Sponsor Links

Thursday, August 12, 2010

Pemimpin Dilarang Mengeluh

Pemimpin Dilarang Mengeluh
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

Beberapa saat yang lalu kita baru saja menyadari bahwa pemimpin kita mengeluh. Presiden mengeluh terhadap kondisi yang dihadapi, terutama mengenai terorisme. Presiden nampaknya wawas dengan adanya berbagai ancaman yang membahayakan dirinya. Jika presiden saja mengeluh bagiamana dengan rakyatnya? Jika presiden saja mengeluh, tentu rakyat kecil akan lebih mengeluh. Pasalnya, rakyat kecil terancam dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, terutama menjelang lebaran. Belum lagi ancaman kenaikan TDL dan kebutuhan-kebutuhan lainya. Lebih menakutkan lagi akan adanya ledakan gas beracun yang siap menelan siapa saja, tentunya masyakat miskin yang hanya mampu membeli gas 3 kiloan.
Kenginan mengeluh adalah sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Tindakan ini dilakukan oleh orang-orang yang menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan. Bisa karena khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk padanya, atau karena kondisi yang tidak menyenangkan. Mengeluh umumnya dilakukan oleh orang-orang yang hidup susah. Baik susah secara ekonomi, karena belum dapat perkerjaan, susah karena harga-harga naik dan lain sebagainya.
Sikap mengeluh hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak sabar dengan cobaan yang dihadapi. Seberat apapun ujian dan tantangan dalam kehidupan harus dihadapi dengan lapang dada dan pantang menyerah. Namun demikian, bagaimana jika yang mengeluh itu seorang presiden? Tentu akan timbul berbagai pertanyaan. Apa yang terjadi dengan presiden tersebut? Apakah presiden sedang galau menghadapi harga-harga yang naik menjelang lebaran? Atau mengeluh karena kurang tunjangan?
Harusnya, seorang pemimpin pantang untuk mengeluh. Apalagi dihadapan rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin yang suka mengeluh menunjukan ketidakikhlasan atas pekerjaan dan beban yang diembanya. Apapun resikonya menjadi seorang pemimpin harus bisa menunjukan bahwa pemimpin itu siap menghadapi segala resiko, termasuk resiko mengorbankan jiwa dan raga. Pemimpin yang bijak merelakan diri dan segalanya untuk masyarakat yang dipimpinnya.
Jika seorang pemimpin mengeluh dihadapan rakyatnya bagaimana mungkin rakyat akan menggantungkan harapan dan perlindungan dari pemimpinnya. Rakyat sangat percaya bahwa pemimpin yang telah dipilihnya mampu menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Pemimpin yang kuat secara lahir batin akan memberikan semangat dan atmosfir positif terhadap segala kondisi yang dihadapi. Hal itu akan menjadikan siapa saja yang dipimpin semakin percaya dan bersemangat menjalani kehidupan dengan berbagai kondisi.
Seseorang yang mengeluh menandakan tidak percaya kepada Allah swt. Karena sesungguhnya segala sesuatu datang dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Dengan mengeluh ia akan menjadi lemah, frustasi dan merasa tidak mampu menghadapi persoalan yang dihadapi, akhirnya lahirlah ungkapan-ungkapan ketidakmampuan menahan diri dari segala persoalan yang dihadapi.
Dengan mengeluh atau dalam istilah anak mudah churhat, orang memang dapat mengurangi beban psikologis yang dihadapi. Tetapi hal itu tentu tidak etis jika dilakukan oleh seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara. Seorang pemimpin yang terlalu banyak mengeluh akan menimbulkan efek negatif terhadap kehidupan sebuah organisasi, baik besar maupun kecil. Misalnya saja seorang karyawan yang banyak mengeluh tentu tidak akan disukai rekan kerjanya. Karena orang-orang seperti ini akan lebih banyak menggantungkan diri kepada oang lain. Dan tentunya kebiasaan mengeluh akan mempengaruhi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Orang yang suka mengeluh tidak dapat dijadikan tumpuan dan harapan, karena orang seperti ini hanya akan merepotkan orang lain.

Kepemimpinan Itu Adalah Amanah
Pada dasarnya, kepemimpinan adalah amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-sifat tertentu. Seseorang dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan atas dasar mampu memikul amanah kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan tersebut dalam Islam sangat penting untuk dipertimbangkan. Ia harus kuat secara lahir maupun batin. Fisik dan mental akan sangat mempengaruhi cara berfikir dan cara pengambilan kebijakan di dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu, di dalam Islam perlu diperhatikan beberapa kriteria seorang pemimpin, diantaranya:
Pertama, al-quwwah (kuat). Seorang pemimpin haruslah kuat lahir dan batinnya. Karena ketika ia mengemban amanah memimpin umat, setiap orang yang dipimpinnya akan menggantungkan segala harapan kepadanya. Untuk itu kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Orang yang lemah akan mudah putus asa dan mudah mengeluh ketika diserahi tanggungjawab. Bahkan jika merasa tidak bisa cenderung akan meninggalkan tanggungjawab tersebut, bahkan akan mencari kesalahan orang lain.
Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”
Yang dimaksudkan kekuatan di dalam hadits tersebut adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Artinya seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat, sesuai syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara sulit yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu melahirkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana. Ia mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyat yang dipimpinya.
Selain kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, emosional atau tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya cenderung mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan bahkan gegabah dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang seperti ini sangat membahayakan bagi orang-orang yang dipimpin. Karena rakyat akan semakin merasa wawas dan gelisah dengan masa depan mereka.
Kedua, al-taqwa (ketaqwaan). Ketaqwaan adalah sifat yang sangat penting harus dimiliki seorang pemimpin. Ketakwaan merupakan kunci dari kepempimpinan di dalam Islam. Seorang pemimpin yang bertakwa akan berpegang teguh pada aturan dan nilai-nilai di dalam Islam. Oleh karena itu, pemimpin yang bertakwa tidak akan menyengsarakan rakyatnya hanya untuk kepentingan diri sendiri dan golongan. Bahkan lagi seorang pemimpin yang bertakwa akan mengikuti apa yang telah digariskan oleh Allah swt.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa tatkala Rasulullah saw melantik seorang amir pasukan atau ekspedisi perang, beliau berpesan kepada mereka terutama pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT dan bersikap baik kepada kaum Muslim yang bersamanya.(HR. Muslim & Ahmad).
Pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Ia tidak akan menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia sadar bahwa, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya. Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertaqwa, yang cenderung untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, mendzalimi dan memperkaya diri sendiri. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan penderitaan.
Ketiga, al-rifq (lemah lembut). Seorang pemimpin haruslah bersifat lemah lembut ketika bergaul dengan rakyat. Pemimpin akan semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya jika ia memimpin secara lemah lembut. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata, ”Saya mendengar Rasulullah saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” (HR. Muslim).
Pemimpin yang lemah lembut tidak akan ambisius dengan kekuasaan. Dengan demikian, ia tidak akan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Lebih dari itu, ia juga tidak akan meremehkan, memfitnah, dan menghujat lawan politik yang ada di sekitarnya. Inilah sumber fitnah dalam ranah kepemimpinan di negeri kita saat ini. Kita sering menyaksikan bagaimana para pemimpin di teras atas, dengan berbagai cara yang sesungguhnya dilarang di dalam Islam. Seolah-olah tindakan-tindakan menfitnah dan menghujat sudah bukan larangan lagi. Padahal setelah mendudukan mereka dapatkan, mereka tidak memperjuangkan sebagaimana yang dijanjikan sebelum mendudukinya.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa diberi kekuasaan oleh Allah SWT untuk mengurusi urusan umat Islam, kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka Allah SWT tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya di hari kiamat.” (HR. Abu Dâwud & at-Tirmidzi).
Semoga kita terhindar dari sifat-sifat munafik yang ada di dalam diri kita. kita tidak boleh meminta jabatan, tetapi jika diserahi amanah memimpin umat maka harus dikerjakan sebaik-baiknya, yaitu dengan menerima segala resiko dan tidak mengenluh dengan berbagai kondisi. Hanya dengan inilah kita akan menemukan kepemimpinan yang dapat menjadi panutan, tumpuan dan gantungan dalam menghadapi persoalan kehidupan yang semakin kompleks ini. Semoga Allah memberikan jalan kemudahan bagi segala persoalan hidup kita. amin..

(dimuat di Republika hari Kamis 2 September 2010)

0 comments: