra yang bisa melanggengkan kekuasaan raja. Di Amerika juga demikian, karya sastra yang berupa drama, novel dan yang paling modern film sering dijadikan sebagai alat propaganda politik kaum penguasa tertentu. Tidak berbeda halnya dengan kenyataan di atas, karya sastra yang ada di Indonesia. Gambaran yang ada dalam karya-karya sastrawan Indonesia banyak yang berisi propaganda politik tertentu. Tokoh-tokoh seperti W.S Rendra, Muhammad Yamin, Khairil merupakan sastrawan yang sering menyuarakan kelompok masyarakat tertentu, sebagai upaya mempengaruhi masyarakatnya.
Tidak berbeda dengan sastra Indonesia modern lainnya, sastra lisan juga menjadi bagian dari alat propaganda tersebut. Cerita Nyi Loro Kidul (Penguasa Laut selatan) merupakan bagian dari karya sastra yang digunakan oleh penguasa untuk suatu tujuan politis. Tujuan politis yang dimaksudkan adalah untuk melanggengkan kekuasaan sang raja.
Tidak banyak yang menyadari, bahwa cerita Nyi Loro Kidul merupakan sebuah karya sastra lisan. Cerita ini dibuat oleh seseorang yang dekat dengan kekuasaan raja. Meskipun sampai saat ini tak seorang pun yang tahu siapa yang membuat cerita ini. Karena cerita ini dihubungkan dengan sesuatu yang supranatural, maka masyarakat umumnya mempercayai akan kebenaran cerita ini. Cerita Ratu Laut Selatan akhirnya menjadi mitos terutama di kalangan masyarakat Jogjakarta. Inilah yang menjadikan cerita ini menjadi suatu hegemoni. Sebagaimana dikatakan oleh Pramudia Ananta Toer menyatakan bahwa Raja Jawa Kuno sering menggunakan hal-hal gaib untuk menkut-nakuti orang awam sehingga kediktatoran sang raja tidak digugat (Irwan Ghailan, 2004).
Sebagai upaya meyakinkan masyarakat akan kebenaran Nyi Loro Kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu selamatan di pantai selatan. Kegiatan ini dilakukan supaya masyarakat lebih yakin akan keberadaan Nyi Loro kidul tersebut. Karena dengan begitu rakyat juga mempercayai kedekatan raja dengan Nyi Loro Kidul. Wal hasil Masyarakat pun takut kepada raja. Karena kedekatannya dengan Ratu Laut Selatan itu.
Sampai saat banyak masyarakat yang mempercayai keberadaan Nyi Loro Kidul. Hal ini terbukti masih adanya kepercayaan akan pantangan-pantangan selama berada di daerah laut selatan. Di Pantai parangtritis misalnya, orang masih merasa ragu atau bahkan takut untuk memakai baju biru. Baju biru katanya dilarang dipakai di daerah ini. Bagi orang yang memakai baju biru akan dikejar ombak dan bisa jadi menjadi tumbal bagi Nyi Loro Kidul. Selain itu juga, setiap ada orang yang tenggelam di pantai laut selatan selalu dikaitkan dengan keberadaan Nyi Loro Kidul.

B. Asal-Usul Nyi Loro Kidul Versi Keraton Yogyakarta
Menurut beberapa sumber dari keraton Yogyakarta, Nyi Loro Kidul sebenarnya adalah putra (anak) dari seorang begawan bernama Abdi Waksa Geni. Ia berasal dari keluarga dengan dua bersaudara. Saudara kandungnya bernama Nawangsari, sedangkan nama dia yang sesungguhnya tidak diketahui. Awalnya, sewaktu masih menjadi manusia biasa Nyi Loro Kidul adalah gadis yang buruk rupa. Sedangkan saudara kandungnya sangat cantik. Kondisi ini membuat Nyi Loro kidul merasa minder bergaul dengan orang-orang di lingkungannya. Karena ayahnya seorang abdi, maka ayahnya selalu mengingatkan ia untuk tidak bersikap demikian.
Sebagai usaha menghilangkan perasaan minder itu, ayah Nyi Loro Kidul meminta ia agar mandi dan bertapa di laut selatan. Pada saat mandi itulah ia didatangi oleh seorang dewa. Dewa itu menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi cantik, dengan syarat dia harus mau diangkat jadi ratu di pantai laut selatan. Dengan adanya tawaran itu sang putri mau menerima, karena sudah terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain. Maka jadilah ia seorang yang cantik dan menguasai Kerajaan Laut Selatan, seperti yang dipercaya orang sampai saat ini.
Keterkaitan antara kerjaan Mataram dengan Nyi Loro Kidul bermula pada saat sang raja ditawari menikah denganya. Ratu kidul sangat tergila-gila pada sang raja yang memiliki wajah yang sangat tampan. Pertemuan Nyi Loro Kidul dengan raja Mataram bermula pada saat sang raja bertapa di pantai Parangkusumo. Saat bertapa itu ratu Laut Kidul menemui Sang raja. Ratu Laut kidul menyukai sang raja dan mengatakan bahwa jika raja mau menjadi suaminya ia berjanji akan membantu menjaga kerajaan mataram sampai akhir hayatnya, bahkan sampai kiamat. Setelah menikah, sang raja diminta makan sebuah telur yang di berikan oleh Ratu kidul. Dengan memakan telor itu, sang Raja akan hidup abadi. Tetapi karena raja adalah seorang manusia maka dia tidak mau hidup abadi tetapi ingin mati seperti manusia umumnya, karena dia menginginkan ada keturunnnya yang meneruskan kekuasaanya.
Sang raja tidak memakan telur itu yang diberikan ratu, tetapi telur itu diberikan kepada abdi dalem yang dikasihi. Abdi dalem yang memakan telor pemberian ratu itu kemudian berubah menjadi raksasa yang menakutkan. Karena raksasa itu menakutkan maka ia diperintahkan raja agar menjadi penjaga gunung Merapi. Raksasa kemudian diberinama Kiai Sapu Jagat.
Menurut abdi dalem keraton Yogyakarta, delapan puluh persen masyarakat Yogyakarta mempercayai kebenaran cerita Nyi Loro Kidul. Bukti kepercayaan itu dengan dilaksanakannya kegiatan labuhan yang dilaksanakan setiap tahun di Pantai Parang Tritis. Kegiatan labuhan ini bertujuan untuk memberikan nafkah kepada Sang Ratu dari raja. Sebagaimana halnya seorang suami sang raja wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Persembahan yang diberikan dalam labuhan ini juga berupa makanan dan barang-barang tertentu yang sudah ditentukan, termasuk pakaian sang raja yang sudah bekas juga diberikan kepada Sang Ratu.

C. Versi Keraton surakarta
Cerita mengenai Nyi Loro Kidul bukan hanya diyakini oleh masyarakat Yogyakarta sebagai kota yang sangat dekat dengan pantai selatan. Tetapi cerita ini diyakini juga oleh sebagian masyarakat Surakarta, terutama bagi para abdi dalem Keraton. Nyi Loro Kidul adalah sosok yang sangat diyakini keberadaannya. Menurut sebagian besar abdi dalem, Nyi Loro Kidul dipercaya sebagai istri Raja.
Sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Nyi Loro Kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu kegiatan sebagai upacaraa untuk menghormati Sang Ratu. Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan labuhan yang dilaksanakan di pantai selatan. Untuk kerajaan surakarta, labuhan dilaksanakan di pantai Parangkusumo sedangkan labuhan yang dilaksanakan oleh Raja Yogyakarta dilaksanakan di Parangtritis.
Adanya kesamaan keyakinan ini ternyata menunjukan adanya kesamaan latarbelakang sejarah dari kedua kerajaan ini. Dimana antara kerton Yogyakarta dan Surakarta berasal dari kerajaan Mataram. Sehingga kepercayaan terhadap keberadaan Nyi Loro Kidul pun sama. Hal ini juga ditunjukan adanya kesamaan nama-nama tempat sebagai bentuk keyakinan adanya Nyi Loro Kidul. Di kerajaan Surakarta, kita mengenal suatu tempat yang dinamakan Tamansari. Di tempat inilah sang raja sering berkomunikasi dengan Nyi Loro Kidul yang dilakukan setiap malam Suro. Disamping itu di keraton Surakarta juga mengadakan tari Bedoyo yang fungsinya sebagai peringatan atau menghibur raja sekaligus memfasilitasi pertemuan antara raja dengan Sang Ratu. Pada saat dilangsungkannya tarian ini, Nyi Loro Kidul diyakini ikut serta secara langsung dalam tarian itu. Bahkan sampai saat ini, orang masih yakin kehadiran Nyi Loro Kidul dalam tarian yang dipertontonkan itu. Tarian yang dimainkan sebanyak sembilan orang itu dengan sendirinya akan menjadi sepuluh orang dan yang satunya diyakini sebagai Nyi Loro Kidul. Tarian ini dilaksanakan pada hari jumat dan selasa kliwon jam 14.00-15.00.
Bukti kepercayaan adanya Nyi Loro Kidul juga dapat dilihat dari cerita para abdi dalem. Menurut kesaksian dari mereka, jika ada orang yang membawa pasir yang berada di depan pendopo kerajaan, maka orang yang membawa pasir tersebut akan ditemui oleh Nyi Loro Kidul. Pera abdi dalem mengatakan sering ada kejadian seperti halnya kesurupan yang diyakini sebagai pertemuan orang itu dengan Nyi Loro Kidul.
Selain keyakinan akan keberadaan Nyi Loro Kidul di lingkunan keraton Surakarta, ada juga yang meyakini akan kekuatan sang ratu terhadap penyembuhan berbagai penyakit. Pasir yang terhampar di depan pendopo diyakini juga bisa menyembuhkan bagi mereka yang memiliki penyakit reumatik, darah tinggi, dan penyakit gawat lainya. Hal ini dikarenakkan pasir yang diambil dan disebarkan dipelataran pendopo itu diambil dari Gunung Merapi dan Pantai Parangkusumo. Dimana kedua tempat itu sering disebut sebagai tempat tinggal sang Ratu Kidul.
Dari beberapa abdi dalem yang sempat berdiskusi mengenai keberadaan Nyi Loro Kidul pada umumnya mereka mempercayai keberdaannya, meskipun ada juga yang menyanggah keberadaannya. Para abdi dalem itu mengatakan sering juga mendengar adanya orang-orang yang bertemu dengan Nyi Loro Kidul. Pak Ponco misalnya, ia sudah beberapa kali bertemu dengan Nyi Loro Kidul ketika berada di depan pendopo. Ia mengatakan Nyi Loro Kidul mirip dengan tokoh film Susana yang memiliki tahi lalat di pipi kanan. Berbeda denangan pak Ponco, salah satu guid yang sudah sepuluh tahun mengabdi di Keraton Surakarta ini justru tidak mempercayai sama sekali keberadaan Nyi Loro Kidul. Ia hanya mengatakan semua tergantung kepercayaan. Buktinya selama ia mengabdi tidak sekalipun ia pernah bertemu dengannya.

D. Cerita Singkat Nyi Loro Kidul Versi Jawa Barat
Nyi Loro Kidul bukan hanya dipercaya di daerah Yogyakarta, tetapi juga daerah Jawa Barat. Ada beberapa perbedaan mengenai asal usul cerita Ratu Laut selatan ini. Cerita Ratu Laut Selatan versi Jawab Barat dapat kita lihat dalam buku kumpulan cerita rakyat tulisan Tira Ikranegara dan M.B., Rahimsyah, berjudul Seri Dongeng Populer Anak Indonesi yang diterbitkan oleh Pustaka Agung Harapan, Surabaya. Versi tersebut dapat kita lihat pada cerita berikut ini.
Nyai Ratu Kidul dipercyai sebagai seorang ratu kidul yang sakti, yang menguasai samudra Indonesia. Di jawa tengah, dia juga dikenal denan nama Nyi Loro Kidul atau Nyi Lara Kidul. Pendududuk sepanjang patai selaan pulau Jawa sampai saat ini masih mempercyai kesaktiannya, bahkan di Parang tritis sebuah objek wisat, kadang-kadang masih dilakukan upacara yang berkaitan denan Nyai Ratu Kidul. Tentang asal usul dan riwayat Nyai Ratu Kidul, ada bermacam-macam versi. Dan yang diceritakn di sini adalah sebuah riwayat yang berasal dari daerah Jawa barat.
Di kerajaan Pajajaran Purba bertahlah seorang raja yang bernama Prabu Mndingsari. Baginda dikenal sebagai raja yang berwajah tampan dan bijaksana dalam pemerintahan, hingga dicintai segenap rakyat Pejajaran. Prabu Mundingsari sangat gemar pergi berburu dengan diiringi tamtama atau pengawal. Tetapi hari itu baginda teresat dan terpisah dari para pengawalnya ketika memburu seekor kijang. Prbu Mundingsari mencoba mencari pengawalnya. Tetapi, sesudah menjelajahi rimba itu sampai setengah hari jejak para pengawal itu belum juga tampak, sehingga baginda Mundingsari semakin jauh tersesat. Haripun mulai gelap, baginda bermaksud beristirahat.
Karena lelahnya, baginda Mundingsari tertidur. Dalam keadaan setengah tertidur itu, tiba-tiba merasa ada seseorang berada di dekatnya. Baginda terkejut dan segera bangun. Di hadapannya telah berdiri seorang gadis yang sangat cantik dan tengah tersenyum padanya. ”Oh, siapakah kau....?!” tanya Prabu Mundingsari keheranan.
”Hanya adalah cucu dari raja rimba ini.... Apakah tuan adalah raja Mundingsari dari Pejajaran?”.
”Ya, aku adalah raja Mundingsari. Ada apa kiranya?”
”Tuanku tampaknya tersesat dan terpisah dari para pengawal tuanku. Sudilah kiranya tuanku singgah di istana kakekku sambil beristirahat di sana....”
Karena undangan tu disampaikan dengan ramah dari sopan santun, baginda Mundingsari tidak dapat menolaknya, apalagi orang yang mengundangnya adalah seorang gadis yang sangat cantik. Raja Pajajaran itupun mengikuti si gadis cantik itu.
Tak seberapa lama kemudian sampailah mereka pada istana tempat tinggal gadis itu. Gadis itu segera membawa prabu Mundingsari masuk ke dalam istana. Mereka disambut oleh seorang raja yang berwajah cukup seram. Tetapi kata-katanya cukkup ramah.
”Ah...hah...hah...hah...hah....! Prabu Mundingsari, selamat datang di istanaku walaupun tidak seindah istanamu. Kuharap kau akan betah tinggal di sini..! cucuku mencintai tuan hingga tiap malam, wajah tuan selalu terbawa mimpi dan bahkan dia jatuh sakit. Soal terpisahmu dari pengawal tuan tersesat di rimba ini, akulah yang mengatunya..!”
Prabu mundingsari merasa heran akan kata-kata raja itu. Dia menoleh pada putri cantik itu yang tampak wajahnya kemalu-maluan.
Karena kecantikan putri itu, lagi pula karena kelemah lembutan putri itu, Prabu Mundingsari segera jatuh hati pada perempuan itu. Kemudian merekapun menika dan hidup dalam kebahagiaan.
Baginda tinggal beberapa lama bersama istrinya di istana dalam rimba itu. Hingga pada suatu hari...
“Adinda rasnya sudah cukup lama kakanda meninggalkan istana Pajajaran. Aku hendak menjengk kesana dan hendak kulihat bagaiman keadaan rakyatku...” kata Prabu Mundingsari.
Setibanya di isana Pajajaran, Baginda disambut dengan isak tangis kegembiraan oleh permaisuri dan sisi istana, karena sudah berbulan-bulan baginda menghilang dalam sebuah perburuan. Kemudian, baginda kembali menduduki tahta Pajajaran dan memerintah sebagaimana sebelumnya.
Beberap bulan kemudian. Pada suatu malam, baginda terjaga dari tidurnya karena mendengar suara tangis bayi... BagindaMundingsari segera bangkit, dan mendatangi sumber suara itu. Maka tampak olehnya sebuah buaian dan di dalamnya terdapat seorang bayi yang tengah menangis.
Baginda segera mendukung bayi yang ternyata seorang bayi perempuan. Tiba-tiba muncul seraut wajah yang dikenalnya sebagai wajah istrinya dari istana di tengah rimba tempo dulu.
”kakanda Mundingsari, bayi itu adalah anak kita! Dia kuserahkan kepada kakanda untuk kau besarkan di kalangan manusia.” kata istrinya itu.
”Di kalangan manusia? Apa maksudmu adinda?” tanya prabu Mundingsari. Tak mengerti.
”sebenarnya bahwa aku dari kalangan siluman...!” sahut istrinya tiu.
Baginda prabu Mundingsari merasa heran dan hanya tertegun smapi beberapa saat. Dia tidak tahu dan tidak menyadari ketika bayangan wajah putri siluman istrinya itu menghilang.
Demikianlah bayi perempuan itu akhirnya dipelihara di lingkungan istana dan diberi nama Ratna Dewi Suwido. Permaisuri baginda Mundingsari merasa tidak senang akan kehadiran Dewi Suwido di isstana Pajajaran. Dia memperlakukannya dengan bengis.
Delapan belas tahun kemudian, dewi Suwido tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan sukar dicari tandingannya. Kecantikannya ituterkenal hingga ke negaranegara tetangga. Hal ini semakin membuat tak senang hati sang permaisuri. Apalagi, putrinya tidak secantik Dewi Suwido. Sementara itu sudah banyak lamaaran dari para pangeran yang bermaksud mempersunting Dewi Suwido. Hati permaisuri semakin geram. Oleh sebab itu, timbul maksud jahatnya untuk menyingkirkan Dewi Suwido dari istana.
Dalam mewujudkan maksud jahatnya itu, permaisuri segera mendatangi seorang ahli tenung yang terkenal pandai. ”Ah, tuanku permaisuri tidak perlukhawatir! Hal itu bukan pekerjaan sukar buat hamba,” Kata duun tenung itu.
”Ingat....aku inginkan wajah gadis itu rusak. Hingga seorangpun sudai memandanginya!” pesan sang permaisuri.
Sepeninggal permaisuri, tukang tenung itu segera malaksanakan permintaan permaisuri. Pada malam harinya, dia mulai menyebarkan ilmunya.
Keesokan harinya, Dewi Suwido bangun dari tidurnya dan merasa tidak enak di sekuju badanya.
”Ah. Kepalaku terasa berat. Kuit wajahku pun terasa tebal karena merasa ada kelainan pada wajahnya, gadis itu berkaca. Dia sangat terkejut melihat wajahnya dalam kaca yang kini telah berubah menjadi buruk.
”Ah....apakah.... apakah yang berada di dalam cermin itu adalah wajahku? Mengapa jadi demikian?”
Ketika menyadari bahwa wajah yang berada di cermin itu memang betul wajahnya, hati Dewi Suwido jadi hancur! Dia menangis terus menerus. Kecantikannya smaa sekali sudah tak tersisa.
Berhari-hari gadis itu mengurung diri di kamar, dan tidak mau menjumpai orang. Tetapi, atas pemberitahuan sang permaisuri, prabu Mundingsari akhinya tahu kalau DewiSuwido mengidap penyakit yng berbahaya.
”Ah,.... kau mengidap penyakit lepra, anakku. Penyakit itu adalah salah satu penyakit berbahaya dan dihantui.... Ayahanda merasa menyesal sekali. Tetapi apa boleh buat, kau akan kuasingkan dari istana...” kata Prabu Mundingsari ayahnya.
Hati Dewi Suwido semakin remuk ketika bahkan ayah kandungnya sendiri bermaksud menyingkirkan dan tidak mau berdekatan dengan dirinya. Baginda Mundingsari segera memerintahkan beberapa orang pengawal mengantarkan Dewi Suwido ke dalam rimba.
Setiba di tepi riba, para pengawal tidak mau mengantarkannya lebih jauh. Dengan hati pilu gadis tiu melanjutkan perjalanan ke dalam rimba seorang diri. Dia masih belum tahu hendak menuju kemana....! pada akhirnya, Deewi Suwido tiba di gunung Kombang. Kemudian, dia bertapa di sana dan memohon pada para dewa agar wajahnya dikembalikan sebagaimana sebelumnya.
Bertahun-tahun dia melakukan tapa, tetapi wajahnya bahkan semakin rusak. Tetapi, pada suatu hari, dia mendengar sebuah suara:
”Cucuku, Dewi Suwido! Kalau kau ingin wajahmu kembali seperti semula, berangkahlah menuju ke Selatan. Kau ahrus masuk ke laut selatan dan bersatu dengannya....! dan tak usah kembali dalam pergaulan manusia!”
Setelah mendengar suara itu, Dewi Suwido segera berangkat ke arah selatan seperti yang diperintahkan. Berhari-hari kemudian, tibalah dia di pantai selatan. Gadis itu merasa ngeri berada di pantai yang curam dan tajam itu. Tetapi dia percaya akan katakata yang didengar dalam tapanya itu, yang diperaya sebagaipetunjuk dari para dewa. Dengan penuh kepercayaan pula Deewi Suwido terjun ke laut dari tebing yang curam.
Setelah muncul kembali dari dalam air laut, segala penyakit yang menempel pada tubuh Dewi Suwido telah hilang. Kecantikan Dewi Suwido kembali pada keadaanya semula bahkan lebih cantik. Menurut kepercayaan penduduk setermpat, Dewi Suwido masih hidup hingga kini dan menjadi Ratu di laut Selatan, ratu dari segala jin dan siluman disana.

E. Kesimpulan
Belajar dari cerita Nyi Loro Kidul, kita jadi memahami bahwa karya sastra jaman dahulu memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi masyarakat. Karena itu karya sastra bukan semata-mata sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai upaya menanamkan nilai-nilai moral juga sebagai propaganda politik.
Dengan demikian, cerita Nyi Loro Kidul tidaklah sepatutnya kita percayai keberadaan sesungguhnya. Tetapi kita yakini sebagai karya sastra lisan yang sudah melekat di benak masyarakat pesisir pantai selatan. Hal ini juga terjadi pada karya sastra Siti Nurbaya yang diakui memiliki makam di daerah padang.
Benar tidaknya keberadaan Nyi Loro Kidul, cerita ini sudah demikian melekat di benak masyarakat. Kondisi ini pun sampai saat ini masih begitu melekat sehingga masih banyak yang mempercayai bahwa Ratu Kidul itu benar-benar ada sampai sekarang. Efek dari kepercayaan adanya ratu kidul ini, juga dapat dilihat dari cara pandang masyarakat terhadap raja-raja Yogyakarta dan Surakarta. Raja dianggap manusia setengah dewa sehingga tak seorangpun yang berani melanggar perintah raja.
Sebagai kesimpulan akhir dari tulisan ini, bahwa cerita yang dibuat oleh seseorang yang sampai sekarang tidak diketahui itu sebenarnya merupakan propaganda dari pihak kerajaan atau keraton untuk menakut-nakuti masyarakatnya. Meskipun kenyataannya sampai sekarang penduduk di sepanjang pantai selatan pulau Jawa masih mempercayai akan kebenaran cerita tentang Ratu Samodra Indonesia itu.

Thursday, May 1, 2008

ORGANISASI ALUMNI

Oleh
Wajiran
(Sekjen KAMADA/Keluarga Alumni universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,
Mahasiswa Pasca UGM)


Pendahuluan
Pertemuan nasional pengurus organisasi Alumni Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) pada tanggal 26 april 2008, sangat positif bagi keberlangsungan organisasi alumni PTM. Dengan pertemuan itu banyak persoalan yang muncul terutama mengenai persoalan kontinuitas (keberlangsungan) aktivitas organisasi alumni sendiri. Persoalan itu umumnya sama di setiap Perguruan Tinggi Muhammadiyah ataupun diperguruan tinggi lain secara umum. Masalah personalia dan masalah finansial menjadi sesuatu yang sulit terpecahkan. Oleh karena itu pertemuan almni itu selain sebagai ajang tukar pengalaman juga bisa memotivasi kembali para pengurus untuk mengaktifkan pergerakan alumni di universitasnya masing-masing.

Jumlah alumni PTM yang begitu besar, tentu sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan sosial ekonomi di negeri ini. Oleh karena itu, potensi itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kemajuan bangsa dan negara ini. Seperti nasehat yang disampaikan oleh Prof. Dr. Dien Samsudin, dalam sambutan pembukaan menyatakan bahwa alumni PTM yang cukup besar itu harus memperjelas peranan strategisnya dalam keikutsertaan pembangunan masyarakat Indonesia. Untuk itulah diperlukan adanya wadah agar peranan alumni PTM bisa diformulasikan dan dipetakan dalam kaitannya dengan penyusunan strategi pembangunan masyarakat secara luas.

Ada beberapa point penting yang dapat diambil dari pertemuan yang dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu. Pertama, adanya kesamaan persepsi akan pentingnya komunikasi antarorganisasi alumni PTM seluruh Indonesia. Komunikasi antarorganisasi akan memberikan kesempatan saling belajar diantarorganisasi alumni PTM. Disamping itu juga pertemuan itu akan menjadi ajang diskusi mengenai persoalan-persoalan krusial negeri ini. Dari sinilah diharapkan para sarjana ini mampu merumuskan langkah-langkah strategis dalam menyelesaikan persoalan itu.

Kedua, pertamuan nasional organisasi alumni PTM secara nasional akan menjadi ajang instrospeksi pengurus organisasi alumni. Artinya para pengurus bisa mengukur seberapa jauh kiprah alumni selama ini dalam pengembangan kampus maupun dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakatnya. Apakah para intelektual muda itu sudah maksimal dalam partisipasinya membangun negeri ini? Jika ternyata belum, maka perlu usaha yang lebih keras agar komunitas itu dapat berperan secara efektif terhadap perubahan sosial masyarakat di negeri ini. Karena bisa tidak bisa persoalan-persoalan bangsa, baik politik, ekonomi dan sosial harus bisa dipecahkan oleh para intelektual, sebagaimana para alumni PTM. Minimal keberadaan mereka tidak menjadi beban negeri ya hampir kolaps ini.

Tantangan dalam mengelola organisasi alumni
Organisasi alumni merupakan organisasi yang sangat potensial, baik dalam kaitannya dengan pengembangan PTM terkait maupun masyarakat secara luas. Sebagai organisasi yang beranggotakan lulusan perguruan tinggi, organisasi ini merupakan pusat tersedianya SDM yang disebut well educated. Artinya bahwa SDM yang ada di organisasi alumni adalah individu yang terampil dan berwawasan luas. Namun demikian, menjalankan organisasi semacam ini tidaklah mudah. Banyak kendala yang harus dihadapi terutama berkenaan dengan hal komitmen personalia. Selain kesibukan masing-masing personal yang cukup padat, para alumni juga masih banyak yang secara finansial masih sangat lemah. Sehingga konsentrasi para lulusan masih menitikberatkan pada hal-hal yang sifatnya ekonomis. Hal inilah yang menjadikan sulitnya mengkoordinasi setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi alumni.

Kendala lainnya mungkin adalah kendala psikologis. Persepsi para alumni yang mengangap bahwa mengurus organisasi seperti ini tidak produktif menjadikan sulitnya mencari pengurus organisasi ini. Bahkan untuk sekedar melaksanakan program tahunan saja terkadang sangat sulit. Akibatnya banyak alumni yang bersikap masa bodoh dengan keberadaan organisasi semacam ini.

Dilihat dari segi finansial, organisasi ini memang tidak produktif. Sehingga menjalankan organisasi seperti ini sering sekedar mengisi kekosongan. Apalagi dalam kenyataannya keputusan-keputusan yang dihasilkan pengurus sering hanya menggantung di awang-awang, karena terkadang terlalu idealis tapi tidak pernah teraplikasikan.

Namun demikian, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar alumni berminat berkiprah di organisasi alumni. Langkah itu diantaranya adalah dengan memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pengurus untuk mengelola salah satu bidang atau unit pelayanan kampus. Seperti misalnya membantuk unit usaha miliki alumni yang dikelola sepenuhnya oleh organisasi itu.

Pendirian unit usaha milik alumni akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan organisasi ini. Unit usaha ini bisa dijadikan sebagai tempat praktek para alumni maupun mahasiswa yang ingin mengembangkan kemampuan enterpreneurship. Dengan adanya unit usaha ini para pengurus akan lebih betah berada di lingkungan kampus karena adanya aktivitas yang dilakukan. Mereka bisa tetap mengurus organisasi sekaligus belajar berwirausaha melalui unit usaha tersebut. Apalagi kemampuan berwirausaha memang sangat dibutuhkan di era yang sangat kompetitif ini. Unit usaha alumni juga bisa menjadi batu loncatan bagi para alumni yang baru saja lulus dari perguruan tinggi bersangkutan.

Selain unit usaha, alternatif lain yang bisa dilakukan untuk mengikat komitmen lulusan adalah dengan mewadahi para alumni melalui berbagai aktivitas kampus. Seperti misalnya pengelolaan asrama mahasiswa. Lahirnya asrama mahasiswa yang saat ini sedang digalakan oleh PTM hendaknya dipercayakan kepada organisasi alumni. Asrama mahasiswa bisa dijadikan sebagai wahana silaturahmi antar alumni, juga sebagai media mengabdikan diri di alma mater mereka. Jika hal ini terlaksana, maka bisa menjadi langkah strategis mendidik kader yang selalu siap berperan aktif dalam pengembangan perguruan tinggi itu sendiri.

Dari kedua solusi di atas, komunikasi antaralumni merupakan kunci utama bagi keberlangsungan organisasi alumni. Komunikasi ini sangat penting karena akan sangat menentukan bagi keberlangsungan ikatan emosional antar alumni. Di era modern ini kendala komunikasi hampir tidak ada. Tersedianya alat komunikasi yang canggih seperti HP dan internet sangat membantu komunikasi antar alumni. Dengan adanya komunikasi itu segala informasi bisa langsung tersebar luas sehingga bisa direspon dengan cepat oleh setiap lulusan.

Agar komunikasi tidak terputus dengan para alumni luar daerah, maka perlu adanya organisasi alumni di daerah. Persebaran alumni di daerah sebenarnya merupakan keuntungan tersendiri bagi perguruan tinggi bersangkutan. Organisasi alumni daerah akan bisa dijadikan sebagai pusat pertukaran informasi antara alumni, juga sebagai wahana promosi PTM itu sendiri. Dengan adanya organisasi alumni di daerah informasi mengenai PTM akan semakin mudah didapat oleh masyarakat setempat. Hal inilah yang nantinya akan mempermudah perekrutan mahasiswa baru dari daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Sistem gethok tular di atas sangat positif dan harus mulai dipikirkan realisasinya oleh PTM. Terutama PTM yang berada di kota Yogyakarta dimana kompetisinya lebih ketat dibanding dengan daerah lain. Jika hanya mengandalkan pendaftar dalam kota tentu tidak mungkin bisa mencapai terget yang diharapkan. Hal ini menuntut persebaran perekrutan mahasiswa baru dari luar daerah. PTM tidak bisa berpangku tangan dengan hanya mengandalkan nama besar. Dengan banyaknya perguruan tinggi, persaingan akan semakin ketat dalam perekrutan mahasiswa baru. Pada dasarnya sistem pengelolaan perguruan tinggi tidak berbeda dengan bidang bisnis yang lain. Apalagi pada kenyataannya pembiayaan perguruan tinggi masih sangat tergantung pada pembayaran SPP mahasiswa. Hal ini disebabkan tidak adanya pendapatan lain yang bisa diandalkan untuk biaya operasional perguruan tinggi. Berkenaan dengan hal itu sistem “pemasaran” PTM harus diperhatikan secara serius.

Kesimpulan
Semua gagasan untuk meningkatkan efektifitas peranan alumni PTM di atas hanya akan berjalan jika mendapat dukungan dari pihak yang berwenang. Dalam hal ini adalah pejabat kampus yang secara langsung memiliki kebijakan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pihak kampus mendukung semua kegitan itu, Isya Allah keberadaan organisasi alumni akan semakin mempercerah masa depan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Oleh karena itu rencana pertemuan lanjutan yang akan dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Jakarta, pada bulan Oktober, hendaknya melibatkan pejabat kampus di setiap PTM. Dengan begitu pemikiran para alumni bisa segera direspon oleh pihak kampus. Hal itu juga bisa menjembatani persoalan kesenjangan antara alumni dengan pihak kampus yang selama terjadi. Mudah-mudahan dengan cara seperti ini peran serta alumni akan semakin kongkrit baik bagi kemajuan PTM masing-masing, masyarakat, bangsa dan negara. Amin! Wallhua’lamubish shawab.
Yogyakarta, 30 April 2008


Biodata Singkat
Penulis adalah alumni Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini aktif sebagai dosen di Fakultas Sastra/Sastra Inggris di universitas yang sama. Jabatan organisasi selain sebagai Wakil Sekretaris MTDK PWM juga sebagai Sekjen Organisasi Alumni Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (KAMADA). Saat ini sedang menempuh pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana FIB UGM

Sunday, January 13, 2008

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

Oleh
Wajiran, S.S.
(Mahasiswa Pasca Sarjaan Universitas Gadjah Mada)

A. Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss. Teori yang dianggap baru dalam bidang antropologi ini sangat menarik untuk dibicarakan. Selain karena teori baru, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, jugstru memiliki peran yang sangat penting dalam menemukan gejala sosial budaya.
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk mengungkap persolaan budaya dapat dilakukan melalui atau menconcoh metode bahasa (ilmu bahasa). Marcel Mauss (via Allen Lane, 1968) menuliskan bahwa “Sociology would certeainly have progressed much further if it had everywhere followed the lead of the linguists..”. Dengan kata lain sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa.
Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat penemuan-penemuan dalam bidang antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh apra ahli bidang linguistik. Proses inilah yang kemudian melahirkan strukturalisme Levi-Strauss ini.
N. Troubetzkoy (dalam Alan Lane, 1968) menyatakan bahwa operasional dasar dari teori struktural adalah: Pertama, linguistik struktural mengalami lompatan dari studi fenomena kesadaran linguistik pada infra-struktur nir-sadar. Kedua, strukturalisme tidak menganggap istilah-istilah itu independen, tetapi menganalisis hubungan antar istilah-istilah yang saling terikat. Ketiga, strukturalisme mengenalkan sistem konsep. Dan yang terakhir, linguistik struktural ditujukan untuk menemukan hukum umum (general laws) baik secara induksi maupun dengan deduksi.
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang antropologi telah melahirkan berbagai perspektif dalam memandang fenomena budaya. Dengan teori ini, persoalan-persoalan tanda semakin mudah dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur dari persolan tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk diyakini memiliki struktur. Susunan unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat diketahui asal-usul dan juga gejalanya. Dengan demikian penjelasanya akan semakin mudah.

B. Sejarah Hidup Levi-Strauss
Sebelum membicarakan teori strukturalisme Levi-Strauss, akan lebih baik jika kita membicarakan sejarah hidup Levi-Strauss secara singkat. Hal ini penting mengingat perjalanan hidup penggagas teori antropologi struktural ini sangat dinamis. Latar belakang pendidikan, pengalaman kerja dan tentunya pola pikirnya sangat menentukan dalam apa yang dicetuskan dalam teori strukturalnya.
Selain itu, yang juga sangat menentukan dalam pandangan-pandangan Levi-Strauss adalah hubungannya dengan para pakar berbagai bidang di Brazil, Perancis maupun saat ia berada di New York. Pertemuannya dengan para pakar dari berbagai bidang ilmu itu telah melahirkan berbagai konsep yang sangat penting dalam membentuk teori budaya yang sangat unik itu. Dikatakan sangat unik karena memang belum terpikirkan oleh para pakar di bidang antropolgi sebelumnya.
Levi-Strauss dilahirkan pada 28 November 1905 di Brussles, Belgia. Ia adalah keturunan Yahudi. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss seorang artis dan juga anttota keluarga intelektual Yahudi Perancis (Intelectual French Jewish familily). Sedangkan ibunya bernama Emma Levy.
Minat utama Levi-Strauss sebenarnya adalah ilmu hukum. Ia mempelajari hukum di fakultas hukum Paris pada tahun 1927. Di tahun yang sama ia juga mempelajari filsafat di universitas Sorbonne. Ia pernah sukses dalam bidang hukum ketika ia telah mendapatkan licence dalam bidang hukum. Penguasaan dalam bidang hukum mengenai aliran-aliran filsafat materialisme historis ini turut mendorong kesuksesannya dalam bidang antropologi.
Hal yang paling penting dan sangat berpengaruh terhadap loyalitasnya di bidang antropologi adalah ketika ia membaca buku Primitive Society yang ditulis oleh Robert Lowie. Buku itu cukup mengesankan bagi Levi-Strauss dan mendorongnya untuk mengadakan beberapa studi mengenai masyarakat primitif. Bahkan ia menjadi bosan mengajar di Mont de-Marsan lycee dan berkeinginan untuk mengadakan perjalanan keliling dunia.
Apa yang diharapkan oleh Levi-Strauss ini akhirnya terkabulkan setelah ia berkesempatan menjadi pengajar di Universtias Sao Paulo, Brazil. Di universitas ini ia memiliki sempatan untuk keliling ke daerah-daerah pedalaman Brazil, serta mengunjungi berbagai suku Indian yang selama itu boleh dikatakan belum terjamah oleh peradaban Barat. Dari ekpedisi yang di dukung oleh Musee de 1’Hummed dan musium di kota Sao Paulo ini memberi kesempatan kepadanya untuk mempelajari orang-orang IndianCaduveo dan Bororo.
Pengalaman perjalanannya menjelajah daerah-daerah terpencil itu ditulisnya dalam sebuah buku yang berjudul Tristes Tropique. Buku ini bercerita tentang penderitaan orang-orang Indian di belantara Amazone. Berawal dari buku inilah yang menjadikan Levi-Strauss terkenal sampai kenegara asalnya yakni Prancis. Ia bahkan telah menghasilkan suatu karya yang sangat penting di bidang antropologi yang sesungguhnya sangat jauh dari studi formal yang dimilikinya.
Karir Levi-Strauss sempat mengalami halangan saat ia diberi kewajiban militer. Ia ditugaskan dibagian pos telekomunikasi di bidang sensor telegram. Sampai akhirnya ia diangkat menjadi liaison officer, yaitu petugas penghubung. Namun dalam situasi yang seperti itu tetap tidak menghalangi dirinya untuk menjadikannya seorang professor. Ia pun akhirnya dibebaskan dari kewajiban militer setelah menjadi seorang professor. Halangan tidak hanya sempai disitu, ia juga mengalami diskriminasi ras. Ia dipecat dari jabatannya karena ia adalah seorang Yahudi. Akhirnya Levi-Strauss diselamat oleh program Yayasan Rockefeller yang memiliki program menyelamatkan ilmuwan dan pemikir-pemikir Eropa berdarah Yahudi di Amerika Serikat. Dari program ini Levi-Strauss berhasil datang ke New York dan selamat dari pembantaian tentara Nazi yang anti terhadap orang-orang Yahudi.
Di daerah Greenwich Village Levi-Strauss tinggal. Di kota New York inilah Levi-Strauss semakin banyak memiliki peluang mengembangkan keilmuannya. Ia banyak berkomunikasi dengan para ilmuan buangan dari Prancis, seperti Maz Ernst, Franz Boas, Ruth Benedict, A.L. Kroever dan Ralph Linton. Ia pun berkesempatan mengajar mata kuliah etnologi di New York Ecole Libre des Hautes Etudes, yang didirikan oleh para intelektual pelarian dari Prancis.
Kita sangat menghargai perjuangan Levi-Strauss dalam menemukan teori (konsep) strukturalisme ini. dengan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian yang luar biasa Levi-Strausss mampu melahirkan karya yang sangat bermanfaat. Berkat jasanya, ribuan bahkan jutaan mitos kini memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan kita. Mitos-mitos itu sebelumnya tak seorang pun yang memperhatikan, bahkan masih sangat sedikit orang yang mendokumentasikan mitos-mitos tersebut.
Selama hidupnya Levi-Strauss pernah menduki jabatan-jabatan setrategis terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1935 sampai 1939 ia diangkat sebagai seorang Professor di Universitas Sao Paolo yang kemudian melakukan beberapa ekspedisi ke Brazil. Pada tahun 1942 sampai 1945 ia diangkat sebagai professor di New School for Social Reseach. Pada tahun 1959 ia menjadi direktu The Ecole Practique des Hautes Etude, yang bersamaan pula dengan kedudukannya sebagai pimpinan Sicial Antropology pada College de France.
Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya diantaranya; the wenner-Gren Foundation’s Viking Fund Medal dan Erasmus Prize pada tahun 1975. Ia juga dianugrahi empat gelar kehormatan oleh Oxford, Yale, Harvard dan Columbia university.

C. Konsep Strukturalisme Levi-Strauss
Cakupan ilmu sosial sangat luas. Hal ini disebabkan banyaknya persoalan yang timbul dalam aktivitas manusia baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan masyarakat. Oleh karena begitu kompleknya persolan itu, sangat tidak mungkin bisa memahami fenomena sosial tampa mengaitkan dengan fenomena-fenomena lain. Inilah yang menjadikan salah satu alasan kenapa dalam ilmu sosial kita harus meniru metode ilmu-ilmu di luar ilmu sosial; seperti ilmu eksata dan pengetahuan alam (exact and natural Sciences). Dari rangkaian persoalan manusia itu terdapat beberapa kesamaan yang bisa dijadikan model dalam sebuah penelitian. Allen Lane (1968; 8) menyatakan sebagai berikut;
On the other hand, studies in social structure have to do with the formal aspects of social phenomena; they are therefore difficult to define, and still more difficult to discuss, without overlapping other fields pertaining to the exact and natural sciences, where problems are similarly set in formal terms or, rather, where the formal expression of different problems admits of the same kind of treatment.

Pendapat Allen ini menunjukan adanya struktur dalam setiap persoalan. Adanya struktur ini memungkinkan juga adanya persamaan-persamaan. Oleh karena itu pula pemahaman dasar dari teori strukturalisme adalah mengacu pada model penelitian linguistik. Langkah ini dilakukan karena dalam strukturalisme dipahami bahwa setiap benda yang berbentuk pasti memiliki struktur. Kroeber dalam buku edisi kedua Anthropology menyebutkan bahwa:
“Structure” appears to be just a yielding to a word that has perfectly good meaning but suddenly becomes fashionably attractive for a decade or so –like “streamlining”- and during its vogue tends to be applied indiscriminately because of the pleasurable connotations of its sound. Of course a typical personality can be viewed as having a structure. But so can a physiology, any organism, all societies and all cultures, crystals, machines- machines- in fact everything that is not wholly amorphous has a structure. So what “structure” adds to the meaning of our phrase seems to be nothing, except to provoke a degree of pleasant puzzlement’.

Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60).
Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “Levi-Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the meaning of the word, but the patterns that the words form.”
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudyaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan.
Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss sangat tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan mitos, menggabungkan fungsi-fungsi hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan varian-varian mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 via Fokkema, 1978).
Untuk mengetahui makna struktur dalam bidang antropologi Levi-Strauss, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi-Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model-model itu yang akan membentuk struktur sosial.
Menurut Levi-Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;
1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memprakirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.

Lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme (Fokkema, 1978). Pasalnya para ahli antropologi pada saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Trites Tropique (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson. Karena bagi Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impresi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema, 1978).
Bagi Levi-Strauss telaah antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya Levi-Strauss berkeyakinan bahwa untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa.
Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss, 1972, via Fokkema, 1978).

Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjara Ningrat; 1987).
Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Yang kedua, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri.
Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang disebutkan oleh Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang Indian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka, dan dalam cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain.
Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model linguistik, terutama setelah diakuinya bidang fonologi (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan fonologi dengan apa yang ada dalam antropologi. Levi-strauss mengakui bahwa analisis yang benar-benar ilmiah harus nyata, sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi-Strauss, 1972, via Fokkema, 1978).
Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam antropologi. Antropologi bukan bergerak dari hal-hal yang kongkret, analisis antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-usul sistem itu sendiri. Antropologi berurusan dengan sistem kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem “terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber sosial atau sumber psikologis.

Pemahaman kita akan adanya struktur dalam setiap benda atau aktivitas manusia memudahkan identivikasi benda atau aktivitas tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam strukturalisme adalah adanya perubahan pada struktur tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut dengan transformasi (transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang berarti change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa terbentuknya struktur meruakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations atau system of relation.
Ahimsa (2006; 61) menyebutkan struktur dapat dibedakan menjadi dua. Struktur luar atau struktur lahir (surface structure) dan struktur dalam atau deep strucutre. Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasar atas ciri-ciri struktur lahir yang sudah kita buat namun tidak selalu nampak.
Agar pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan konsep bahasa menurut para ahli linguistik yang mempengaruhi lahirnya teori ini. Diantara mereka yang sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural. (Levi-Strauss, 1978 via Ahimsa 2006).
Berikut ini penulis sampaikan secara ringkas mengenai konsep bahasa menurut masing-masing ahli bahasa tersebut di atas. Dengan ini juga bisa kita ketahui berbagai sudut pandang yang berbeda dari setiap ahli bahasa yang sangat penting bagi perkembagnan antropologi.

a. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan penemu linguistik modern (Modern Linguistics). Gagasan terbesar de Saussure adalah pada teori umum sistem tanda (general theory of sign system) yang disebutnya dengan ilmu Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56). Sebagai penemu konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap teori Strukturalisme.
Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai hakekat gejala bahasa. Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang sekarang disebut dengan semiotik (Ahimsa, 2006).
Ada lima pandangan de Saussure yang mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu;
1. signifier dan signified,
2. form (bentuk) dan content (isi),
3. langue (bahasa) dan parole (ujaran, tuturan),
4. sinkronis dan diakronis,
5. sintagmatik dan paradigmatik.

1. Signified (tinanda) dan signifier (penanda);
Bahasa adalah suatu sistem tanda (sign). De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda kebahasaan (linguistic sign), yang wujudnya tidak lain adalah kata-kata.

Bagi Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata, dan menurut dia secara psikologis pikiran kita terlepas dari perwudjudannya dalam kata-kata sebenarnya hanyalah “Shapeless and indistinct mass”, sesuatu yang tak berbentuk dan tak mengenal perbedaan-perbedaan atau tak bisa dibeda-bedakan.

Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut signifier, dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified, walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19 via Ahimsya, 2006 h. 35).
Setiap tanda kebahasaan pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatukan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah tinanda (signified).

2. Form (wadah) dan content (isi)
Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep ini, isi boleh saja berganti tetapi makna dari wadah masih tetap berfungsi. Untuk menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan yang sering digunakan untuk menggambarkan kedudukan wadah (form) dan isi adalah pergantian salah satu fungsi dari komponen permainan catur. Meskipun komponen “kuda” hilang seumpamanya. Fungsi “kuda” ini masih bisa digantukan dengan benda lain yang mirip atau tidak sama sekali dengan bentuk asli “kuda” yang digantikan. Suatu benda yang ditempatkan pada posisi “kuda”, akan tetap memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan “kuda” yang hilang itu. Jadi benda apapun selama kita tempatkan dam posisi “kuda”, meskipun dengan bentuk yang lain dari kuda itu tetap bisa menggantikan fungsi kuda yang digantikan tersebut.

3. Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)
Pembahasan de Saussure bukan hanya fokus pada aspek bahasa semata tetapi juga aspek sosial dari bahasa. Komsep langue merupakan aspek yang memungkinan manusia berkomunikasi dengan sesama. Inilah kenapa langue membicarakan juga aspek sosial dalam linguistik. Dalam langue terdapat norma-norma, aturan-aturan antarperson yang tidak disadari tetapi ada pada setiap pemakai bahasa.

Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat individu, ia bisa mencerminkan kebebasan pribadi seseorang. Tuturan ini marupakan apa yang terwujud ketika kita mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang kita pergunakan. Dengan kata lain tuturan yang membedakan kita dengan orang lain melalui gaya bahasa.

4. Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic)
De Saussure meyakini akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh karena itu keadaan ini menuntut adanya perbedaan yang jelas antara fakta-fakta kebahasasan sebagai sebuah sistem, dan fakta-fakta kebahsaan yang mengalami evolosi (Culler, 1976, via Ahimsa, 2006; 46). Karena sifatnya yang evolutif maka tanda kebahasaan sepenuhnya tunduk pada proses sejarah.

Namun demikian, de Saussure masih saja menekankan bahasa pada proses sinkronis. Karena tida semua fakta-fakta kebahasaan itu memiliki sejarah. Hal ini dikarenakan tanda itu sebagi suatu entitas yang bersifat relasional atau dalam relasi-relasi dengan tanda-tanda lain. kesimpulannya bahasa diartikan sebagai “a system of pure values whcih are determined by nothing except the momentary arrangement of its terms” (Ferdinand de Saussure, 1966, via Ahimsa, 2006; 47). Dari pengertian inilah akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mempelalajari bahasa diperlukan pemahaman terhadap relasi-relasi atas elemen-elemen yang bersifat sinkronis.

5. Sintagmatik dan Paradigmatik
Dalam kontek ini de Saussure menyatakan bahwa manusia menggunakan kata-kata dalam komunikasi bukan begitu saja terjadi. Tetapi menggunakan pertimbangan-pertimbangan akan kata yang akan digunakan. Kita memiliki kata yang mau kita gunakan sebagaimana penguasaan bahasa yang kita miliki. Disinilah hubungan sintagmatik dan paradigmatik itu berperan.

Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Ahimsa, 2006; 47). Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam sebuah kalimat. Sepeti kata yang terdapat dalam kata “saya”, “memetik” dan “bunga”. Ketiga kata ini bisa digabung menjadi kalimat “saya memetik bunga”. Gabungan kata yang sesuai itu memiliki makna. Penggabungan kata ini tidak terjadi begitu saja, tetapi dipertimbangkan konvensi bahasa yang sudah ada. Karena seperti kata “memetik” tentu tidak bisa digabungkan dengan kata “mengalir”. Atau gabungan kata “bunga mengalir” gabungan ini tidak memiliki makna karena tidak sesuai tata bahasa yang umum atau standar.

b. Roman Jakobson
Meskipun Jakobson terlahir setelah de Saussure, ia dikenal sebagai pengembang Semiotika Klasik. Konsep yang ditawarkan oleh Roman Jakobson (1896-1982) lebih condong pada para ahli bahasa dari Rusia (Rusian Linguist). Koch (1981; via Noth, 1995; 74) membedakan empat periode perkembangan penelitian mengenai karya-karya Jakobson;
Pertama, periode formalist, yaitu antara tahun 1914 sampai 1920. Pada periode ini Jakobson dikenal sebagai pendiri Moscow Linguistic Circle dan juga sebagai anggota kelompok Opoyaz yang sangat berpengaruh.
Kedua, periode stucturalist, yaitu antara tahun 1920 sampai 1939. Jakobson merupakan figur yang paling mendominasi dalam Prague School of Linguistics and Aesthetics.
Ketiga, periode Semiotic, antara tahun 1939 sampai 1949.. Pada periode ini Jakobson bergabung dalam Copenhagen Linguistic Circle (Brondal, Hjelmslev) dan aktif dalam Linguistic Circle of New York.
Keempat, periode interdisciplinary yang dimulai pada 1949 yaitu saat ia mulai bekerja di Harvard dan juga MIT mengenai teori informasi dan komunikasi (Informatioan and Comunicatioan Theory), matematika dan juga fisika (1982).
Pemikiran Jakobson berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss pada konsepnya mengenai fenomena budaya. Jakobson memberikan pandangan kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat variatif tersebut (Ahimsa, 2006; 52). Pengaruh yang besar Romand Jakobson disampaikannya sendiri oleh Levi-Strauss sebagaimana dikutib oleh Ahimsa (2006; 52) berikut ini:
“...His (Jacobson’s) lectures, however, gave me something very different and, need I add, a great deal more than I had bargained for. This was the revelation of structural linguistics, which provided me with a body of coherent ideas where I could crystallize my reveries about the wild flowers I had gazed at somewhere along the Luxembourg border early in May 1940..” (1985:139)

Dalam pemikiran Jakobson unsur terkecil dari bahasa adalah bunyi. Dengan demikian kata diartikan sebagai satuan bunyi yang terkecil dan berbeda. Fonem sebagai unsur bahasa terkecil yang membedakan makna, meskipun fonem itu sendiri tidak bermakna. Contoh kasus yang menujukan peranan penting fonem dapat kita lihat dalam dua kata antara “kutuk” dan “kuthuk” (basa Jawa). Perbedaan tulisan antar /t/ dan /th/ mengakibatkan sedikit perbedaan pengucapan tetapi memiliki makna yang jauh berbeda. “Kutuk” mengacu pada nama sejenis ikan gabus sedangkan “kuthuk” adalah anak ayam (Ahimsa; 2006).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa fonem terbentuk karena adanya relasi-relasi, dan realsi-relasi ini muncul karean adanya oposisi. Jadi sebenarnya fonem tidak akan bermakna atau tidak memiliki isi. yang hakiki dari sebuah fonem adalah relasi karena dengan begitu sebuah fonem baru memiliki fungsi yang jelas.
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain.
Langkah-langkah struktural terhadap fonem yang dilakukan oleh Jakobson adalah;
a. Mencari distinctive feature (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada tidaknya ciri pembeda dalam tanda-tanda tersebut;
b. Meberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lian;
c. Merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana dengan distinctive features yang mana yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainya;
d. Menentukan perbedaan- perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatis, yakni perbedaan-perbedaan antartanda yang masih dapat saling menggantikan(Pettit, 1977, 11; Ahimsya; h. 55).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Jakobson mempengaruhi Levi-Strauss pada tataran tatanan (susunan/order) yang ada di balik fenomena budaya (Ahimsa, 2006).


c. Nikolai Troubetzkoy
Nikolai mempengaruhi Levi-Strauss dalam hal strategi kajian bahasa yang berawal dari konsepsi mengenai fonem. Nikolai berpendapat bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep psikologis. Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengatahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang pernah belajar lingusitik. (Ahimsa, 2006)

Toubetzkoy menyarankan agar perhatian pada fenomena fonem sebagai sebuah konsep linguistik. Karena itu sebaiknya para peneliti memperhatikan distinctive feature, ciri-ciri pembeda, yang memiliki fungsi atau operasional dalam satu bahasa. Dengan kata lain, strategi analisis dalam fonogi haruslah struktural, karena relasi-relasi antar ciri-ciri pembeda dalam fonemlah yang menjadi pusat perhatian (Ahimsa, 2006; 59).
Langkah analisis struktural dalam fonologi;
1. Beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar. Pada tataran ini seorang ahli fonologi tidak lagi memperlakukan istilah-istilah (terms) atau fonem-fonem sebagai entitas yang berdiri sendiri, tetapi dia harus;
2. Memperhatikan relasi-relasi antar istilah atau antar fonem tersebut, dan menjadikannya sebagai dasar analisisnya. Selanjutnya dia perlu;
3. Memperlihatkan sistem-sisitem fonemis, dan menampilkan struktur dari sistem tersebut.
4. Harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala kebahasaan yang mereka teliti.
D. Asumsi Dasar Strukturalisme
Dari pemahaman kita di atas, strukturalisme merupakan aliran baru bagi studi antropologi. Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan pendekatan yang ada dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa (2006; 66-71) menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut;

1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane; 1970; 13-14 Ahimsya; 66).

2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya.

Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia. (Ahimsa, 2006; 68).

3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.

Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain.

4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition).

Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.

Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.

E. Kelemahan dan kelebihan Strukturalisme Levi-Strauss
Seberapapun sempurnanya suatu teori, pasti akan terdapat celah-celah kekurangan dan kelemahanya. Demikian halnya dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Strukturalisme ini mendapat kritik terutama dari para ahli antroplogi itu sendiri. Kritik yang berkenaan dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss dapat dilihat pada persoalan perangkat dan metode analisis, data etnografi dan interpretasi, serta hasil analisis dan kesimpulan dari hasil analisis teori tersebut.

a. Perangkat dan Metode Analisis
Ahimsa (2006; ) menyebutkan bahwa kritik terhadap perangkat dan metode analisis dapat dibedakan menjadi tiga; a). Cara menggunakan konsep-konsep analisis. b). Konsistensi prosedur analisis dan c). Reduksi dalam proses analisis.

Marry Douglas mengkritik mengenai cara penggunaan konsep-konsep analisis. menurutnya Levi-Strauss tidak selalu menggunakan konsep analisisnya dengan tepat. Karena ketidaktepatan itu, Levi-Strauss sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang dianggap terlalu jauh. Douglas menyebutkan bahwa Levi-Strauss sering memaksakan datanya agar sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya (Ahimsa, 2006; 162).
Kedua, Levi-Strauss sering tidak konsisten dengan analisis yang dikembangkan. Levi-Strauss pernah mengatakan bahwa untuk memahami sebuah mitos lebih penting memahami struktur daripada isi cerita. Namun dalam prakteknya ia tidak melakukan analisis seperti yang digambarkan. Dalam beberapa analisisnya ia tidak hanya menlaah pada tataran sintaksis, tetapi juga pada tataran semantis yang berarti isinya juga. Disisi lain ia juga berpendapat bahwa dalam mitos isi dan bentuk tidak bisa dipisahkan (Yalman, 1967 via Ahimsa, 2006).

Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist (reduksionis). Cara ini sangat kurang tepat untuk menganalisis mitos sebagai produk budaya manusia yang sangat kompolek. Cara analisis menggunakan sistem ini akan mengurangi kesempurnaan analisis karena akan mengalami kelemahan makna (a lesser meaning). Douglas menyebut dua reduksionisme yang dilakukan oleh Levi-Strauss yaitu pada model komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam analisis wacana (Ahimsa, 2006; 164).

b. Interpretasi Data Etnografi
Data etnografi sangat penting dalam menelaah mitos. Hal ini dikarenakan mitos tidak pernah lepas dari kontek budaya masyarakat setempat dimana lahirnya mitos tersebut. Dalam persoalan ini, Strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa kelemahan. Menurut para antropolog, seperti Alice Kassakoff dan John W. Adam keakuratan data etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum seutuhnya mendukung dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis Strauss justru menutupi realistas kekerabatan yang ada pada suku Indian tersebut. (Ahimsa, 2006; 168).

Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik mengenai hasil analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap suku Asdiwal. Menurut Adam gagasan Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini yang sebenarnya sederhana dan bahkan tidak ada, oleh Strauss dipaksakan sesuai apa yang menjadi konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori ini kridibilitasnya masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga didukung oleh tiga ahli antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ. Kronenfeld dan DB. Kronenfeld. Ketiganya menyimpulkan bahwa analisis Strukturalisme Levi-Strauss dianggap penuh dengan generalisasi-generalisasi etnografi yang sangat diragukan kebenarannya. Bahkan analsisnya dianggap mengalami ke-salahrepresentasi-an. (misrepresentasions of story).

c. Hasil Analisis
Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya dipersoalkan dalam Strukturalisme Levi-Strauss. Hasil analisisnya pun masih banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan terutama para ahli antropologi. Ahimsa (2006) menyatakan bahwa hasil analisis kritik dapat dibedakan dalam beberapa hal; a). Kemampuan analisis struktural menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran struktur mitos yang dikemukakan.

Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-Strauss ditolak oleh Douglas. Douglas beranggapan bahwa masih ada aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap realitas sosial yang positif. Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa makna mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss dianggap biasa-biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.

Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis mitos menggunakan model analisis puisi denganggap tidak tepat. Metoda ini justru dianggap mengalami kebocoran seperti yang diistilahkan Ahimsa dalam tulisannya. Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-Strauss terlalu banyak mencontoh model yang diterapkan dalam ilmu bahasa (linguistik) yang menurut Douglas tidak cocok jika diterapkan dalam analisis mitos.
“Instead of more and richer depths of understanding, we get a surprise, a totally new theme, and often a paltry one at that”. ( Douglas, 1967 via Ahimsa, 20006; 170).

F. Beberapa Tanggapan
Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam Strukturalisme Levi-Strauss, tentunya banyak hal yang dapat menjadi kelebihan dari teori ini. karena kita menyadari juga bahwa teori ini masih baru dalam bidang antropologi, sehingga tentunya masih banyak penyesuaian dan pendalaman (penyempurnaan). Maka wajar kiranya banyak yang menghujat sekaligus memuja teori ini.
Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Maybury-Lewis (1970) menyatakan bahwa banyak hal yang berhasil membuka perspektif-perspektif baru dalam analisis mitos yang telah dilakukan oleh Levi-Strauss. Douglas yang sebelumnya banyak melakukan kritik, ternyata masih mengakui beberapa kemanfaatan dari Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan teori ini telah mampu mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang tidak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu (via Ahmisa; 2006; 176).
Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan oleh Levi-Strauss kita mengetahui keterkaitan antara mitos yang satu dengan yang lain. Ada susunan, struktur dan koherensi logis dalam mitos. Dan inilah yang menunjukan pada kita akan keterkaitan mitos dan budaya masyarakat yang terdapat dalam mitos tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli antropologi melakukan kritik terhadap teori Strukturalisme Levi-Strauss mereka masih mengakui beberapa keunggulan atau manfaat dari jerih payah Levi-Strauss. Bahkan apa yang digagas oleh Levi-Strauss melalui metode struktural ini dapat dikatakan banyak benarnya. Masuk akal, menarik dan mampu memberikan wawasan atau wacana tentang mitos yang sangat penting itu.

G. Kesimpulan
Uraian di atas menunjukan pada kita bahwa latar belakang pendidikan dan sejarah hidup Levi-Strauss telah memberikan warna pada pemikirannya. Lahirnya konsep Strukturalisme yang dikembangkannya sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman lapangan dan juga dari hubungannya dengan para ahli linguistik yang secara langsung telah mempengaruhi pemikirannya mengenai budaya.
Ada beberapa poin penting dari apa yang sudah kita bahas dalam paparan tulisan ini. Poin pertama adalah pemahaman kita secara umum akan pentingnya memahami kebudayaan melalui bahasa. Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai cermin dari masyarakat itu sendiri.
Kedua, penggunaan istilah-istilah atau tata bahasa dalam suatu masyarakat merupakan gambaran adanya struktur. Dalam istilah-istilah bahasa terdapat susunan yang mengandung arti bukan sekedar makna etimologis tetapi juga psikologis dan sosiologis. Dengan demikian kata-kata atau secara umum bahasa merupakan gambaran dari masyarakat penuturnya.
Ketiga, karena adanya kesamaan struktur maka untuk mengungkap fenomena budaya dapat dilakukan dengan model seperti yang terdapat dalam bahasa. Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa bisa menjadi lambang budaya. Oleh karena itu Levi-Strauss menyarankan agar para ahli antropologi bekerja sama dengan para ahli linguistik dalam mempelajari fenomena-fenomena budaya.
Terakhir, meskipun Strukturalisme Levi-Strauss banyak mendapatkan kritik, khususnya para ahli antropologi. Teori ini telah berkembang dan menguasai pemikiran banyak ahli di bidang budaya di Perancis. Bagaimanapun dengan lahirnya teori ini banyak perspektif baru yang sangat positif bagi perkembangan ilmu budaya. Bahkan teori ini sering disebut sebagai tren kedua dalam penelitian sastra strukturalis. (Fokkema, 1978).

















DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Shri, H., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, kepel Press, Yogyakarta.
Daiches, David, 1981, Critical Approaches to Literature, Longman, New York.
Fokkema, D.W., 1998, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of Literature in the Twentieth Century), Gramedia, Jakarta.
Lane, Allen, 1968, Structural Anthropology, The Penguin Press.
Noth, Winfried, 1995, Hand Book of Semiotics, Indiana university Press, Bloomington and Indianapolis.
Selden, Raman, 1985, A Reader Guide to Contemporary Literary Work, The Harvester Press Limited, Sussex.
Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi Struktural, 2007), Kreasi Wacana, Yogyakarta.