Sponsor Links

Wednesday, July 30, 2008

Nasionalisme Budaya

Oleh
Wajiran, S.S.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,
Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta)

Pendahuluan
Derasnya arus globalisasi telah merubah berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Di sisi lain mengalami kemajuan yang sangat pesat, tetapi di tempat lain juga mengakibatkan kerusakan yang luar biasa. Kemajuan yang terjadi dapat dirasakan dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, yang menjadi kegelisahan adalah bebasnya arus informasi di negeri ini. Hal ini menyebabkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa sebagai akibat dari globalisasi. Kemorosotan inilah yang perlu mendapat perhatian bagi kita semua sebagai bangsa yang berbudaya.
Persoalan moral merupakan isu yang paling urgen untuk diperhatikan. Moral akan sangat menentukan kehidupan masa depan bangsa. Jika budaya leluhur sudah mulai luntur, maka bakal dipastikan akan hilang juga identitas suatu bangsa. Berbagai level masyarakat telah kehilangan jati diri dengan gaya hidup yang tidak memperlihatkan jati diri bangsa. Hal ini dikarenakan banyaknya kalangan masyarakat kita yang lebih suka meniru gaya hidup barat ketimbang mempertahankan karakteristik budaya sendiri.
Bahasa merupakan salah satu aspek kebudayaan. Melalui Bahasa juga memungkinkan aspek-aspek kebudayaan tersebar ke berbagai level masyarakat. Dengan semakin meningkatkan masyarakat Indonesia mempelajar bahasa asing, maka nilai-nilai dari lain pun akan semakin mudah mereka serap. Kenyataan yang sekarang ini terjadi adalah masyarakat lebih cenderung mempelajari Bahasa Inggris. Hal ini menunjukan bagaimana dominasi budaya yang datang dari negara-negara yang barat semakin kuat di negara kita. Apakah hal ini juga yang menyebabkan lunturnya kebudayaan kita?
Bukti lemahnya minat masyarakat Indonesia untuk memahami budaya sendiri juga dapat dilihat pada minimnya peminat para pelajar/mahasiswa yang mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di sekolah-sekolah atau pun perguruan tinggi, jurusan ini tidak diminati sebagaimana halnya Bahasa Inggris. Demikian juga dengan pertunjukan kesenian tradisional atau kesenian daerah yang saat ini sudah hampir dilupakan oleh generasi muda. Kondisi inilah yang nampaknya menjadi persoalan rumit di negeri kita ini. Masyarakat, khususnya kaum muda lebih suka kepada kebudayaan asing dibanding dengan budaya sendiri. Mereka lebih menyukai musik jazz, rock, atau musik-musik yang berbau barat ketimbang kesenian tradisional seperti wayang, ketroprak, reok yang merupakan produk budaya Indonesia yang sesungguhnya.
Selain karena trend, kecenderungan masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis masyarakat kita. Sebagai negara berkembang masyarakat Indonesia memang masih sangat lemah dalam berbagai segi. Kondisi ekonomi yang sangat lemah menjadikan mereka tergiur untuk meniru budaya asing yang menurut mereka dipandang menyenangkan. Gemerlap kehidupan masyarakat barat itu mendoktrin melalui berbagai media massa, baik media cetak maupun eleoktronik. Disinilah kemengan mereka dalam menanamkan kebudayaan yang kini merenggut generasi muda bangsa Indonesia.
Melihat kondisi yang demikian, nampaknya diperlukan suatu tindakan yang bisa mengkonter dampak negatif dari budaya asing itu. Hal ini bisa dilakukan dari segi-segi yang paling kecil. Bahasa Indonesia merupakan aspek budaya yang sangat penting. Karena dengan pengajaran bahasa dapat sekaligus menanamkan nilai-nilai budaya leluhur bangsa yang terdapat dalam karya-karya anak negeri sendiri. Nilai-nilai luhur akan semakin melekat dibenak para generasi muda jika mereka memahami kelebihannya dibanding dengan budaya lain. Kita bisa mencontoh pengajaran bahasa ibu (Mother tongue) di negara-negara maju. Bahasa Inggris, meskipun merupakan bahasa ibu di negara Inggris dan Amerika, tetapi masih tetap menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Menariknya dalam setiap jenjang pendidikan, para siswa diwajibkan membaca menimal 10 karya sastra dalam bentuk novel. Cara-cara seperti ini nampaknya perlu ditiru di sekolah-sekolah kita. Karena dengan begitu nilai-nilai leluhur bangsa ini tidak akan terkikis bersamaan dengan terkikisnya minat para generasi muda untuk mempelajari bahasa mereka sendiri.

Identitas bangsa
Ada kekhawatiran akan hilangnya rasa nasionalisme bersamaan dengan adanya proses globalisasi. Kekhawatiran itu mungkin wajar karena pada era globalisasi batas atau sekat komunikasi hampir tidak ada. Bahkan dengan adanya teknologi komunikasi, informasi dari negara maju semakin mudah diakses dimanapun. Akibatnya dominasi kebudayaan negara-negara maju makin terasakan di negara kita ini. Kebudayaan Amerika misalnya, saat ini sudah sedemikian melekat dalam segala tingkah laku remaja kita. Dari segi pakaian, hiburan bahkan makanan remaja kita sudah sangat Amerikanis.
Percaturan atau interaksi budaya sebenarnya bukan sebuah ancaman. Adanya interaksi itu justru akan memperkaya kebudayan kita masing-masing. Oleh karena itu kita tidak perlu menutup diri dengan tidak bergaul dengan bangsa lain. Kita harus banyak belajar dari kebudayaan lain yang dalam segi-segi tertentu lebih baik dari kebudayaan kita. Budaya disiplin dan kerja keras misalnya perlu kita tiru dari negara-negara barat yang telah terbukti lebih unggul dari kita.
Yang diperlukan saat ini adalah strategi kita memilih aspek budaya yang baik dari budaya asing itu. Karena hanya dengan cara seperti itu negara kita akan mengalami kemajuan. Malaysia merupakan contoh negara yang terbuka namun masih tetap mampu mempertahankan kebudayaan aslinya. Di negeri yang belum lama merdeka ini rasanya tidak ada tekanan untuk menggunakan bahasa Melayu saja. Bahkan tidak ada aturan menggunakan bahasa Melayu yang dibakukan. Justru bahasa mereka bercampur dengan bahasa asing secara alami. Kondisi ini justru menguntungkan bagi semua kalangan, karena dengan begitu orang tidak lagi malu menggunakan bahasa Melayu yang bercampur dengan Bahasa Inggris. Itulah sebabnya masyarakat Malaysia umumnya memahami Bahasa Inggris lebih baik dibandingkan dengan masyarakat Indonesia.
Kondisi ini sungguh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Di negara kita orang cenderung merasa malu menggunakan bahasa campuran, Indonesa dan Inggris karena takut dianggap sombong. Masyarakat kita belum terbiasa menggunakan bahasa asing termasuk sekedar menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau barat. Akibatnya masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami Bahasa Inggris yang sangat penting dalam pergaulan global. Kondisi seperti ini terjadi juga di dunia pendidikan. Para siswa tidak bisa menggunakan bahasa Inggris secara aktif meskipun secara teori mereka menguasainya.
Untuk mempertahankan identitas bangsa, kita tidak perlu menutup diri dari percaturan global. Tetapi kita harus terbuka demi mencari format kebudayaan yang lebih baik. Karena percaturan itu akan menyadarkan akan pentingnya bahasa dan budaya sendiri. Prof. Dr. Mursai Esten menyatakakan ketika Bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa ibu akan dirasa menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat. Karena itu kekhawatiran akan hilangnya Bahasa Indonesia dengan adanya bahasa asing adalah hal yang tidak perlu kita alami.
Kesenian dan pariwisata merupakan bidang yang mendapat angin segar di era globalisasi. Sebagaimana yang dikatakan dikatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Megatrend 2000, bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan hiburan bagi masyarakat modern. Akibat tuntutan persaingan hidup yang begitu ketat, menjadikan manusia haus akan hiburan. Dalam kondisi seperti ini masyarakat membutuhkan hiburan guna melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan. Hal inilah yang menjadikan masyarakat mengeluarkan banyak uang di bidang kesenian dan pariwisata.
Bidang kesenian dan pariwisata turut berperan dalam pertukaran budaya. Pertukaran budaya sebagai akibat dari interaksi atau komunikasi antar budaya itu. Dan hal itu hanya terjadi melalui bahasa. Adanya pertukaran budaya yang semakin intensif menjadikan peranan bahasa dan budaya Indonesia semakin penting. Karena dengan begitu proses berfikir tidak akan pernah lepas dari bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang akrab dengan masyarakatnyalah yang akan digunakan. Walhasil, bahasa itu akan melahirkan proses kreatif, proses ekpresif yang akhirnya melahirkan karya sastra, yaitu karya sastra Indonesia. (Prof. Dr. Mursal Esten, 2006).

Masa Depan Bahasa Indonesia
Indonesia merupakan negara yang berpeluang sebagai pusat kebudayaan terutama di wilayah Asia Pasifik. Jika dibanding dengan negara-negara lain, Indonesia memiliki keunikan budaya yang sudah bisa dibilang mapan. Hal ini terbukti juga dengan semakin banyaknya karya-karya anak negeri yang laku di negeri lain. Malaysia adalah negeri yang masyarakatnya sangat menyukai karya-karya sastra Indonesia. Hal ini senada dengan prediksi Prof. Dr. Mursai Esten, bahwa kawasan Indonesia akan menjadi global-tribe yang paling penting di dunia selain Malaysia, Thailand, Brunai dan Filipina. Dari semua negara Asia itu Indonesia memiliki kebudayaan yang paling mapan dan unik.
Saat inipun sesungguhnya bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang mendominasi di kawasan nusantara. Bahasa yang awalnya dari bahasa Melayu-Riau itu telah mengalahkan bahasa-bahasa besar yang sebenarnya lebih dahulu digunakan, yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Dengan demikian, sastra Indonesia modern pada hakekatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal. Orang lebih mudah memahami bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Yang menjadi masalah disini adalah bagaimana menjadikan bahasa Indonesia dan sastra Indonesia memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah percaturan budaya global. Lebih penting lagi seperti yang dikemukakan oleh Prof. Mursai adalah bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakat Indonesia memiliki posisi kuat di tengah masyarakat dunia.

Kesimpulan
Persoalan di atas merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi para pengajar bahasa, sastra dan budaya Indonesia. Oleh karena itu sejak dini harus dilakukan langkah-langkah strategis untuk menanamkan kecintaan terhadap bahasa, sastra dan budaya kita sendiri. Hal yang demikian itu hanya bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan yang ada di negeri ini.
Disamping itu pula, interaksi budaya memang harus dibiarkan mengalir secara alami. Karena dinamika itu akan melahirkan budaya sebagai jati diri yang lebih baik. Dalam arti yang lebih sesuai dengan karakteristik bangsa kita. Karena sesungguhnya mempertahankan budaya dengan cara defensif atau menutup diri dari percaturan budaya budaya global adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membuat kondisi dimana bahasa dan budaya Indonesia itu sangat dibutuhkan dalam percaturan global. Mekanisme “pasar”lah yang akan menentukan perkembangan bahasa dan budaya kita. Yitu bahasa yang sesuai dengan kebutuhan adalah bahasa yang akan tetap dipergunakan. Karenanya masyarakat Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai upaya mempertahankan eksistensi Bahasa Indonesia dengan cara menerbikan karya-karya sastra berbahasa Indonesia. Hanya dengan cara seperti itulah bahasa Indonesia akan menjadi kekuatan budaya bangsa kita di masa yang akan datang. Wallahua’lam bish shawab.

Yogyakarta, 30 April 2008

Sastra dan Kekuasaan (Nyi Roro Kidul adalah Propaganda Politik Kerajaan)

Oleh
Wajiran, S.S.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan dan
Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM)




A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan produk masyarakat. Ia diciptakan oleh seorang pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu karya sastra tidak pernah lepas dari gambaran apa yang terjadi di masyarakatnya saat karya itu lahir. Gejala sosial atau fenomena sosial merupakan hipogram (stimulan) bagi terbentuknya karya sastra. Hipogram yang ada dalam karya sastra tersebut bisa mendukung, tetapi bisa juga bersifat menolak nilai-nilai yang ada di masyarakatnya.
Karya sastra telah ada bersamaan dengan adanya manusia itu sendiri. Karya sastra berkembang dari yang paling sederhana sampai pada taraf yang paling modern sekarang ini. Dulu karya sastra masih bersifat lisan, penyebarannya dari mulut kemulut. Namun seiring dengan perkembangan jaman, karya sastra telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hampir semua media modern dapat digunakan sebagai media ekpresi sastra. Dengan demikian karya sastra pun banyak mengalami transformasi, dari lisan menjadi tulisan kemudian berkembang dengan media audiovideo dan lain sebagainya.
Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan perkembangan karya sastra tersebut. Tetapi lebih pada gambaran keterkaitan antara karya sastra dengan kekuasaan pemerintah. Hal ini dikarenakan kedekatan karya sastra dengan kekuasaan penguasa terutama di pemerintahan yang berbentuk kerajaan (Feodal).
Sastra dan kekuasaan hampir tidak bisa dipisahkan. Di negara terbelakang (kerajaan) sampai negara yang paling maju pun karya sastra sangat erat kaitannya dengan hegemoni penguasa. Di Inggris misalnya, banyak karya sastra atau sastrawan yang dibayar agar membuat karya sastra yang bisa melanggengkan kekuasaan raja. Di Amerika juga demikian, karya sastra yang berupa drama, novel dan yang paling modern film sering dijadikan sebagai alat propaganda politik kaum penguasa tertentu. Tidak berbeda halnya dengan kenyataan di atas, karya sastra yang ada di Indonesia. Gambaran yang ada dalam karya-karya sastrawan Indonesia banyak yang berisi propaganda politik tertentu. Tokoh-tokoh seperti W.S Rendra, Muhammad Yamin, Khairil merupakan sastrawan yang sering menyuarakan kelompok masyarakat tertentu, sebagai upaya mempengaruhi masyarakatnya.
Tidak berbeda dengan sastra Indonesia modern lainnya, sastra lisan juga menjadi bagian dari alat propaganda tersebut. Cerita Nyi Loro Kidul (Penguasa Laut selatan) merupakan bagian dari karya sastra yang digunakan oleh penguasa untuk suatu tujuan politis. Tujuan politis yang dimaksudkan adalah untuk melanggengkan kekuasaan sang raja.
Tidak banyak yang menyadari, bahwa cerita Nyi Loro Kidul merupakan sebuah karya sastra lisan. Cerita ini dibuat oleh seseorang yang dekat dengan kekuasaan raja. Meskipun sampai saat ini tak seorang pun yang tahu siapa yang membuat cerita ini. Karena cerita ini dihubungkan dengan sesuatu yang supranatural, maka masyarakat umumnya mempercayai akan kebenaran cerita ini. Cerita Ratu Laut Selatan akhirnya menjadi mitos terutama di kalangan masyarakat Jogjakarta. Inilah yang menjadikan cerita ini menjadi suatu hegemoni. Sebagaimana dikatakan oleh Pramudia Ananta Toer menyatakan bahwa Raja Jawa Kuno sering menggunakan hal-hal gaib untuk menkut-nakuti orang awam sehingga kediktatoran sang raja tidak digugat (Irwan Ghailan, 2004).
Sebagai upaya meyakinkan masyarakat akan kebenaran Nyi Loro Kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu selamatan di pantai selatan. Kegiatan ini dilakukan supaya masyarakat lebih yakin akan keberadaan Nyi Loro kidul tersebut. Karena dengan begitu rakyat juga mempercayai kedekatan raja dengan Nyi Loro Kidul. Wal hasil Masyarakat pun takut kepada raja. Karena kedekatannya dengan Ratu Laut Selatan itu.
Sampai saat banyak masyarakat yang mempercayai keberadaan Nyi Loro Kidul. Hal ini terbukti masih adanya kepercayaan akan pantangan-pantangan selama berada di daerah laut selatan. Di Pantai parangtritis misalnya, orang masih merasa ragu atau bahkan takut untuk memakai baju biru. Baju biru katanya dilarang dipakai di daerah ini. Bagi orang yang memakai baju biru akan dikejar ombak dan bisa jadi menjadi tumbal bagi Nyi Loro Kidul. Selain itu juga, setiap ada orang yang tenggelam di pantai laut selatan selalu dikaitkan dengan keberadaan Nyi Loro Kidul.

B. Asal-Usul Nyi Loro Kidul Versi Keraton Yogyakarta
Menurut beberapa sumber dari keraton Yogyakarta, Nyi Loro Kidul sebenarnya adalah putra (anak) dari seorang begawan bernama Abdi Waksa Geni. Ia berasal dari keluarga dengan dua bersaudara. Saudara kandungnya bernama Nawangsari, sedangkan nama dia yang sesungguhnya tidak diketahui. Awalnya, sewaktu masih menjadi manusia biasa Nyi Loro Kidul adalah gadis yang buruk rupa. Sedangkan saudara kandungnya sangat cantik. Kondisi ini membuat Nyi Loro kidul merasa minder bergaul dengan orang-orang di lingkungannya. Karena ayahnya seorang abdi, maka ayahnya selalu mengingatkan ia untuk tidak bersikap demikian.
Sebagai usaha menghilangkan perasaan minder itu, ayah Nyi Loro Kidul meminta ia agar mandi dan bertapa di laut selatan. Pada saat mandi itulah ia didatangi oleh seorang dewa. Dewa itu menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi cantik, dengan syarat dia harus mau diangkat jadi ratu di pantai laut selatan. Dengan adanya tawaran itu sang putri mau menerima, karena sudah terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain. Maka jadilah ia seorang yang cantik dan menguasai Kerajaan Laut Selatan, seperti yang dipercaya orang sampai saat ini.
Keterkaitan antara kerjaan Mataram dengan Nyi Loro Kidul bermula pada saat sang raja ditawari menikah denganya. Ratu kidul sangat tergila-gila pada sang raja yang memiliki wajah yang sangat tampan. Pertemuan Nyi Loro Kidul dengan raja Mataram bermula pada saat sang raja bertapa di pantai Parangkusumo. Saat bertapa itu ratu Laut Kidul menemui Sang raja. Ratu Laut kidul menyukai sang raja dan mengatakan bahwa jika raja mau menjadi suaminya ia berjanji akan membantu menjaga kerajaan mataram sampai akhir hayatnya, bahkan sampai kiamat. Setelah menikah, sang raja diminta makan sebuah telur yang di berikan oleh Ratu kidul. Dengan memakan telor itu, sang Raja akan hidup abadi. Tetapi karena raja adalah seorang manusia maka dia tidak mau hidup abadi tetapi ingin mati seperti manusia umumnya, karena dia menginginkan ada keturunnnya yang meneruskan kekuasaanya.
Sang raja tidak memakan telur itu yang diberikan ratu, tetapi telur itu diberikan kepada abdi dalem yang dikasihi. Abdi dalem yang memakan telor pemberian ratu itu kemudian berubah menjadi raksasa yang menakutkan. Karena raksasa itu menakutkan maka ia diperintahkan raja agar menjadi penjaga gunung Merapi. Raksasa kemudian diberinama Kiai Sapu Jagat.
Menurut abdi dalem keraton Yogyakarta, delapan puluh persen masyarakat Yogyakarta mempercayai kebenaran cerita Nyi Loro Kidul. Bukti kepercayaan itu dengan dilaksanakannya kegiatan labuhan yang dilaksanakan setiap tahun di Pantai Parang Tritis. Kegiatan labuhan ini bertujuan untuk memberikan nafkah kepada Sang Ratu dari raja. Sebagaimana halnya seorang suami sang raja wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Persembahan yang diberikan dalam labuhan ini juga berupa makanan dan barang-barang tertentu yang sudah ditentukan, termasuk pakaian sang raja yang sudah bekas juga diberikan kepada Sang Ratu.

C. Versi Keraton surakarta
Cerita mengenai Nyi Loro Kidul bukan hanya diyakini oleh masyarakat Yogyakarta sebagai kota yang sangat dekat dengan pantai selatan. Tetapi cerita ini diyakini juga oleh sebagian masyarakat Surakarta, terutama bagi para abdi dalem Keraton. Nyi Loro Kidul adalah sosok yang sangat diyakini keberadaannya. Menurut sebagian besar abdi dalem, Nyi Loro Kidul dipercaya sebagai istri Raja.
Sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Nyi Loro Kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu kegiatan sebagai upacaraa untuk menghormati Sang Ratu. Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan labuhan yang dilaksanakan di pantai selatan. Untuk kerajaan surakarta, labuhan dilaksanakan di pantai Parangkusumo sedangkan labuhan yang dilaksanakan oleh Raja Yogyakarta dilaksanakan di Parangtritis.
Adanya kesamaan keyakinan ini ternyata menunjukan adanya kesamaan latarbelakang sejarah dari kedua kerajaan ini. Dimana antara kerton Yogyakarta dan Surakarta berasal dari kerajaan Mataram. Sehingga kepercayaan terhadap keberadaan Nyi Loro Kidul pun sama. Hal ini juga ditunjukan adanya kesamaan nama-nama tempat sebagai bentuk keyakinan adanya Nyi Loro Kidul. Di kerajaan Surakarta, kita mengenal suatu tempat yang dinamakan Tamansari. Di tempat inilah sang raja sering berkomunikasi dengan Nyi Loro Kidul yang dilakukan setiap malam Suro. Disamping itu di keraton Surakarta juga mengadakan tari Bedoyo yang fungsinya sebagai peringatan atau menghibur raja sekaligus memfasilitasi pertemuan antara raja dengan Sang Ratu. Pada saat dilangsungkannya tarian ini, Nyi Loro Kidul diyakini ikut serta secara langsung dalam tarian itu. Bahkan sampai saat ini, orang masih yakin kehadiran Nyi Loro Kidul dalam tarian yang dipertontonkan itu. Tarian yang dimainkan sebanyak sembilan orang itu dengan sendirinya akan menjadi sepuluh orang dan yang satunya diyakini sebagai Nyi Loro Kidul. Tarian ini dilaksanakan pada hari jumat dan selasa kliwon jam 14.00-15.00.
Bukti kepercayaan adanya Nyi Loro Kidul juga dapat dilihat dari cerita para abdi dalem. Menurut kesaksian dari mereka, jika ada orang yang membawa pasir yang berada di depan pendopo kerajaan, maka orang yang membawa pasir tersebut akan ditemui oleh Nyi Loro Kidul. Pera abdi dalem mengatakan sering ada kejadian seperti halnya kesurupan yang diyakini sebagai pertemuan orang itu dengan Nyi Loro Kidul.
Selain keyakinan akan keberadaan Nyi Loro Kidul di lingkunan keraton Surakarta, ada juga yang meyakini akan kekuatan sang ratu terhadap penyembuhan berbagai penyakit. Pasir yang terhampar di depan pendopo diyakini juga bisa menyembuhkan bagi mereka yang memiliki penyakit reumatik, darah tinggi, dan penyakit gawat lainya. Hal ini dikarenakkan pasir yang diambil dan disebarkan dipelataran pendopo itu diambil dari Gunung Merapi dan Pantai Parangkusumo. Dimana kedua tempat itu sering disebut sebagai tempat tinggal sang Ratu Kidul.
Dari beberapa abdi dalem yang sempat berdiskusi mengenai keberadaan Nyi Loro Kidul pada umumnya mereka mempercayai keberdaannya, meskipun ada juga yang menyanggah keberadaannya. Para abdi dalem itu mengatakan sering juga mendengar adanya orang-orang yang bertemu dengan Nyi Loro Kidul. Pak Ponco misalnya, ia sudah beberapa kali bertemu dengan Nyi Loro Kidul ketika berada di depan pendopo. Ia mengatakan Nyi Loro Kidul mirip dengan tokoh film Susana yang memiliki tahi lalat di pipi kanan. Berbeda denangan pak Ponco, salah satu guid yang sudah sepuluh tahun mengabdi di Keraton Surakarta ini justru tidak mempercayai sama sekali keberadaan Nyi Loro Kidul. Ia hanya mengatakan semua tergantung kepercayaan. Buktinya selama ia mengabdi tidak sekalipun ia pernah bertemu dengannya.

D. Cerita Singkat Nyi Loro Kidul Versi Jawa Barat
Nyi Loro Kidul bukan hanya dipercaya di daerah Yogyakarta, tetapi juga daerah Jawa Barat. Ada beberapa perbedaan mengenai asal usul cerita Ratu Laut selatan ini. Cerita Ratu Laut Selatan versi Jawab Barat dapat kita lihat dalam buku kumpulan cerita rakyat tulisan Tira Ikranegara dan M.B., Rahimsyah, berjudul Seri Dongeng Populer Anak Indonesi yang diterbitkan oleh Pustaka Agung Harapan, Surabaya. Versi tersebut dapat kita lihat pada cerita berikut ini.
Nyai Ratu Kidul dipercyai sebagai seorang ratu kidul yang sakti, yang menguasai samudra Indonesia. Di jawa tengah, dia juga dikenal denan nama Nyi Loro Kidul atau Nyi Lara Kidul. Pendududuk sepanjang patai selaan pulau Jawa sampai saat ini masih mempercyai kesaktiannya, bahkan di Parang tritis sebuah objek wisat, kadang-kadang masih dilakukan upacara yang berkaitan denan Nyai Ratu Kidul. Tentang asal usul dan riwayat Nyai Ratu Kidul, ada bermacam-macam versi. Dan yang diceritakn di sini adalah sebuah riwayat yang berasal dari daerah Jawa barat.
Di kerajaan Pajajaran Purba bertahlah seorang raja yang bernama Prabu Mndingsari. Baginda dikenal sebagai raja yang berwajah tampan dan bijaksana dalam pemerintahan, hingga dicintai segenap rakyat Pejajaran. Prabu Mundingsari sangat gemar pergi berburu dengan diiringi tamtama atau pengawal. Tetapi hari itu baginda teresat dan terpisah dari para pengawalnya ketika memburu seekor kijang. Prbu Mundingsari mencoba mencari pengawalnya. Tetapi, sesudah menjelajahi rimba itu sampai setengah hari jejak para pengawal itu belum juga tampak, sehingga baginda Mundingsari semakin jauh tersesat. Haripun mulai gelap, baginda bermaksud beristirahat.
Karena lelahnya, baginda Mundingsari tertidur. Dalam keadaan setengah tertidur itu, tiba-tiba merasa ada seseorang berada di dekatnya. Baginda terkejut dan segera bangun. Di hadapannya telah berdiri seorang gadis yang sangat cantik dan tengah tersenyum padanya. ”Oh, siapakah kau....?!” tanya Prabu Mundingsari keheranan.
”Hanya adalah cucu dari raja rimba ini.... Apakah tuan adalah raja Mundingsari dari Pejajaran?”.
”Ya, aku adalah raja Mundingsari. Ada apa kiranya?”
”Tuanku tampaknya tersesat dan terpisah dari para pengawal tuanku. Sudilah kiranya tuanku singgah di istana kakekku sambil beristirahat di sana....”
Karena undangan tu disampaikan dengan ramah dari sopan santun, baginda Mundingsari tidak dapat menolaknya, apalagi orang yang mengundangnya adalah seorang gadis yang sangat cantik. Raja Pajajaran itupun mengikuti si gadis cantik itu.
Tak seberapa lama kemudian sampailah mereka pada istana tempat tinggal gadis itu. Gadis itu segera membawa prabu Mundingsari masuk ke dalam istana. Mereka disambut oleh seorang raja yang berwajah cukup seram. Tetapi kata-katanya cukkup ramah.
”Ah...hah...hah...hah...hah....! Prabu Mundingsari, selamat datang di istanaku walaupun tidak seindah istanamu. Kuharap kau akan betah tinggal di sini..! cucuku mencintai tuan hingga tiap malam, wajah tuan selalu terbawa mimpi dan bahkan dia jatuh sakit. Soal terpisahmu dari pengawal tuan tersesat di rimba ini, akulah yang mengatunya..!”
Prabu mundingsari merasa heran akan kata-kata raja itu. Dia menoleh pada putri cantik itu yang tampak wajahnya kemalu-maluan.
Karena kecantikan putri itu, lagi pula karena kelemah lembutan putri itu, Prabu Mundingsari segera jatuh hati pada perempuan itu. Kemudian merekapun menika dan hidup dalam kebahagiaan.
Baginda tinggal beberapa lama bersama istrinya di istana dalam rimba itu. Hingga pada suatu hari...
“Adinda rasnya sudah cukup lama kakanda meninggalkan istana Pajajaran. Aku hendak menjengk kesana dan hendak kulihat bagaiman keadaan rakyatku...” kata Prabu Mundingsari.
Setibanya di isana Pajajaran, Baginda disambut dengan isak tangis kegembiraan oleh permaisuri dan sisi istana, karena sudah berbulan-bulan baginda menghilang dalam sebuah perburuan. Kemudian, baginda kembali menduduki tahta Pajajaran dan memerintah sebagaimana sebelumnya.
Beberap bulan kemudian. Pada suatu malam, baginda terjaga dari tidurnya karena mendengar suara tangis bayi... BagindaMundingsari segera bangkit, dan mendatangi sumber suara itu. Maka tampak olehnya sebuah buaian dan di dalamnya terdapat seorang bayi yang tengah menangis.
Baginda segera mendukung bayi yang ternyata seorang bayi perempuan. Tiba-tiba muncul seraut wajah yang dikenalnya sebagai wajah istrinya dari istana di tengah rimba tempo dulu.
”kakanda Mundingsari, bayi itu adalah anak kita! Dia kuserahkan kepada kakanda untuk kau besarkan di kalangan manusia.” kata istrinya itu.
”Di kalangan manusia? Apa maksudmu adinda?” tanya prabu Mundingsari. Tak mengerti.
”sebenarnya bahwa aku dari kalangan siluman...!” sahut istrinya tiu.
Baginda prabu Mundingsari merasa heran dan hanya tertegun smapi beberapa saat. Dia tidak tahu dan tidak menyadari ketika bayangan wajah putri siluman istrinya itu menghilang.
Demikianlah bayi perempuan itu akhirnya dipelihara di lingkungan istana dan diberi nama Ratna Dewi Suwido. Permaisuri baginda Mundingsari merasa tidak senang akan kehadiran Dewi Suwido di isstana Pajajaran. Dia memperlakukannya dengan bengis.
Delapan belas tahun kemudian, dewi Suwido tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan sukar dicari tandingannya. Kecantikannya ituterkenal hingga ke negaranegara tetangga. Hal ini semakin membuat tak senang hati sang permaisuri. Apalagi, putrinya tidak secantik Dewi Suwido. Sementara itu sudah banyak lamaaran dari para pangeran yang bermaksud mempersunting Dewi Suwido. Hati permaisuri semakin geram. Oleh sebab itu, timbul maksud jahatnya untuk menyingkirkan Dewi Suwido dari istana.
Dalam mewujudkan maksud jahatnya itu, permaisuri segera mendatangi seorang ahli tenung yang terkenal pandai. ”Ah, tuanku permaisuri tidak perlukhawatir! Hal itu bukan pekerjaan sukar buat hamba,” Kata duun tenung itu.
”Ingat....aku inginkan wajah gadis itu rusak. Hingga seorangpun sudai memandanginya!” pesan sang permaisuri.
Sepeninggal permaisuri, tukang tenung itu segera malaksanakan permintaan permaisuri. Pada malam harinya, dia mulai menyebarkan ilmunya.
Keesokan harinya, Dewi Suwido bangun dari tidurnya dan merasa tidak enak di sekuju badanya.
”Ah. Kepalaku terasa berat. Kuit wajahku pun terasa tebal karena merasa ada kelainan pada wajahnya, gadis itu berkaca. Dia sangat terkejut melihat wajahnya dalam kaca yang kini telah berubah menjadi buruk.
”Ah....apakah.... apakah yang berada di dalam cermin itu adalah wajahku? Mengapa jadi demikian?”
Ketika menyadari bahwa wajah yang berada di cermin itu memang betul wajahnya, hati Dewi Suwido jadi hancur! Dia menangis terus menerus. Kecantikannya smaa sekali sudah tak tersisa.
Berhari-hari gadis itu mengurung diri di kamar, dan tidak mau menjumpai orang. Tetapi, atas pemberitahuan sang permaisuri, prabu Mundingsari akhinya tahu kalau DewiSuwido mengidap penyakit yng berbahaya.
”Ah,.... kau mengidap penyakit lepra, anakku. Penyakit itu adalah salah satu penyakit berbahaya dan dihantui.... Ayahanda merasa menyesal sekali. Tetapi apa boleh buat, kau akan kuasingkan dari istana...” kata Prabu Mundingsari ayahnya.
Hati Dewi Suwido semakin remuk ketika bahkan ayah kandungnya sendiri bermaksud menyingkirkan dan tidak mau berdekatan dengan dirinya. Baginda Mundingsari segera memerintahkan beberapa orang pengawal mengantarkan Dewi Suwido ke dalam rimba.
Setiba di tepi riba, para pengawal tidak mau mengantarkannya lebih jauh. Dengan hati pilu gadis tiu melanjutkan perjalanan ke dalam rimba seorang diri. Dia masih belum tahu hendak menuju kemana....! pada akhirnya, Deewi Suwido tiba di gunung Kombang. Kemudian, dia bertapa di sana dan memohon pada para dewa agar wajahnya dikembalikan sebagaimana sebelumnya.
Bertahun-tahun dia melakukan tapa, tetapi wajahnya bahkan semakin rusak. Tetapi, pada suatu hari, dia mendengar sebuah suara:
”Cucuku, Dewi Suwido! Kalau kau ingin wajahmu kembali seperti semula, berangkahlah menuju ke Selatan. Kau ahrus masuk ke laut selatan dan bersatu dengannya....! dan tak usah kembali dalam pergaulan manusia!”
Setelah mendengar suara itu, Dewi Suwido segera berangkat ke arah selatan seperti yang diperintahkan. Berhari-hari kemudian, tibalah dia di pantai selatan. Gadis itu merasa ngeri berada di pantai yang curam dan tajam itu. Tetapi dia percaya akan katakata yang didengar dalam tapanya itu, yang diperaya sebagaipetunjuk dari para dewa. Dengan penuh kepercayaan pula Deewi Suwido terjun ke laut dari tebing yang curam.
Setelah muncul kembali dari dalam air laut, segala penyakit yang menempel pada tubuh Dewi Suwido telah hilang. Kecantikan Dewi Suwido kembali pada keadaanya semula bahkan lebih cantik. Menurut kepercayaan penduduk setermpat, Dewi Suwido masih hidup hingga kini dan menjadi Ratu di laut Selatan, ratu dari segala jin dan siluman disana.

E. Kesimpulan
Belajar dari cerita Nyi Loro Kidul, kita jadi memahami bahwa karya sastra jaman dahulu memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi masyarakat. Karena itu karya sastra bukan semata-mata sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai upaya menanamkan nilai-nilai moral juga sebagai propaganda politik.
Dengan demikian, cerita Nyi Loro Kidul tidaklah sepatutnya kita percayai keberadaan sesungguhnya. Tetapi kita yakini sebagai karya sastra lisan yang sudah melekat di benak masyarakat pesisir pantai selatan. Hal ini juga terjadi pada karya sastra Siti Nurbaya yang diakui memiliki makam di daerah padang.
Benar tidaknya keberadaan Nyi Loro Kidul, cerita ini sudah demikian melekat di benak masyarakat. Kondisi ini pun sampai saat ini masih begitu melekat sehingga masih banyak yang mempercayai bahwa Ratu Kidul itu benar-benar ada sampai sekarang. Efek dari kepercayaan adanya ratu kidul ini, juga dapat dilihat dari cara pandang masyarakat terhadap raja-raja Yogyakarta dan Surakarta. Raja dianggap manusia setengah dewa sehingga tak seorangpun yang berani melanggar perintah raja.
Sebagai kesimpulan akhir dari tulisan ini, bahwa cerita yang dibuat oleh seseorang yang sampai sekarang tidak diketahui itu sebenarnya merupakan propaganda dari pihak kerajaan atau keraton untuk menakut-nakuti masyarakatnya. Meskipun kenyataannya sampai sekarang penduduk di sepanjang pantai selatan pulau Jawa masih mempercayai akan kebenaran cerita tentang Ratu Samodra Indonesia itu.