Sponsor Links

Tuesday, April 13, 2010

GEORGE BERNARD SHAW DAN DINAMIKA SOSIAL POLITIK

3.1. Pengantar
Bab ini akan membahas beberapa aspek yang berkaitan dengan dinamika sosial politik masyarakat Inggris. Dinamika sosial tersebut meliputi keterkaitan sastra dengan masyarakat, dinamika sosial politik negara Inggris abad ke-18 sampai awal abad ke-19 (masa itu merupakan pendorong lahirnya drama ini). Sekilas mengenai posisi perempuan di dalam masyarakat Inggris juga akan dibahas, mengingat bagian ini merupakan persoalan terpenting dari isu-isu hegemonis yang ada di dalam Man and Superman. Kemudian akan dibahas menganai sejarah kesusastraan Inggris, dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari karya sastra adalah sejarah hdup pengarang itu sendiri. Sejarah hidup GBS akan memberikan informasi tambahan yang sangat penting mengenai latarbelakang lahirnya karya drama ini.
Sebagai bagian dari masyarakat, karya sastra mempengaruhi dan dipengaruhi kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami karya sastra secara menyeluruh, terutama pendekatan sosiologi sastra, haruslah memahami kondisi sosial politik yang terjadi pada zaman karya sastra itu diciptakan. Pada dasarnya, nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra tersebut merupakan cerminan, respon atau tanggapan terhadap apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Seorang sastrawan sebagai bagian dari masyarakat berpengaruh besar terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Ketertarikan atau interes yang dimiliki akan membawa pada corak karya sastra yang dihasilkan. Seorang sastrawan yang berminat dalam persoalan agama tentunya akan banyak menulis seputar persoalan agama, demikian juga dengan sastrawan yang berminat dalam soal politik maupun bidang lainnya.
George Bernard Shaw merupakan salah satu contoh sastrawan yang berminat dalam bidang politik. Dalam sejarah hidupnya, ia dikenal sebagai seorang aktivis politik maupun aktivis organisasi sosial. Sebelum masuk secara langsung dalam pemerintahan, GBS dikenal sebagai seorang aktivis di organisasi sosial yang disebut dengan Fabian Society . Seiring dengan perkembangan karirnya, ia pun terjun dalam dunia politik praktis.
Melalui drama ini, pembaca dapat menemukan pemikiran-pemikiran GBS, terutama yang berkaitan dengan kesetaraan sosial. Drama ini merupakan drama propaganda yang menyuarakan persamaan hak laki-laki dan perempuan, pemerataan ekonomi (kekayaan), dan penghapusan diskriminasi sosial.

3.2. Sastra dan Masyarakat
Karya sastra berupa drama merupakan karya yang dimaksudkan untuk dipentaskan (drama is the specific mode of fiction represented in performance). Secara etimologi drama berasal dari bahasa Yunani yang berarti action (‘tindakan’) . Bahasa yang digunakan dalam drama berbeda dengan bahasa karya sastra bentuk lain. Bahasa drama berupa dialog-dialog atau peracakapan antartokoh. Percakapan antartokoh dituliskan dalam bentuk dialog sebagaimana halnya percakapan biasa.
Karya sastra berbentuk drama umumnya menggambarkan persoalan keluarga atau politik di suatu pemerintahan. Karena itu, drama lebih banyak menyinggung persoalan kekuasaan atau politik, terutama karya-karya drama zaman dahulu yang lebih banyak bercerita mengenai suatu kerajaan. Kita mengenal karya-karya fenomenal seperti Oedipus the King dan Hamlet, kedua karya ini sering dikaji oleh para ahli di bidang drama maupun ahli sastra. Itulah sebabnya, wajar jika karya sastra berupa drama lebih banyak bersinggungan dengan nilai-nilai moral pemerintahan.
Sebagai karya sastra yang syarat dengan nilai kritik, drama tidak lepas dari gagasan atau idealisme pengarangnya. Persoalan-persoalan yang digambarkan dalam karya drama merupakan kritikan, gagasan atau idealisme pengarang yang berupa pesan moral kepada pembaca atau penikmatnya. Pesan moral yang ada dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai suatu gagasan politik yang ingin diperjuangkan oleh pengarangnya.
Persoalan yang digambarkan dalam karya drama umumnya bertolak dari suatu kenyataan. Kenyataan diolah sedemikian rupa sehingga terciptalah sebuah karya yang dinamakan drama. Persoalan-persoalan kehidupan yang komplek dari kehidupan manusia digambarkan dalam bentuk karya sastra sehingga menarik pembaca atau pemirsanya. Goldman dalam Raman Selden (1986:38) menyatakan:
“... These world views are perpetually being constructed and dissolved by social groups as they adjust their mental image of the world in response to the changing reality before them. Such mental images usually remain ill-defined and half-realized in the consciousness of social agents, but great writers are able to crystallize world views in a lucid and coherent form.”

Berdasar dari pemahaman tersebut di atas, agar dapat memahami makna atau pesan moral di dalam drama Man and Superman perlu dipahami kondisi sosial yang melatari lahirnya karya sastra tersebut. Kenyataan atau fenomena sosial tersebut dikaitkan dengan pesan moral atau kritik yang disampaikan dalam karya sastra. Dengan demikian, penggabungan antara pemahaman sejarah dengan apa yang terdapat di dalam karya sastra akan memperdalam pemahaman dan interpretasi nilai moral yang disampaikan penulisnya.
Kondisi sosial politik sangat penting bagi pemahaman karya sastra, terutama pendekatan sosiologi sastra. Suatu karya sastra tidak bisa lepas dari latar sosial dimana pengarang mendapat inspirasi atau gagasan atas persoalan-persoalan sosial yang melatarinya. Dalam pendekatan karya sastra, kita mengenal adanya teori mimesis, yaitu pendekatan sastra yang menekankan pada aspek sifat karya sastra yang dianggap tiruan kehidupan. Dengan kata lain, karya sastra merupakan cerminan kenyataan (Luxemburg, 1982:15). Memesis berasal dari kata Yunani yang berarti ‘jiplakan’ atau ‘perwujudan’. Model pendekatan ini sangat terkenal di Eropa, pertama kali digunakan dalam karya seni yang diutarakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322).
Sebagaimana yang sudah disinggung di bagian sebelumnya, karya sastra dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Karya sastra dipengaruhi dan mempengaruhi kondisi yang ada dalam masyarakat, dengan demikian, karya sastra berperan dalam perubahan sosial. Hubungan timbal balik ini menjadikan karya sastra memiliki posisi penting dalam mengajarkan norma-norma atau kebudayaan yang bersangkutan. Renne Wellek dkk. (1990;109) menyatakan bahwa sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Sebagai institusi sosial, karya sastra memiliki kekuatan tertentu di dalam mengendalikan atau mempengaruhi masyarakat.
De Bonald menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat, literature is an expression of society (via Wellek, dkk., 1990; 110). Sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup; karya sastra tidak akan pernah lepas dari ekspresi pengalaman dan pandangan dari pengarangnya. Dengan demikian, apa yang digambarkan di dalam karya sastra akan menginspirasi individu-individu di dalam masyarakat untuk meniru, menolak atau mendukung gagasan-gagasan yang terdapat di dalam karya sastra tersebut.
Secara deskriptif keterkaitan sastra dan masyarakat dapat kita pilah sebagai berikut;
Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalahnya berkaitan dengan dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Dimana faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi cara pandang yang berakibat pada karya sastra itu sendiri.
Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, merupakan pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat (Wellek, dkk., 1990; 111-112).
Dalam kaitannya dengan fungsi sastra, sastra dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat. Karya seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya, banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan (Wellek, dkk., 1990; 120). Dengan demikian, seorang sastrawan yang ingin menciptakan suatu karya sastra tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai atau norma yang ada dalam masyarakat. Kohn-Branstedt menyatakan:
“Hanya seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang struktur sebuah masyarakat dari sumber lain di luar sastra, yang dapat menyelidiki, apakah, dan sejauh mana, tipe sosial tertentu dan perilaku direproduksikan di dalam novel (karya sastra) (via Wellek, dkk., 1990; 124).

Karena keterkaitanya antara karya sastra dengan masyarakat begitu erat, maka karya sastra tidak bisa dipisahkan dengan perangkat nilai yang ada dalam masyarakatnya. Lembaga agama, pengetahuan, dan perangkat lain akan memiliki keterkaitan dengan suatu karya sastra. Para pahlawan, tokoh jahat dan wanita petualang dari dunia rekaan sering merupakan indikasi adanya sikap sosial yang serupa dengan sifat-sifat tokoh tersebut pada masyarakat zamannya. Penelitian mengenai sikap sosial seperti ini mengarah pada sejarah etika dan norma keagamaan (Wellek, dkk., 1990; 124).
Rasanya kita tidak mungkin menerima teori yang menunjuk pada satu aktivitas manusia saja sebagai “penggerak” dari semua aktivitas lainnya. Teori Taine, misalnya, menjelaskan bagaimana proses kreasi digerakkan oleh faktor sosial, iklim, dan biologi. Teori Hegel dan pengikut-pengikutnya mengagas “spirit” merupakan faktor tungggal dalam sejarah; sedangkan Marx menjelaskan segala sesuatu dari alat produksi. Sejak awal abad pertengahan sampai bangkitnya kapitalisme, perubahan tetknologi tidak sehebat transformasi budaya dan sastra (Wellek, dkk., 1990:127). Kesadaran akan transformasi budaya inilah yang menurut Gramsci menjadi sesuatu yang paling penting dalam masyarakat; revolusi kebudayaan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Adanya keterkaitaan antara karya sastra dengan masyarakat, mengindikasikan adanya fungsi dari karya sastra. Sastra sebagaimana disebutkan Horace berfungsi sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna (via Renne Wellek, dkk, 1995). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa peranan sastra bukan sekedar menghibur tetapi juga mengajarkan sesuatu yang berguna. Peranannya yang menghibur sekaligus berguna inilah, maka sastra dianggap sebagai media paling efektif dalam mengubah pikiran masyarakat. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh Prof. Chamamah Soeratno, sastra adalah means that is not transmitable by other means, karya sastra bisa dikatakan sebagai media yang tidak tergantikan oleh media lain.
Ada beberapa poin yang harus kita perhatikan mengenai kelebihan sastra dibandingkan dengan media kritik lain. Sastra merupakan sarana kritik yang menghibur sehingga pesan yang tersampaikan bisa meresap dalam pikiran manusia secara tidak disadari. Dengan demikian, konfrontasi terhadap nilai suatu ideologi dalam sastra tidak kasar, tetapi merasuk secara perlahan-lahan. Sastra yang memiliki pengaruh seperti ini biasanya adalah sastra yang mengandung nilai didaktis tinggi; dan umumnya sastra yang demikian adalah karya sastra yang berkaitan dengan suatu agama atau ideologi politik. Montgomery Belgion (via Renne Wellek, 1995) mengatakan;

“Irresponsible propagandist”. That is to say, every writer adopts a view or theory of life... the effect of the work is always to persuade the reader to accept that view or theory. This persuasion is to say, the reader is always led to believe something, and that assent is hypnotic-the art of the presentation seduces the reader..”.

Sastra yang berkaitan dengan agama bisa kita lihat pada karya sastra modern saat ini. Karya Helvi Tiana Rosa, misalnya, merupakan contoh paling konkret dari sastra yang berbau keagamaan. Karya-karya Helvi telah mempengaruhi kalangan muda Indonesia yang gemar membaca karya-karya sastra Islami. Sebenarnya masih banyak penulis-penulis islami lain yang sangat potensial di negeri ini, seperti Habiburrahman El Sirozy, Gola Gong, Asma Nadia, dan lain sebagainya. Objek dari sastra ini adalah kaum muda yang biasanya sangat optimis terhadap kehidupan.
Sastra biasanya kontraversial dan sering menimbulkan polemik adalah sastra yang berbau ideologi politik. Sastra seperti ini sering mengkonfrontasi penguasa yang dholim. Pramudia Ananta Toer merupakan sastrawan yang mewakili sastrawan politik. Karya-karyanya sempat dilarang terbit oleh pemerintahan Orde Baru karena dianggap membahayakan penguasa Soeharto. Selain Pramudya, masih banyak sastrawan Indonesia yang menyerukan perlawanan terhadap kedholiman penguasa, diantaranya W.S. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Ratna Sarumpaet, dan Nano Riantarno, mereka merupakan sastrawan yang pernah dianggap berbahaya oleh pemerintah Orde Baru.
Adanya pelarangan atau pembredelan terhadap suatu karya sastra menunjukan pentingnya sastra terhadap perubahan pola pikir pembacanya. Sastra bisa menyadarkan seseorang akan eksistensi dan juga kebenaran-kebenaran yang harus diperjuangkan dalam kehidupan. Dengan karya sastra penulis/sastrawan akan mampu memberikan suatu pemahaman atau pemikiran secara leluasa dan independen. Sastra merupakan sarana nation formation atau nation building yang berarti sastra sebagai pembentuk karakteristik masyarakat. Sastra merupakan benteng terakhir dari kebudayaan dan peradaban dari hempasan gelombang penjajahan ekonomi, politik, dan militer dari penjajah kafir (Jabrohim, 2005).
Dengan karya sastra kita bisa melihat kejayaan masa lalu. Dengan adanya karya sastra kita bisa melihat dan mengerti pemikiran para pejuang dan leluhur yang telah melukiskan pemikiran mereka dalam karya sastra yang mereka tinggalkan. Peninggalan-peninggalan seperti hikayat, kitab-kitab, babad dan serat yang ditulis para pujangga mampu memberikan gambaran kehebatan leluhur dimasa lalu. Lebih lanjut, sastra merupakan ekpresi identitas yang bisa digunakan untuk memperteguh identitas suatu bangsa. Nilai-nilai yang ada dalam sastra yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat tentu akan memberikan corak tersendiri dalam masyarakat di tempat sastra itu lahir. Seorang sastrawan akan memberikan nilai-nilai didaktik sebagai kritik sekaligus peringatan kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan menyadari kekurangan dan kekhilafan mereka. Dari sinilah nilai-nilai identitas muncul dan terjaga dalam karya sastra. Sastra akan menanamkan nilai-nilai itu tanpa disadari oleh siapapun.

3.3. Kondisi sosial politik Masyarakat Inggris
Setelah terjadi Revolusi Industri pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, negara Inggris mengalami perubahan besar, baik secara sosio-ekonomik maupun budaya. Perubahan tersebut ditandai dengan perkembangan dalam bidang pertanian, perindustrian, dan transportasi (http://en.wikipedia.org/wiki/Industrial_revolution). Bukan hanya itu, adanya Revolusi Industri, kehidupan masyarakat juga mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal itu ditandai dengan lahirnya kelas-kelas sosial baru dalam masyarakat yang semuanya disebabkan oleh adanya perkembangan ekonomi.
Perputaran uang sangat mempengaruhi hubungan antarmanusia, alam dan juga dunia secara luas. Pikiran dan tujuan kehidupan manusia merupakan produk dari stuktur properti. Setiap aktivitas kultural (dalam artian luas) diturunkan pada isi ekonomi yang mengontrol atau yang mendahului secara langsung atau tidak langsung. Semua aktivitas ekonomi mencerminkan usaha manusia mendapat kekuasaan.
London pada tahun 1890-an muncul sebagai kota terkuat di dunia. Populasi penduduknya kurang lebih satu jutaan jiwa, dua kali lipat dibandingkan penduduk Irlandia. Pada saat itu London merupakan kota yang paling banyak menyerap tenaga kerja karena merupakan pusat perdagangan dan industri. Dalam beberapa kalimat, David Ross (2001: 11) menulis bahwa London merupakan pusat kota yang kaya, dan pusat kerajaan kolonial, It was the capital of a rich country, and the center of a huge colonial empire. Kekayaan dan kemakmuran kota itu dapat terlihat dari berbagai segi kehidupan, di antaranya bangunan gedung-gedung yang mengandung nilai seni tinggi. Museum, galeri-galeri, kerajaan aristokrasi, dan berbagai industri mampu melahirkan para jutawan.
“So between the end of the eighteenth and the middle of the nineteenth century Britain became the domninant economic power. This position was certainly the result of a unique combination or historical circumstances but was destined to be transitory. Although the Victorian era saw the zenith of Britisih economic power and its predominance, it aso saw the beginning of farelative decline which was to be no temporary phenomenon but was to continue and intensify right up to our own times.” (Crouzet, 1982: 9).

’Jadi antara akhir Abad ke delapan belas dan pertengahan Abad ke sembilan belas kekuatan ekonomi Inggris menjadi dominan. Posisi ini jelas hasil dari kombinasi unik atau keadaan historis, tetapi keadaan itu ditakdirkan untuk bersifat sementara. Meskipun zaman Victoria melihat puncak kekuatan ekonomi Inggris dan dominasi, era itu sudah terlihat penurunan farelative pada awal yang tidak hanya fenomena sementara tetapi berlanjut sampai ke jaman kita sendiri.’ (Crouzet, 1982: 9).

Sebagai negara paling maju di dunia, Inggris merupakan negara terkuat di dunia dalam bidang finansial di wilayah Eropa. Sebagaimana disebutkan oleh Crouzet (1982:10) bahwa dengan 24 persen dari total ekspor negara Eropa pada tahun 1913, Inggris merupakan nengara terkaya setelah Amerika Serikat dan Jerman pada waktu itu.
Namun demikian, di dalam kota Inggris terdapat ketimpangan yang sangat mencolok. Ketimpangan atau kesenjangan antara kaya dan miskin semakin jauh. Akibatnya, hubungan antara individu dalam masyarakat Inggris tidak harmonis. Hal ini disebabkan adanya perubahan sikap hidup masyarakat Inggris yang diakibatkan persoalan ekonomi. Kemudian lahirlah kelas-kelas sosial baru yang cukup sulit disatukan dari masing-masing tingkatan. Jika pada jaman sebelum lahirnya revolusi industri, masyarakat hanya terdiri dari kelas bangsawan dan kelas rakyat jelata, tetapi pada masa perkembangan selanjutnya lahirlah kelas menengah. Kelas menengah adalah kelas baru yang lahir dari adanya kapitalisme, mereka di antaranya adalah para pengusaha, karyawan, ataupun para tenaga ahli di bidang industri. Sebagai akibat dari adanya revolusi industri, masyarakat asli dianggap tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan, sebagaimana disebutkan oleh David Roos:
“The other ninety-eight percent of the inhabitants of London, and of England, had no position in ‘society’. They were the workers of the colossal hive. However, there was no equality of status among them.” (Ross, 2001: 12).

‘Sejumlah sembilan puluh delapan persen dari penduduk London, dan Inggris, tidak memiliki posisi dalam 'masyarakat'. Mereka adalah para pekerja dari daerah besar. Namun, tidak ada kesetaraan status di antara mereka.’ (Ross, 2001: 12).

Di samping kesenjangan yang disebabkan oleh faktor ekonomi, di negara Inggris, yaitu ketegangan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa itu terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari perlakuan masyarakat terhadap perempuan. Pada masa-masa awal, di negara Inggris perempuan tidak dilibatkan dalam momen-momen politik, sebagaimana halnya dalam pemilihan umum. Kaum perempuan tidak memiliki hak pilih. Baru pada tahun 1918, saat diberlakukan ‘Reform Bill’ kaum perempuan memiliki hak pilih sebagaimana kaum laki-laki (Samekto, 1998: 251). Dapat disimpulkan, kaum perempuan tidak leluasa dan tidak dapat mengembangkan diri, terutama untuk berkarir di luar rumah. Hak-hak politik, ekonomi dan sosial kaum perempuan sanngat dibatasi, bahkan kaum perempuan tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan.
Dalam lingkup pekerjaan, kaum laki-laki dapat bekerja dalam bidang industri atau mesin, sedangkan kaum perempuan pada level yang lebih ringan, itupun diperuntukan bagi kaum perempuan belum menikah. Perempuan yang sudah menikah umumnya akan tinggal di rumah mengurus keluarga. David Ross menyebutkan; In this group, wives did not normally work. Unmarried women frequently did, and had to survive, but the work they did was of a genteel nature: decorative embroidery rather than operating a machine to sew mass-produced shirts (Ross, 2001:13). Dinamika ini akhirnya melahirkan pemberontakan atau penolakan-penolakan dari kaum perempuan.
Tahun 1892-1905 merupakan masa akhir era Victoria. Era tersebut dibagi menjadi dua, yaitu bentuk pemerintahan liberal dan konservatif. Pada masa tersebut Inggris mengalami masa-masa berbahaya karena menghadapi ancaman dari Afrika, Jerman, dan juga Perancis (Keith Feiling, 1952:999). Inggris menghadapi berbagai persoalan sosial yang mengancam kedamaian dan kesejahteraaan.
Pada zaman Revolusi Industri, rezim kolonialis dan feodalis dijatuhkan oleh pemberontakan kelas menengah, Inggris akhirnya mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Hasil keuntungan perdagangan pada kurun waktu abad ke-18 menjadikan Inggris sebagai negara industri kapitalis pertama di dunia. Akan tetapi harapan dan tenaga dinamis yang dihasilkan revolusi-revolusi ini, yaitu tenaga yang menjiwai penulisan Romantik, telah mengalami pertentangan dengan rezim baru yang borjuis dan kejam (Eagleton, 1983: 20).
Suatu paham yang muncul di Inggris pada masa revolusi industri, ialah paham Utilitarianisme. yaitu sifat budaya kasar yang berkembang dengan cepat menjadi ideologi terpenting pada kelas menengah industri. Paham tersebut sangat mendewakan fakta. Pengaruh kapitalisme akibat revolusi industri itu menimbulkan pertentangan kelas yang mencolok antara borjuis dan proletar. Menurut Eagleton (1981:21), paham ini menganggap hubungan antarmanusia seperti urusan jual beli di pasar. Paham ini juga menolak karya seni karena karya seni dianggap hanya hiasan yang tidak membawa keuntungan. Paham ini pula yang memberi indikasi sebahagian karya-karya sastra (khususnya novel) pada masa itu berisi penggambaran tokoh-tokoh yang bersifat kasar, kehilangan sifat humanitas antara sesama anggota masyarakat. Karya sastra hanya mementingkan keuntungan tampa mengindahkan norma-norma sosial. Kaum kelas bahwah semakin terinjak, anak dieksploitasi, dan lain sebagainya (Siti Hafsah, 2005: 29).
Disiplin-disiplin budaya yang kasar dari zaman awal kapitalisme industri, menumbangkan kehidupan bermasayakat, mengubah masyarakat proletar menjadi bentuk pengabdian terhadap kaum borjuis, dan mengokohkan proses perburuhan yang asing bagi kelas pekerja (yang baru dibentuk) shingga kelas pekerja (buruh) tidak memahami sama sekali hal-hal yang dapat dijadikan komoditas di pasaran terbuka. Kelas pekerja melancarkan protes terhadap penindasan ini, pemerintah kerajaan Inggris bertindak dengan cara melakukan penindasan politik yang kejam dengan mengubah corak pemerintahan (dalam zaman Romantik) menjadi negara polisi (Eagleton, 1983).
Keadaan politik yang sedemikian istimewa, yang diberikan oleh penulis-penulis Romantik kepada “imaginative kreatif”, dapat dilihat sebagai suatu pelarian kosong. Sebaliknya, “kesusastraan” pada waktu itu dilihat sebagai salah satu wahana, nilai-nilai kreatif yang dihapuskan dari wajah masyarakat kapitalis industri dapat dipuja. Karya sastra sendiri dianggap sebagai suatu kesatuan organik yang penuh rahasia. Hal ini berbeda dari sifat individualisme pasaran kapitalis yang menganggap karya itu bersifat “spontan” dan bukan dirancang secara rasional, kreatif, dan tidak mekanikal (Eagleton, 1983: 31).
Oleh karena itu, perkataan “puisi” tidak lagi merujuk kepada suatu gaya teknik penulisan, tetapi mempunyai implikasi sosial, politik, dan falsafah secara mendalam. Kesusastraan menjadi ideologi alternatif, yakni dari “imajinasi” itu sendiri menjadi tenaga politik awal pemerintahan Victoria dalam masyarakat Inggris (hal ini sesuai dengan pendapat Blake dan Shelding). Disamping itu, pada zaman Victoria berlangsung perubahan-perubahan sosial yang penting karena perkembangan ekonomi dan teknologi yang begitu pesat. Perubahan tersebut menjadi salah satu aspek revolusi industri yang berdampak terhadap masyarakat, misalnya perbedaan mencolok antara golongan kaya dan golongan miskin (Samekto, 1975:77).
Pada zaman pemerintahan Victoria (1850-1900), kondisi masyarakat sangat memprihatinkan, yang miskin semakin jatuh, yang kaya semakin merajalela. Hal ini membuat para pegawai rendahan pemerintah, misalnya guru, pedagang kecil, pendeta, bahkan ilmuwan, membuat populasi penjara meningkat (Wilson. 1970: 48). Meningkatnya kejahatan tersebut diakibatkan oleh adanya ketimpangan sosial. Ketidakmerataan sistem ekonomi menjadikan adanya konflik atau ketegangan sosial, yang mengakibatkan timbulnya berbagai kejahatan.
Tugas kesusastraan pada zaman Romantik adalah mengubah masyarakat melalui semua tenaga dan nilai yang dikandung oleh kesenian. Oleh karean itu, sesuai dengan yang dikatan oleh Eagleton (1983:26), sebagaian besar penyair dalam zaman Romantik adalah aktivis politik yang memiliki peran penting dalam perubahan. Mereka melihat adanya suatu hubungan kesinambungan dan bukan konflik di atara keterlibatan sastra dan sosial mereka. Bahkan boleh dikatakan bahwa budaya masyarakat di Inggris pada waktu itu ikut dipengaruhi oleh sikap radikalisme sastra yang secara tidak langsung menjadi suatu penekanan yang biasa di kalangan sastrawan, bukan hanya di Inggris.
Para cendekiawan (termasuk sastrawan) berusaha tampil dengan idealisme murni seagai hasil karya yang diciptakan dengan sifat absurd, mutlak, karya sastra murni tidak dapat dipungkiri sesuatu yang timbul dari dalam diri mereka adalah jiwa manusia yang merupakan kandungan pengetahuan dan kesenian. Proses kejiwaan manusia dapat dipergunakan untuk memperjelas pemahaman terdapat kesusastraan. Demikian juga dengan drama Man and Superman, tidak terpisah dari keadaan sosial masyarakat Inggris pada zaman itu.
Pertentangan kelas, yang ikut mewarnai struktur sosial budaya masyarakat Inggris dipicu oleh munculnya isu “kegagalan agama”. Agama merupakan pengerat sosial yang kuat tanpa membedakan kelas sosial sehingga dengan kegagalan agama akan mengakibatkan terjadinya perpecahan kelas sosial seperti yang terjadi dalam masyarakat Victoria pada akhir kurun abad ke -19. Sejak pertengahan jaman Victoria, bentuk ideologi yang dianut sangat berpengaruh dalam kehidupan. Sesuai dengan yang dikatakan Eagleton (1983), agama tidak lagi menarik hati pikiran rakyat. Pada saat yang bersamaan, terjadi penemuan sains dan perubahan sosial, hal ini mengganggu kelas penguasa zaman Victoria karena agama adalah suatu bentuk pengendalian diri sehingga kekuasasan pemerintah yang pada awalnya tak pernah dipersoalkan, berada dalam ancaman keruntuhan. Agama tidak seperti ideologi lainnya, tidak bertitik tolak dari konsep-konsep yang tegas dan jelas atau doktrin yang dirumuskan, tetapi melalui imaji simbol, kebiasaan, ritual, dan mitologi. Sifat-sifat itu biasanya mempengaruhi peringkat tak sadar manusia. Agama dapat bergerak pada semua peringkat karena merupakan suatu perekat sosial yang baik. Karena itu, kegagalan agama dapat menjadi alasan akan ancaman runtuhnya pemerintahan pada saat itu.
Kaitannya dengan hal ini, agama dan sastra sama-sama mempelajari masalah manusia. Karya sastra yang dikatakan identik dengan moral tentu saja bukan tanpa alasan. Filsafat, agama, sastra dengan cara yang berbeda-beda, kesemuannya ini dianggap sebagai sarana menumbuhkan jiwa “humanitas”, yaitu jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Pendapat klasik menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik, pesan inilah yang dinamakan “moral”, akhir-akhir ini orang menamakannya “amanat”. Karya sastra yang baik selalu mengajak pembaca menjunjung tinggi norma-norma sosial dan moral (Darma, 1982: 43). Dengan demikian, sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral.
Struktur sosial budaya masyarakat Inggris pada abad ke-18 dan ke 19, meskipun ada perbedaan keduannya tetap mempunyai corak yang sama di bawah sistem pemerintahan feodalisme yang menumbuhkan sistem kelas di kalangan masyarakat, yakni kelas borjuis dan kelas proletar. Keduanya membentuk kesenjangan sosial yang mencolok di antara mereka. Sebagaimana yang dikatakan Marx identik dengan perjuangan melawan penindasan kelas (Budiman, 2002).
Di dalam drama Man and Superman, selain kelas buruh dan majikan, masyarakat kapitalis yang nyata di masyarakat Victoria tampak pula mewarnai kehidupan masyrakat. Perbedaan status dalam struktur masyarakat yang tergambar dalam drama ini sangat jelas dengan adanya kesenjangan antara kaum yang kuat dengan yang lemah. Hubungan antara Ann dengan Tuan Ramsdem umpanya, menunjukan sikap Ann yang sangat patuh dan hormat kepada Tuan Ramsdem. Hal ini berbeda dengan hubungan Ann dengan Octavious, dimana Octavius sebagai orang biasa dan tidak punya kekuatan, maka Ann pun tidak memperlakukannya sebagaimana orang-orang terhormat lainnya.
Terjadinya manifestasi ideologi menyiratkan segala bentuk kekuatan serta nilai-nilai sosial yang masuk menembus unsur-unsur sosial dalam setiap karya sastra pada saat itu. Kaum Marxis menganggap sebuah karya sastra tercipta dengan sendirinya, baik masyarakat sosial maupun karya sastra dan merupakan sesuatu yang sudah terbentuk (formed) serta mempunyai struktur yang jelas (Eagleton, 1981).

3.3.1. Persoalan-persoalan Sosial akibat Revolusi Industri
Adanya Revolusi Industri melahirkan kondisi yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Secara ekonomi masyarakat mengalami kemajuan sangat pesat, dengan demikian kehidupan masyarakat mengalami kemudahan di berbagai bidang. Namun demikian, adanya kemajuan di berbagai bidang tersebut menimbulkan berbagai persoalan sosial yang sulit diselesaikan. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat materialis dan rasionalis para pengusaha Inggris pada saat itu. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara kaum buruh dengan kaum majikan, yang kaya semakin kaya sedangkan kaum buruh kondisinya sangat memprihatinkan.
Gray (1992: 244) menyebutkan bahwa adanya industriallisasi berakibat pada perubahan hubungan sosial politik masyarakat Inggris, bahkan dalam tataran keluarga. Adanya revolusi industri menjadikan masyarakat sibuk dengan pekerjaannya sehingga mengganggu komunikasi antara satu dengan yang lain. Kondisi ini menimbulkan adanya persaiangan ekonomi, baik secara individu maupun secara sosial. Akibatnya, persaiangan ini mengarah pada kesuksesan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Gray menyatakan dalam sebuah artikel sebagai berikut:
“There is no doubt that the coming of industrialization in New England dramatically altered the ways families of the time were connected, communicated, and supported one another. With the rapid shift away from more localized family-based agrarian or small business enterprises to one that required longer hours, often away from immediate family with work that was not of immediate importance to the family itself, the impact on the early American family cannot be underestimated. Before the onset of the Industrial Revolution in New England and early America, “The household was not only the industrial center but also the social center, for its members derived social satisfaction from working together and from rustic amusements enjoyed at home or on the village green.” (Gray 1992: 244).

Di sisi lain kemajuan industri tidak serta merta mensejahterakan masyarakat Inggris. Kaum buruh hidup sangat kontras dengan adanya kemajuan industri. Kehidupan kaum buruh menjadi sangat sengsara karena para pemilik modal atau pengusaha tidak memperhatikan kesejahteraan dan kelangsungan hidup para pekerjanya. Para pengusaha lebih memikirkan bagaimana agar usahanya menghasilkan pendapatan sebanyak-banyaknya.
Kondisi yang memprihatinkan ini melahirkan kesenjangan sosial dengan lahirnya berbagai kejahatan di berbagai lapisan masyarakat. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan sangat membahayakan bagi keberlangsungan pemerintahan Inggris. Kondisi yang tidak seimbang tersebut mendorong adanya gerakan-gerakan separatis yang mengancam pemerintahan. beruntung ada kesadaran salah satu pengusaha yang mencoba membentuk sebuah perusahaan yang memperhatikan para pekerjanya. Robert Owen (Samekto, 1998:230) mendirikan industri dan para pekerjanya memiliki saham di perusahaan tersebut. Konsep ini menjadikan posisi pekerja memiliki kekuatan. Kedudukan karyawan atau kaum buruh memiliki posisi tawar yang tinggi, keberadaan mereka tidak disepelekan. Sayangnya majikan yang berpikiran seperti Robert Owen tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak maksimal terhadap kondisi sosial politik di Inggris pada saat itu.
Dengan adanya Revolusi Industri, masyarakat berbondong-bondong berpindah dari desa ke daerah industri. Hal ini mengakibatkan bertumpuknya masyarakat di suatu daerah, yaitu di Inggris bagian barat-laut. Kondisi ini menuntut parlemen memperbaiki perangkat hukum agar dapat mengantisipasi pergolakan sosial akibat perubahan sosial tersebut. Namun demikian, para pengusaha yang saat itu dalam posisi diuntungkan menentang adanya perombakan tersebut karena mereka memiliki keleluasaan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan tenaga kerja yang murah.
Selain perubahan secara ekonomi, Revolusi Industri juga mengakibatkan perubahan pola pikir masyarakat Inggris. Hal itu ditandai dengan perubahan sikap dan pandangan mereka terhadap agama atau kepercayaan mereka. Agama dianggap sebagai sesuatu yang rasional sehingga abad ke-18 dekenal sebagai “Abad Akal Pemikiran” atau The Age of Reason (Samekto, 1998:232). Penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan menghapuskan konsep-konsep lama yang dianggap usang dan tidak rasional. Orang percaya bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh ketaatan atau konsistensi terhadap hukum-hukum mekanik yang rumit dan ilmiah. Timbul keyakinan bahwa jika manusia manaruh keyakinan daya akal dan ilmu pengetahuan alam (dengan tekun), mempelajari alam sehingga mengetahui hukum-hukumnya, maka ia pasti dapat menghindari akibat-akibat buruk dan mendapatkan efek-efek positifnya saja. Dengan demikian manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Paham rasionalisme mempengaruhi orang-orang terdidik masyararakat Inggris pada abad ke-18, mendorong perubahan dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk pemerintahan, pendidikan, hukum, agama, dan segala lembaga yang ada i secara rasional (Samekto, 1998: 233). Menurut mereka, ketaatan pada hukum rasional tersebut menjadikan mereka bijaksana dan bahagia.
Sebagaimana juga terjadi di Perancis, gerakan rasionalisme ini dipelopori oleh para cendikiawan dan penulis-penulis populer yang disebut dengan “Philosophes”. Mereka adalah Voltaire, Montesquieu, dan Dedirot yang mengkritik segala sesuatu yang dianggap bodoh, meskipun awalnya dianggap sebagai sesutu yang suci atau keramat. Paham seperti inilah yang akhirnya menginspirasi adanya Revolusi Perancis.
Gagasan rasionalisme di Inggris dipelopori juga oleh John Locke. Ia merupakan pemikir yang mengombinasikan antara rasionalisme dengan empirisme. Pengalaman keinderaaan (sense experience) merupakan sumber pengetahuan dan gagasan. Rasionalisme terasa kuat berpengaruh terhadap agama, ditandai dengan merebaknya aliran ‘latutitudinarinism’, paham yang menghendaki pandangan luas dan liberal dalam Gereja Angglikan (Samekto, 1998: 234).
Di kalangan terdidik tersebar pula paham yang disebut dengan paham Deisme, memandang Tuhan sebagai Sebab Pertama (First Cause) atau Azas Pertama (First Principle). Tuhan menciptakan sesuatu yang tetap dan abadi. Tuhan tidak akan mengubah apa yang telah diciptakan, sehingga manusia tidak perlu berdoa karena tidak akan ada mukjizat untuk dapat mengubah kehidupan ini. Paham ini yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai spiritual masyarakat Inggris.
Liberalisme dalam bidang ekonomi ditandai dengan lahirnya buku karya Adam Smith berjudul “The Wealth of The Nation”. Dalam buku ini diungkapkan bahwa ekonomi memiliki hukum tersendiri yang dapat mengatur keberlangsunganya. Dengan demikian negara tidak boleh campur tangan karena hanya akan mengganggu keberlangusangan perkembangan ekonomi.
Perkembangan pemikiran (liberalisme) bukan tanpa pertentangan. Dinamika pemikiran liberal menggugah beberapa orang yang memandang bahwa ketergantungan seutuhnya pada pemikiran manusia sangat membahayakan kehidupan. Hal ini telah dirasakan para agamawan yang memandang dampak liberalisme menjadikan agama tampak kering dan tidak menyentuh kehidupan spiritual masyarakat. Dengan demikian, orientasi gerakan keagamaan lebih banyak ditujukan untuk mendapat kekuasaan duniawi atau pun kekayaan semata, tidak ada nilai-nilai sepiritual yang dapat menyejukan kehidupan manusia secara hakiki.
Keadaan demikian menjadikan masyarakat tidak puas dengan pemahaman keagamaan yang ada. Sebagai respon dari keadaan tersebut lahirlah golongan keagamaan baru yang menamakan diri sebagai aliran “Methodisme”, yaitu gerakan yang mengajak kepada kelahiran kembali atau pemersatuan dengan Tuhan. Gerakan ini dipelopori oleh dua rokhaniawan bersaudara bernama John Wesley dan Charles Wesley. Gerakan ini mampu memberikan pencerahan kepada golongan bawahan yang merasa hidupnya kurang beruntung. Dengan demikian secara spiritual mereka mendapatkan kedamaian sebagai wujud kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan kebaikan di akhirat nanti dibandingkan dengan kehidupan di dunia. Inilah yang menjadikan banyak kalangan menyatakan bahwa kaum Methodis telah menyelamatkan Inggris dari revolusi politik dan sosial yang melanda Eropa pada abad ke-18. Berkat paham yang disebarkan kaum Methodis, kaum bawahan merasa diayomi dan memiliki pemikiran yang lebih baik terhadap kehidupan mereka.
Konsep rasionalisme juga melanda dalam bidang sosial politik. Pelopor pemikiran rasionalisme adalah Edmund Burke yang menulis buku berjudul “Reflection in the Revolution in France”. Ia ingin menerapkan gagasan abstrak dan logika ke dalam situasi sosial yang konkret dan politik praktis. Pemikiran-pemikiran Burke ini mengilhami banyak kalangan masyarakat Inggris, bahkan bukunya dijadikan sebagai “Kitab Suci” oleh golongan reaksioner (Samekto, 1998: 236-237).

3.3.2. Posisi Perempuan di Dalam Masyarakat Inggris
Perempuan dalam masyarakat Inggris dianggap sebagai individu yang tidak mandiri, mereka bergantung kepada orang tua, khususnya ayah. Di dalam berbagai bidang, kaum perempuan mendapat perlakukan berbeda dengan kaum laki-laki. Di dunia pendidikan, kaum perempuan tidak mendapat kesempatan sebagaimana halnya kaum laki-laki, demikian juga dibidang politik, ekonomi, dan bidang-bidang strategis lainnya.
Keterbatasan tersebut juga terjadi di dalam ranah keluarga. Di dalam rumah tangga, keputusan-keputusan lebih di dominasi oleh pihak laki-laki karena kaum laki-laki berperan sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian, apapun keputusannya sangat berpengaruh pada keputusan laki-laki. Jika pada suatu saat kepala keluarga meninggal, seorang ibu (perempuan) tidak bisa dengan serta merta menggantikan kedudukan ayah. Kedudukan ayah (untuk perwaliannya) harus digantikan seorang laki-laki yang ditunjuk oleh almarhum.
Di dalam kebudayaan masyarakat Inggris, peran ibu tidak serta merta menggantikan kedudukan suaminya. Perempuan tidak dapat memutuskan atau menentukan persoalan-persoalan yang dianggap sakral dalam kehidupan. Oleh karena itu, meskipun ibu Ann masih hidup, ia dianggap tidak mampu memegang amanah sebagai pelindung Ann. Sebagai seorang perempuan, ia tidak dapat memutuskan atau memikul beban berat yang ada pada anak perempuannya.
ANN: (resuming in the same gentle voice, ignoring her mother’s bad taste) “Mamma knows that she is not strong enough to bear the whole responsibility for me and Rhoda without some help and advice. Rhoda must have a guardian; and though I am older, I do not think any young unmarried woman should be left quite to her own guidance. I hope you agree with me, Granny?” (Shaw, 1903:349)

ANN: (melanjutkan di suara lembut yang sama, mengabaikan rasa tidak enak ibunya) ‘Mama tahu bahwa dia tidak cukup kuat untuk menopang seluruh tanggung jawab bagi saya dan Rhoda tanpa bantuan dan nasihat. Rhoda harus memiliki wali, dan walaupun aku lebih tua, saya tidak berpikir apa pun wanita muda yang belum menikah harus dibiarkan cukup untuk bimbingan sendiri. Saya harap Anda setuju dengan saya, Nek?’ (Shaw, 1903:349).

Di dalam sejarah Inggris, kaum perempuan sering menjadi korban kekejaman kaum laki-laki. Bukan hanya kekejaman dalam arti diskriminasi, tetapi meliputi kekejaman fisik yang sesunggunya. Pada tahun 1980-an banyak terjadi tindakan kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan. Pada tahun 1989 dilaporkan sebanyak 3.305 perempuan diculik dan diperkosa. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dapat dilihat adanya peningkatan kejahatan yang cukup signifikan; tahun 1985 sebanyak 1,842, tahun 1989 total sebanyak 15.370 orang .
Gambaran tersebut di atas menunjukan bahwa kaum perempuan yang lemah secara fisik maupun psikologis, sering menjadi korban kekejaman kaum laki-laki. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu usaha penyadaran akan kemandirian dan kematangan emosional bagi kaum perempuan. Dengan demikian, perempuan tidak akan menjadi korban, baik secara ekonomi, politik maupun sosial.
Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut terlihat secara fisik maupun secara psikologis. Kaum perempuan memiliki masa-masa haid, hamil, menyusui yang secara fisik mengalami penurunan produktivitas. Kekurangan dari sisi psikologis, wanita dianggap makhluk emosional, wanita dianggap tidak dapat mengendalikan emosi ketika menghadapi persoalan-persoalan besar. Dengan demikian, tugas-tugas berat tidak dapat diemban oleh kaum perempuan. Berdasar kenyataan tersebut, para filosof dan agamawan di Barat menganggap bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah. Thomas Aquinas menyatakan bahwa wanita adalah laki-laki yang tidak sempurna (Selden, 1985: 128).
Adalah Rachel Speght (1957) menjadi wanita Inggris pertama yang menerbitkan karya dengan berani mengatasnamakan dirinya sendiri. Karya itu merupakan tanggapan atas karya John Swetnam The Woman-Hater yang memunculkan gerakan anti feminis di Inggris.
John Swetnam, pada tahun 1617 menerbitkan pamflet misogini (merendahkan perempuan) The Arraignment of Women (1615). Penerbit ini memicu wanita Inggris untuk berdebat tentang pertanyaan wanita yang telah bergolak selama dua abad sebelumnya. Debat itu terkait peran kecerdasan milik lelaki. Pada debat yang lain disinggung mengenai kemampuan dan hak perempuan. Speght menjadi wanita Inggris pertama yang berani menulis polemik mengenai feminisme.
Speght menerbitan pamfler A Muzzle for Melastomus (1617) sebagai tanggapan langsung atas Swetnam yang menyebut wanita amoral, lemah, bertanggung jawab untuk masuk setan ke dunia. Speght membantah anekdot, tuduhan, hinaan poin perpoin. Speght membalik logika Swetnam dan kemampuan Swetnam dalam membaca dan menafsirkan naskah skriptural al Kitab.
Gerakan berikutnya berlanjut di Prancis. Olympe de Gouge, seorang pemain drama, pada tahun 1791 menulis dan menerbitkan Deklarasi Hak Wanita sebagai Warga Negara. Deklarasi Gouge itu mengimbangi Deklarasi Dewan Nasional (1789) yang memberikan hak warga negara untuk pria. Deklarasi Gouge menggemakan bahasa yang sama bagi wanita. Dalam dokumen itu, dinyatakan bahwa wanita memiliki kemampuan yang sama dengan pria, mampu berakal atau berpikir dan membuat berbagai keputusan moral. Ia menentang stigma wanita selalu sebagai sosok emosional. Perempuan tidak sekedar sama dengan pria, namun ia adalah partner sejajar.
Perjuangan kaum perempuan untuk sejajar dengan laki-laki ditegaskan dalam Justifkasi Hak Wanita (Vindication of the Rights of Woman) oleh wanita kelahiran London, Mary Wollstonecraft (1759–1797). Dokumen ini merupakan dokumen paling penting dalam sejarah hak wanita. Lahirnya dokumen ini meruapakan refleksi dari kehidupan Wollstonecraft yang sering kontraversial. Meskipun demikian pemikiran-pemikriannya mengenai perempuan sangat berpengaruh dalam berbagai keputusan mengenai hak-hak dan kedudukan kaum perempuan, meskipun kehidupan personal Wollstonecraft sendiri sering bermasalah. Kematiannya karena demam di usia muda memangkas gagasan besarnya.
Dokumen lain mengenai perjuangan persamaan perempuan adalah Vindication of the Rights of Woman. Dokumen ini merupakan salah satu karya awal feminis filsafat. Di dalamnya Wollstonecraft merespon teoretisi pendidikan dan politik abad ke-8 yang menyingkrikan wanita dalam pendidikan. Wollstonefraft berpendapat wanita berhak mendapat pendidikan dan posisi dalam masyarakat. Ia mengatakan bahwa wanita inti dari negara karena mereka mendidik anak-anak. Wanita bisa menjadi ”teman” bagi suami mereka, sekadar sebagai isteri. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan lain yang menganggap wanita sebagai ornamen masyarakat atau properti yang ditukarkan dalam pernikahan. Wollstonecraft mempertahankan bahwa pendapat perempuan adalah manusia yang layak diperlakukan sama seperti halnya pria.
Crystal Eastman (1881 – 1928) adalah seorang sosialis feminis yang pada 1920 menulis esai mengenai dasar-dasar ekonomi dan soial untuk teori feminis. Ia memperjuangkan hak suara wanita Amerika Serikat dengan mendirikan Uni Kongres yang kemudian menjadi Partai Wanita Nasional. Eastman pada tahun 1923 menulis Amandeman Hak Setara. Ia memperingatkan bahwa legilasi protektif bagi wanita hanya akan mengarah pada diskriminasi terhadap perempuan. Eastman disebut sebagai salah satu pemimpin AS yang terabaikan. Hal ini karena meski dia menjadi perintis legislasi dan menciptakan organisasi politing yang bertahan lama, dia menghilang dari sejarah .


3.4. Sekilas Kesusastraan Inggris
Dalam kurun waktu abab ke-18, konsep kesusastraan di Inggris tidak dibatasi hanya sebagai tulisan-tulisan “kreatif dan imajinatif”. Kesusastraan pada waktu itu dipahami sebagai tubuh menyeluruh dari tulisan yang bernilai dalam masyarakat, seperti sejarah, esai-esai, surat-surat, dan juga puisi-puisi. Apa yang membuat sebuah teks dianggap sastra bukanlah karena fiksionalitasnya, melainkan tulisan-tulisan yang sopan. Dengan kata lain, kriteria kesusastraan secara jelas bersifat ideologis; karya-karya, tulisan-tulisan yang mengandung nilai-nilai dan cita rasa suatu kelas, sehingga tidak mengherankan kalau dikatakan “kesusastraan” adalah suatu ideologi (Eagleton, 1983: 25).
Kemunculan kesusastraan Inggris pada zaman Victoria merupakan suatu wacana baru sebagai penengah atas ancaman runtuhnya pemerintahan yang disebabkan oleh terjadinya “kegagalan”. Sehubungan dengan itu, George Gordon, seorang professor kesusastraan Inggris di Oxford, pada kata pengantar pengukuhannya sebagai profesor mengatakan bahwa “Inggris sedang sakit” dan kesusastraan Inggris harus menyelamatkannya. Selanjutnya ia menganggap bahwa geraja-gereja telah gagal berfungsi sebagai penawar sosial. Gordon mengemukakan pula tiga fungsi pokok kesusastraan Inggris, yaitu untuk menghibur dan mengajar manusia (masyarakat), menyelamatkan roh manusia dan terakhir menyembuhkan negara Inggris. Hal ini bergema ke seluruh Inggris pada zaman Victoria (Kenneth, 1956).
Jika dihubungkan dengan karya sastra yang lahir pada zaman ini, tidak keliru bila dikatakan bahwa fungsi kesusastraan sudah meluas ke segala aspek kehidupan manusia, meskipun gagasan-gagasan yang berupa kritikan bermunculan pro dan kontra terjadi di kalangan sastrawan sendiri. Perbedaan-perbedaan (pro dan kontra) itu merupakan hal yang wajar. Di kalangan sastrawan Inggris terjadi pertentangan persepsi. Kesusastraan Inggris di samping sebagai lahan komoditas, juga memiliki keberpihakan dengan kaum borjuis, termasuk cendekiawan (sastrawan). Sinyalemen ini membuktikan adanya keberpihakan yang sadar atau perubahan keberpihakan yang sadar (Williams, 1973). Komitmen ini mengandung implikasi yang dianggap menukik ke hal-hal spesifik, tergantung pada realitas sosial yang sedang atau akan berubah.
Keberadaan kesusastraan Inggis, pada akhirnya dianggap sebagai wacana yang bisa menetralisir keadaan pemerintahan zaman Victoria di saat menghadapi goncangan akibat goyahnya ideologi agama. Dengan demikian, kehadiran kesusastraan mendapat posisi istimewa di kalangan masyarakat Inggris. Dalam sebuah buku pedoman guru bidang studi bahasa Inggris zaman Victoria, disebutkan bahwa bidang kesusastraan Inggris merupakan bidang yang meningkatkan simpati dan rasa persahabatan di antara semua kelas. Sementara itu seorang penulis melihat kesusastraan sebagai perubahan suatu wilayah kebenaran yang hening dan penuh cahaya, semua manusia dapat saling berjumpa dan berbincang tanpa diskriminasi. Seperti agama, kesuastraan bertindak melalui emosi dan pengalaman. Oleh karena itu, tugas kesusastraan menyambung ideologi pada titik yang ditinggalkan agama.
Dalam periodisasi kesusastraan Inggris, awal zaman Victoria merupakan kelanjutan zaman Romantik. Kehadiran kesusastraan Inggris berada pada posisi penting dalam rangka menyebarkan nilai-nilai sosial dengan lebih luas. Kesuastraan dapat mencakup seluruh kumpulan institusi ideologi; majalah; risalah sosial dan estetika; khutbah; bahkan kedai-kedai kopi, dan sebagainya. Kesenian menjadi konsep-konsep asas untuk menyatukan kelas menengah yang semakin berkuasa dengan golongan bangsawan yang menjadi pemerintah. Dapat dikatakan bahwa kesusastraan Inggris pada saat itu mendapat kepentingan baru (Eagleton, 1983:20).
Selanjutnya, zaman Revolusi Industri di Amerika dan Perancis, rezim kolonialis dan feodalis dijatuhkan oleh kelas menengah. Di Inggris muncul ideologi terpenting kelas menengah industri yang memuja fakta, yaitu paham yang disebut Utilitarianisme. Awal kapitalisme mengubah kehidupan manusia kepada pengabdian dan menumbangkan kehidupan bermasyarakat. Kaum borjuis mengagap “kesuastraan” hanya sebagai hiasan yang tidak menguntungkan. Posisi kesusastraan Inggris menjadi tidak penting karena dipinggirkan oleh penemuan sians sebagai ilmu yang singnifikan dan nyata.
Perkembangan pada zaman Victoira (abad ke-19) kesusastraan Inggris kembali mengibarkan bendera keberadaanya sebagai penengah di saat gentingnya pemerintah Victoria. Kesusastraan Inggris yang ideologis kembali berada di posisi pencapaian nilai sosial yang dapat mempersatukan kaum burjois dengan kelas-kelas menengah dan bawah (Eagleton, 1983: 20). Puncaknya ketika situasi pasar semakin meluas, profesionalitas kembali muncul, dan ekonomi pun semakin maju, sehingga demokrasi makin mantap, terjadi perkembangan hubugnan antara sastrawan, karya, dan pembacanya tanpa dibedakan oleh kelas sosial.
Perkembangan karya sastra tidak pernah lepas dari perkembangan pemikiran moderen masyarakatnya. Dalam sejarahnya, sastra Inggris mengalami berbagai perubahan persepsi. Perbuhan tersebut tergantung kepada wacana yang berkembang. Ada kalanya orang menganggap karya sastra sebagai teks murni, tetapi ada kalanya karya sastra dianggap sebagai sebuah strategi politik. Namun demikian, mengingat dampak atau muatan yang terdapat di dalam karya sastra, maka karya sastra tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai politis. Arief Rahman (2008:18-25) menyebutkan beberapa kriteria penting yang berkaitan dengan hal tersebut:
1). Karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang tembus ruang dan waktu. Karya semacam itu adalah “bukan untuk suatau abad, tetapi untuk sepanjang masa” (seperti komentar Ben Jonson terhadap Shakespeare).
2). Tujuan sastra untuk mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan peningkatan kulalitas kemanusiaan. Jika karya sastra bernuansa politis, karya tersebut tidak lebih dari sekedar propaganda.
3). Tugas kritikus adalah menjembatani teks dan pembaca. Teori pembacaan atau teori kritik terhadap karya sastra tidak berguna karena dianggap menimbulkan “preconceived ideas” yang menghalangi pembaca dan teks.

Berdasarkan ketiga pernyataan tersebut maka jelaslah bahwa keberadaan Man and Superman sangat bermanfaat sebagai media kritik sosial. Kritik sosial tersebut hanya akan dapat diperjelas dengan adanya pembahasan dan diskusi mengenai karya tersebut. Pada dasarnya sebagus apapun suatu karya jika tidak mendapat tanggapan dari pembaca, maka ia tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya.

3.5. Keterkaitan Sastra dengan Penarang dan Biografi George Bernard Shaw
Pengarang merupakan komponen terpenting dalam menentukan corak atau muatan karya sastra yang ditulis. Dengan demikian untuk dapat memahami karya-karya yang telah dihasilkan, sangat penting mengetahui sejarah atau biografi kehidupan sastrawan, baik pengarang secara individu maupun dengan memperhatikan masyarakat yang mengitarinya.
Pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang merupakan sumber utama, studi ini dapat meluas ke lingkungan tempat pengarang tinggal dan berasal. Kita dapat mengumpulkan informasi latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. (Wellek, 1990; 112). Dalam kaitannya dengan persoalan pengarang, Diana Louranson (1971:14) menyatakan bahwa pengalaman pengarang sangat berpengaruh terhadap isi dari karya sastranya. Pengalaman pengarang akan menjadi dasar dalam memahami masyarakat pada saat karya itu ditulis.
“It is the task of the sociologist of literature to relate the experience of the writer’s imaginary characters and situations to the historical climate from which they derive.

Tugas sosiolog sastra adalah untuk menghubungkan pengalaman imajiner penulis, karakter dan situasi untuk iklim historis dari mana mereka berasal.

Dalam ungkapan lebih lanjut, Louranson menyatakan bahwa struktur sosial merupakan bagian dari struktur karya sastra yang masing-masing memiliki peran yang hampir sama. Struktur dalam sastra berfungsi memperjelas pokok persoalan yang ingin disampaikan pengarang. Semua itu tidak lepas dari bagaimana pengarang mencontoh apa yang terdapat dalam masyarakatnya. Norma-norma dan nilai-nilai akan menjadi ukuran yang diolah sedemikian rupa sehingga karya sastra lahir sebagai suatu kritik terhadap persoalan sosial yang sesungguhnya ada.
“For society is more than an ensemble of social institutions that make up social structure: it contains both norms, the standards of behavior which individuals come to accept as right ways of acting and judging, as well as values which are consciously formulated and which people strive to realize socially. Literature clearly reflects norms, attitudes to sex by the working class and middle class, ...” (Louranson, dkk., 1971: 15).

Selain meniru struktur sosial masyarakat, karya sastra merupakan representasi keinginan pengarang. Pengarang dengan segala pemikirannya mencoba mengombinasikan sekaligus memberikan solusi-solusi terhadap persoalan masyarakat. Dengan cara seperti inilah pengarang mempengaruhi masyarakatnya, yaitu dengan cara mengkritik atau mendukung gagasan salah satu kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengarang sering menciptakan suatu struktur sosial yang bertentangan dengan struktur masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada karya Siti Nurbaya, pengarang mencoba mengkritisi sistem kekeluargaan yang ada pada masyarakat Minangkabau. Itulah yang disebutkan oleh Diana Lourance dengan istilah penciptaan kembali dunia sosial.
“Thus the novel, as the major literary genre of industrial society, can be seen as a faithful attempt to re-create the social world of man’s relation with his family, with politics, with the States; it delineates too his roles within the family and other institutions, the conflicts and tensions between groups and social classes. In the purely documentary sense, one can see the novel as dealing eight much the same social, economic, and political textures as sociology.” (Diana Louranson, dkk., 1971: 12)

Dalam kaitannya dengan keterlibatan pengarang dalam percaturan sosial, Howe menyatakan bahwa novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik. Kalau tidak demikian, karya sastra akan mentah (via Damono, 1979: 53). Karya sastra yang menggambarkan kondisi sosial atau politik oleh Max Adereth (1975) disebut sebagai sastra terlibat (litterature engagee). Menurut Adereth antara karya sastra, pengarang dan ideologi politik tidak bisa dipisahkan.
Hal yang dimaksud dengan kondisi politik adalah segala persoalan hidup yang terjadi dalam komunitas masyarakat, terutama menyangkut ideologi dan moral. Adereth (1975) menyatakan bahwa krisis politik merupakan pernyataan yang terpenting di antara krisis yang ada di zaman ini. Semua konflik moral dan ideologi dalam suatu zaman mempunyai latar belakang politik. Tak ada satu segi perjuangan hidup kita, baik yang bersifat individual maupun sosial, yang tidak berbau politik. Bahkan ada benarnya kalau dikatakan bahwa pada zaman ini semua nasib manusia ditentukan oleh politik (Damono, 1979; 54).
Menurut Raymond William, ada tujuh macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukan gagasan sosialnya ke dalam novel (karya sastra): (1) mempropagandakanya lewat novel, (2) menambahkan gagasan ke dalam novel, (3) memperbantahkan gagasan dalam novel, (4) menyodorkanya sebagai konvensi, (5) memunculkan gagasan sebagai tokoh, (6) melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi, dan (7) menampilkannya sebagai superstruktur (via Damono, 1979; 57).
Menurut Guljaev (1970) karya sastra merupakan hasil kreativitas subjektif dan reflektif atas realita objektif (via Fokema, dkk., 1998). Seorang pengarang merupakan seorang pengamat sekaligus pengkhotbah. Dengan kata lain, pengarang dianjurkan melukiskan realita secara realistis dan membuat propaganda sosial pada waktu yang bersamaan.
Namun demikian, memang ada beberapa pengecualian dalam hal karya sastra ekspresif, beberapa pengarang yang tidak secara khusus mencerminkan latar belakang sosialnya. Sastrawan yang karya-karyanya tidak mencerminkan latar belakang sosial adalah: Shelley, Carlyle, dan Tolstoy. Mereka sering disebut sebagai “pembelot” terhadap kelas asal mereka. Lebih lanjut, banyak puisi istana (Court poetry) yang ditulis oleh orang-orang dari kelas rendah yang menganut ideologi dan selera para pelindung atau patron mereka (Wellek, dkk, 1990: 113).
Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui karya-karya mereka, tetapi dari dokumen biografi. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting, serta mengikuti isyu-isu zamannya (Wellek, dkk., 1990: 114). Karya sastra yang diciptakan merupakan sekedar model yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan kritik atau pemikirannya terhadap suatu masalah yang ada dalam masyarakat.
Jika disusun secara sistematis, masalah asal, keterlibatan, dan ideologi sosial akan mengarah pada sosiologi pengarang sebagai tipe, atau sebagai suatu tipe pada waktu dan tempat tertentu. Kita dapat membedakan pengarang menurut kadar integrasi mereka dalam proses sosial. Pada karya-karya pop, kadar ini tinggi, akan tetapi pada karya-karya yang beraliran bohemianisme, karya Poete Maudit, dan karya pengarang yang menekankan kebebasan berkreasi, kadar ini kecil, bahkan mungkin tercipta “distansi sosial” yang ekstrim (Wellek, dkk, 1990:114).
Pada zaman dahulu, para penguasa atau yang disebut dengan para bangsawan sangat besar pengaruhnya terhadap suatu karya sastra. Mereka sering “memesan” karya sastra tertentu yang disesuaikan dengan kepentingan atau selera mereka. Jadi studi dasar ekonomi sastra dan status sosial pengarang mau tak mau harus memperhitungkan pembaca yang menjadi sasaran pengarang dan menjadi sumber rezeki. Bangsawan adalah pelindung seni merangkap pembaca yang cerewet. Biasanya mereka tidak hanya minta dipuja dalam karya kelasnya, tetapi juga menuntut kepatuhan pengarang pada konvensi kelasnya (Wellek, dkk, 1990:117).
Meskipun banyak bukti dikumpulkan, jarang ditarik simpulan mengenai hubungan yang pasti antara produksi sastra dengan dasar ekonomi, atau mengenai pengaruh yang pasti dari publik terhadap sastrawan. Sastrawan tentunya tidak tergantung sepenuhnya atau menuruti secara pasif selera pelindung atau publik (Wellek, dkk, 1990:120).
George Bernard Shaw dilahirkan pada 26 Juli 1856 di Dublin. GBS merupakan anak seorang pedagang grosiran bernama George Carr Shaw. Ia keturunan Irish, ibunya bernama Lucinda Elixabeth. Umur antara ibu dan ayahnya sangat jauh berbeda, ibunya 16 lebih muda. GBS berasal dari keluarga kurang harmonis. Ayahnya adalah seorang pemabuk, bahkan ketika ayahnya meninggal, GBS dan ibunya tidak menghadiri pemakamannya.
Selain memiliki keluarga kurang harmonis, di dalam keluarganya pun GBS tidak diterima secara wajar oleh ibu dan kedua saudaranya. Ia pernah menuliskan perasaannya kepada seorang sahabat bernama Ada Tyrrell pada tahun 1942. Ia mengatakan bahwa dia dibesarkan oleh orang-orang yang tidak pernah memperhatikannya. ...Dressed and fed by people who cared nothing for him, he was a sufferer from emotional neglect. The more he tried to make an impression on his mother, the more she rebuffed him (David Roos, 2001: 26).
Pada tahun 1866 keluarga GBS pindah ke lingkungan yang lebih baik. Pada awalnya GBS masuk ke sekolah Weslelyan Connexional, kemudian pindah ke sekolah swasta dekat Dalkey, dari sana ia masuk ke Sekolah Pusat Model Dublin (Dublin’s Central Model School). Ia menyelesaikan pendidikan formalnya di Dublin English Scientific i Comercial Day School. Pada umur 15 tahun, ia mulai bekerja sebagai juru tulis muda. Kemudian pada tahun 1876 ia pergi ke London, ikut serta saudara perempuan dan ibunya. Ia tidak kembali ke Irlandia selama hampir tiga puluh tahun.
Selama di London, GBS berada di kalangan intelektual. Pada masa hidupannya, London dikenal sebagai pusat para pemikir. Dari kota inilah lahir para pemikir yang mengguncangkan dunia, di antaranya adalah Karl Marx. Meskipun Marx bukan orang Inggris, tapi ia pernah tinggal di kota ini dan pemikirannya diadopsi oleh para ilmuan seangkatannya. Teman-temannya merupakan pemikir dan sastrawan pada masa itu, di antaranya William Yeats, Oscar Wilde, William Moris, dan George Bernard Shaw. Pemikiran-pemikiran mereka sangat berkembang seiring dengan perkembangan dinamika persoalan sosial masyarakat Inggris. Dinamika pemikiran para kritikus tersebut sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan konsep ekonomi Marx dan gagasan evolusi Charles Darwin.
George Bernard Shaw memulai karirnya sebagai seorang penulis kritik musik dan drama, serta novel, termasuk semi autobiografi Immaturity. Namun sayangnya, karya-karya awal yang dihasilkannya, tidak begitu sukses. Dari beberapa karya novel yang dihasilkannya ditolak oleh berbagai penerbit. Pengalaman terebut tidak menyurutkan GBS untuk terus berkarya. Ia tetap aktif diberbagai organisasi dan menulis. Selain sebagai seorang penulis kritik musik dan drama, ia bergabung di organisasi Fabian Society. Di organisasi ini duduk sebagai Tim Eksekutif dari tahun 1885 sampai 1911.
Seiring dengan kemajuan pemikirannya, GBS dikenal sebagai seorang dramawan Irish, kritikus sastra, sosialis, dan tokoh teater berpengaruh pada abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai seorang pemikir bebas (Freethinker), pejuang hak-hak perempuan, dan pembela kesamaan pendapatan (equality of income). Pada tahun 1925 GBS dianugrahi hadiah Nobel untuk bidang sastra. Ia menerima penghargaan tersebut, tetapi tidak menerima uangnya.
George Bernard Shaw dikenal sebagai pendukung penghapusan kepemilikan pribadi (abolition of private property), perubahan sistem pemilihan umum (voting system), mengkampanyekan penyerderhanaan spelling, dan perubahan pada alfabet bahasa Inggri. Ia dikenal juga sebagai orator ulung di England. Pada tahun 1895 Shaw menjadi seorang kritikus drama untuk Saturday Review. Ia menulis kumpulan artikel yang diberi judul Our Theater in The Ninetith (1932). Dalam bidang musik, seni, dan kritik drama Shaw menulis dalam Dramatic Review (1885-1886), Our Corner (1885-1886), The Pall Mall Gazette (1886-1894), The World (1886-1894), kemudian The Star 1888-1890). Karyanya yang berupa kritik musik dibukukan dalam Shaw’s Music (1981). Pada tahun 1901 ia menulis Caesar And Cleopatra, dan The Perfect Wagnerite (1898).
Pada tahun 1898 ia menikah dengan seorang wanita kaya bernama Charlotte Payne-Townshend. Ia mulai tinggal di desa Herfordshire, Ayor St. Lawrence pada tahun 1906.
Pemikiran-pemikiran George Bernard Shaw sangat dipengaruhi oleh Henrik Ibsen, seorang penulis drama dari Norwegia. Pada sebuah pertemuan kelompok Fabian (Fabian Society) di musim panas, ia menulis The Quintessense of Ibsenism (1891). Di dalam buku ini Ibsen merupakan pionir, GBS menyebutnya orang yang mendeklarasikan “who declares that it is right to do somethng hitherto regarded as infamous”. Kemudian dalam pementasan awalnya ia memainkan Widower’’s House (1892).
Pada tahun 1893 GBS berkolaborasi dengan Keir Hardie menulis sebuah program untuk Partai Buruh Independen (Indepnedent Labour Party). Dalam tulisan tersebut ia banyak menyampaikan tentang makna kemerdekaan dan kemandirian. Bagaimanapun, arti kemerdekaan merupakan segala-galanya dalam kehidupan. Oleh karena itu spirit akan kemerdekaan harus selalu diperjuangkan. Sebagai usaha mewujudkan idealismenya, ia mendirikan Webbs of the London School of Economic. Ia juga mempelopori permohonan penolakan hukuman bagi Oscar Wilde. Pada tahun 1897 ia secara langsung masuk di pemerintahan daerahnya.
GBS adalah orang yang sangat optimis, idealis, dan beragama a Scottish-Protestant (Laurie Morrow, 2003 ). David Roos menyebutnya sebagai seorang yang sangat progresif, his mission was a wholly progressive one, to awaken the workers to their own power and to the correct vision of their future (Roos, 2001: 50). Dalam berbagai pertunjukan, GBS menggabungkan persoalan-persoalan moral terkini dengan nada ironi dan paradoks (ironic tone and paradoxs). Model diskusi dan akrobat intelektual (acrobatic intelectual) merupakan ciri dasar dari drama yang dimainkan. Sebelum ada film bersuara, karyanya sangat sulit diadopsi dalam layar.
Menurut Laurie Morrow, GBS adalah seorang yang sangat cerdas. Dalam tulisannya berjudul George Bernard Shaw: Man, Superman, and Socialism, Morrow mengungkap pandangan politik dan gagasan-gagasan sosialis yang terkandung di dalam karya-karya GBS. Ia menyebutkan bahwa ...Shaw had an unusual talent--he was one of the most brilliant of British playwrights.

0 comments: