Sponsor Links

Wednesday, March 3, 2010

PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat tidak akan pernah lepas dari ketegangan-ketegangan. Ketegangan tersebut disebabkan adanya perbedaan kepentingan setiap individu, demikian juga antarkelompok-kelompok sosial maupun kelas-kelas sosial. Karl Mark menyatakan bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelas sosial, yaitu pemilik modal dan kaum buruh (via Magnis-Suseno 2000: 116). Dengan istilah lain pemilik modal adalah penguasa, sedangkan kaum buruh adalah yang dikuasai. Kedua kelas sosial ini memiliki kepentingan yang berlawanan satu dengan yang lainnya. Kondisi inilah yang menimbulkan adanya persaingan dalam memperebutkan pengaruh, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompok yang diwakili.
Perebutan kekuasaan atau perebutan pengaruh masing-masing individu atau masing-masing kelompok sosial merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Dinamika seperti ini akan lahir di seluruh lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Secara individu, manusia memiliki tekad untuk lebih baik atau lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Dengan demikian, setiap individu dalam suatu masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu berlomba untuk mendapatkan kekuasaan. Demikian juga, setiap individu akan hidup perkelompok-kelompok sesuai dengan kepentingan individu tersebut. Masing-masing kelompok sosial tersebut berusaha mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari kelompok lain yang ada dalam masyarakat.
Kekuatan ekonomi merupakan fondasi dasar dari perjuangan manusia di dalam mempertahankan hidup maupun di dalam mempertahankan kekuasaannya. Faktor ekonomilah yang paling mempengaruhi pola pikir, tingkah laku dan pergaulan hidup manusia di dalam masyakat. Marx menyebutkan bahwa everything in our live is determined by capital (via Lukacs, 1919). Hal ini mengindikasikan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan manusia ditentukan oleh modal atau kekuatan ekonomi. Kepemilikan atau kekayaan individu dianggap sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan perhatian dari kelompok lain. Dengan ekonomi, orang dapat membeli apa saja yang dikehendaki. Itulah sebabnya di dalam Marxisme, ekonomi dianggap sebagai penentu kehidupan sosial.
Seiring dengan perkembangan budaya manusia, ekonomi ternyata bukan satu-satunya penentu status sosial atau pendorong perubahan sosial. Media perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dapat juga dilakukan dengan penguasaan ide-ide atau ideologi. Dengan istilah lain, aspek superstruktur lebih penting dibandingkan dengan struktur dasar (Scheidel, 2006). Gagasan mengenai pentingnya penguasaan ideologi ini dicetuskan oleh Antonio Gramsci yang terkenal dengan istilah Hegemony. Dalam konsep ini gagasan atau ide-ide memiliki kedudukan yang sangat penting karena faktor itulah yang dianggap sebagai penggerak adanya perubahan sosial. Stephen Bantu Biko menyatakan bahwa “the most potent weapon in the hands of the oppressors is the mind of the oppressed” . Dalam konteks ini yang dimaksud dengan hegemoni adalah kepemimpinan atau penguasaan terhadap pemikiran-pemikiran (the dominance or leadership of one social group or nation over others )
Gramsci mengembangkan teori Marxisme mengenai dominasi ekonomi ke dalam persoalan-persoalan ideologis. Ia memandang bahwa persaingan atau perebutan kekuasaan bukan semata-mata karena persoalan ekonomi, tetapi dapat juga disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan ideologis. Dengan demikian, perebutan kekuasaan bukan hanya dipicu oleh persoalan ekonomi, tetapi juga karena perbedaan jenis kelamin, status sosial, dan perbedaan keyakinan. Untuk itulah Gramsci memandang aspek ekonomi sebagai salah satu aspek terkecil saja, meskipun Gramsci sendiri tidak menolak kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam konsep Marxisme.
Kekuasaan atas ekonomi, intelektualitas, dan perangkat hegemonik lainya merupakan usaha manusia untuk mendapat pengakuan atau dominasi terhadap manusia lain. Paul W. Cumming menyatakan bahwa alasan orang mencari kekuasaan adalah karena; (1) orang ingin memanipulasi atau mengendalikan orang lain dalam organisasi, (2) orang haus akan ketaatan dan kepatuhan dari orang lain agar menuruti segala perintahnya, dan (3) orang memiliki hasrat besar untuk selalu dicap berjasa . Sifat-sifat manusia seperti inilah yang digambarkan dalam drama Man and Superman.
Drama Man and Superman merupakan karya sastra yang menggambarkan adanya dinamika hegemoni. Persoalan-persoalan yang terdapat dalam drama ini sangat terkait dengan perebutan kekuasaan (kepemimpinan, pengaruh) dalam kehidupan; baik secara individu maupun sosial. Drama Man and Superman menggambarkan pentingnya penguasaan ide-ide atau intelektualitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ide-ide yang terdapat di dalam drama ini sebagai sebuah pemikiran terhadap persoalan hegemoni di dalam kehidupan masyarakat.
Di dalam drama Man and Superman terdapat tiga persoalan utama mengenai konsep hegemoni. Konsep hegemoni yang dimaksud adalah: hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan, hegemoni penguasa terhadap rakyatnya (negara politik dan masyarakat sipil), dan konsep hegemoni antara kaum tua terhadap kaum muda (intelektual versus masyarakat biasa).
Hegemoni kaum laki-laki terhadap perempuan dilakukan oleh Ramsden terhadap tokoh Ann Whitefield. Sebagai anak perempuan, Ann menjalani kehidupannya penuh dengan peraturan-peraturan yang sangat mengekang kehidupannya. Gerak hidup Ann dibatasi berbagai ketentuan yang dibuat oleh orang tuanya. Ketentuan tersebut berkisar pada aktivitas di luar rumah, teman pergaulan (pendamping hidup), dan buku bacaan yang selalu diawasi.
Tokoh Ann dalam konteks ini bukan semata-mata hanya menyangkut persoalan individu atau keluarga, tetapi dapat juga diartikan sebagai persoalan politis. Tokoh Ann dapat merepresentasikan kaum perempuan dimana pun yang mengalami kehidupan yang hampir sama. Oleh karena itu, persoalan dominasi kaum laki-laki atas perempuan merupakan bagian dari isu-isu hegemoni gender dalam masyarakat.
Selain persoalan perempuan, drama ini menggambarkan adanya dominasi yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Penguasa sebagai pemegang kekuasaan seringkali menggunakan kedudukan dan wewenangnya untuk memperdaya rakyatnya. Dengan kekuasaan, penguasa membuat aturan atau kebijakan yang sering tidak menguntungkan bagi rakyat, tetapi menguntungkan bagi golongan tertentu yang dianggap mendukung atau menjaga kepentingan pihak penguasa. Dengan kata lain, para penguasa adalah pemerintahan yang pamrih agar kedudukannya langgeng (Bocock, ).
Dalam persoalan hegemoni, pemerintah selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat, meskipun apa yang diperjuangkan itu semata-mata karena ingin mendapat dukungan dari yang dikuasai. Pada tataran ini penguasa berusaha mempertahankan status quenya. Oleh karena itu, dengan berbagai cara para penguasa mencoba mencari dukungan atau simpati dari rakyat yang dikuasainya.
Perebutan kekuasaan atau hegemoni (dominasi) dapat disebabkan oleh adanya perbedaan umur. Di dalam drama ini terdapat pertentangan antara kaum tua dengan kaum muda. Dominasi atau hegemoni yang dilakukan oleh kaum tua disebabkan oleh pengalaman yang dimiliki kaum tua. Kaum tua menganggap bahwa kaum muda belum memiliki banyak pengalaman, sehingga keputusan-keputusan mereka tidak akan pas sebagaimana yang diputuskan oleh orang yang sudah berpengalaman (kaum tua). Di dalam sejarah masyarakat Inggris, ketimpangan antara kaum tua dengan kaum muda sangat mencolok. Sebagai negara yang berbasis pada pemerintahan feodal, Inggris memiliki budaya mengagungkan orang-orang yang dituakan.
Dalam kaitannya dengan persoalan perebutan pengaruh antara kaum tua versus kaum tua, hal ini sangat berkaitan erat dengan intelektualitas. Hegemoni Gramsci sangat mengedepankan intelektualitas manusia, sehingga kaum tua yang dianggap lebih berpengalaman juga menganggap diri mereka intelek. Padahal dalam konteks ini intelektualitas tidak berkaitan dengan umur. Drama Man and Superman merupakan drama modern yang menggambarkan bahwa pendidikan merupakan sarana memperoleh dominasi dalam bidang intelektual.
Dari tiga tipologi hegemoni tersebut di atas, penelitian ini akan mencoba mengungkapkan persoalan-persoalan dalam drama Man and Superman berkenaan dengan konsep hegemoni Gramsci. Sebagai sebuah karya sastra yang ditulis oleh seorang aktivis politik, peneliti yakin bahwa apa yang terungkap dalam drama ini merupakan gagasan politik yang diidealisasikan oleh pengarangnya. Untuk itulah penelitian ini juga diharapkan dapat mengungkap konteks situasi atau kondisi sosial politik yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebtu.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini akan mencari akar persoalan terjadinya konflik sosial yang terjadi di dalam drama Man and Superman. Kemudian persoalan tersebut dibawa dalam ranah masyarakat nyata, yaitu persoalan yang ada di dalam masyarakat Inggris. Apakah persoalan perebutan kekuasaan dan hegemoni yang tergambar di dalam masyarakat Inggris benar-benar merupakan cerminan yang terjadi di dalam masyarakat sesungguhnya? Apa tujuan penulis karya ini mengungkapkan persoalan-persoalan tersebut? Dan terakhir bagaimana keterkaitan antara persoalan hegemoni yang terdapat dalam karya sastra dengan yang terdapat di dalam masyarakat Inggris? Untuk itulah agar arah dari penelitian ini lebih jelas, berikut bebebarapa pokok persoalan yang akan ditulis dalam penelitian tesis ini.
1). Perebutan kekuasaan dan wacana hegemoni dalam drama Man and Superman.
2). Konteks sosial politik masyarakat Inggris dalam kaitannya dengan persoalan hegemoni yang ada di dalam karya tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini bertujuan menerapkan teori Hegemoni Gramsci terhadap drama Man and Superman karya George Bernard Shaw. Dengan pemahaman tersebut diharapkan dapat mengungkap kondisi sosial politik masyarakat Inggris yang melatari lahirnya karya sastra tersebut. Menurut Gramsci karya sastra tidak terpisah dengan masyarakat, karya sastra merupakan bagian penting dari proses perubahan sosial. Sastra memiliki misi atau kekuatan formatif terhadap perubahan masyarakatnya, sehingga apa yang terdapt dalam karya sastra merupakan reaksi dinamika sosial itu sendiri. Itulah sebabnya, sesuatu yang terjadi dalam karya sastra tidak bisa lepas dari kondisi di dalam masyarakat. Untuk itu penelitian ini bertujuan memberikan sumbangan pemikiran bagi penerapan teori Hegemoni Gramsci, khususnya dalam karya sastra. Hasilnya diharapkan dapat lebih memperkaya pengetahuan tentang penelitian karya sastra yang menggunakan teori Hegemoni Gramsci.

1.3.1. Tujuan Praktis
Secara praktis penelitian ini bertujuan memberikan alternatif pemahaman drama Man and Superman dalam konteks hegemoni. Dengan cara seperti itu diharapkan pemahaman dan wawasan pembaca mengenai karya sastra bertambah. Hal ini dikarenakan masih minimnya penelitian mengenai karya sastra ini di Indonesia. Disamping itu, pemahaman ini diharapkan merangsang penelitian-penelitian lain dan meningkatkan apresiasi terhadap karya-karya George Bernard Shaw sebagai seorang sastrawan pemenang nobel pada tahun 1925. Akhirnya semoga penelitian ini dapat menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan saat ini. Dengan demikian pesan moral yang sangat penting dapat disebarluaskan melalui penelitian ini.

1.4. Tinjauan Pustaka
Buku atau hasil penelitian yang membicarakan karya-karya George Bernard Shaw masih sangat jarang di negeri ini. Kalaupun ada penelitian yang dilakukan mahasiswa lebih banyak pada karya George Bernard Shaw berjudul Pygmalian. Padahal menurut beberapa sumber, drama Man and Superman merupakan karya yang paling berpengaruh dari seluruh karya GBS (Jenny Jobson /http://www.galtonisnstitute.org.uk/Newsletters/GINL0406/language_of _degeneration.htm).
Hasil ulasan yang fokus pada Man and Superman adalah sebuah uraian mengenai analisis tokoh-tokoh drama tersebut. Analisis yang dilakukan oleh Wade Bradford (http://plays.about.com/od/monologues/a/superman Act04/_2.htm) itu menekankan pada analisis tokoh dalam kaitanya dengan karakteristik masyarakat Inggris. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa tokoh Ramsden dianggap sebagai tokoh yang merepresentasikan kaum tua masyarakat Inggris. Inggris sebagai negara yang berbasis kerajaan, sangat mengagungkan atau patuh pada kaum tua. Kaum tua memiliki hak-hak istimewa tersendiri sehingga semua keputusan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kaum tua. Sebagai akibat dari pandangan tersebut, kaum muda memiliki keterbatasan-keterbatasan, tidak dapat mengambil keputusan yang baik bagi kehidupan mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya pertentangan antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum muda yang direpresentasikan dengan tokoh John Tanner ingin mendobrak kekakuan dan keterbelakangan pemikiran kaum tua yang sangat membelenggu kemajuan masyarakat Inggris pada saat itu.
Analisis lain mengenai Man and Superman dilakukan oleh Richard Connema yang dimuat di http://www.talkinbroadway.com/regional/sanfran/s927.html. Connema beranggapan bahwa tokoh John Tanner adalah gambaran dari George Bernard Shaw itu sendiri. Ia menggunakan pendekatan ekpresif yang menganggap karya sastra sebagai ekpresi dari pengarangnya. Menurutnya, apa yang dikemukakan oleh John Tanner, tokoh utama drama tersebut, merupakan pemikiran-pemikiran idealistik mengenai individu dan masyarakat yang diidamkan oleh George Bernard Shaw.
Menurut Richard Connema, drama Man and Superman merupakan drama komedi yang cukup brillian. Pasalnya GBS mampu mengkombinasikan persoalan-persoalan keluarga, seks, dan gender menjadi isu politis yang mengena dan berkaitan dengan masyarakat, drama ini merupakan sindiran halus terhadap kebobrokan moral masyarakat Inggris pada masa itu.
Penelitian atau tulisan mengenai drama Man and Superman yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Jenny Jopson (http://www.galtonisnstitute.org.uk/Newsletters/GINL0406/language_of _degeneration.htm). Penelitian tersebut berjudul The Language of Degeneration: Eugenic Ideas in The Time Machine by H.G. Wells and Man and Superman by George Bernard Shaw. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa drama Man and Superman sangat dekat dengan idealisme yang ingin dibangun oleh penulisnya. GBS adalah seorang aktivis politik, maka gagasan drama tersebut sesungguhnya merupakan propaganda yang diperjuangkan oleh GBS. Namun perlu diingat apa yang disampaikan Jopson di sini berkaitan dengan gerakan atau organisasi British Euginic Moverment. Jopson menyebutkan bahwa GBS dan Wells adalah aktivis organisasi tersebut.
Lebih lanjut, Jopson menyebutkan bahwa drama Man and Superman dapat dipahami sebagai suatu penjabaran atau interpretasi terhadap gagasan Charles Darwin terhadap The Origin of Species (1859). Dalam kontek ini, GBS menyadari adanya persaingan (pertarungan) antara individu dalam kehidupan. Konsep tersebut terinspirasi dari gagasan Darwin terhadap “The inferior (disadvantaged) members of the same species would gradually die out, leaving only the superior (advantaged) members of the species”, yang lemah akan selalu tertindas dan tersingkirkan.
Menurut hasil pembacaan Jenny Jopson, Man and Superman merupakan idealisme GBS mengenai manusia sesungguhnya. Menurutnya jika agama tidak bisa memberikan kedamaian pada umat manusia, maka para ilmuan sosial adalah solusi yang dapat memberikan jalan keluar atas perpecahan antarmanusia tersebut. Jenny Jopson menginterpretasikan hal tersebut melalui kalimat “If there were no God….it would be necessary to create him(p. 215)”. Ungkapan tersebut menunjukan bahwa pemikiran manusia dapat melakukan hal yang terbaik bagi kehidupan manusia.

1.5. Landasan Teori
Teori Hegemoni Gramsci merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai (Hoare, 2000:vi; Sugiono, 1999: 20). Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas Marxisme dalam kaitannya dengan lahirnya konsep Hegemoni. Pemahaman akan teori Marxisme dapat mempermudah kita memahami konsep hegemoni, karena pada dasarnya kedua paradigma ini saling melengkapi.
Marx membagi lingkup kehidupan manusia menjadi dua yaitu infrastruktur (basis/dasar) dan superstruktur (bangunan atas) (Barry, 1995:158). Infrastruktur adalah bidang produksi kehidupan material, sedangkan superstruktur terdiri atas dua unsur, yaitu tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif. Tatanan institusonal merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi, terutama sistem hukum dan negara. Di sisi lain, tatanan kesadaran mencakup segala sistem kepercayaan, norma, dan nilai yang memberi kerangka pengertian makna dan orientasi spiritual (pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai budaya, seni, dan sebagainya). Superstruktur ditentukan oleh infrastruktur, dan infrastruktur dibentuk oleh dua faktor, yaitu tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produktif (Magnis-Suseno, 1999:135-148).
Dalam teori kelas Marx terdapat tiga usur penting. Pertama, besarnya peran struktural dibandingkan dengan segi kesadaran dan moralitas. Kedua, perbedaan kepentingan antara kelas atas dan kelas bawah yang menyebabkan perbedaan sikap terhadap perubahan sosial. Kelas atas (dominan) cenderung bersikap konservatif, sedangkan kelas bawah (subaltern) bersikap progresif dan revolusiner. Kelas atas berkepentingan mempertahankan status quo, menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Sebaliknya, kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Ketiga, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melaui revolusi (Magnis-Suseno, 1999: 117-119).
Simon (2001:19-20) menyatakan bahwa titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni berkaitan dengan adanya suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Price, Gramsci menggunakan centaur mitologi Yunani yang menganggap kehidupan manusia adalah setengah binatang dan setengah manusia. Aktivitas manusia merupakan tindakan politik-kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan mempertimbangkan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Dalam beberapa paragraf dari karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata direzione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan hegemonia (hegemoni) dan berlawanan dengan dominazione (dominasi).
Teori hegemoni dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik (Sugiono, 1999:31-34). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik memiliki arti agar yang dikusai mematuhi penguasa, sedangkan yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu, mereka harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksudkan Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”. Di pihak lain, penggunaan kekuatan hanya merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat inkorporasi kelompok yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa.
Secara literal, hegemoni berarti “kepemimpinan” (Faruk, 1999: 63), yaitu suatu kondisi dimana suatu kelompok mendominasi kelompok lain. Istilah ini lebih sering digunakan oleh para komentator politik untuk menunjukan dominasi. Konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kutural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat; suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinanya sebagai suatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa.
Dalam pemikiran Hegemoni Gramsci, ada istilah Fungsionaris Hegemoni yang dapat diartikan sebagai media untuk menanamkan pemahaman sehingga dapat dijadikan legitimasi dominasi. Pendidikan, intelektualitas, dan berbagai macam bentuk kebudayaan tinggi dan popular (termasuk ideologi, kepercayaan, dan common sense) merupakan perangkat hegemonik (Faruk, 1999: 63). Hal ini membedakan pemikiran Gramsci dengan aliran Marxis Ortodoks. Marxis Ortodoks menekankan pentingnya peranan represif dari negara dan masyarakat kelas, Gramsci memperkenalkan dimensi “masyarakat sipil” untuk melokasikan cara-cara kompleks yang di dalamnya “kesetujuan” pada bentuk-bentuk dominasi yang diproduksi.
Menurut Faruk (1999:65), setidaknya ada enam konsep kunci dalam pemikiran Gramsci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual, dan negara. Keenam kata kunci ini menunjukan bahwa yang menjadi inti pemikiran Gramsci dalam menentukan kepemimpianan adalah moral dan intelektual. Hal ini berbeda dengan yang terdapat dalam bentuk-bentuk analisis Marxis yang lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai macam cara yang di dalamnya kepemimpinan sudah dibangun secara historis. (Faruk, 1999: 63).
Superstruktur menurut Gramsci bukanlah semata-mata sebagai sebuah epifenomena atau refleksi (Sugiono, 1999:34). Dari elemen infrastruktur seperti yang dikemukankan oleh Karl Marx, Gramsci justru mengkarakterisasi superstruktur sebagai sesuatu yang penting dengan sendirinya. Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan dari mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya sehingga hegemoni mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh (Simon, 2001: 21).
Gramsci mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana dikemukakan Lenin) menjadi sebuah konsep (seperti halnya konsep Marxisme tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas, dan negara) yang menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya. Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaanya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi (Semon, 2001: 22).
Menurut Gramsci, revolusi fisik yang terjadi di Perancis tidak akan terjadi kalau sebelumnya tidak terjadi revolusi ideologis. Revolusi ideologis merupakan pencerahan yang membangkitkan gerakan perubahan dalam suatu masyarakat. Pencerahan, bagi Gramsci, merupakan revolusi yang luar biasa dalam dirinya sendiri. Filsafat tersebut memberikan suatu semangat borjuis internasional dalam bentuk kesadaran terpadu, suatu kesadaran yang sensitif terhadap seluruh nasib masyarakat umum pada seluruh Eropa. Pendek kata, revolusi sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi ideologis.
Revolusi kebudayaan tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan melibatkan berbagai faktor kultural tertentu yang memungkinkan revolusi tersebut terjadi (Faruk, 1994: 66-67). Oleh karena itu dalam mendapatkan kekuasaan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Penanaman ideologi melalui gagasan membutuhkan waktu yang cukup lama karena melalui proses yang cukup panjang. Namun demikian, perubahan yang diakibatkan dari sebuah kesadaran ideologis lebih penting dan lebih bermakna dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Gramsci, ada suatu keterkaitan yang penting antara kebudayaan dengan politik, meskipun pertalian itu lebih jauh daripada pertalian yang sederhana dan mekanis. Kebudayaan dibagi menjadi bermacam-macam bentuknya, misalnya kebudayaan “tinggi” dan “rendah”, kebudayaan elit atau popular, filsafat atau common sense; dan dianalisis dalam batas-batas efektivitasnya dalam merekatkan bentuk-bentuk kepemimpinan yang kompleks. Gramsci menolak konsepsi Marxis yang lebih dasar dan lebih ortodoks mengenai “dominasi kelas” dan menyukai satu pasangan konsep yang lebih tinggi dan bernuansa, yaitu “kesetujuan”. Gramsci fokus pada cara-cara yang kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, dan ideologis yang bekerja untuk merekatkan masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif, meskipun tidak pernah lengkap. Gramsci membuat hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan. Dia mempersoalkan wilayah common sense yang dianggap lugu dan spontan, menginterogasi jajaran luas bentuk-bentuk kultural dari yang “tertinggi” sampai yang “terendah” dan menerangkan situs-situs historis dan politis dari interaksi dan formasinya.
Gramsci memilah superstruktur menjadi dua level struktur utama, yang pertama masyarakat sipil dan yang kedua masyarakat politik atau negara. Masyarakat sipil mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut swasta, seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya. Sebaliknya, masyarakat politik adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah” secara yuridis, seperti tentara, politisi, pengadilan, birokrasi, dan pemerintahan. Kedua level superstruktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda, yaitu ranah persekutuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat politik (Suginono, 1999: 35).
Negara bagi Gramsci sama dengan masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni yang dilindungi baju besi koersi; kombinasi kompleks antara hegemoni dan kediktatoran. Dengan kata lain, hal itu merupakan gabungan antara aparatus koersif pemerintah dengan aparatus hegemonik instansi swasta. Hubungan hegemonik ditegakan jika legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri kelompok subordinat (subaltern) sehingga lahirlah konsensus. Dengan begitu, penggunaan kekuasaan koersif oleh negara tidak penting lagi (Sugiono, 1999: 36-37).
Menciptakan hegemoni baru hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola berfikir dan pemahaman masyarakat, “konsepsi mereka tentang dunia”, serta norma perilaku moral masyarakat. Kelas hegemonik diyakini bertindak bagi kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Konsep hegemoni dengan demikian pengaplikasiannya melibatkan konstelasi kekuatan sosial politik yang disebutnya dengan blok historis, merupakan hubungan resiprokal antara wilayah aktivitas politik, etik, ataupun ideologis dengan wilayah ekonomi. Tanggung jawab untuk membangun blok historis ada dipundak “intelektual organik”. Setiap intelektual kehadirannya terakit dengan struktur produktif dan politik masyarakat, dengan kelompok atau kelas yang mereka wakili. Intelektual organik adalah fungsionaris atau deputi kelompok penguasa (Sugiono, 1999: 42).
Untuk meraih kekuasaan, Gramsci membedakan dua strategi, yaitu perang gerakan atau perang manuver dan perang posisi. Perang gerakan atau perang manuver mengacu pada strategi revolusioner Marxisme-Leninis. Perang posisi berupa sentralitas konsensus. Perjuangan merebut kekuasaaan dalam perang posisi lebih diarahkan pada upaya untuk mengenyahkan ideologi, norma, mitos politik, dan kebutaan keompok berkuasa. Perang posisi adalah sebuah proses transformasi kultural untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan menggantikannya dengan hegemoni lain (Sugiono, 1999: 45-46).
Bagi Gramsci, bentuk-bentuk kultural atau kebudayaan merupakan objek yang menarik untuk diteliti secara konkret, terutama dalam hubungannya dengan kemungkinan dioperasikanya dalam kehidupan praksis. Studi mengenai kebudayaan juga meliputi berbagai aktivitas kultural lainnya seperti seni dan kesusastraan (Faruk, 1994: 67). Kenyataan inilah yang memperkuat asumsi bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara kesusastraan dengan ideologi pengarangnya.
Ada empat hal yang perlu dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya terjadi antar kelas, tetapi dapat terjadi konflik antara kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan umum. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas dan mengembangkan interesnya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern. Kata kunci dalam pemahaman teori Hegemoni Gramsci adalah negosiasi untuk mencapai konsensus semua kolompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemony (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002: 23-24).
Teori Hegemoni Gramsci di atas membuka dimensi baru dalam studi sosiologi mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut, di antaranya studi sastra Raymond Williams (Faruk, 1994:78).
Dalam bukunya yang berjudul Culture and Suciety (1967), Williams menolak teori Marxis ortodoks yang cenderung menempatkan kebudayaan sebagai superstruktur yang ditentukan, dan dengan demikian terpisah dari masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya. Menurut Williams, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Di dalam totalitas, itu tidak ada perbedaan tingkat atau derajat antara elemen-elemen pembentuknya, baik yang berupa infrastruktur maupun superstrukturnya. Setiap usaha untuk mengambil salah satu elemen dalam totalitas pasti akan mebuahkan penemuan mengenai elemen yang lain yang tercermin di dalamnya.
Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas, di dalamnya tidak ditemukan hubungan determinasi antara elemen yang satu dengan elemen yang lain, yang ada hanya hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk mengatasi persoalan determinasi tersebut, Wiliams menggunakan konsep Hegemoni Gramscian.
Sebagai kekuatan material, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Bagi Gramsci hubungan antara yang ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa kekuatan material (Faruk, 1999: 62).
Persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, iradiasi, penyebaran dan persuasi. Kemampuan gagasan atau opini dalam menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebut oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (Faruk, 1999: 62).
Sebagaimana sudah disebutkan, pemikiran Gramsci terdiri dari enam kata kunci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual dan negara (Faruk, 1999:65). Agar lebih jelas mengenai masing-masing kata kunci tersebut, berikut ini penjelasan masing-masing kata kunci tersebut.

1.5.1 Ideologi dan Hegemoni
Gagasan tentang hegemoni pertama kali diperkenalkan pada tahun 1885 oleh Marxis Rusia, terutama oleh Plekhanove yaitu pada tahun 1883-1984. Gagasan ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi menggulingkan rezim Tsarisme. Istilah Hegemony menunjukan kepemimpinan yang harus dibentuk oleh kaum proletar dan wakil-wakil politiknya, dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi Tsaris. Dengan istilah lain, hegemoni dapat juga diartikan sebagai kontrol dan kepemimpinan, khususnya oleh suatu negara terhadap suatu kelompok masyarakat dalam hal kebudayaan, politik dan militer, control and leadership, especially by one country over others within a group, cultulural, economic militery hegemony (Oxford English Dictionary ).
Berdasar dari pemahaman kita akan pengertian hegemoni di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam hegemoni, hal yang memiliki peranan besar dalam perubahan sosial adalah ideologi. Ideologi yang lahir dari kesadaran akan eksistensi seseorang atau sekelompok orang akan menggerakan orang tersebut melakukan suatu perubahan. Oleh karena itu, di dalam hegemoni kaum intelektual memiliki peran sentral sebagaimana yang diungkapkan Lenin, yang dikutip dalam buku Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni karya Robert Bocock;
“Betapapun kita mencoba untuk “mencoba meminjamkan kepada perjuangan ekonomi itu sendiri suatu karakter politik” kita tidak akan mampu mengembangkan kesadaran politik para pekerja....dengan tetap berada dalam kerangka perjuangan ekonomi, karena kerangka tersbut terlalu sempit.
Untuk membawa pengetahuan politik ke para pekerja, sosial demokrat harus membaur ke segala kelas penduduk... (dan ini merupakan) kaum intelektual, selaku pelaku propaganda, adikator dan organiser”.

Di sini dapat kita pahami bahwa pemikiran Lenin mengindikasikan teori memiliki peranan sentral dalam membangun opini masyarakat. Gagasan atau ide-ide dalam hegemoni sangat dipengaruhi oleh kesadaran ideologi, dan kepemimpinan teoritis sangat penting dalam persoalan ini. Lebih lanjut Lenin menyatakan; ...peran pejuang barisan depan hanya dapat dipenuhi oleh suatu partai yang dibimbing oleh teori yang paling maju.
Menurut Marx, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama mengenai struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada kepentingan kelas atas. Kritik ideologi merupakan sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Pemahaman mengenai ideologi akan memperjelas perbedaan antara konsep Marx dan konsep Hegemoni Gramsci. Jika di dalam Marxisme, dominasi ditentukan oleh kekuatan ekonomi, maka dalam hegemoni Gramsci dominasi lebih ditentukan oleh intelektualitas atau ide-ide, paham dan pengetahuan. Reena Mistry menyebutkan bahwa unlike Marxist theories of domination, Gramsci relegates economic determinants to the background and brings to the fore the role of intellectuals in the process (1999) . Dengan kata lain, teori hegemoni Antonio Gramsci lebih menekankan pada tataran budaya dan ideologi, sedangkan Marxisme lebih pada wilayah kekuatan ekonomi. Gramsci menyebutkan bahwa perubahan ideologi harus diutamakan dalam pembangunan masyarakat.
“Antonio Gramsci's theory of hegemony is of particular salience to the exploration of racial representations in the media because of its focus on culture and ideology.”

Dalam sebuah negara, tuntutan para penguasa terhadap kepatuhan hukum yang dibuat pemerintah adalah sebuah keputusan ideologis. Hukum yang dibuat oleh para penguasa berdasarkan pada kepentingan-kepentingan kelas yang berkuasa, meskipun terkadang dibuat atas nama kepentingan masyarakat yang diperintah. Ironisnya semua itu hanya pengelabuhan/pembohongan yang dilakukan para penguasa untuk mendapat hati dari masyarakat.
Kedudukan ideologi dalam sistem kapitalisme sama dengan konsep di dalam negara. Dalam kapitalisme, pemilik modal memiliki kedudukan sama dengan para penguasa. Pemilik modal dapat mengendalikan dan membuat aturan yang menguntungkan pemilik modal. Meskipun kaum buruh dapat menolak hal itu, tetapi jika pemilik modal bersikukuh dengan kententuannya, maka para buruh tidak akan dapat hidup. Bagaimanapun kehidupan kaum buruh sangat tergantung dari pekerjaan yang diberikan oleh para pemilik modal. Marx menyebutkan, meskipun kaum buruh memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak pekerjaan yang ditawarkan pemilik modal, tetapi karena mereka hanya dapat hidup apabila bekerja, dan dengan demikianterpaksa para buruh menerima pekerjaan tersebut.
Hegemoni suatu kelas terhadap kelas yang ada di bawahnya merupakan hasil dari bangunan konsensus. Konsensus merupakan suatu dominasi yang dilakukan bukan dengan suatu paksaan tetapi melalui persetujuan dan pemahaman. Dalam Kamus Ilmiah Populer (Hantanto:1994), konsensus diartikan sebagai suatu persetujuan, kesepakatan bersama atau kata sepakat. Oleh karena itu, pada dasarnya konsensus berkaitan dengan persoalan psikologis. Dengan kata lain, konsensus merupakan kepatuhan atau ketertundukan seseorang atau sekelompok orang karena adanya suatu kesadaran.
Pada dasarnya ketertundukan pada aturan dan perangkat hukum penguasa dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena takut, terbiasa, dan karena kesadaran/persetujuan. Dari ketiga hal tersebut, pandangan yang terakhir merupakan ciri dalam konsep hegemoni. Dengan demikian hegemoni bersifat menyeluruh karena bersifat psikologis (Patria dkk., 2003:125).
Menurut Gramsci, hegemoni berdasar pada konsensus yang muncul melalui komitmen aktif atas klas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan produksi. Gramsci mengatakan (secara tidak langsung) bahwa konsensus adalah komitmen aktif yang didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada adalah sah. Konsensus ini secara historis lahir karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi (Patria dkk., 2003:126).
Sebuah konsensus yang diterima oleh kelas pekerja, bagi Gramsci, pada dasarnya bersifat pasif. Kemunculan konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni dan menganggap struktur sosial yang ada itu sebagai keinginan mereka. Sebaliknya, hal tersebut terjadi karena mereka kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara efektif.
Femia (Patria dkk., 2003:124) menyatakan bahwa setidaknya ada empat model konsensus, yaitu konsensus pada masa Romawi Kuno, pra-moderen, masa masyarakat kapitalis, dan masa pemikiran kontemporer. Keempat masa ini memiliki pemikiran-pemikiran khas. Untuk lebih jelasnya berikut ini ditampilkan kutipan pendapat Femia mengenai konsensus hegemoni (Hendarto (1993: 79, Nezar dkk., 2003:124-125).
Pertama, dalam sejarah Romawi Kuno, pusat kekuasaan berada dalam tangan seorang Kaisar. yang berperan sebagai hakim agung, sumber otoritas politik. “Konsensus” berada di tangan Kaisar seorang, segala sesuatu mutlak di tangan kaisar.
Kedua, dalam sejarah pra-moderen, pandangan tentang konsensus tampil sejalan dengan konsepsi masyarakat organik dengan paham bahwa setiap orang mempunyai status dan fungsi yang ditentukan dalam hierarki alamiah (kodrat). Bahwa etika politik bukanlah pertama-tama bertalian dengan masalah hukum, melainkan lebih merupakan kewajiban manusia terhadap masyarakatnya. Di dalam konsensus dipahami bahwa subjek-subjek yang memegang otoritas memahami dan mengikutinya. Dalam pengertian ini tidak dipakai penerimaan indiviual karena tujuannya pada keteraturan universal.
Ketiga, dalam masyarakat kapitalis lanjut secara filosofis dan politik tampil teori-teori hukum alam dan kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya dilakukan dengan sukarela secara individual, tidak ada sesuatu pun yang dapat memaksa manusia. Konsensus memasuki hidup bersama dengan perjanjian positif. Dengan kata lain, kebebasan individu mendapat tempat utama dalam masyarakat.
Keempat, dalam pemikiran politik dewasa ini, ada perubahan pengertian konsensus dari pengertian liberal mengungkapkan tuntutan yang baru. Warga negara secara individual menuntut keterlibatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam masyarakat politik yang diorganisasi dan ditentukan. Dapat dikatakan bahwa konsep ini mengisi arti pokok yang tidak ada dalam pemikiran mengenai kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familliar.

Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukanakn Gramsci dalam konsepnya mengenai hegemoni, yaitu pertama hegemoni total (integral), hegemoni merosot (decadent), dan hegemoni minimum. Pertama, hegemoni integral adalah hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas, masyarakat menunjukan kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Kondisi tersebut tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah.
Kedua, hegemoni merosot adalah suatu kondisi hegemoni yang mengandung kontradiksi. Kontradiksi itu mengakibatkan adanya pertentangan-pertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai. Dalam hegemoni ini rawan terjadi disintegrasi.
Ketiga adalah minimal hegemoni. Hegemoni ini merupakan hegemoni paling rendah. Hegemoni bersandar pada satuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang diturunkan bersamaan dengan keengganan setiap campur tangan massa dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat.
Kata Ideologi memiliki pengertian yang cukup luas, oleh karena itu perllu diperhatikan makna dari ideologi. Pertama, ideologi adalah semua sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia. Ideologi memberikan ajaran kepada manusia tentang suatu keadaan, terutama mengenai struktur kekuasaan yang dianggap sah. Ideologi merupakan ilusi atau kesadaran palsu yang tidak menggambarkan situasi nyata manusia sebagaimana adanya. Ideologi menggambarkan realitas dengan penafsiran terbalik. Apa yang tidak baik dan tidak wajar dinyatakan sedemikian rupa sehingga nampak baik dan wajar. Hal itu terjadi karena ideologi melayani kepentingan kelas yang berkuasa sebagai alat legitimasi (Magnis-Suseno, 1999:122-123).
Kedua, ideologi adalah sistem berpikir, kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Ideoloogi adalah sistem gagasan yang mempelajari keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial. Ideologi dalam hal ini disebut neutral conception (Thompson, 2003:17).
Ketiga, ideologi merupakan kepercayaan kepada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh kelompok masyarakat tertentu. Hal ini biasanya terwujud dalam suatu perkumpulan yang berjuang merealisasikan gagasan atau kepentingan kelompok tersebut, seperti perkumpulan anggota partai politik, serikat buruh, dan organisasi sosial lain yang bertujuan merealisasikan kepentingan mereka. Ideologi ini seringnya disebut dengan ideologi yang diselewengkan, karena ideologi yang dianut merupakan idealisme pemimpin mereka.
Keempat, pengertian ideologi sama dengan kesadaran palsu, yaitu praktik-praktik gerakan ideologis untuk menggerakan suatu kelompok demi suatu kepentingan. Distorsi tersebut sengaja disebut untuk melanggengkan kepentingan kelompok berkuasa dan mengendalikan sepenuhnya pihak yang lemah (Storey, 2003:5).
Kelima, ideologi dapat juga digunakan sebagai alat menyembunyikan realitas sebenarnya, yakni realitas dominasi para panguasa. Hal ini umumnya terdapat dalam ideologi kapitalis. Pada umumnya ideologi ini mengaburkan agar orang-orang yang dieksploitasi tidak merasa ditindas meskipun sesungguhnya mereka sedang diperas.
Keenam, ideologi bukan hanya pelembagaan ide-ide, tetapi sebagai praktik material yang dapat dijumpai dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ideologi seperti ini terdapat dalam cara-cara dan tempat ritual, kebiasaan-kebiasaan tertentu yang menghasilkan akibat yang mengikat dan melekatkan seseorang pada tatanan sosial.
Persoalan sesungguhnya adalah kenapa ideologi tersebut lebih banyak menguntungkan orang-orang berkuasa. Ada beberapa alasan yang menjadikan ideologi para penguasa beredar di masyarakat. Pertama, pikiran yang berkuasa setiap zaman adalah pemikiran kelas berkuasa. Kedua, kelas yang menguasai sarana produksi material adalah kelas yang menguasai sarana produksi spiritual. Ketiga, hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pemikiran serta gagasan mereka. Akhirnya, nilai-nilai resmi masyarakat adalh nilai-nilai kelas atas (Magnis-Suseno, 1999: 124).
Penguasaan ideologi kelas atas ini terjadi bukan hanya di dalam sistem masyarakat feodal, tetapi juga di dalam masyarakat kapitalis. Di zaman feodal, raja dianggap sebagai titisan Tuhan. Raja adalah orang suci yang sudah dipilih Tuhan untuk memerintah masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada yang berani membantah atau melanggar ketentuan dari seorang raja. Perbedaannya dengan sistem masyarakat kapitalis adalah kekuatan pemimpin itu sudah agak berkurang, meskipun kekuatan itu masih tetap ada dan masyarakat masih tunduk kepada ketentuan mereka yang kuat, baik kuat secara ekonomi, keturunan, maupun intelektual.
Dari seluruh pengertian ideologi yang sudah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ideologi dapat disamakan dengan kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, atau reformasi moral dan intelektual (Simon, 2001: 85). Berdasarkan pengertian tersebut, ideologi memiliki aspek psikologis karena berkaitan dengan kesadaran dan ketidaksadaran seseorang. Ideologi dalam hal ini berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, ideologi bukan fantasi seseorang karena ia terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat.

1.5.2 Kebudayaan, Kepercayaan Populer, dan Common Sense
Gramsci menyadari bahwa kebudayaan merupakan kekuatan material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat (via Faruk, 1999: 65). Oleh karena itu, kebudayaan bukan sekedar pengetahuan tanpa makna, tetapi kebudayaan dapat berarti kekuatan politik.
Gramsci menganggap kebudayaan sebagai organisasi, disiplin diri batiniah seseorang, merupakan suatu pencapaian suatu kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya seseorang berhasil dalam memahami nilai historis diri dan fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (via Faruk, 1999: 66). Dengan demikian, kebudayaan tidak bisa disepelekan hanya sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diperhatikan dan dipahami sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kebudayaanlah sebuah negara atau suatu komunitas dapat mengangkat derajat dan martabatnya di mata komunitas atau negara lain.
Pentingnya peranan kebudayaan didasarkan pada pemahaman bahwa manusia adalah produk sejarah. Mengingat yang paling penting dari manusia adalah pikirannya, dengan demikian kesadaran akan posisi seseorang akan menggugah adanya kesadaran diri untuk mengubah nasib diri yang sedang tereksploitasi, ia akan melakukan perlawanan atau pemberontakan setelah menyadari bahwa dirinya diperalat atau diperas oleh golongan atau kelompok lain. Kebudayaan memiliki peran penting karena dapat memberikan kesadaran kepada kelompok-kelompok yang menjadi korban eksploitasi kelas penguasa. Itulah sebabnya Gramsci beranggapan bahwa sebuah revolusi sosial hanya akan terjadi jika didahului oleh adanya revolusi kebudayaan. Revolusi sosial tidak terjadi secara spontan, alamiah, tatapi melibatkan berbagai faktor kutural tertentu yang memungkinkan terjadinya revolusi sosial (via Faruk, 1999: 66).
Gagasan-gagasan dan kepercayaan populer merupakan aspek yang sangat penting dalam perubahan sosial. Menurut Gramsci gagasan-gagasan dapat juga dikatakan sebagai kekuatan material. Aspek ini akan mempengaruhi cara pandang seseorang mengenai dunia. Dengan demikian dinamika sosial sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang terhadap kehidupan.
Dalam kaitannya dengan penyebaran gagasan-gagasan tersebut, folklor, common sense, dan opini-opini memiliki peran penting dalam penyebaran gagasan atau ideologi. Faruk menyebutkan ada tiga cara penyebaran gagasan-gagasan atau filsafat tertentu, yaitu melalui bahasa, common sense, dan folklor (Faruk, 1999: 71). Folklor meliputi sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul-tahayul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu. Jika folklor dapat disamakan dengan karya sastra, maka karya sastra (sebagaimana disebutkan oleh Lotman) merupakan media yang tidak tergantikan oleh media lain dalam peranannya terhadap penyebaran gagasan.
“Literature is accordingly defined as secondary modeling system (...) Literature possesses an exclusive, inherent system of signs (...) which serve to transmit special messages, not transmittable by other means” (via Noth, 1995351).

Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa karya sastra merupakan media paling efektif dalam menyebarkan gagasan-gagasan. Dengan demikian, karya sastra menjadi sangat penting dipelajari dan dianalisis karena di dalamnya terdapat gagasan ideologis yang dapat mengubah kondisi sosial masyarakat.
Selain folklor dan common sense, bahasa juga memiliki peran sentral dalam penyebaran gagasan. Bahasa marupakan media utama komunikasi antara manusia dalam masyarakat. Dengan demikian, melalui bahasa dapat diketahui sejauh mana pemikiran seseorang. Menurut Faruk (1999:71) dari bahasa seseorang dapat ditafsirkan kompleksitas yang lebih besar atau lebih kurang dari konsepsinya mengenai dunia. Di dalam bahasa terkandung elemen-elemen suatu konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan.
Gramsci menyatakan bahwa common sense merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasif meskipun tidak sistematik. Common sense berbeda dengan filsafat karena ia mempunyai dasar dalam pengalaman popular dan tidak merepressentasikan suatu konsepsi yang terpadu menganai dunia. Dengan demikian, filsafat merupakan tatanan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh agama dan common sense (via Faruk, 1999: 71).
Stratum sosial memiliki common sense sendiri-sendiri. Setiap arus filosofis manusia meninggalkan endapan pada common sense. Hal itu merupakan dokumen dari efektivitas historisnya. Common sense sendiri bukan merupakan sesuatu yang kaku dan immobil, melainkan selalu mentransformasikan dirinya, memperkaya dirinya dengan gagasan ilmiah dan opini-opini filosofis yang memasuki kehidupan sehari-hari. Sebagaimana disebutkan oleh Faruk, common sense menciptakan folklor masa depan, yaitu sebagai satu fase yang relatif kukuh dari pengetahuan popular pada suatu ruang dan waktu tertentu (via Faruk, 1999: 71).
Menurut Gramsci, kesadaran untuk menjadi bagian dari kekuatan hegemonik yang khusus adalah tahap pertama ke arah kesadaran diri yang progresif yang di dalamnya teori dan praktek menjadi satu (via Faruk, 1999: 73). Hal ini dimaksudkan bahwa pemahaman teori harus diaplikasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Setiap teori akan disempurnakan dalam praktek, dengan demikian teori akan mempermudah praktek dalam kehidupan sehari-hari. Teori akan menginspirasi adanya perubahan sosial masyarakat, teori merupakan panduan kehidupan atau praktek sosial.
Dengan demikian, pengertian mengenai filsafat atau konsepsi mengenai dunia bagi Gramsci bukan sekedar persoalan akademik, melainkan merupakan persoalan politik. Filsafat merupakan gerakan kebudayaan, suatu ideologi dalam pengertian luas, yaitu sebagai suatu konsepsi mengeani dunia yang secara implistik memanifestasikan dirinya dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi, dan dalam kehidupan individual maupun kolektif (via Faruk, 1999:74). Dengan demikian, ideologi filsafat berfungsi mempersatukan kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan. Hal ini tercermin dari pada fungsi agama yang mempersatukan berbagai kekuatan sosial dalam satu jalur agama tersebut.

1.5.3 Kaum Intelektual
Kaum intelektual merupakan agent of change yang memiliki fungsi menyebarkan ideologi perubahan kepada masyarakat. Oleh karena itu, ideologi tidak akan pernah efektif atau bermanfaat selama tidak ada yang menyebarkan ideologi tersebut. Para intelektual adalah pelaku atau pendorong adanya perubahan. Dengan kata lain, merekalah kunci utama adanya dinamika sosial. Peranan kaum intelektual di dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai ideologis kepada masyarakat menjadi dominan.
Penanaman nilai-nilai ideologis dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga sekolah atau lembaga pengajaran dan lembaga keagamaan. Melalui lembaga-lembaga inilah ideologi disebarkan dan menjadi sebuah komando perubahan sosial. Dengan demikian, kaum intelektual disebut sebagai fungsionaris hegemoni (Faruk, 1999:75).
Menurut Faruk (1999:75) kata intelektual bukan dipahami dalam pengertian yang sederhana, tetapi suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan fungsi organisasinonal dalam pengertian yang luas, baik dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik.
Di dalam Prison Notebooks disebutkan bahwa sebenarnya semua orang berpotensi menjadi seorang intelektual. Namun ke-intelektual-an tersebut sangat ditentukan oleh fungsi mereka dalam masyarakat (via Hoare, 1983: 3).
“All man are potentially intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function.”

Pernyataan tersebut menunjukan bahwa fungsi atau peran seseorang atau kaum intelektual lebih ditentukan oleh fungsinya dalam mempengaruhi dinamika sosial. Lebih lanjut Gramsci membedakan kaum intelektual menjadi dua, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah para intelektual yang memiliki profesi khusus (seperti para ahli di bidang ilmu pengetahuan, bidang sastra dan lain sebagainya), sedangkan yang kedua adalah intelektual organik, yaitu mereka yang mengorganisasi dan memikirkan organisasi sosial tententu. Dalam konteks ini mereka tidak memiliki profesi tententu, tetapi peran mereka menginspirasi dan mendorong dinamika sosial (via Hoare, 1983: 3). Pengertian kedua ini menunjukan bahwa kaum intelektual memiliki peran paling besar di dalam menyebarkan ideologi-ideologi perubahan sosial.
Simpulan dari paparan di atas adalah Gramsci menyatakan bahwa kaum intelektual merupakan ‘deputi’ dari kelompok dominan yang menjalankan fungsi khusus dari hegemoni sosial dan pemerintahan sosial, yang meliputi:
1). Persetujuan ‘spontan’ yang diberikan oleh populasi massa yang besar kepada kepemimpinan umum yang dilakukan kelompok dominan atas kehidupan sosial; persetujuan ini bersifat ‘historis’ disebabkan oleh prestise (dan kepercayaan diri yang konsekuen) dimana kelompok dominan menikmatinya karena posisi dan fungsi mereka dalam dunia produksi.
2). Aparat kekuasaan secara ‘legal’ memaksakan disiplin pada kelompok-kelompok ini pada siapa yang tidak ‘setuju’ baik secara aktif maupun pasif. Aparatus ini, bagaimanapun juga, digunakan untuk seluruh masyarakat sebagai antisipasi dalam momen krisis dari kepemimpinan atau manakala persetujuan spontan telah melemah (Patria, 2003:158).

1.5.4 Negara
Sebelum membicarakan makna sesungguhnya dari apa yang dinamakan negara, perlu kiranya dipahami bahwa pandangan Gramsci akan negara selalu bertolak dari pandangan Marxisme (meskipun ada beberapa perbedaan mendasar). Lahirnya konsep negara dan hegemoni Gramsci sebenarnya berasal dari ketimpangan yang ada dalam aliran pemikiran tersebut. Pertama, terjadinya kesenjangan teori Marxis antara teori dan praktek kelas proletariat. Kedua, upaya menemukan sarana dan strategi partai revolusioner dalam menumbuhkan dukungan dan mencapai kekuatan penuh dalam masyarakat kapitalisme. Dengan kata lain, Gramsci ingin menyelesaikan kegagalan strategi dan taktik kelas proletariat dalam menumbangkan kelas borjuis di Italia.
Bagi Gramsci, partai adalah alat sesungguhnya bagi kelas pekerja untuk menyatukan teori dan praktik. Teori muncul dari partai dan dalam rangka merespon problem yang dihadapi oleh masa yang terorganisir. Oleh karena itu, konsep tentang negara dan hegemoni sesungguhnya merupakan bagian dari praktek revolusioner yang dilakukannya. Dari praktik ini pula, Gramsci mencoba menyusun konsep baru tentang peranan partai dalam rangka menjalankan tugas revolusi (Patria, dkk., 2003: 113).
Negara atau state dalam Bahasa Inggris berarti suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Dengan pengertian lain, negara adalah pengorganisasian masyarakat dalam suatu wilayah dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu sebagai tempat negara itu berada (http://id.wikipedia.org/wiki/Negara).
Negara merupakan institusi resmi yang mengatur kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, melalui negara produk-produk hukum dan aturan dibuat guna mengendalikan kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Negara dalam pandangan Marxisme berkaitan dengan kelas-kelas sosial. Dengan demikian, negara dalam Marxisme adalah negara kelas.
Dalam konsep Marxisme, negara tidak lepas dari model dalam kaitannya dengan ekonomi. Menurut Marx, para penguasa merupakan bagian dari orang-orang yang memiliki modal, hanya orang kaya yang dapat masuk di lembaga pemerintahan. Dengan kata lain, struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-Suseno, 2000: 121).
Marx berpandangan bahwa negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan apa yang diusahakan oleh para pemegang kekuasaan tersebut sebagai usaha mengelabuhi masyarakatnya dengan tindakan-tindakan yang seolah-olah untuk kepentingan rakyat. Frederick Enggel menyatakan bahwa negara bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa (Magnis-Suseno, 2000:120). Jika demikian adanya, maka negara merupakan alat untuk melanggengkan kekuasaan bagi kelas-kelas atas atau kelas pemilik modal. Negara mengawasi setiap gerak dan pemikiran masyarakat sipil yang berada di bawah naungannya. Untuk itu Karl Marx (1869) menyebutkan bahwa negara berperan sebagai berikut.
Negara terlibat, mengontrol, mengawasi, dan mengelola masyarakat sipil dari perbagai ekspresinya yang mencakup semua hal sampai gerakan-gerakannya yang paling tidak signifikan, dan dari bentuk-bentuk eksistensinya yang paling umum sampai kehidupan pribadi individu-individu .

Dengan demikian, di dalam konsep Marxisme, negara merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas. Negara dalam hal ini bukan kawan melainkan lawan bagi masyarakat kecil. Orang kecil diharapkan tidak menuntut keadilan atau bantuan yang sesungguh-sungguh dari negara, karena negara justru merupakan wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil (Magnis-Suseno, 2000:121).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas Plato menyatakan;
“Dan bentuk pemerintahan yang berbeda membuat hukum menjadi demokratis, tiranis, dan aristokratis, sesuai dengan kepentingan mereka; dan hukum ini, yang mereka ciptakan untuk kepentingan para penguasa sendiri, merupakan keadilan yang mereka terapkan pada rakyat mereka, dan seseorang yang melanggar hukum itu mereka hukum sebagai pelanggar hukum dan penjahat. ... satu-satunya kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa dimana-mana hanya ada satu prinsip tentang keadilan yang merupakan kepentingan dari yang lebih kuat.” (Plato, 1992: 22)

Setelah memahami konsep negara di dalam Marxisme, kita perlu mengetahui konsep negara menurut Gramsci. Gramsci membedakan dua wilayah dalam negara; yaitu dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik. Wilayah pertama penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah “kesetujuan” dan “kehendak bebas”. Wilayah kedua merupakan dunia kekerasan, pemaksaan dan intervensi (Faruk, 1999:77). Negara tidak hanya menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga aparat-aparat hegemonik atau masyarakat sipil. Jika Marx memandang negara hanya sebatas fisik, Gramsci lebih dalam dari itu. Negara adalah kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoritis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah.
Pemahaman tersebut merupakan perluasan dari makna negara yang sesungguhnya. Gramsci memandang bahwa negara secara fisik dan ideologis, karena itu ada negara “etis” atau negara “kebudayaan”. Suatu negara disebut etis sepanjang salah satu fungsi terpentingnya adalah untuk membangkitkan massa penduduk yang besar pada level moral dan kultural; suatu level yang berhubungan dengan kebutuhan akan kekuatan-kekuatan produktif, dengan interes-interes kelas penguasa. Dengan demikian, negara dapat berfungsi sebagai edukator sejauh ia cenderung menciptakan suatu tipe atau level kebudayaan baru (Faruk, 1999:77).

1.6. Metode Penelitian, Objek Penelitian, dan Metode Pengumpulan Data
1.6.1. Metode Penelitian
Secara umum, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif melalui data-data yang berhubungan dengan permasalahan dan studi pustaka yang difokuskan pada analisis data yang berupa teks. Menurut Moleong (2007:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Secara khusus, metode yang digunakan adalah analisis wacana sosiologi dengan penekanan pada persepsi wacana hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu menentukan karya sastra yang akan dianalisis, menentukan tema penelitian, menentukan metode yang akan digunakan, menentukan data dan mengapa data itu penting, analisis dan mengambil simpulan dari hasil pembacaan.
Langkah awal yang dilakukan adalah menentukan drama Man and Superman yang akan dianalisis menggunakan pendekatan hegemoni Gramsci. Hal tersebut dilakukan dengan mengamati isu-isu hegemoni/dominasi yang dibangun dalam wacana yang ada dalam drama tersebut. Setelah melakukan pembacaan secara cermat, kemudian peneliti menentukan tema penelitian; yaitu dengan mencermati isu-isu ideologis politis atas dinamika yang dibangun dalam drama tersebut.
Langkah berikutnya, peneliti menentukan pendekatan atau metode yang akan digunakan, yaitu menggunakan analisis tekstual. Peneliti menggunakan pendekatan ini karena dalam kajian karya sastra kita bisa mengunakan analisis yang berorientasi tekstual dan kontekstual. Teks dapat menjadi sesuatu yang dapat diteliti dan merupakan data empiris yang sangat penting dalam studi karya sastra. Selain itu, analisis tekstual dapat memperkaya pengetahuan tentang aspek formal teks media. Untuk mendapatkan kajian yang kaya makna sosiokultural, maka kajian karya sastra ini memperhatikan konteks sosio-kultural yang ada dalam karya sastra.
Untuk memahami konteks budaya Inggris, studi ini mencoba memahami konsep hegemoni berdasar konflik-konflik yang tergambarkan dalam Man and Superman. Konflik sosial tersebut kemudian dikorelasikan atas pemikiran Marxisme dan konsep hegemoni Gramsci. Berdasar dari itu, penelitian ini menghubungkan dinamika sosial yang dibangun di dalam drama Man and Superman dengan konteks sosial masyarakat Inggris pada masa-masa penulisan karya sastra tersebut.
Untuk menunjukan korelasi antara teks drama Man and Superman dengan konteks sosio-budaya masyarakat Inggris, penulis melakukan pembacaan intertekstual berdasarkan analisis penulis tentang materi-materi yang ada di dalam drama Man and Superman yang dihubungakan dengan isu-isu dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan, perjuangan kelas dan konflik-konflik sosial yang muncul di dalam cerita drama tersebut. Untuk mencapai pemahaman intertektual tersebut, penulis akan menggunakan analisis wacana berdasarkan adegan dalam masing-masing babak yang dianggap mencerminkan adanya persoalan hegemoni atau dominasi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Sebelum sampai ke tahapan analisis, penulis menentuan data yang akan diambil yaitu berupa kutipan dialog dan pernyataan yang merepresentasikan gagasan hegemonis dari masing-masing tokoh yang ada di dalam drama tersebut. Data tersebut sangat penting mengingat metode penelitian yang akan digunakan adalah analisis tekstual. Data yang diambil, sebelumnya diseleksi dan diklasifikasi terlebih dahulu sehinggga akan ditemukan data yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini.
Dengan menggunkan analilsis tekstual yang dipadu dengan wacana yang ada dalam masyarkat maka data-data yang sudah dipilih akan diposisikan sebagai wacana tekstual. Agar lebih komprehensif, wacana-wacana tekstual tersebut dikaji dalam (1) tokoh yang terlibat dalam sebuah dialog; (2) bagaimana mereka menmperbincangkan topik hegemoni; (3) bagaimana pengaruh wacana hegemoni; (4) bagaimana konflik-konflik yang muncul dari berkembangnya wacana hegemoni atau dominasi dalam masyarakat; dan (5) bagaimana drama ini memandang wacana dinamika perjuangan kelas dan persoalan hegemoni.
Hasil dari analisis wacana kemudian dikaitkan dengan persoalan hegemoni yang terjadi di dalam masyarakat Inggris masa itu, sekaligus dipadukan dengan pemikiran-pemikiran kritis tentang hegemoni, perjuangan kelas, dan dominasi. Dengan demikian, akan dapat diketahui bagaimana posisi yang diambil drama Man and Superman dalam memandang persoalan tersebut.

1.6.2. Objek Penelitian
1.6.2.1 Objek Material
Objek material penelitian ini adalah sebuah tek drama berjudul Man and Superman yang ditulis oleh George Bernard Shaw (GBS) pada tahun 1903. Penelitian ini mendasarkan pada tek drama tersebut yang ditulis kembali oleh John A. Bertolini yang diterbitkan pada tahun 2004 dan di cetak oleh Creative Media Inc. di Amerika Serikat. Oleh Bertolini buku tersebut diberi judul Man and Superman and Three other Plays karena di dalamnya terdapat tiga teks drama lain, diantaranya; Mrs. Warren Profession, Candida dan The Devil’s Diciple.

1.6.2.2 Objek Formal
Supaya penelitian ini dapat mengkorelasikan gagasan-gagasan yang ada dalam karya sastra dengan tema penelitian ini, maka objek formal yang digunakan adalah teori hegemoni. Teori ini merupakan pengembangan dari konsep sosiologi Marxisme. Di dalam teori sosiologi ini akan kita temukan konsep-konsep yang sesuai dengan tema yang akan ditemukan dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang dimaksud adalah konsep penindasan atau hegemoni, persaingan kelas, dan deskriminasi.

1.6.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data library research, yaitu penelitian pustaka yang dilakukan dengan membaca buku-buku ataupun dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian atau tema penelitian ini.
Data-data yang berkaitan dengan judul akan dituliskan dalam kolom-kolom yang disesuaikan dengan pokok persoalan dari judul tesis ini. Setelah data terkumpul, penulis mengklasifikasi dan menyusun data tersebut.
Data-data yang sudah didapatkan dari hasil pembacaan, kemudian dianalisis berdasarkan kerangka teori yang sudah ditentukan. Analisis tersebut dilakukan dengan cara mengkomparasikan gagasan-gagasan yang ada di dalam landasan teori dengan data-data yang sudah di dapatkan dari objek penelitian.

1.7. Sistematika Penyajian
Penulisan tesis ini akan dilakukan dengan cara sebagai berikut;
Bab pertama akan membahas mengenai latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.
Bab kedua, berbicara mengenai drama Man and Superman; sinopsis, konflik antartokoh, dan tipologi hegemoni yang terdapat di dalam drama tersebut. Tipologi hegemoni meliputi: hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan, hegemoni penguasa terhadap rakyatnya (negara politik dan masyarakat sipil), dan hegemoni kaum tua terhadap kaum muda (intelektual versus masyarakat biasa).
Bab ketiga berbicara mengenai konteks keterkaitan sastra dengan masyarakat, kondisi sosial politik masyarakat Inggris, sejarah hidup pengarang serta kiprah penulis Man and Superman dalam pergerakan masyarakat.
Bab keempat merupakan simpulan dan saran. Simpulan diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dari hasil penelitian ini tentunya akan didapat beberapa poin penting yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya. Sedangkan saran dimaksudkan agar pembaca dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini.

0 comments: