Sponsor Links

Wednesday, March 3, 2010

PEREBUTAN KEKUASAAN DAN TIPOLOGI HEGEMONI

PEREBUTAN KEKUASAAN DAN TIPOLOGI HEGEMONI
DALAM DRAMA MAN AND SUPERMAN


2.1. Pengantar
Drama Man and Superman merupakan drama komedi filosofis. Disebut demikian karena gaya bahasa yang digunakan merupakan sindiran-sindiran yang membuat pembaca tersenyum geli. Di balik kalimat atau ungkapan yang lucu tersebut terdapat kritikan yang berkaitan dengan nilai-nilai moral manusia yang ada di muka bumi ini. Penggunaan gaya bahasa ironi merupakan kekuatan yang dimiliki Geoge Bernard Shaw (GBS) di dalam menyampaikan kritikan-kritikan kepada masyarakat pembacanya. Hal ini merupakan bagian dari strategi propaganda yang disampaikan oleh GBS dalam menanggapi fenomena kehidupan sosial yang terjadi pada saat itu.
Drama Man and Superman merupakan drama yang menggambarkan adanya konflik terselubung di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat superior antara yang satu dengan yang lainnya. Sifat superior sering menimbulkan gesekan-gesekan yang memecah persatuan antarsesama manusia. Kenyataan ini menggugah GBS untuk menyadarkan masyarakat pembacanya bahwa setiap orang harus mengalahkan egonya agar tercipta manusia yang saling menghargai, membantu, dan saling mengenal terhadap sesamanya.
Drama ini secara tidak langsung ingin menunjukan bahwa hal yang paling penting di dalam mempertahankan posisi sosial adalah penguasaan ide-ide atau gagasan. Jika individu tidak ingin menjadi korban penindasan di dalam kehidupan masyarakat, maka setiap orang harus membekali dirinya dengan wacana kehidupan yang matang. Penguasaan atas wacana atau gagasan tersebut akan melepaskan seseorang dari belenggu di segala lapisan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Manusia yang cerdas akan mampu mengalahkan segala rintangan hidup, sebagaimana digambarkan dalam cerita Yunani bahwa manusia adalah Titan yang dapat mengalahkan dewa Olimpia dan Zeus (WadeBredford,http://plays.about.com/od/manandsuperman/a/superman
themes.htm).
Gambaran yang ada di dalam Man and Superman sangat erat berkaitan dengan kondisi masyarakat Inggris pada masa GBS hidup. Oleh karena itu, apa yang terdapat di dalam drama Man and Superman pada intinya merupakan kritik sosial terhadap masyarakat Inggris, khususnya, dan seluruh manusia pada umumnya. Disinilah konsep kemanfaatan karya sastra yang diyakini GBS, bahwa karya sastra yang bermanfaat adalah karya yang menyuarakan kepentingan kelompok atau suara zamannya (Yoesoef, 2007: 28).
Karya sastra adalah karya universal, nilai kritik yang disampaikan mencakup setiap zaman dan tidak terbatas pada suatu negara. Meskipun drama tersebut sudah ditulis beberapa tahun lalu, persoalan-persoalan yang terdapat di dalamnya masih relevan dengan persoalan masa kini. Dimanapun dan kapan pun sepanjang nilai kritik itu relevan, maka karya sastra masih dapat dijadikan sebagai media refleksi sosial. Sebagaimana yang dituliskan oleh Arif Rachman (2008:20); karya sastra yang baik adalah karya sastra yang tembus ruang dan waktu. Karya semacam itu adalah ”bukan untuk suatu abad, tetapi untuk sepanjang masa”. Di dalam Drama Man and Superman, ditemukan adanya beberapa konsep mengenai pemikiran Gramsci, yaitu hegemoni. Persoalan hegemoni tersebut meliputi tiga tipologi hegemoni, yaitu hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan, hegemoni penguasa terhadap rakyatnya (negara politik dan masyarakat sipil), dan hegemoni antara kaum tua terhadap kaum muda (intelektual versus masyarakat biasa).
Tiga tipe hegemoni tersebut mengindikasikan bahwa alat hegemoni yang paling dominan di dalam masyarakat adalah penguasaan ide-ide. Gagasan dan wawasan yang dimiliki masing-masing kelompok menciptakan mereka menjadi pemenang, penguasa dari kelompok yang lain.
Tipologi hegemoni tergambar dalam komflik yang terjadi di dalam Man and Superman. Perselisihan antartokoh yang mencerminkan perebutan kekuasaan atau dominasi dari masing-masing tokoh. Oleh karena itu, gambaran singkat dari kondisi atau situasi yang terjadi di dalam drama itu sangat penting untuk digambarkan di dalam penelitian ini.

2.2. Drama Man and Superman
2.2.1. Sinopsis
Bagian pertama Man and Superman menggambarkan persoalan-persoalan yang timbul akibat kematian kepala keluarga itu, yaitu Tuan Whitefield. Keluarga Whitefield sangat terhormat di lingkungannya, selain karena keluarga secara ekonomi mapan, keluarga ini masih memiliki ikatan dengan keluarga kerajaan (ningrat). Sebagai keluarga yang terpandang, keluarga ini memiliki tata nilai yang sangat ketat. Tata krama pergaulan dan ketentuan-ketentuan di dalamnya mengakibatkan kehidupan sangat tergantung pada kepala keluarga. Kondisi ini mempersulit posisi kaum perempuan di dalam keluarga tersebut.
Sepeninggal Tuan Whitefield, persoalan pertama yang diangkat di dalam drama ini mengenai perwalian bagi anak perempuan mereka, Annie. Sebagai seorang anak perempuan, Ann dianggap tidak mampu menentukan kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, ia harus memiliki seorang wali atau penasehat dalam kehidupannya. Dengan adanya wali, Ann dapat mengkonsultasikan setiap persoalan yang dihadapi, terutama di dalam mengambil keputusan-keputusan besar. Kedudukan wali menggantikan peran ayah dalam keluarga tersebut.
Persoalan di dalam keluarga ini karena wali yang diwasiatkan oleh almarhum Tuan Whitefield ada dua orang. Kedua wali yang diwasiatkan tersebut memiliki pandangan yang sangat jauh berbeda. Tuan Ramsden, orang dekat keluarga itu merupakan representasi dari kaum tua yang berpandangan kolot dan feodalistik. Sedangkan wali yang kedua adalah Tuan Tanner, yaitu seorang pemuda yang berpikiran maju dan demokratis. Tanner merupakan representasi kaum muda revolusioner. Ia berpandangan liberal dan sangat akomodatif terhadap persoalan-persoalan kehidupan. Ia merupakan tokoh yang menggerakan azas kebebasan dan persamaan (egaliter).
Selain perselisihan mengenai perwalian, pada babak ke-2 drama ini menyinggung persoalan etika. Jika Ramsden memperlakukan orang lain atau bawahan sebagaimana orang yang tidak berharga, Tanner justru bertolak belakang, Tanner memperlakukan dan menganggap bawahan adalah sebagai partner yang harus dihormati dan diberikan hak-haknya sama dengan orang lain.
Gambaran pada babak ke-2 merupakan sebuah counter hegemony dari kaum muda tehadap kaum tua. Dengan demikian, sikap Tanner dapat diartikan sebagai sebuah dekonstruksi tata nilai sosial feodalistik yang ada di dalam masyarakat Inggris (baca hegemoni kaum tua versus kaum muda). Kondisi tersebut disebut dengan perang manuver, yaitu upaya menentang ideologi lama dengan ideologi baru. Di dalam babak ini dideskripsikan pemikiran-pemikiran Tanner yang dianggap tidak sesuai dengan adat masyarakat, pertentangan atas gagasan revolusioner John Tanner. Situasi ini dapat dilihat dari reaksi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang awalnya menetang Tanner. Octavius dan Ann juga belum dapat menerima pemikiran tersebut karena masih dipengaruhi norma-norma lama sebagai hasil doktrinasi kaum tua.
Persoalan ketiga yang digambarkan di dalam babak ke-3 merupakan inti permasalahan di dalam drama tersebut. Pada bagian ini GBS berbicara mengenai pandangannya atas paham sosialis yang menurutnya lebih pas dengan kehidupan masayarakat Inggris pada saat itu. Ia menolak paham kapitalis yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam babak ini tersirat pemikiran-pemikiran kritis mengenai konsep manusia yang di idealkan GBS. Menurutnya, kekuatan ekonomi bukan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan, karena penguasaan wacana dan ide-ide dapat menjadi bagian dari strategi perjuangan suatu komunitas. Wacana dapat disebarkan melalui suatu strategi artistik yang disebut dengan kebudayaan.
Pandangan sosialis tersebut digambarkan malalui tokoh Mendoza. Mendoza sebenarnya adalah orang yang sangat potensial sebagai pemimpin besar. Ia orang berkecukupan dan terhormat di lingkungannya. Namun demikian, posisi tersebut tidak menjadikannya hidup nyaman, ia hidup dengan kesederhanaan dan mengutamakan kebersamaan. Mendoza tidak mau menggunakan fasilitas yang dimiliki untuk dirinya sendiri, sebaliknya ia bergabung dengan para berandalan jalanan. Ia sangat bertentangan dengan tokoh Ramsden yang lebih mengunggulkan kekayaan dan kedudukan ningratnya.
Bagian akhir atau babak ke-4 merupakan penyelesaian persoalan dari drama ini. Tanner yang awalnya sangat idealis; optimis dengan kehidupan dan anti dengan perempuan, akhirnya mengubur idealimenya dengan “menyerahkan” diri kepada Ann. Ia tidak lagi idealis seperti pada awalnya dengan menyadari bahwa kehidupan yang sesungguhnya memang harus realistis dan praktis. Idealime dapat saja diperjuangkan dalam konteks tertentu, tetapi dalam hal-hal tertentu tidak mungkin. Karena yang dibutuhkan adalah kesejahteraan dan kedamaian, dimana semua itu hanya dapat direalisasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia. Yaitu sandang, pangan dan papan. Jika semua hal tersebut terpenuhi, maka secara tidak langsung akan dapat mengurangi ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.

2.2.2 Perebutan Kekuasaan (Dominasi)
Perselisihan atau perebutan kekuasaan antara Ramsden dengan Tanner berawal pada persoalan perwalian.
TANNER: “It’s all my own doing: that’s the horrible irony of it. He told me one day that you were to be Ann’s guardian; and like a fool I began arguing with him about the folly of leaving a young woman under the control of an old man with obsolete ideas.” (Shaw, 1903: 341).

Pernyataan tersebut merupakan awal dari konflik antara Ramsden dengan John Tanner. Sebagai seorang yang taat pada nilai-nilai feodal, Ramsden menolak bahkan mencemooh pemikrian-pemikiran Tanner. Ramsden seorang tokoh yang merepresetasikan golongan tua. Pemikirannya begitu feodalistik dan kolot. Ia memiliki pandangan bahwa kaum tua adalah segala-galanya dalam mengambil keputusan kehidupan.
Ramsden berpandangan bahwa pemikiran kaum muda sangat berbahaya. Selain dianggap masih bergantung pada emosional, pemikiran kaum muda dianggap tidak matang. Oleh karena itu, setiap pemikiran kaum muda harus didampingi dan dibatasi. Jika hal ini dibebaskan akan membahayakan kehidupan masyarakat.
Di dalam drama ini digambarkan usaha-usaha yang dilakukan Ramsden agar pemikiran Tanner tidak tersebar dan mempengaruhi orang lain dengan cara memberi penilaian jelek terhadap buku Tanner. Klaim terhadap kebenaran pemikiran kaum tua sangat penting sebagai penyeimbang pemikiran kaum muda. Oleh karena itu Ramsden berusaha dengan berbagai cara agar pemikiran Tanner tidak tersebar kepada orang-orang di sekelilingnya.
Ramsdem: “I’ll tell you, Octavious. (He takes from the table a book bound in red cloth). I have in my hand a copy of the most infamous, the most scandalous, the most mischievous, the most blackguardly book that ever escaped burning at the hands of the common hangman. I have not read it: I would not soil my mind with such filthe; but I have read what the papers say of it. The title is quite enough for me. (He reads it). The Revolutionist’s Handbook and Pocket Companion. By John Tanner, M.I.R.C., Member of the Idle Rich Class.” (Shaw, 1903: 337)

Selain percaturan wacana, Ramsden memberlakukan sistem feodalistik meskipun di lingkungan keluarganya sendiri. Aturan, tatakrama diberlakukan sangat ketat, baik dalam berhubungan dengan orang lain maupun terhadap kerabat sendiri. Hal ini dilakukan sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai feodalistik yang diyakini kebenarannya.
RAMSDEN: “(Jengkel) Demi tuhan, jangan kamu sebut si AKBM itu dengan Jack dalam rumahku! (Ramsden melempar buku itu ke atas meja kuat-kuat. Setelah agak lega dia mendekati octavius dan berbicara dengan serius) Octavius, aku tahu dari temanku almarhum tentang kebaikan hatimu. Aku tahu bahwa orang ini adalah bekas teman sekolahmu dan merupakan sahabatmu sejak kecil. Tapi, dengan sungguh-sungguh aku meminta kamu untuk memikirkan perubahan yang telah terjadi. Kamu sudah seperti anak sendiri bagi sahabatku almarhum dan kamu pun tinggal di rumahnya. Dengan sendirinya teman-temanmu pun bebas keluar masuk, termasuk si Tanner ini. Kamu memanggil Annie dengan nama baptisnya, dia pun begitu. Selama ayah si Annie masih hidup, aku tidak punya hak untuk ikut campur; itu bukan urusanku. Bagi sahabatku si Tanner ini cuma seorang anak kecil yang kata-katanya bisa ditertawakan. Tapi, Octavius, sekarang Tanner sudah dewasa dan Annie sudah menjadi seorang wanita dan bapaknya sudah meninggal. Kita memang belum tahu persis apa isi surat wasiatnya, tapi berhubung dia sering membicarakan surat wasiatnya dengan diriku, aku yakin bahwa aku akan ditunjuk oleh surat wasiat itu untuk menjadi wali bagi Annie. (dugaan tegas) Sekarang aku tidak mau kalau Annie sampai dekat-dekat dengan Tanner hanya karena semata-mata Annie tidak mau menyinggung perasaanmu. Itu tidak adil. Itu tidak boleh terjadi! Nah, sekarang apa yang akan kamu lakukan?” (Shaw, 1903: 337)

Pemikiran-pemikiran kolot tersebut selalu dilawan oleh kaum muda. John Tanner yang merepresentasikan kaum muda terus berjuang menanamkan nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan. Pemikiran-pemikirannya sangat terbuka dan idealistis. Tokoh ini memberikan berbagai perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran kaum tua dengan berbagai cara, baik malalui tingkah laku sehari-hari maupun dengan menuliskan di dalam buku.
Perjuangan Tanner dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mendekati kaum muda agar hidup bebas dan mandiri. Ia selalu memberikan pemahaman kepada Octavius, Annie dan teman-temannya mengenai kemandirian dan kebebasan. Hal ini dilakukan agar kaum muda tidak terkekang dan tidak terikat dengan tata nilai golongan tua yang sangat mengikat kebebasan berkreasi kaum muda.
Sebagai seorang yang sangat idealis, Tanner tidak pernah bisa berdiam diri melihat ketidakadilan. Ia aktif di berbagai organisasi pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan. Bukan hanya itu, Tanner bahkan menggandeng beberapa komplotan sparatis yang dianggapnya lebih manusiawi dibandingkan dengan pemerintah yang otoriter.
Pemikiran-pemikiran Tanner dituangkan di dalam sebuah buku yang berjudul ”Pegangan Revolusionis”, The Revolutinist’s Handbook and Pocket Companion. Buku yang berisi gagasan-gagasan kebebasan tersebut merupakan impian yang ingin dicapai Tanner.
Salah satu misi Tanner adalah ingin membebaskan Ann dari kungkungan golongan tua. Ia ingin memberikan pemahaman kepada Ann akan makna kebebasan. Tanner berharap Ann tidak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Ramsden yang usang. Ia berusaha meyakinkan kepada Ann bahwa pemikiran feodalistik yang diyakini oleh Ramsden sangat merugikan kaum perempuan, kaum perempuan dianggap sebagai objek yang harus diatur oleh kaum laki-laki.
Annie merupakan anak perempuan yang menjadi korban keyakinan kolot tersebut. Sebagai anak perempuan ia dianggap sebagai manusia lemah, harus bergantung kepada orang tuanya, terutama bapaknya. Konsep ini menjadikan kaum perempuan termarjinalkan di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk ketidakberdayaan perempuan di dalam drama ini digambarkan melalui posisi Ann dan ibunya. Sepeninggal ayahnya, Ann harus mempunyai seorang wali sebagai pengganti ayahnya. Dalam tradisi masyarakat Inggris, wali harus dari golongan tua. Namun demikian, wasiat Tuan Whitefield nampaknya bertentangan dengan paham terserbut. Dalam wasiat tersebut Tuan Whitefield meminta dua orang wali bagi anak perempuannya; yaitu Tuan Ramsden dan John Tanner. Kondisi ini mempersulit Ann dalam menentukan mana yang harus ia pilih, karena kedua wali tersebut saling berbeda pandangan.
Perlawanan kaum marjinal terhadap pemerintahan digambarkan melalui tokoh bernama Mendoza. Mendoza adalah pemimpin kelompok marjinal yang berjuang memperolah keadilan. Kelompok tersebut dinamakan dengan Kelompok Sosial Demokrat. Mereka berjuang secara tidak resmi (underground) dengan melakukan perampokan terhadap orang-orang berada dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di lingkungan kelompoknya. Kelompok ini memiliki ikatan emosional (persaudaraan) yang sangat erat antara satu dengan yang lain. Penggambaran tokoh Mendoza merupakan sindiran atau kritikan terhadap pola kehidupan kapitalis, dimana ikatan emosional antara yang miskin dengan yang kaya nyaris tidak ada, bahkan ada kecenderungan hubungan antara kaya dan miskin sekedar hubungan antara majikan dengan bawahan. Bawahan selalu diposisikan sebagai orang yang diperas oleh atasannya.
Sikap atau sifat seperti di atas menarik perhatian John Tanner. Sebagai seorang aktivis kebebasan dan kesamaan derajat, Tanner tertarik dengan pergerakan yang dipimpin Mendoza. Tanner pun sering melakukan diskusi sekitar persoalan sosial yang dihadapi masyarakat.
Kontradiksi antara tokoh Mendoza dengan Tanner terlihat dari perbedaan media perjuangan mereka, meskipun keduanya sama-sama mengatasnamakan perjuangan untuk rakyat atas persamaan hak. Media perjuangan Mendoza melalui jalur yang tidak jelas, sehingga pergerakannya pun tidak efektif bahkan sering berseberangan dengan pemerintah. Berbeda halnya dengan John Tanner, ia memilih menggunakan media intelektual sebagai alat perjuangannya. Ia percaya bahwa pemikiran sangat besar pengaruhnya terhadap pembenukkan karakter di dalam membangun masyarakat. Di samping dengan pemikiran-pemikiran yang tertulis, Tanner juga terjun langsung di dalam kancah politik. Meskipun tidak secara detail drama menggambarkan hal itu, namun kiprah Tanner dalam memperjuangkan idealismenya melalui politik dapat terlihat dari pemikiran-pemikirannya. Kita dapat melihat hal itu dengan membaca gagasan-gagasan yang tertuang di dalam buku yang telah ditulisnya, Buku Pegangan bagi Sang Rervolusionis, (The Revolutinist’s Handbook and Pocket Companion).

2.3 Tipologi Hegemoni Man and Superman
2.3.1 Hegemoni Laki-Laki terhadap Perempuan
Drama Man and Superman menggambarkan kaum perempuan yang posisinya tidak menguntungkan. Dalam berbagai hal, perempuan dianggap inferior dibandingkan laki-laki. Akibatnya, kaum perempuan selalu bergantung pada laki-laki, meskipun hanya sekedar memutuskan persoalannya sendiri. Segala sesuatu yang akan dilakukan oleh kaum perempuan harus mendapat persetujuan dari pihak laki-laki. Seorang istri harus mengkonsultasikan atau meminta izin ketika ingin keluar rumah kepada suaminya. Demikian juga seorang anak perempuan yang ayahnya meninggal, maka ia harus memiliki seorang wali laki-laki. Seorang ibu tidak bisa menggantikan kedudukan seorang ayah dalam hal-hal yang lebih besar, terutama dalam persoalan perkawinan.
Sebenarnya bukan hanya pertentangan antara kedua wali yang ditunjuk almarhum ayahnya yang menyebabkan Ann bersusah hati. John Tanner yang dicintai Ann merasa keberatan menjadi wali bagi dirinya. Padahal Ann sendiri lebih memilih Tanner sebagai walinya. Hal itu beralasan karena Ann mengharapkan Tanner sebagai suaminya, bukan sekedar wali.
Ann: (in low siren tones) “He ask me who would I have as my guardian before he made that will. I choose you!” (Shaw, 1903: 503)

ANN: (dengan nada putri duyung yang memikat) ‘Sebelum menulis surat wasiat, Bapak bertanya kepadaku siapa yang kumaui sebagai wali. Aku memilih kamu!’

Pilihan Annie ternyata bertentangan dengan ibunya, Nyonya Whitefield. Nyonya Whitefield lebih memilih Ramsden dengan alasan lebih tua dan dianggap lebih tepat bagi keluarga mereka. Nyoya Whitefield lebih dekat dengan Tuan Ramsden, selain sebagai orang yang lebih mapan, baik secara umur maupun kedudukan sosialnya, Ramsden adalah orang yang dianggap bijaksana. Oleh karena itu, setiap persoalan yang dihadapi keluarga Whitefield selalu meminta pertimbangan dari Ramsden.
Sebagai seorang perempuan, Nyonya Whitefield merasa tidak mampu mengendalikan anaknya sendiri. Nyonya Whitefield selalu meminta bantuan saudara yang tertua (laki-laki) yang dianggap lebih bijaksana dan lebih mampu memberikan jalan keluar terhadap segala persoalan yang mereka hadapi. Walhasil, Nyonya Whitefield tidak memiliki otoritas terhadap masa depan anak-anaknya, bahkan juga terhadap dirinya sendiri. Ia sering melimpahkan tanggungjawabnya kepada Tuan Ramsden yang terpandang di masyarakat.
Ann : (resuming in the same gentle voice, ignoring her mother’s bad taste) “Mamma knows that she is not strong enough to bear the whole responsibility for me and Rhoda without some help and advice. Rhoda must have a guardian; and thought I am older, I do not think any young unmarried woman should be left quite to her own guidance. I hope you agree with me, Granny.” (Shaw, 1903: 348-349).

Ann: (dengan suara tetap lirih seolah tidak mendengar kata-kata ibunya tadi) ‘Ibu tidak mampu menanggung seluruh beban tanggung jawab atas diri saya dan Rhoda tanpa pertolongan dan saran. Rhoda harus dibimbing seorang wali. Saya memang lebih tua, tapi saya pikir seorang wanita muda yang belum menikah tidak boleh dibiarkan begitu saja menentukan jalannya sendiri, betulkan Eyang?’

Anggapan kaum perempuan tidak memiliki kemampuan dalam hal kehidupan, sebenarnya bukan semata-mata datang dari orang lain, tetapi terkadang kaum perempuan sendiri merasa tidak mampu. Seperti halnya yang terjadi pada Nyonya Whitefield, ia merasa tidak bisa memegang amanah kehidupan yang dianggapnya sangat sakral. Wasiat suaminya adalah amanah yang harus ia limpahkan kepada orang yang dianggap mampu, karena wasiat suami adalah sesuatu yang sakral dan suci.
Kesadaran akan ketidakmampuan menentukan kehidupan diri sendiri merupakan suatu pengakuan kekalahan kaum perempuan. Jika ia memandang lemah, maka dirinya pun tidak akan dapat berdiri sendiri atau mandiri. Hal ini terjadi pada diri Nyonya Whitefield, ia merasa tidak percaya diri akan kemampuanya menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
Nyonya Whitefield: (hastily) “Now, Ann, I do beg you not to put it on me. I have no opinion on the subject; and if I had, it would probably not be attended to. I am quite content with whatever you thee think best.” (Shaw, 1903: 348).

Nyonya Whitefield: (cepat-cepat) ‘Ann, jangan suruh Ibu utuk membuat keputusan. Ibu benar-benar tidak punya pendapat apa pun dalam hal ini; seandainya Ibu punya pun tak akan ada yang peduli. Aku menyerahkannya pada kalian bertiga.’

Ungkapan tersebut menunjukan ketidakpercayaan Nyonya Whitefield terhadap dirinya sendiri. Ia merasa sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki kekuasaan untuk memikul tanggung jawab, meskipun kepada anak-anaknya sendiri. Ungkapan pesimisnya ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang terlanjur memposisikan kaum perempuan dalam ranah yang sempit. Pandangan-pandangan tersebut menyebabkan kaum perempuan secara psikologis menjadi tersubordinasi sehingga tidak berani melakukan terobosan-terobosan dalam kehidupan.
Adanya asumsi yang merendahkan kaum perempuan dalam masyarakat Inggris menjadikan kaum perempuan tersubordinat, masyarakat memposisikan kaum perempuan sebagai orang kedua. Perempuan ditempatkan dalam posisi yang tidak strategis. Dalam hal pekerjaan, rumah tangga dan sosial politik, perempuan sangat tergantung pada laki-laki. Dalam ranah rumah tangga, perempuan memiliki tanggung jawab dalam mengasuh anak dan mengurus dapus. Di sisi lain tanggung jawab keluarga yang bersifat keluar menjadi tanggungan laki-laki, seperti mencari nafkah.
Stigma tersebut menjadikan kaum perempuan tidak berani melakukan sesuatu yang melanggar ketentuan. Jika perempuan melanggar ketentuan tersebut akan dianggap sebagai perempuan tidak bermoral. Jika ada perempuan yang bekerja di luar rumah, apa lagi sampai larut malam, maka secara sosial akan dikucilkan atau diperlakukan secara tidak manusiawi oleh masyarakat di sekelilingnya. Stigma ini menjadikkan kaum perempuan takut membuat terobosan-terobosan dalam kehidupan mereka.
Selain polemik mengenai perempuan dalam ranah keluarga, persoalan perempuan pun timbul dalam ranah agama. Pelemik pertemuan Don Juan dengan seorang wanita tua merupakan gambaran bagaimana stigma agama terhadap perempuan. Di dalam agama, perempuan digambarkan sebagai makhluk lemah, baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Secara politis perempuan harus menggantungkan segala-galanya kepada laki-laki, sehingga keberadaannya hanya sebagai pelayan bagi kebutuhan laki-laki.
Di dalam drama tersebut, kaum perempuan menghadapi kondisi terjepit, mereka terpaksa melakukan tindakan yang menjerumuskan mereka ke dalam kenistaan. Kondisi yang dihadapi kaum perempuan merupakan jerat-jerat yang dibuat komunitas laki-laki. Aturan-aturan dan segala ketentuan dalam kehidupan, pada dasarnya dibuat oleh kaum laki-laki, sehingga kaum perempuan selalu menjadi kaum yang disalahkan atau dikalahkan.
Ada anggapan bahwa yang kuatlah yang akan menjadi pemenang (Teori Darwin). Tanner berprinsip bahwa yang lemah akan menjadi sasaran bagi orang lain atau komunitas lain untuk diperalat. Kaum lemah (perempuan) akan selalu menjadi korban bagi kaum yang kuat; sebagaimana orang kaya akan memperalat orang miskin, laki-laki memperalat perempuan, orang dewasa memperalat anak-anak dan seterusnya.
Keyakinan akan pentingnya wawasan dan kekuatan kepribadian mendorong John Tanner terus memperjuangkan gagasan-gagasannya melalui buku Pegangan Bagi Revolusionis. Buku tersebut sangat berpengaruh bagi kesadaran pentingnya kemandirian dan kemerdekaan seseorang. Dengan kemerdekaan dan kemandirian, seseorang dapat mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan dan akan menjadi makhluk merdeka. Hidup tanpa kekangan merupakan tujuan utama dari pemikiran John Tanner.
Pemikiran Tanner tersebut mempengaruhi perlaku Ann. Sebagai tokoh perempuan yang pada awal-awal babak digambarkan sebagai seorang yang penakut, ia berubah dan berani mengemukakan pendapat, bahkan dalam babak ke tiga Ann berani beradu argumentasi terhadap perselisihan yang dihadapinya.
Perdebatan antara Ann dengan ayahnya terjadi pada pertemuan mereka di neraka. Ann dilarang ayahnya pergi ke surga, kecuali dengan qualifikasi tertentu. Hal ini dianggap menyinggung dirinya sebagai seorang perempuan. Tuan Whitefield yang menganggap Ann tidak layak masuk sorga merupakan sindiran bahwa surga hanya untuk orang-orang berbudi pekerti baik, yaitu laki-laki. Sedangkan Ann di mata ayahnya merupakan anak perempuan yang belum dewasa dan tidak mampu menunjukan kebaikkan. Oleh karena itu, Ann dianggap tidak layak masuk surga (p. 137).
Saran ayahnya tersebut ditolak oleh Ann, dengan alasan bahwa semua orang berhak masuk surga, termasuk dirinya, meskipun ia seorang perempuan.
Gambaran tersebut menunjukan perkembangan pemikiran Ann sebagai seorang anak perempuan yang sudah mendapat pengaruh pemikiran baru. Pergaulannya dengan Tanner dan Don Juan memberikan wawasan dan keberanian dalam menentukan kehidupannya sendiri. Ann mulai berani membela diri dan menetukan jalan hidupnya sendiri. Hal ini berbeda dengan saat ayahnya meninggal, ia merasa tidak mampu, dan akhirnya tidak berani mengambil keputusan. Posisi perempuan yang dianggap begitu lemah, telah berubah, Ann merombak tatanan budaya masyarakat yang sangat menyudutkan kaum perempuan. Annie menjadi perempuan mandiri, ia merdeka dari keterbelakangan tatanan sosial.
Dari kontek ini, Ann merupakan representasi dari wanita modern yang paham akan kesetaraan gender, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sepanjang perempuan memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki, maka tidak perlu ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam kaitannya dengan hak-hak individu.
Perubahan pemikiran atau sikap Ann tersebut memerlukan proses yang cukup lama. Hasil pergaulannya dengan masyarakat dan pengalaman hidupnya berpengaruh terhadap pola pikir Ann. Selain itu, ia pun sadar bahwa setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama tanpa memandang jenis kelamin dan perbedaan lainnya.
Pemutarbalikan sifat perempuan juga digambarkan melalui tokoh Ann dalam hal hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam babak akhir dari drama ini, Ann dengan terang-terangan meminta John Tanner menikahinya. Ketika Tanner menolak Ann untuk menikah denganya, Ann memaksa atau mendesak Tanner dengan berbagai cara.
TANNER: “But why me-me of all men? Marriage is to me apostasy, profanation of the sanctuary of my soul, violation of my manhood, sale of my birthright, shameful surrender, ignominious capitulation, acceptance of defeat. I shall decay like a thing that wiith a future to a man with a past... “(Shaw, 1903: 501).

TANNER: ‘Tapi, mengapa harus denganku? Apa tidak ada laki-laki? Perkawinan bagiku adalah sebuah penghujatan terhadap kesucian jiwaku, penjualan kebebasan usia, kekalahan yang memalukan. Aku akan membusuk seperti sepah yang sudah habis manisnya... ‘

TANNER: ‘Tanner tidak akan kawin denganmu, aku tidak akan kawin dengan mu.’ (Shaw, 1903: 237).

Ungkapan Tanner tersebut merupakan bukti penolakannya terhadap usulan Ann untuk menikah dengannya. Meskipun demikian, Ann merayunya dan akhirnya Tanner pun jatuh kepangkuan Ann.
TANNER: “(seizing her in his arms) It is false: I love you. The Life Force enchants me: I have the whole world in my arms when I clasp you. But I am fighting for my freedom, for my honor, for my self, one and indivisible.” (Shaw, 1903: 504).

Ann: “(coaxing-emploringalmost exhousted) Yes. Before it is too late for pentace. Yes. “

TANNER: ‘(merengkuh Ann) Salah, aku mencintaimu. Sang daya Hidup telah memesonaku. Seluruh dunia jadi milikiku ketika kamu berada dalam pelukanku. Tapi, aku sedang berjuang untuk mempertahankan kebebasanku, kehormatanku untuk diriku sendiri yang utuh dan tak terbagi.’

ANN: ‘(Membujuk-memohon-kehabisan tenaga) Ya...sebelum semuanya terlambat. Ya.’ (Shaw, 1903: 237).


2.3.2 Hegemoni Penguasa terhadap Orang Kecil
Gambaran mengenai hegemoni antara penguasa dengan orang kecil dapat dilihat dari hubungan pemerintah dengan rakyat, orang tua dengan anak, atau hubungan antara majikan dengan para buruh. Dalam konteks ini, penguasa umumnya memperlakukan bawahannya sekehendak mereka. Sepanjang bawahan atau buruh menguntungkan, mereka akan tetap dijamin hak-hak terbatasnya. Sebaliknya jika bawahan atau kaum buruh tidak tidak memenuhi keinginan penguasa, maka dengan mudah para majikan akan meggantikan mereka dengan buruh lain.
Selain perlakuan tidak manusiawi, hubungan antara majikan dengan bawahan tidak bisa seharmonis sebagaimana hubungan dengan sesamanya. Ada pembatasan-pembatasan yang menyebabkan bawahan tidak dapat menerima atau mengakses fasilitas atau media yang dinikmati oleh para majikan.
“...He speak slowly and with a touch of sarcasm; and as he does not at all affect the gentleman in his speech, it may be inferred that his smart appearance is a mark of respect to himself and his own class, not to that which employs him... “(Shaw, 1903: 378)

‘Bicaranya lambat dengan nada sarkastik, sama sekali tidak ketularan nada bicara jentelmen. Ini menunjukan bahwa penampilannya yang rapi adalah tanda bahwa dia bangga akan dirinya dan kelasnya sendiri dan bukan akan majikannya. ‘

Gambaran di atas menunjukan bahwa kelas atau status seseorang dapat dilihat dari penampilan. Konsep ini merupakan konsep kapitalis, nilai seseorang ditentukan dari apa yang mereka miliki atau mereka pakai. Pakaian mampu menggambarkan kelas seseorang dan sekaligus menunjukan kepribadiannya. Oleh karena itu orang berlomba-lomba memperbaiki penampilan dengan harapan mendapat pengakuan dari masyarakat di sekelilingnya.
Selain pakaian, mobil dapat menjadi simbul status sosial. Mobil atau kendaraan merupakan cerminan kelas sosial Inggris pada zaman industrialisasi. Pada zaman itu, orang yang menggunakan kendaraan roda empat merupakan orang-orang mapan atau jetset, tidak semua orang dapat memiliki kendaraan roda empat. Persaingan merek (mahal) dan kecepatan mobil menjadi fenomena menarik, semakin cepat seseorang mengendarai mobil, maka akan mendongkrak nilai prestise mereka.
TANNER: “I may as well walk to the house and stretch my legs and calm my nerves a little. (looking at his watch) I suppose you know that we have come from Hyde Park Corner to Richmond in twenty-one minutes”

TANNER: ‘Saya juga berjalan ke rumah itu dan merenggangkan kaki saya secara pelan dan saya merasakan sedikit gerogi’

THE CHAUFFEUR : “I’d have done it under fifteen if I’d had a clear road al the way”

THE CHAUFFEUR : ‘Saya sudah akan pernah melakukan hal itu saat umur dibawah lima belas tahun ketika semua jalan sepi’

TANNER: “Why do you do it? Is it for love of sport or for the fun of terrifying your unfoortunate employer? “

TANNER: ‘Kenapa kamu mengerjakannya? Apakan sekedar kecintaan akan olah raga, untuk kesenangan bagi majikanmua yang ketakutan?’

THE CHAUFFEUR: “What are your affraid of?”
THE CHAUFFEUR: ‘Apa yang kamu takutkan?’
TANNER: “The police, and breaking my neck.” (Shaw, 1903: 379)
TANNER: ‘Polisi, dan patahnya leherku’

Seorang sopir akan memiliki kebanggaan jika mampu mengendarai kendaraan lebih cepat dari yang lain. Hal ini sebagai upaya mendapat simpati atau perhatian dari majikannya. Mereka (para sopir) akan merasa bangga jika dapat menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tanpa memperhitungkan keselematan diri sendiri.
Penghargaan majikan kepada bawahan merupakan bentuk memanusiakan bawahan. Hal ini memberikan motivasi kepada bawahan sehingga mereka merasa berharga sebagai manusia dan profesi yang dimiliki. Seseorang akan merasa bangga dengan kedudukannya karena mendapat pengakuan (sesuai dengan profesi masing-masing). Orang tidak malu atau rendah diri karena posisi yang tidak menguntungkan atau tidak setrategis. Hal inilah yang ingin disampaikan oleh George Bernard Shaw dalam drama ini, yaitu makna kehidupan yang harus dipahami oleh masyarakat. Jadi, setiap orang sebaiknya dapat menempatkan diri dalam posisi sesuai dengan profesinya dan bangga dengan kedudukan apapun. Dengan demikian, kesejahteraan dan kedamaian akan terwujud, dengan syarat setiap orang mengakui dan menghormati profesi seseorang dalam masyarakat.
Dengan kesadaran terhadap posisi setiap orang dalam masyarakat, maka akan terwujud optimisme dalam menjalani kehidupan. Optimisme merupakan kondisi potensial dalam membangun sebuah komunitas suatu masyarakat. Masyarakat terdiri dari individu-individu dan individu yang berpikir positif akan sangat mempengaruhi masa depan mereka. Situasi ini mampu menjadikan seseorang merdeka. Sehingga akan memberikan peluang untuk mencapai cita-cita dan harapan kehidupan yang lebih baik.
Menurut GBS, pemikiran yang merdeka merupakan kebutuhan setiap orang. Dengan kemerdekaan dan kebebasan, seseorang dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik. Menjadi manusia yang merdeka adalah menjadi manusia yang otonom. Oleh karena itu, setiap individu hendaknya berpikiran merdeka, tidak perlu takut dengan orang lain atau kelompok lain.
TANNER: “Do! Break your chains. Go your way according to your own conscience and not according to your mothers. Get your mind clean and vigorous; and learn to enjoy a fast ride in a motor car instead of seeing nothing in it but an excuse for a detestable intrigue……” (P. 33,l. 148)

TANNER: ‘Lakukan! Putuskan belenggu itu. Pergilah berdasar kemauan mu sendiri dan jangan tergantung pada kemauan ibumu. Bersihkan pikiranmu dan bertekunlah, belajarlah menikmati dan nikmatilah laju kendaraanmu daripada memikirkan intrik-intrik yang keji itu.’

Ketakutan dan ketergantungan merupakan dua kondisi yang sangat merugikan bagi kemajuan seseorang. Setiap orang sebaiknya melepaskan diri dari kekangan-kekangan, bukan hanya kekangan yang ada dalam suatu negara, tetapi juga kekangan dari keluarga sendiri. Makna kebebasan sangat berarti bagi kemajuan seorang individu.
Hubungan antara majikan (borjuis) dengan bawahan (buruh/proletar) merupakan hubungan ekonomis. Sang majikan melakukan kontak dengan para buruh sepanjang memiliki keperluan produksi. Dengan demikian keterkaitan atau keterikatan para buruh disebabkan oleh kepentingan ekonomi. Kondisi ini menjadikan para buruh mudah dikendalikan oleh para penguasa. Hal ini terjadi karena secara ekonomi buruh tergantung kepada majikan mereka. Dengan demikian, secara politik buruh tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Dalam drama Man and superman, John Tanner memutarbalikan fakta tersebut. Hubungan antara majikan dan buruh digambarkan memiliki kedudukan setara, majikan tidak membatasi hak-hak buruh sebagai manusia, buruh diperlakukan secara manusiawi. Hal ini terlihat pada sikap kooperatif dan hubungan harmonis antara John Tanner dengan sopirnya, yaitu Straker. Dalam hal ini berkedudukan sopir tidak direndahkan tetapi terhormat sebagaimana manusia pada umumnya.
TANNER: (Introducing) “My friend and chaufeur.”
TANNER: (Memperkenalkan) ‘Temanku dan Mekanikku.’

THE SULKY SOCIAL-DEMOCRAT: (Suspiciously) “Well, which is he? Friend or show-foor? It makes all the difference, you know” (Shaw, 1903: 409).
THE SULKY SOCIAL-DEMOCRAT: (Dengan curiga) ‘Baik, yang manakah yang benar? Teman atau sopir? Semua itu berbeda, bukan?’

MENDOZA: “What I say is, let us treat one another as gentlemen, and strive to excel in personal courage only when we take the field.” (Shaw, 1903: 408)

MENDOZA: ‘Maksudku merilah kita memperlakukan satu sama lain sebagai jentelmen, dan berusberusaha untuk mengungguli hanya dalam keberanian masing-masing hanya kalau kita terjun ke medan laga.’

Berbeda dengan hubungan antara Tuan Ramsden dengan orang di sekelilingnya, Tuan Ramsden memperlakukan para pembantunya sebagai orang yang tidak berharga, pembantu tidak berhak menempati atau memasuki tempat-tempat tertentu yang bagi kaum majikan dianggap akan merendahkan mereka. Ramsden memisahkan pembantu yang satu dengan yang lain disesuaikan dengan kedudukan dan tanggung jawab mereka.
Hal yang dilakukan Tanner terhadap Straker merupakan perlawanan ideologis kaum muda terhadap kaum tua. Majikan umumnya tidak menghargai pekerjanya. Apa yang dilakukan Johan Tanner dalam hal ini merupakan perlawanan ideologis politis terhadap paham kapitalis yang tidak memanusiawikan kaum bawah.
“Further, the imaginative man, if his life is to be tolerable to him, must have leisure to tell hiself stories, and a position which lends itself to imaginative decoration. The ranks of unskied labor offer no such positions. We misuse our laborers horribly; and when a man refuses to be misused, we have no right to say that he is refusing honest work.” (Shaw, 1903: 403).

‘Lebih jauh jika seseorang yang bermental imajinatif ingin menjalani hidup yang wajar, dia harus diberi kesempatan untuk menullis cerita-cerita dan diberi posisi yang memungkinkannya membuat cerita-cerita itu. Posisi sebagai tenaga kerja tidak-ahli tidak memungkinkan itu. Kita menyalahgunakan tenaga kerja kita; dan jika seseorang menolak disalahgunakan, kita tidak punya hak untuk berkata bahwa dia bersalah telah menolak bekerja secara halal. Marilah kita saling terbuka sebelum sandiwara ini dilanjutkan.’

Perlawanan masyarakat sipil terhadap penguasa digambarkan melalui pertemuan Tanner dengan Mendoza. Pertemuan tersebut merupakan gambaran riil terhadap maksud penulis menggambarkan perbedaan pandangan dari kedua golongan ini (Babak III). Ditambah lagi dengan hadirnya para anarkis, yang dalam pandangan para penguasa dianggap sebagai musuh bersama. Namun demikian anarkhisme dalam drama ini justru digambarkan sebagai sesuatu yang bertolak belakang. John Tanner mendukung kaum anarkis karena mereka lebih terhormat dibandingkan dengan para penguasa yang memeras rakyat lemah. Kaum anarkis dianggap wajar, meskipun mereka melakukan kejahatan tetapi bertujuan untuk membebaskan diri dari kekangan dan dominasi penguasa, bahkan apa yang mereka lakukan pada umumnya digunakan untuk kepentingan bersama.
MENDOZA: “Respectfully, (Much struck by this admission) you are a remarkable man, sir. Our guests usually describe themselves as miserably poor.”

MEDOZA: ‘Dengan penuh hormat, (Merasa terseinggung dengan persoalan ini) kamu orang terhormat, Tuan. Tamu kita biasanya menganggap mereka sendiri sebagai orang miskin.’

TANNER: “Pooh! Miserably poor people don’t own motor cars. “(Shaw, 1903: 411)

TANNER: ‘Puh! Orang yang miskin tidak mungkin memiliki mobil.’

Pernyataan di atas sebenarnya merupakan sindiran terhadap orang-orang mapan yang tidak suka membantu mereka yang lemah. Ironisnya, orang-orang kaya sering mengaku sebagai orang miskin dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini yang ingin dikritisi pengarang.
Pertemuan Mendoza dan Tanner menggambarkan berbagai persoalan, terutama berkaitan dengan kekuasaan dan persoalan ekonomi. Persoalan utamanya adalah ketidakadilan para penguasa yang melahirkan anarkisme. Anarkisme tidak akan pernah terjadi selama ada keadilan. Ketimpangan dan diskriminasi yang dilakukan para penguasa mengakibatkan sebagian golongan yang merasa terdiskriminasi membentuk sebuah kelompok untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ungkapan mengenai tindakan perampokan yang dilakukan oleh kelompok Mendoza terhadap orang-orang kaya merupakan sindiran.
MENDOZA: (with dignity) “Allow me to introduce myself. Mendoza, President of the League of the Sierra! (Posing loftily) I am a brigand: I live by robbing the rich. “(Shaw, 1903: 409)

MENDOZA: (Dengan anggun) ‘Kalau boleh saya memperkenalkan diri: mendoza, Presiden dari Liga Sierra! (dengan gagah) Saya adalah seorang badit. Saya hidup dari merampok orang kaya.‘

Ungkapan Mendoza dibalas dengan mengatakan bahwa Tanner menghidupi dirinya dengan merampok orang-orang miskin.

TANNER: (Promtly) “I am a gentleman: I live by robbing the poor. Shake hands.” (Shaw, 1903: 409)

TANNER: ‘Saya seorang jentelmen. Saya hidup dari merampok orang miskin. Mari kita berjabat tangan. ‘(Shaw, 1903:).

Ungkapan kedua tokoh yang bertolak belakang ini merupakan lelucon sekaligus sindiran bahwa semua lapisan masyarakat melakukan kejahatan, dari orang yang berkedudukan rendah sampai mereka yang berkedudukan paling tinggi. Masing-masing golongan berebut pengaruh, ingin saling mendominasi kelompok lain.
Mendoza adalah pimpinan eksekutif sebuah kelompok penjahat yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan dari masyarakatnya. Kelompok ini disebut dengan kelompok yang tersingkirkan karena tidak memiliki profesi terhormat sebagaimana halnya para bangsawan dan penguasa terdidik lainya. Walhasil, mereka melakukan berbagai kejahatan dengan merampok orang-orang kaya. Kelompok ini menamakan diri mereka sebagai kelompok sosialis. Kehidupan komunitas ini memiliki solidaritas tinggi dengan sesamanya. Saling menghormati, saling membantu, dan saling berbagi adalah ciri dari masyarakat sosialis. Kehidupan masyarakat sosialis tidak semata-mata memikirkan diri sendiri, mereka berjuang untuk kepentingan bersama. Mendoza menganggap tindakannya merampas orang-orang kaya bukan suatu kejahatan, melainkan suatu usaha untuk meratakan kekayaan kepada masyarakat luas. Mendoza menganggap bahwa tidak sepantasnya kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Kelompok yang dipimpin oleh Mendoza menamakan diri sebagai kelompok beraliran sosialis demokrat. Mereka memiliki paham pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat. Hal ini merupakan sindiran bagi paham kapitalis yang mendominasi masyarakat Inggris pada saat itu. Pertemuan antara Mendoza dengan John Tanner merupakan cerminan idealisme yang harus dibangun, seorang sosialis harus mampu menggabungkan konsep-konsepnya kepada seluruh masyarakat tanpa pandang bulu. Perbedaan kelas, keturunan, apalagi tingkat kekayaan hendaknya tidak dijadikan persoalan dalam pembangunan masyarakat.
John Tanner menyindir dengan mengatakan bahwa dirinya merampok orang-orang miskin, sedangkan Mendoza merampok orang-orang kaya. Sindiran ini merupakan indikasi adanya kejahatan di berbagai lini dalam masyarakat Inggris. Ini adalah sindiran kepada para penguasa yang tidak menggunakan wewenangnya demi kesejahteraaan rakyat, tetapi justru para penguasa menggunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri, keluarga dan golongannya. Inilah refleksi sesungguhnya dari para politisi yang ada di dalam masyarakat Inggris saat itu. Era berubahan masyarakat feodal ke era kapitalis mengubah pola pikir yang jauh berbeda.
Perubahan kondisi sosial politik dengan serta merta mengubah sosio-ekonomi dan sosio-budaya masyarakat Inggris. Oleh karena itu, pola tata sosial masyarakat pun berubah. Strata masyarakat semakin kompleks disebabkan lahirnya kelas sosial baru. Dengan perubahan sistem feodalisme ke sistem kapitalistik, maka orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki kedudukan justru dapat menjadi pengendali sosial. Hal ini terjadi karena adanya kemajuan dalam bidang ekonomi yang diraih kelompok kelas menengah yang terdiri dari para tenaga ahli, pegawai negeri, dan pedagang.
Pada zaman feudal, orang yang memiliki kedudukan terhormat ditentukan oleh keturunan bangsawan. Pada era kapitalisme, kedudukan seseorang ditentukan oleh kekayaan. Kondisi ini membuat hubungan antarindividu sangat dibatasi oleh golongan-golongan tertentu. Orang miskin tidak dapat melakukan komunikasi (hubungan personal) secara bebas dengan orang kaya. Seorang bangsawan juga tidak akan mungkin merasa dekat dengan orang miskin. Sebaliknya, antara bangsawan dan orang kaya dapat melakukan komunikasi dengan baik. Hubungan orang kaya bangsawan dengan orang miskin umumnya hanya sebatas hubungan hubungan bawahan atasan (majikan buruh), tidak ada nilai sosial yang dapat menyetarakan mereka. Dalam drama Man and Superman gerakan perjuangan kesetaraan ini tergambar dalam diri Mendoza yang mencintai Louisiana.
Gambaran hubungan Mendoza yang mencintai Lousiana tidak akan pernah terwujud. Karena Louisiana merupakan keturunan orang miskin, sedangkan Mendoza berasal dari kelompok orang kaya. Meskipun demikian, karena Mendoza seorang sosialis yang melakukan kontak dengan orang-orang yang termarjinalkan, maka ia bertekad menikahi Louisiana. Ini adalah pendobrakan adat atau tatanan yang telah mapan. Mendoza tidak memikirkan garis keturunan Louisiana dan mendesaknya untuk menikahinya.

2.3.3. Hegemoni Kaum Tua terhadap Kaum Muda
Selain sebagai orang kaya, Ramsden adalah orang yang dituakan, oleh karena itu ia sangat berpengaruh di dalam masyarakat. Kata-kata dan perintah Tuan Ramsden didengar dan diikuti oleh masyarakat. Kedudukan yang istimewa tersebut menjadikannya sangat dihormati. Ia bahkan berkedudukan seperti raja yang disegani, dihormati dan kata-katanya bagaikan petuah. Ia bahkan sering menjadi juru “selamat”, banyak orang berkonsultasi kepadanya ketika menghadapi persoalan hidup. Ia dimintai pertimbangan atas berbagai persoalan kehidupan masyarakat.
Gambaran mengenai kedudukan Ramsden mengindikasikan bahwa kewibawaan dan kehormatan seseorang sangat ditentukan oleh keturunan, kekayaan, dan umur. Seseorang yang secara ekonomi mapan akan menjadi panutan dalam masyarakat. Kondisi itu menyebabkan manusia berlomba-lomba dalam mendapatkan kekayaan. Orang percaya dengan kekayaan ia akan dihormati, demikian juga dengan orang-orang yang memiliki kelebihan pengetahuan, ketrampilan, dan wawasan (pengalaman) tertentu.
Gambaran keluarga Ramsden merupakan keluarga yang menganut sistem feodal. Di dalam masyarakat feodal tata krama merupakan aspek penting, bahkan sakral. Keluarga feodal memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat dan tak seorang pun berani melanggarnya. Tidak sembarang orang bisa masuk ke wilayah atau tempat raja/majikan. Sikap dan perilaku keluarga feodal selama di dalam rumah diatur sedemikian rupa, anak-anak, suadara dan siapapun yang datang ke rumah Ramsden harus mengikuti protokoler keluarga tersebut.
Saat Octavius berkunjung ke rumah Ramsden, Octavius tidak serta merta dapat memasuki rumah Ramsden, meskipun ia masih saudara dengan Ramsden, ia tetap harus mengikuti protokoler di dalam keluarga tersebut. Hal tersabut tergambar ketika pembantu rumah tangga meminta terlebih dahulu persetujuan dari tuan rumah, apakah Octavius dipersilahkan menemui Ramsden atau tidak. Setelah mendapat persetujuan, Octavius baru masuk rumah menemui Ramsden.
Gambaran ini menunjukan bahwa di dalam keluarga yang terkecil pun para bangsawan memiliki “protokuler” di dalam menerima tamu. Peraturan ketat tersebut menunjukan bahwa tidak semua orang dapat menemui Ramsden. Tata cara ini mengindikasikan adanya sekat atau pembatas antarindividu dalam pergaulan orang-orang kaya.
Situasi tersebut jauh berbeda dengan tatakrama masyarakat biasa (egaliter). Paham akan kesetaraan dan kesamaan hak dalam masyarakat biasa sangat dominan, tidak ada sekat-sekat hubungan dalam kehidupan. Oleh karena itu tatakrama yang diberlakukan Tuan Ramsden diputarbalikkan oleh tokoh John Tanner. Jika Tuan Ramsden memperlakukan orang lain penuh dengan peraturan, Tanner justru memberi kebebasan kepada siapapun, termasuk pesuruhnya (Straker). Tanner berusaha mengubah ketentuan masyarakat feodalis yang dibudayakan Ramsden. Hal ini dapat dilihat dari sikap Tanner saat memasuki rumah Ramsden tanpa sepengetahuan Ramsden. Ia masuk ke dalam rumah tersebut bersama Nyonya Whitefield.
John Tanner adalah tokoh protagonis, merupakan lawan Tuan Ramsden. Ia pembela tokoh perempuan yang merupakan salah satu korban kebijakan ideologis kaum laki-laki. Di samping itu, Tanner adalah seorang wali yang masih muda. Ia diangkat sebagai wali sebagaimana wasiat Tuan Whitefield (ayah Annn), karena keilmuannya, seorang yang berpendidikan, berwawasan luas dan penuh dengan gagasan-gagasan kesetaraan serta kebebasan. John Tanner merupakan individu yang ideal bagi kehidupan modern. Ia diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan keluarga Whitefield dalam menghadapi persoalan-persoalan manusia modern.
Pada babak ke-2 digambarkan perlawanan kaum muda terhadap kaum tua. Bentuk perlawanan John Tanner adalah dengan memutarbalikan tata nilai yang ada di dalam masyarakat. Perlawanan kaum muda atas sikap hidup juga dilakukan dengan suatu pertentangan atas perlakuan seseorang. Jika kaum tua memperlakukan bawahan sebagai pelayan yang tidak berharga, bawahan harus tunduk dan tidak mendapat hak-hak sebagaimana orang bebas. Bawahan harus bersikap tunduk dan patuh tampa ada komunikasi dua arah, seperti seorang pembantu yang tidak boleh mengemukakan pendapat atau memberi saran kepada majikannya.
Berbeda halnya dengan John Tanner, ia memperlakukan sopirnya, Straker, seperti temannya sendiri. John Tanner tidak membatasi hak-hak sopirnya tersebut. Apalagi melarangnya untuk melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya. Tanner justru sering meminta saran tentang sesuatu hal yang ia anggap Straker lebih tahu. Tanner memberi kebebasan kepada Straker dalam melakukan tindakan yang baik bagi dirinya, seperti memodifikasi mobil dan mengendarainya sebagaimana miliknya sendiri. John Tanner memberi hak kepada Straker untuk berkembang. Saat membeli koran pun ia memberi kesempatan memilih koran yang disukai.
STRAKER: “Would you believe it, Mr. Robinson, when we are out motoring we take in two papers, the Times for him, the Leader or the Echo for me. And do you think I ever see my paper? Not much. He grabs the Leader and leaves me the stodge myself with his Times.” (Shaw, 1903: 385)

STRAKER: ‘Tahu tidak, tuan Robinson, kalau sedang bepergian dengan mobil, koran yang dibeli ada dua; Times untuk Tuan Tanner, Leader atau Echo untukksaya. Tapi, koran itu tidak pernah lama ditangan saya karena diambil tuan tanner sementara saya gantian membaca Times.’ ( Shaw, 1903:385).

Gambaran tersebut bertentangan dengan cara-cara atau model hubungan kaum tua terhadap pesuruhnya. Tanner dalam hal ini memberikan fasilitas kepada Straker yang tidak berdeda dengan dirinya, ia memberi kesempatan kepada Straker untuk membaca koran bahkan keduanya saling bertukar pikiran terhadap segala sesuatu yang mungkin Straker lebih tahu.
Perlakukan Tanner terhadap Straker yang sangat manuasiawi itu merupakan idealisme yang ingin dibangun kaum sosialis atas persamaan hak manusia. Seseorang yang hanya sebagai pembantu, buruh atau bawahan tetap diberi kebebasan. Dengan perlakukan seperti itu, semua orang akan merasa nyaman dan bahkan bangga dengan profesi yang dimiliki, meskipun dia hanya seorang sopir.
“...he does not at all effect the gentleman in his speech, it may be inferred that his smart appearance is a mark of respect to himself and his own class, not to that which employs him” (Shaw, 1903: 378)

‘... ini menunjukan bahwa penampilanya yang rapi adalah tanda bahwa dia bangga akan dirinya dan kelasnya sendiri dan bukan akan majikannya. ‘

Hubungan harmonis antara majikan dengan bawahan menimbulkan komunkikasi dua arah yang saling membangun. Tidak akan ada rasa takut, bahkan Straker sering memberikan saran kepada Tanner. Jika kondisi ini bisa terwujud, maka tidak akan ada ketegangan antara kelas majikan dan buruhnya. Mereka akan mencintai dan bekerja sepenuh hati.
TANNER: (Working himself up into a sociological rage) “Is that any reason why you are not to call your soul your own? Oh, I protest against this vile abjection of youth to age! Look at fashionable society as you know it. ... “
.... I tell you, the first duty of manhood and womanhood is a Declaration of Indepnedence: the man who pleads his father’s authority is no man: the woman who pleads her mother’s authority is unfit to bear citizents to a free people....” (Shaw, 1903: 390).

TANNER: (Mengumbar amarah sosiologinya) ‘Apakah itu bisa dijadikan alasan untuk tidak mandiri dalam bersikap? Aku memprotes perbudakan yang dilakukan oleh orang tua terhadap orang muda! Lihat lingkungan pergaulan lkelas atasmu itu.’

Pernyataan tersebut merupakan ungkapan lugas akan ketidaksetujuan Tanner dengan Tuan Ramsden. Baginya, kebebasan dan kemandirian merupakan modal kehidupan yang paling penting bagi manusia. Kemandirian merupakan modal dalam menjalani hidup manusia. Orang yang masih bergantung pada orang lain ibarat hidup dalam penjara.
Tokoh Ramsden dalam drama Man and Superman merupakan representasi dari kaum burjois. Ia hidup dengan bergelimang harta. Karena hartanya itulah ia memiliki kedudukan terhormat dan berkuasa atas orang-orang yang ada di sekelilingnya.
“Roubck Ramsden is in his study opening the morning letters. The study, handsomely and solidly furnished, proclaims the man of means. Not a speck of dusts visible: it is clear that there are at least two housemaids and a parlormaid downstairs, and a housekeeper upstairs who does not let them spare elbow-grease. Even the top of Roubuck’s head is polished.” (Shaw, 1903: 333)
‘Roubck Ramsden sedang berada di ruang kerjanya, membukai surat-surat yang datang pagi itu. Perabotan yang mewah menunjukan bahwa pemiliknya adalah orang berada. Tidak setitik debu pun terlihat; setidaknya pasti ada dua orang pembantu dan seorang pelayan kamar dan kepala pelayan yang tidak akan membiarkan anak buahnya bermalas-malasan; bahkan kepala Ramsden pun licin mengkilat seperti di gosok.“

Deskripsi di atas merupakan gambaran orang-orang mapan masyarakat Inggris pada zaman itu. Kekayaan dan kedudukan seseorang dapat dilihat dari perabot rumah tangga dan para pelayan yang ada di rumah. Rumah dan pelayan merupakan simbol kehormatan seseorang. Ramsden adalah orang terdidik yang setiap saat bisa menikmati berbagai kemudahan-kemudahan.
Orang-orang kaya di dalam masyarakat Inggris memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat biasa, sebagaimana yang digambarkan dalam diri Ramsden yang selalu membaca koran. Kegiatan membaca koran hanya dilakukan orang-orang terdidik dan secara ekonomi mapan. Orang-orang miskin tidak memiliki waktu untuk membaca karena waktunya habis untuk mencari nafkah.
Gambaran Ramsden yang cukup sempurna ini menjadikannya memiliki pengaruh kuat terhadap orang lain, mampu menguasai golongan lain dengan mudah. Hal ini disebabkan oleh kesadaran kapitalis yang terjadi di dalam masyarakat Inggris pada masa itu. Kesempurnaan dan kehormatan hidup seseorang ditentukan oleh harta yang dimiliki, semakin kaya seseorang, maka ia akan menjadi panutan bagi orang-orang di sekelilingnya. Dengan kekayaannya, seseorang dapat mengendalikan sekelompok orang, meskipun tanpa memberikan uang. Orang-orang akan merasa segan, hormat dan mematuhi apa yang menjadi kehendak orang kaya.
“He is more than a highly respectable man: he is marked out as a president of highly respectable man, a chairman among directors, an alderman among councilors, a mayor among alderman.” (Shaw, 1903: 333).

‘Ia adalah ketua dari kumpulan orang-orang terhormat, presiden direktur dari pada direktu, penasehat utama dari para penasehat dan ketua dari para penasehat utama.’

Dalam masyarakat Inggris, penampilan menjadi sesuatu yang penting. Lewat penampilan, seseorang dapat diketahui kelas atau status sosialnya. Di dalam kehidupan sehari-hari, penampilan dijadikan ukuran bagi harga diri seseorang, hal ini merupakan salah satu ciri masyarakat kapitallis. Orang berlomba-lomba menunjukan status sosial mereka dengan barang-barang yang dimiliki.
Padahal, yang sesungguhnya bukanlah demikian. Penampilan hanyalah sebuah ilusi, yang berarti penampilan tidak bisa menjadi tolak ukur atau kedudukan seseorang.

Don Juan: “You see, Senora, the look was only an illusion. Your wrinkles laid, just as the plump smooth skin of many a stupid girl of 17, with heavy spirits and decrepit ideas, lies about her age. Well, here we have no bodies: we see each other as bodies only because we learn to think about one another under that aspect when we were alive; and we still think in that way; knowing no other. But we can appear to one another at what age we choose. You have but to will any of your old looks backs, and back they will come.” (Shaw, 1903: 424)

Don Juan: ‘Maka Anda sekarang bisa mengerti, Senora, kalau saya katakan bahwa penambilan hanyalah ilusi. Keriput anda tidak mengatakan yang sebenarnya tentang jiwa Anda, seperti juga wajah halus seorang gadis muda menutupi jiwanya yang berat seperti orang tua dan ide-idenya yang sudah kuno. Di Neraka kita tidak memiliki jasad. Kita melihat satu sama lain sebagai jasad. Kita melihat satu sama lain sebagai jasad karena itulah yang bisa kita lakukan pada waktu kita masih hidup dan kebiasaan itu masih terbawa ke sini. Kita bisa tampil dalam umur berapa pun yang kita mau. Anda tinggal menginginkannya saja, dan penampilan Anda yang dulu akan kembali.’ (Shaw, 1903: 424)

Sikap ingin menguasai juga dapat dicermati dari umur seseorang. Semakin tua seseorang, maka ia akan mendapat posisi yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang lebih muda. Orang yang lebih tua dianggap berpengalaman, kata-kata dan tindakannya sering dijadikan rujukan bagi kaum muda. Ini merupakan gambaran konsep Hegemoni atau kepemimpinan kaum tua yang terjadi di dalam masyarakat.
Ramsden tidak menghargai John Tanner sebagai partner dalam membimbing Ann. Hal ini merupakan bukti ketidakharmonisan hubungan antara kaum tua dengan kaum muda. Pemikiran Tanner dianggap belum mapan dan sangat berbahaya bagi masa depan Ann, bahkan Ramsden melarang Ann untuk membaca buku karya John Tanner.
RAMSDEN: “I’ll tell you, Octavious. (He takes from the table a book bound in red cloth). I have in my hand a copy of the most infamous, the most scandalous, the most mischievous, the most blackguardly book that ever escaped burning at the hands of the common hangman. I have not read it: I would not soil my mind with such filthe; but I have read what the papers say of it. The title is quite enough for me. (He reads it). The Revolutionist’s Handbook and Pocket Companion. By John Tanner, M.I.R.C., Member of the Idle Rich Class.” (Shaw, 1903: 337)

RAMSDEN: ‘Lihat ini, Octavius. (Ramsden mengambil sebuah buku berwarna mera dari atas meja) Aku sekarang sedang memgang sebuah eksempllar dari buku yang paling bejat, buku paling keji yang pernah lolos dari tangan sensor. Aku belum membacanya. Aku tidak akan pernah mau mengotori pikiranku dengan sampah seperti ini; tapi,aku sudah membaca apa kata koran tentang buku ini. Judulnya saja sudah cukup bagiku. (Ramsden membacanya) Buku Pegangan Revolusionis, oleh John Tanner, AKBM, Anggota Kelas Berada yang Malas.’ (Shaw, 1903: 337)


Ungkapan ini menunjukan penilaian sebuah karya anak muda yang dianggap membahayakan kekuasaan kaum tua. Kekhawatiran tersebut menunjukan bahwa gagasan adalah sesuatu yang paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Teori Hegemoni Gramsci mendukung asumsi tersebut. Sehingga setiap pemikiran yang berbahaya harus dijauhkan dari wacana atau pemikiran seseorang. Jika perlu publikasi yang dapat merusak konsep-konsep yang sudah mapan dihilangkan.
THE DEVIL: “You forget that brainless magnificence of body has been tried. Things immeasurably greater than man in every respect but brain have existed and perished. The megatherium, the ichthyosaurus have paced the earth with seven-league steps and hidden the dairy with cloud vast wings. ..... When I left I chalked up on the door the old nursery saying “Ask no questions and you will be told no lies.......” ( Shaw, 1903: 348)

Pernyataan tersebut menunjukan bahwa kekuatan pikiran lebih penting dibandingkan kekuatan fisik. Pikiran dapat menjadikan seseorang atau sekelompok orang mempertahankan posisinya sampai kapan pun. Pikiran membuat manusia menjadi satu-satunya makhluk yang dapat bertahan sepanjang jaman.
TANNER: “It’s all my own doing: that the horrible irony of it. He told me one day that you were to be Ann’s guardian; and like a fool I began arguing with him about the folly of leaving a young woman under the control of an old man with obsolete ideas.” (P. 5, L. 56)

Gambaran pertentangan antara Ramsden dengan John Tanner merupakan pergolakan batin antara kaum tua dengan kaum muda. Lebih jauh dari itu, pertentangan tersebut merupakan representasi dari ketegangan antara paham feodalistik dengan pemikiran revolusionis. Ramsden dapat diasosiasikan sebagai kaum tua yang merepresentasikan pemikiran-pemikiran feodalistik masyarakat Inggris, sedangkan John Tanner mewakili seorang revolusionaris yang berpikiran maju. Pemikiran John Tanner adalah produk dari perkembangan pemikiran Marxisme yang menentang klasifikasi kelas dan diskriminasi (Babak 3).
Gagasan merupakan sarana terpenting dalam memperoleh kekuatan dominasi (hegemoni). Hal ini diterapkan oleh John Tanner dalam mencapai kekuatan dominasi terhadap tokoh-tokoh lain. Ia menulis sebuah buku berjudul “The Revolutionist’s Handbook and Pocket Companion”. Buku tersebut selain berisi gagasan yang ingin disampaikan, juga sebagai bentuk kekuatan kecerdasannya (intelektual). Pada masa itu, seseorang yang menuliskan gagasannya akan dianggap sebagai orang yang cerdas sehingga pemikirannya akan selalu diikuti oleh orang lain.
Carl Boggs (1984) menyatakan bahwa untuk mencapai suatu kuasa hegemonik dalam tataran kultural-ideologis sebuah kelompok kuasa selalu berusaha untuk menjastifikasi kekuasaan, kekayaan, dan statusnya secara ideologis, dengan tujuan mengamankan penerimaan rakyat kebanyakan terhadap kekuasaan dominannya sebagai sesuatu yang alamiah. Cara lain adalah dengan menggunakan aparatus hegemonik—seperti media televisi, radio, maupun media cetak. Media tersebut dapat berfungsi sebagai media mempertegas kekuasaan dalam masyarakat (via Refianti, 2008:117). Hal ini menjadikan buku John Tanner dianggap berbahaya bagi pemikiran orang lain. Ramsden mengatakan “I would not soil my mind with such filth; but I have read what the papers say of it. The title is quite enough for me.” (Shaw, 1903: 337).
Di dalam pemikiran manusia, terutama dalam kaitannya dengan sebuah kepentingan (baik kepentingan individu maupun kelompok) merupakan representasi dari sebuah perjuangan politik. Pada dasarnya kehidupan seorang individu tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan orang-orang yang ada dalam komunitasnya. Karena itu, perbedaan kepentingan sering menyebabkan adanya benturan-benturan antarindividu, kadang antarkelompok tertentu. Hal ini melahirkan menjadikan adanya perjuangan bagi setiap individu dalam meraih idealisme. Perjuangan tersebut merupakan sebuah proses dinamika sosial yang harus dihadapi oleh setiap orang. Gottfried Keller (via Daiches, 1981: 368) menyatakan bahwa segala sesuatu adalah politik.
“... On the contrary, in his view-as n Balzac’s and Tolstoy’s –every action, thought and emotion of human beings is inseparablly bound up with the life and strugles of the community, i.e., wth politic; whther the humans themselves are conscous of this, unconscious of it or even trying to escape from it, objectively their actions, thoughts and emotions nevertheless spring from and run into politics.”

Menurut pendapat tersebut, pemikiran yang tertuang secara tertulis (meskipun tidak secara terang-terangan) memiliki keberpihakan secara politis. Pada umumnya setiap pemikiran dan setiap gagasan merupakan implikasi dari suatu perjuangan politik dari penulisnya. Pemikiran atau gagasan tersebut mendorong atau mempengaruhi seseorang melakukan sesuatu sebagaimana yang diwacanakan.
“The authors identify three factors critical to social movements: political opportunity, organizational capacity, and framing ability. They look at social movements as politics by other means, often the only means open to relatively powerless challenging groups. They argue for the constancy of discontent and emphasize the variability of resources in accounting for the emergence and development of insurgency. A reliable model of social change, they say, must be able to account for both micro and macro phenomena, and be able to explain not only the emergence but the maintenance and development of social movement organizations .”


Pertentangan anatara kaum tua dengan kaum muda dijabarkan kembali dalam babak ke empat atau babak terakhir. Dalam babak ini digambarkan pertentangan Hektor dengan ayahnya, Malon. Pertentangan tersebut bermula ketika Melon membuka surat rahasia Hektor. Hektor marah besar kepada ayahnya karena merasa privasinya dilanggar. Hector beranggapan bahwa sebuah surat pribadi adalah sebuah rahasia yang tak seorang pun boleh membukanya kecuali yang berhak membacanya.
HECTOR: “Well, you’ve just spoiled it all by opening that letter. A letter from an English lady, not addressed to you—a confidential letter! A delicate letter! A private letter! Opened by my father! That’s a sort of thing a man can’t struggle againtst in England. The sooner we go back together the better. (He appeals mutelly to the heavens to witness the shame and anguish of two outcasts).” (Shaw, 1903: 484)

HECTOR: ‘Dan Bapak merusak semua yang telah dibeli dengan uang itu dengan membuka surat itu. Pak, surat dari seorang nona Inggris yang tidak dialamatkan kepada Bapak adalah surat p-r-i-b-a-d-i, Pak. Surat penting yang penuh dengan curahan perasaan harus dijaga kerahasisaanya. Dan Bapak sekarang malah membukanya. Waduh, wadu, waduh! Kesalahan seperti ini tidak termaafkan, Pak, di Inggris. Lebih cepat kita pulang lebih baik. (memohon dengan membisu kepada langit supaya mau menjadi saksi bagi kedua ekspatriat ini).’

Hektor menegaskan lagi kekesalannya dengan pernyataan;
HECTOR: “I’m very sorry, Miss Robinson; but I’m contending for a principle. I am a son, and, I hope, a dutiful one; but before everything I’m a Man!!! An when dad treats my private letters as his own, and takes it on himself to say that I shan’t marry you if I am happy and fortunate enough to gain your consent, then I just snap my fingers and go my own way.” (Shaw, 1903: 485).

HECTOR: ‘Saya sangat menyesal, Nona Robinson. Tapi, saya sedang membela prinsip saya. Saya adalah seorang anak dan saya harap saya adalah anak yang cukup berbakti. Tapi, di atas semua itu saya adalah seorang laki-laki! Dan jika ayah saya bertindak seenaknya sendiri dan memperlakukan surat saya seolah-olah suratnya sendiri dan melarang saya menikahi anda seandainya saya cukup beruntung untuk mendapatkan kesediaan anda, apa lagi yang harus saya lakukan kecuali pergi?’

Ungkapan tersebut di atas menunjukan suatu pertentangan yang dilakukan oleh seorang anak laki-laki terhadap orang tuanya. Secara jelas Hector menyatakan bahwa dia adalah seorang laki-laki. Hal ini mengindikasikan bahwa menurut pendapatnya laki-laki memiliki kebebasan dan kemandirian, ia tidak dapat disamakan dengan anak perempuan. Baginya, pengikatan atau pengaturan adalah pemasungan yang harus dihindarkan karena kebebasan merupakan kunci kemandirian dan harga diri seseorang.
Pertentangan yang dilakukan oleh Hector sebenarnya bukan semata-mata persoalan privasi, namun di dalamnya terdapat nilai budaya yang mengindikasikan perubahan cara pandang orang tua terhadap kehidupan. Kaum tua umumnya lebih mempertimbangkan aspek keturunan di dalam menentukan pendamping hidup bagi anak-anak mereka. Bagi mereka, keturunan bangsawan atau orang kaya dapat mengangkat harkat dan martabat bagi keluarga. Oleh karena itu jika anak-anak mereka akan menikah tidak bisa dilakukan dengan sembarang orang, tetapi harus mempertimbangkan latar belakangnya.
Hal itu berbeda dengan pandangan kaum muda yang lebih modern. Aspek keluarga atau keturunan tidak begitu diperhatikan, yang paling penting bagi mereka adalah faktor suka sama suka. Dengan demikian, seorang anak bangsawan dapat saja menikah dengan anak petani atau buruh biasa. Konsep ini akan menghilangkan sekat-sekat sosial yang dapat merusak hubungan antara golongan.
VIOLET: “What objection have you to me, pray? My social position is as good as Hector’s, to say the least. He admits it.” (Shaw, 1903: 481).

VIOLET: ‘Dan mengapa anda tidak setuju Hector menikah dengan saya? Status sosial saya setara dengan Hector. Itu setidaknya. Dia mengakuinya.’ (Shaw, 1903: 481).

Idealisme yang dibangun kaum muda sebenarnya sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Pertimbangan bibit, bobot dan bebet tidak lagi menjadi hal urgen. Pertimbangan-pertimbangan tersebut hanya akan mempersulit kehidupan seseorang.
Sikap atau tindakan yang dilakukan Malone terhadap Hector merupakan bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak. Dalam benak Malone, mendidik anak bukan hanya sampai mereka dewasa, tetapi sampai akhir hayatnya, termasuk ketika anak-anak mereka sudah menikah. Kebutuhan nafkah selalu diberikan kepada anak-anak mereka, termasuk memberikan semua fasilitas bekal kehidupan keluarga anak-anak mereka.
MALONE: (shrewdly) “You tell him so from time to time, eh? Hector’s social position in England, Miss Robinson, is just what I choose to buy fro him. I have made him a fair offer. Let him pick out the most historic house, castle or abbey that England contains. The day that he tells me he wants it for a wife worthy of its traditions, I buy it for him, and give him the means of keeping it up.” (Shaw, 1903: 481).

MALONE: ‘Rupanya itu yang anda katakan padanya, bahwa dia setara dengan anda? Dengar baik-baik, Nona Robinson, siapa Hector di Inggris adalah apa yang saya beli untuknya di Inggris. saya memberinya tawaran yang adil. Dia bisa mencari rumah terkuno, yang paling bersejarah, yang paling bergengsi, dan yang paling apa saja yang ada di Inggris; dan pada hari dimana dia mengatakan bahwa dia memerlukannya untuk seorang istri yang selaras dengan tradisi rumah itu, saya akan membelinya untuknya dan memberikan dana untuk merawatnya.’ (Shaw, 1903: 481).

Malone tidak menginginkan keturunannya hidup sengsara sebagaimana yang dialami oleh nenek atau orang tua ayahnya. Awalnya keluarga besar ini hidup miskin, namun berkat perjuangan Malone, keluarga ini memiliki status sosial yang mapan. Pengalaman ini menjadikan Malone merasa harus mengawal kehidupan anaknya sampai mereka benar-benar mapan. Dengan demikian, kualitas kehidupan keturunannya tidak merosot karena kesalahan dalam memilih pasangan hidup.
MALONE: “His grandmother was a barefooted Irish girl that nued me by a turf fire. Let him marrry another such, and I will not stint her marriage portion. Let him raise himself socially with my money or raise somebody else: so long as there is a social profit somewhere, I’ll regard my expenditure as justified. But there must be a profit for someone. A marriage with you would leave thins just where they are.” (Shaw, 1903: 481).

MALONE: ‘Nenek Hector adalah wanita petani Irlandia yang tidak punya alas kaki yang menyusui saya di dekat perapian. Jika dia menikah dengan wanita seperti yang saya katakan tadi saya tidak akan mengutak-atik apa yang sudah saya sediakan untuknya. Jika dia ingin menaikan derajat sosialnya dengan uang saya atau mengangkat orang lain, asalakan ada keuntungan sosial yang bisa didapat, saya anggap saya tidak mengeluarkan uang dengan sisa-sia. Tapi, perkawinan dengan anda tidak akan mengubah apa-apa. Untuk apa saya keluar uang?’

VIOLET: ‘Sekalipun saya bukan wanita bangsawan, banyak dari sanak keluarga saya saya yang keberatan kalau saya menikahi cucu seorang wanita dari desa. Mungkin itu Cuma sekadar prasangka, tapi keinginan anda agar dia menikai sebuah gelar pun juga merupakan prasangka.’ (Shaw, 1903: 205).

Kepercayaan dan rasa tanggung jawab Malone ditolak oleh Hector dengan alasan dirinya bisa mandiri. Ia tidak mau menggadaikan kemerdekaannya dengan sebuah alasan ekonomi. Baginya, kemerdekaan merupakan harga yang tidak dapat ditawar-tawar, karena kemerdekaan merupakan modal seseorang menentukan kehidupannya sendiri.
HECTOR: (mengeluarkan kertas dari buku sakunya) ‘Ini ceknya. (memberikannya kepada ayahnya) Bapak ambil kembali cek ini. Aku sudah cukup mendapat jatah dan saya tidak ada urusan lagi dengan bapak. Aku tidak akan menjual kesempatan untuk menghina istriku dengan harga 1.000 dolar atau berapa pun.’ (Shaw, 1903: 212).


2.4 Simpulan
Setelah memahami secara mendalam drama Man and Superman, dapat penulis simpulkan bahwa drama ini merupakan bagian dari sebuah perjuangan politik GBS. Perjuangan politik yang ditekankan di dalam drama ini mengenai posisi perempuan yang sangat lemah di dalam masyarakat. Posisi tawar yang lemah tersebut menjadikan kaum perempuan korban kebijakan dari kaum laki-laki.
Persoalan yang tergambar di dalam drama Man and superman merupakan kriti pedas bagi para penguasa terutama bagi para pemegang status quo, mereka memiliki pandangan kolot akan kehidupan dan kebersamaan. Pada zaman moderen ini pengekangan dan pembatasan gerak seseorang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihilangkan. pengekangan akan menghambat perkembangan seseorang. Kebebasan merupakan hal terpenting di dalam meraih keberhasilan dalam kehidupan dewasa ini.
Persoalan hegemoni tersebut di atas sebenarnya masih sekedar hegemoni dominan, masih ada beberapa aspek hegemoni lain yang ingin disampaikan George Bernard Shaw. Peneliti sengaja memilih pokok persoalan tersebut karena peneliti anggap sebagai konsep hegemoni terpenting di dalam dinamika sosial politik masyarakat Inggris yang saat itu sedang mengalami transisi dari masyarkat petani ke dalam masyarakt industri.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat ditarik simpulan bahwa ekonomi bukan merupakan aspek terpenting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, tetapi ide-idelah yang merupakan faktor terpenting. Di dalam kehidupan moderen, ideologi merupakan aspek terpenting di dalam menguasai dinamika perubahan sosial. Perubahan sosial diperjuangkan melalui sebuah perjuangan kebudayaan atau lebih tepatnya perjuangan ideologis, yaitu melalui ilmu pengetahuan, budaya, filsafat, dan seni. Faktor-faktor tersebut akan menentukan kemenangan suatu kelas sosial.

PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat tidak akan pernah lepas dari ketegangan-ketegangan. Ketegangan tersebut disebabkan adanya perbedaan kepentingan setiap individu, demikian juga antarkelompok-kelompok sosial maupun kelas-kelas sosial. Karl Mark menyatakan bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelas sosial, yaitu pemilik modal dan kaum buruh (via Magnis-Suseno 2000: 116). Dengan istilah lain pemilik modal adalah penguasa, sedangkan kaum buruh adalah yang dikuasai. Kedua kelas sosial ini memiliki kepentingan yang berlawanan satu dengan yang lainnya. Kondisi inilah yang menimbulkan adanya persaingan dalam memperebutkan pengaruh, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompok yang diwakili.
Perebutan kekuasaan atau perebutan pengaruh masing-masing individu atau masing-masing kelompok sosial merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Dinamika seperti ini akan lahir di seluruh lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Secara individu, manusia memiliki tekad untuk lebih baik atau lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Dengan demikian, setiap individu dalam suatu masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu berlomba untuk mendapatkan kekuasaan. Demikian juga, setiap individu akan hidup perkelompok-kelompok sesuai dengan kepentingan individu tersebut. Masing-masing kelompok sosial tersebut berusaha mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari kelompok lain yang ada dalam masyarakat.
Kekuatan ekonomi merupakan fondasi dasar dari perjuangan manusia di dalam mempertahankan hidup maupun di dalam mempertahankan kekuasaannya. Faktor ekonomilah yang paling mempengaruhi pola pikir, tingkah laku dan pergaulan hidup manusia di dalam masyakat. Marx menyebutkan bahwa everything in our live is determined by capital (via Lukacs, 1919). Hal ini mengindikasikan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan manusia ditentukan oleh modal atau kekuatan ekonomi. Kepemilikan atau kekayaan individu dianggap sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan perhatian dari kelompok lain. Dengan ekonomi, orang dapat membeli apa saja yang dikehendaki. Itulah sebabnya di dalam Marxisme, ekonomi dianggap sebagai penentu kehidupan sosial.
Seiring dengan perkembangan budaya manusia, ekonomi ternyata bukan satu-satunya penentu status sosial atau pendorong perubahan sosial. Media perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dapat juga dilakukan dengan penguasaan ide-ide atau ideologi. Dengan istilah lain, aspek superstruktur lebih penting dibandingkan dengan struktur dasar (Scheidel, 2006). Gagasan mengenai pentingnya penguasaan ideologi ini dicetuskan oleh Antonio Gramsci yang terkenal dengan istilah Hegemony. Dalam konsep ini gagasan atau ide-ide memiliki kedudukan yang sangat penting karena faktor itulah yang dianggap sebagai penggerak adanya perubahan sosial. Stephen Bantu Biko menyatakan bahwa “the most potent weapon in the hands of the oppressors is the mind of the oppressed” . Dalam konteks ini yang dimaksud dengan hegemoni adalah kepemimpinan atau penguasaan terhadap pemikiran-pemikiran (the dominance or leadership of one social group or nation over others )
Gramsci mengembangkan teori Marxisme mengenai dominasi ekonomi ke dalam persoalan-persoalan ideologis. Ia memandang bahwa persaingan atau perebutan kekuasaan bukan semata-mata karena persoalan ekonomi, tetapi dapat juga disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan ideologis. Dengan demikian, perebutan kekuasaan bukan hanya dipicu oleh persoalan ekonomi, tetapi juga karena perbedaan jenis kelamin, status sosial, dan perbedaan keyakinan. Untuk itulah Gramsci memandang aspek ekonomi sebagai salah satu aspek terkecil saja, meskipun Gramsci sendiri tidak menolak kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam konsep Marxisme.
Kekuasaan atas ekonomi, intelektualitas, dan perangkat hegemonik lainya merupakan usaha manusia untuk mendapat pengakuan atau dominasi terhadap manusia lain. Paul W. Cumming menyatakan bahwa alasan orang mencari kekuasaan adalah karena; (1) orang ingin memanipulasi atau mengendalikan orang lain dalam organisasi, (2) orang haus akan ketaatan dan kepatuhan dari orang lain agar menuruti segala perintahnya, dan (3) orang memiliki hasrat besar untuk selalu dicap berjasa . Sifat-sifat manusia seperti inilah yang digambarkan dalam drama Man and Superman.
Drama Man and Superman merupakan karya sastra yang menggambarkan adanya dinamika hegemoni. Persoalan-persoalan yang terdapat dalam drama ini sangat terkait dengan perebutan kekuasaan (kepemimpinan, pengaruh) dalam kehidupan; baik secara individu maupun sosial. Drama Man and Superman menggambarkan pentingnya penguasaan ide-ide atau intelektualitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ide-ide yang terdapat di dalam drama ini sebagai sebuah pemikiran terhadap persoalan hegemoni di dalam kehidupan masyarakat.
Di dalam drama Man and Superman terdapat tiga persoalan utama mengenai konsep hegemoni. Konsep hegemoni yang dimaksud adalah: hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan, hegemoni penguasa terhadap rakyatnya (negara politik dan masyarakat sipil), dan konsep hegemoni antara kaum tua terhadap kaum muda (intelektual versus masyarakat biasa).
Hegemoni kaum laki-laki terhadap perempuan dilakukan oleh Ramsden terhadap tokoh Ann Whitefield. Sebagai anak perempuan, Ann menjalani kehidupannya penuh dengan peraturan-peraturan yang sangat mengekang kehidupannya. Gerak hidup Ann dibatasi berbagai ketentuan yang dibuat oleh orang tuanya. Ketentuan tersebut berkisar pada aktivitas di luar rumah, teman pergaulan (pendamping hidup), dan buku bacaan yang selalu diawasi.
Tokoh Ann dalam konteks ini bukan semata-mata hanya menyangkut persoalan individu atau keluarga, tetapi dapat juga diartikan sebagai persoalan politis. Tokoh Ann dapat merepresentasikan kaum perempuan dimana pun yang mengalami kehidupan yang hampir sama. Oleh karena itu, persoalan dominasi kaum laki-laki atas perempuan merupakan bagian dari isu-isu hegemoni gender dalam masyarakat.
Selain persoalan perempuan, drama ini menggambarkan adanya dominasi yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Penguasa sebagai pemegang kekuasaan seringkali menggunakan kedudukan dan wewenangnya untuk memperdaya rakyatnya. Dengan kekuasaan, penguasa membuat aturan atau kebijakan yang sering tidak menguntungkan bagi rakyat, tetapi menguntungkan bagi golongan tertentu yang dianggap mendukung atau menjaga kepentingan pihak penguasa. Dengan kata lain, para penguasa adalah pemerintahan yang pamrih agar kedudukannya langgeng (Bocock, ).
Dalam persoalan hegemoni, pemerintah selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat, meskipun apa yang diperjuangkan itu semata-mata karena ingin mendapat dukungan dari yang dikuasai. Pada tataran ini penguasa berusaha mempertahankan status quenya. Oleh karena itu, dengan berbagai cara para penguasa mencoba mencari dukungan atau simpati dari rakyat yang dikuasainya.
Perebutan kekuasaan atau hegemoni (dominasi) dapat disebabkan oleh adanya perbedaan umur. Di dalam drama ini terdapat pertentangan antara kaum tua dengan kaum muda. Dominasi atau hegemoni yang dilakukan oleh kaum tua disebabkan oleh pengalaman yang dimiliki kaum tua. Kaum tua menganggap bahwa kaum muda belum memiliki banyak pengalaman, sehingga keputusan-keputusan mereka tidak akan pas sebagaimana yang diputuskan oleh orang yang sudah berpengalaman (kaum tua). Di dalam sejarah masyarakat Inggris, ketimpangan antara kaum tua dengan kaum muda sangat mencolok. Sebagai negara yang berbasis pada pemerintahan feodal, Inggris memiliki budaya mengagungkan orang-orang yang dituakan.
Dalam kaitannya dengan persoalan perebutan pengaruh antara kaum tua versus kaum tua, hal ini sangat berkaitan erat dengan intelektualitas. Hegemoni Gramsci sangat mengedepankan intelektualitas manusia, sehingga kaum tua yang dianggap lebih berpengalaman juga menganggap diri mereka intelek. Padahal dalam konteks ini intelektualitas tidak berkaitan dengan umur. Drama Man and Superman merupakan drama modern yang menggambarkan bahwa pendidikan merupakan sarana memperoleh dominasi dalam bidang intelektual.
Dari tiga tipologi hegemoni tersebut di atas, penelitian ini akan mencoba mengungkapkan persoalan-persoalan dalam drama Man and Superman berkenaan dengan konsep hegemoni Gramsci. Sebagai sebuah karya sastra yang ditulis oleh seorang aktivis politik, peneliti yakin bahwa apa yang terungkap dalam drama ini merupakan gagasan politik yang diidealisasikan oleh pengarangnya. Untuk itulah penelitian ini juga diharapkan dapat mengungkap konteks situasi atau kondisi sosial politik yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebtu.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini akan mencari akar persoalan terjadinya konflik sosial yang terjadi di dalam drama Man and Superman. Kemudian persoalan tersebut dibawa dalam ranah masyarakat nyata, yaitu persoalan yang ada di dalam masyarakat Inggris. Apakah persoalan perebutan kekuasaan dan hegemoni yang tergambar di dalam masyarakat Inggris benar-benar merupakan cerminan yang terjadi di dalam masyarakat sesungguhnya? Apa tujuan penulis karya ini mengungkapkan persoalan-persoalan tersebut? Dan terakhir bagaimana keterkaitan antara persoalan hegemoni yang terdapat dalam karya sastra dengan yang terdapat di dalam masyarakat Inggris? Untuk itulah agar arah dari penelitian ini lebih jelas, berikut bebebarapa pokok persoalan yang akan ditulis dalam penelitian tesis ini.
1). Perebutan kekuasaan dan wacana hegemoni dalam drama Man and Superman.
2). Konteks sosial politik masyarakat Inggris dalam kaitannya dengan persoalan hegemoni yang ada di dalam karya tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini bertujuan menerapkan teori Hegemoni Gramsci terhadap drama Man and Superman karya George Bernard Shaw. Dengan pemahaman tersebut diharapkan dapat mengungkap kondisi sosial politik masyarakat Inggris yang melatari lahirnya karya sastra tersebut. Menurut Gramsci karya sastra tidak terpisah dengan masyarakat, karya sastra merupakan bagian penting dari proses perubahan sosial. Sastra memiliki misi atau kekuatan formatif terhadap perubahan masyarakatnya, sehingga apa yang terdapt dalam karya sastra merupakan reaksi dinamika sosial itu sendiri. Itulah sebabnya, sesuatu yang terjadi dalam karya sastra tidak bisa lepas dari kondisi di dalam masyarakat. Untuk itu penelitian ini bertujuan memberikan sumbangan pemikiran bagi penerapan teori Hegemoni Gramsci, khususnya dalam karya sastra. Hasilnya diharapkan dapat lebih memperkaya pengetahuan tentang penelitian karya sastra yang menggunakan teori Hegemoni Gramsci.

1.3.1. Tujuan Praktis
Secara praktis penelitian ini bertujuan memberikan alternatif pemahaman drama Man and Superman dalam konteks hegemoni. Dengan cara seperti itu diharapkan pemahaman dan wawasan pembaca mengenai karya sastra bertambah. Hal ini dikarenakan masih minimnya penelitian mengenai karya sastra ini di Indonesia. Disamping itu, pemahaman ini diharapkan merangsang penelitian-penelitian lain dan meningkatkan apresiasi terhadap karya-karya George Bernard Shaw sebagai seorang sastrawan pemenang nobel pada tahun 1925. Akhirnya semoga penelitian ini dapat menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan saat ini. Dengan demikian pesan moral yang sangat penting dapat disebarluaskan melalui penelitian ini.

1.4. Tinjauan Pustaka
Buku atau hasil penelitian yang membicarakan karya-karya George Bernard Shaw masih sangat jarang di negeri ini. Kalaupun ada penelitian yang dilakukan mahasiswa lebih banyak pada karya George Bernard Shaw berjudul Pygmalian. Padahal menurut beberapa sumber, drama Man and Superman merupakan karya yang paling berpengaruh dari seluruh karya GBS (Jenny Jobson /http://www.galtonisnstitute.org.uk/Newsletters/GINL0406/language_of _degeneration.htm).
Hasil ulasan yang fokus pada Man and Superman adalah sebuah uraian mengenai analisis tokoh-tokoh drama tersebut. Analisis yang dilakukan oleh Wade Bradford (http://plays.about.com/od/monologues/a/superman Act04/_2.htm) itu menekankan pada analisis tokoh dalam kaitanya dengan karakteristik masyarakat Inggris. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa tokoh Ramsden dianggap sebagai tokoh yang merepresentasikan kaum tua masyarakat Inggris. Inggris sebagai negara yang berbasis kerajaan, sangat mengagungkan atau patuh pada kaum tua. Kaum tua memiliki hak-hak istimewa tersendiri sehingga semua keputusan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kaum tua. Sebagai akibat dari pandangan tersebut, kaum muda memiliki keterbatasan-keterbatasan, tidak dapat mengambil keputusan yang baik bagi kehidupan mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya pertentangan antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum muda yang direpresentasikan dengan tokoh John Tanner ingin mendobrak kekakuan dan keterbelakangan pemikiran kaum tua yang sangat membelenggu kemajuan masyarakat Inggris pada saat itu.
Analisis lain mengenai Man and Superman dilakukan oleh Richard Connema yang dimuat di http://www.talkinbroadway.com/regional/sanfran/s927.html. Connema beranggapan bahwa tokoh John Tanner adalah gambaran dari George Bernard Shaw itu sendiri. Ia menggunakan pendekatan ekpresif yang menganggap karya sastra sebagai ekpresi dari pengarangnya. Menurutnya, apa yang dikemukakan oleh John Tanner, tokoh utama drama tersebut, merupakan pemikiran-pemikiran idealistik mengenai individu dan masyarakat yang diidamkan oleh George Bernard Shaw.
Menurut Richard Connema, drama Man and Superman merupakan drama komedi yang cukup brillian. Pasalnya GBS mampu mengkombinasikan persoalan-persoalan keluarga, seks, dan gender menjadi isu politis yang mengena dan berkaitan dengan masyarakat, drama ini merupakan sindiran halus terhadap kebobrokan moral masyarakat Inggris pada masa itu.
Penelitian atau tulisan mengenai drama Man and Superman yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Jenny Jopson (http://www.galtonisnstitute.org.uk/Newsletters/GINL0406/language_of _degeneration.htm). Penelitian tersebut berjudul The Language of Degeneration: Eugenic Ideas in The Time Machine by H.G. Wells and Man and Superman by George Bernard Shaw. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa drama Man and Superman sangat dekat dengan idealisme yang ingin dibangun oleh penulisnya. GBS adalah seorang aktivis politik, maka gagasan drama tersebut sesungguhnya merupakan propaganda yang diperjuangkan oleh GBS. Namun perlu diingat apa yang disampaikan Jopson di sini berkaitan dengan gerakan atau organisasi British Euginic Moverment. Jopson menyebutkan bahwa GBS dan Wells adalah aktivis organisasi tersebut.
Lebih lanjut, Jopson menyebutkan bahwa drama Man and Superman dapat dipahami sebagai suatu penjabaran atau interpretasi terhadap gagasan Charles Darwin terhadap The Origin of Species (1859). Dalam kontek ini, GBS menyadari adanya persaingan (pertarungan) antara individu dalam kehidupan. Konsep tersebut terinspirasi dari gagasan Darwin terhadap “The inferior (disadvantaged) members of the same species would gradually die out, leaving only the superior (advantaged) members of the species”, yang lemah akan selalu tertindas dan tersingkirkan.
Menurut hasil pembacaan Jenny Jopson, Man and Superman merupakan idealisme GBS mengenai manusia sesungguhnya. Menurutnya jika agama tidak bisa memberikan kedamaian pada umat manusia, maka para ilmuan sosial adalah solusi yang dapat memberikan jalan keluar atas perpecahan antarmanusia tersebut. Jenny Jopson menginterpretasikan hal tersebut melalui kalimat “If there were no God….it would be necessary to create him(p. 215)”. Ungkapan tersebut menunjukan bahwa pemikiran manusia dapat melakukan hal yang terbaik bagi kehidupan manusia.

1.5. Landasan Teori
Teori Hegemoni Gramsci merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai (Hoare, 2000:vi; Sugiono, 1999: 20). Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas Marxisme dalam kaitannya dengan lahirnya konsep Hegemoni. Pemahaman akan teori Marxisme dapat mempermudah kita memahami konsep hegemoni, karena pada dasarnya kedua paradigma ini saling melengkapi.
Marx membagi lingkup kehidupan manusia menjadi dua yaitu infrastruktur (basis/dasar) dan superstruktur (bangunan atas) (Barry, 1995:158). Infrastruktur adalah bidang produksi kehidupan material, sedangkan superstruktur terdiri atas dua unsur, yaitu tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif. Tatanan institusonal merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi, terutama sistem hukum dan negara. Di sisi lain, tatanan kesadaran mencakup segala sistem kepercayaan, norma, dan nilai yang memberi kerangka pengertian makna dan orientasi spiritual (pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai budaya, seni, dan sebagainya). Superstruktur ditentukan oleh infrastruktur, dan infrastruktur dibentuk oleh dua faktor, yaitu tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produktif (Magnis-Suseno, 1999:135-148).
Dalam teori kelas Marx terdapat tiga usur penting. Pertama, besarnya peran struktural dibandingkan dengan segi kesadaran dan moralitas. Kedua, perbedaan kepentingan antara kelas atas dan kelas bawah yang menyebabkan perbedaan sikap terhadap perubahan sosial. Kelas atas (dominan) cenderung bersikap konservatif, sedangkan kelas bawah (subaltern) bersikap progresif dan revolusiner. Kelas atas berkepentingan mempertahankan status quo, menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Sebaliknya, kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Ketiga, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melaui revolusi (Magnis-Suseno, 1999: 117-119).
Simon (2001:19-20) menyatakan bahwa titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni berkaitan dengan adanya suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Price, Gramsci menggunakan centaur mitologi Yunani yang menganggap kehidupan manusia adalah setengah binatang dan setengah manusia. Aktivitas manusia merupakan tindakan politik-kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan mempertimbangkan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Dalam beberapa paragraf dari karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata direzione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan hegemonia (hegemoni) dan berlawanan dengan dominazione (dominasi).
Teori hegemoni dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik (Sugiono, 1999:31-34). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik memiliki arti agar yang dikusai mematuhi penguasa, sedangkan yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu, mereka harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksudkan Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”. Di pihak lain, penggunaan kekuatan hanya merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat inkorporasi kelompok yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa.
Secara literal, hegemoni berarti “kepemimpinan” (Faruk, 1999: 63), yaitu suatu kondisi dimana suatu kelompok mendominasi kelompok lain. Istilah ini lebih sering digunakan oleh para komentator politik untuk menunjukan dominasi. Konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kutural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat; suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinanya sebagai suatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa.
Dalam pemikiran Hegemoni Gramsci, ada istilah Fungsionaris Hegemoni yang dapat diartikan sebagai media untuk menanamkan pemahaman sehingga dapat dijadikan legitimasi dominasi. Pendidikan, intelektualitas, dan berbagai macam bentuk kebudayaan tinggi dan popular (termasuk ideologi, kepercayaan, dan common sense) merupakan perangkat hegemonik (Faruk, 1999: 63). Hal ini membedakan pemikiran Gramsci dengan aliran Marxis Ortodoks. Marxis Ortodoks menekankan pentingnya peranan represif dari negara dan masyarakat kelas, Gramsci memperkenalkan dimensi “masyarakat sipil” untuk melokasikan cara-cara kompleks yang di dalamnya “kesetujuan” pada bentuk-bentuk dominasi yang diproduksi.
Menurut Faruk (1999:65), setidaknya ada enam konsep kunci dalam pemikiran Gramsci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual, dan negara. Keenam kata kunci ini menunjukan bahwa yang menjadi inti pemikiran Gramsci dalam menentukan kepemimpianan adalah moral dan intelektual. Hal ini berbeda dengan yang terdapat dalam bentuk-bentuk analisis Marxis yang lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai macam cara yang di dalamnya kepemimpinan sudah dibangun secara historis. (Faruk, 1999: 63).
Superstruktur menurut Gramsci bukanlah semata-mata sebagai sebuah epifenomena atau refleksi (Sugiono, 1999:34). Dari elemen infrastruktur seperti yang dikemukankan oleh Karl Marx, Gramsci justru mengkarakterisasi superstruktur sebagai sesuatu yang penting dengan sendirinya. Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan dari mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya sehingga hegemoni mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh (Simon, 2001: 21).
Gramsci mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana dikemukakan Lenin) menjadi sebuah konsep (seperti halnya konsep Marxisme tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas, dan negara) yang menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya. Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaanya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi (Semon, 2001: 22).
Menurut Gramsci, revolusi fisik yang terjadi di Perancis tidak akan terjadi kalau sebelumnya tidak terjadi revolusi ideologis. Revolusi ideologis merupakan pencerahan yang membangkitkan gerakan perubahan dalam suatu masyarakat. Pencerahan, bagi Gramsci, merupakan revolusi yang luar biasa dalam dirinya sendiri. Filsafat tersebut memberikan suatu semangat borjuis internasional dalam bentuk kesadaran terpadu, suatu kesadaran yang sensitif terhadap seluruh nasib masyarakat umum pada seluruh Eropa. Pendek kata, revolusi sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi ideologis.
Revolusi kebudayaan tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan melibatkan berbagai faktor kultural tertentu yang memungkinkan revolusi tersebut terjadi (Faruk, 1994: 66-67). Oleh karena itu dalam mendapatkan kekuasaan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Penanaman ideologi melalui gagasan membutuhkan waktu yang cukup lama karena melalui proses yang cukup panjang. Namun demikian, perubahan yang diakibatkan dari sebuah kesadaran ideologis lebih penting dan lebih bermakna dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Gramsci, ada suatu keterkaitan yang penting antara kebudayaan dengan politik, meskipun pertalian itu lebih jauh daripada pertalian yang sederhana dan mekanis. Kebudayaan dibagi menjadi bermacam-macam bentuknya, misalnya kebudayaan “tinggi” dan “rendah”, kebudayaan elit atau popular, filsafat atau common sense; dan dianalisis dalam batas-batas efektivitasnya dalam merekatkan bentuk-bentuk kepemimpinan yang kompleks. Gramsci menolak konsepsi Marxis yang lebih dasar dan lebih ortodoks mengenai “dominasi kelas” dan menyukai satu pasangan konsep yang lebih tinggi dan bernuansa, yaitu “kesetujuan”. Gramsci fokus pada cara-cara yang kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, dan ideologis yang bekerja untuk merekatkan masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif, meskipun tidak pernah lengkap. Gramsci membuat hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan. Dia mempersoalkan wilayah common sense yang dianggap lugu dan spontan, menginterogasi jajaran luas bentuk-bentuk kultural dari yang “tertinggi” sampai yang “terendah” dan menerangkan situs-situs historis dan politis dari interaksi dan formasinya.
Gramsci memilah superstruktur menjadi dua level struktur utama, yang pertama masyarakat sipil dan yang kedua masyarakat politik atau negara. Masyarakat sipil mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut swasta, seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya. Sebaliknya, masyarakat politik adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah” secara yuridis, seperti tentara, politisi, pengadilan, birokrasi, dan pemerintahan. Kedua level superstruktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda, yaitu ranah persekutuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat politik (Suginono, 1999: 35).
Negara bagi Gramsci sama dengan masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni yang dilindungi baju besi koersi; kombinasi kompleks antara hegemoni dan kediktatoran. Dengan kata lain, hal itu merupakan gabungan antara aparatus koersif pemerintah dengan aparatus hegemonik instansi swasta. Hubungan hegemonik ditegakan jika legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri kelompok subordinat (subaltern) sehingga lahirlah konsensus. Dengan begitu, penggunaan kekuasaan koersif oleh negara tidak penting lagi (Sugiono, 1999: 36-37).
Menciptakan hegemoni baru hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola berfikir dan pemahaman masyarakat, “konsepsi mereka tentang dunia”, serta norma perilaku moral masyarakat. Kelas hegemonik diyakini bertindak bagi kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Konsep hegemoni dengan demikian pengaplikasiannya melibatkan konstelasi kekuatan sosial politik yang disebutnya dengan blok historis, merupakan hubungan resiprokal antara wilayah aktivitas politik, etik, ataupun ideologis dengan wilayah ekonomi. Tanggung jawab untuk membangun blok historis ada dipundak “intelektual organik”. Setiap intelektual kehadirannya terakit dengan struktur produktif dan politik masyarakat, dengan kelompok atau kelas yang mereka wakili. Intelektual organik adalah fungsionaris atau deputi kelompok penguasa (Sugiono, 1999: 42).
Untuk meraih kekuasaan, Gramsci membedakan dua strategi, yaitu perang gerakan atau perang manuver dan perang posisi. Perang gerakan atau perang manuver mengacu pada strategi revolusioner Marxisme-Leninis. Perang posisi berupa sentralitas konsensus. Perjuangan merebut kekuasaaan dalam perang posisi lebih diarahkan pada upaya untuk mengenyahkan ideologi, norma, mitos politik, dan kebutaan keompok berkuasa. Perang posisi adalah sebuah proses transformasi kultural untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan menggantikannya dengan hegemoni lain (Sugiono, 1999: 45-46).
Bagi Gramsci, bentuk-bentuk kultural atau kebudayaan merupakan objek yang menarik untuk diteliti secara konkret, terutama dalam hubungannya dengan kemungkinan dioperasikanya dalam kehidupan praksis. Studi mengenai kebudayaan juga meliputi berbagai aktivitas kultural lainnya seperti seni dan kesusastraan (Faruk, 1994: 67). Kenyataan inilah yang memperkuat asumsi bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara kesusastraan dengan ideologi pengarangnya.
Ada empat hal yang perlu dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya terjadi antar kelas, tetapi dapat terjadi konflik antara kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan umum. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas dan mengembangkan interesnya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern. Kata kunci dalam pemahaman teori Hegemoni Gramsci adalah negosiasi untuk mencapai konsensus semua kolompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemony (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002: 23-24).
Teori Hegemoni Gramsci di atas membuka dimensi baru dalam studi sosiologi mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut, di antaranya studi sastra Raymond Williams (Faruk, 1994:78).
Dalam bukunya yang berjudul Culture and Suciety (1967), Williams menolak teori Marxis ortodoks yang cenderung menempatkan kebudayaan sebagai superstruktur yang ditentukan, dan dengan demikian terpisah dari masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya. Menurut Williams, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Di dalam totalitas, itu tidak ada perbedaan tingkat atau derajat antara elemen-elemen pembentuknya, baik yang berupa infrastruktur maupun superstrukturnya. Setiap usaha untuk mengambil salah satu elemen dalam totalitas pasti akan mebuahkan penemuan mengenai elemen yang lain yang tercermin di dalamnya.
Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas, di dalamnya tidak ditemukan hubungan determinasi antara elemen yang satu dengan elemen yang lain, yang ada hanya hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk mengatasi persoalan determinasi tersebut, Wiliams menggunakan konsep Hegemoni Gramscian.
Sebagai kekuatan material, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Bagi Gramsci hubungan antara yang ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa kekuatan material (Faruk, 1999: 62).
Persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, iradiasi, penyebaran dan persuasi. Kemampuan gagasan atau opini dalam menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebut oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (Faruk, 1999: 62).
Sebagaimana sudah disebutkan, pemikiran Gramsci terdiri dari enam kata kunci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual dan negara (Faruk, 1999:65). Agar lebih jelas mengenai masing-masing kata kunci tersebut, berikut ini penjelasan masing-masing kata kunci tersebut.

1.5.1 Ideologi dan Hegemoni
Gagasan tentang hegemoni pertama kali diperkenalkan pada tahun 1885 oleh Marxis Rusia, terutama oleh Plekhanove yaitu pada tahun 1883-1984. Gagasan ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi menggulingkan rezim Tsarisme. Istilah Hegemony menunjukan kepemimpinan yang harus dibentuk oleh kaum proletar dan wakil-wakil politiknya, dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi Tsaris. Dengan istilah lain, hegemoni dapat juga diartikan sebagai kontrol dan kepemimpinan, khususnya oleh suatu negara terhadap suatu kelompok masyarakat dalam hal kebudayaan, politik dan militer, control and leadership, especially by one country over others within a group, cultulural, economic militery hegemony (Oxford English Dictionary ).
Berdasar dari pemahaman kita akan pengertian hegemoni di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam hegemoni, hal yang memiliki peranan besar dalam perubahan sosial adalah ideologi. Ideologi yang lahir dari kesadaran akan eksistensi seseorang atau sekelompok orang akan menggerakan orang tersebut melakukan suatu perubahan. Oleh karena itu, di dalam hegemoni kaum intelektual memiliki peran sentral sebagaimana yang diungkapkan Lenin, yang dikutip dalam buku Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni karya Robert Bocock;
“Betapapun kita mencoba untuk “mencoba meminjamkan kepada perjuangan ekonomi itu sendiri suatu karakter politik” kita tidak akan mampu mengembangkan kesadaran politik para pekerja....dengan tetap berada dalam kerangka perjuangan ekonomi, karena kerangka tersbut terlalu sempit.
Untuk membawa pengetahuan politik ke para pekerja, sosial demokrat harus membaur ke segala kelas penduduk... (dan ini merupakan) kaum intelektual, selaku pelaku propaganda, adikator dan organiser”.

Di sini dapat kita pahami bahwa pemikiran Lenin mengindikasikan teori memiliki peranan sentral dalam membangun opini masyarakat. Gagasan atau ide-ide dalam hegemoni sangat dipengaruhi oleh kesadaran ideologi, dan kepemimpinan teoritis sangat penting dalam persoalan ini. Lebih lanjut Lenin menyatakan; ...peran pejuang barisan depan hanya dapat dipenuhi oleh suatu partai yang dibimbing oleh teori yang paling maju.
Menurut Marx, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama mengenai struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada kepentingan kelas atas. Kritik ideologi merupakan sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Pemahaman mengenai ideologi akan memperjelas perbedaan antara konsep Marx dan konsep Hegemoni Gramsci. Jika di dalam Marxisme, dominasi ditentukan oleh kekuatan ekonomi, maka dalam hegemoni Gramsci dominasi lebih ditentukan oleh intelektualitas atau ide-ide, paham dan pengetahuan. Reena Mistry menyebutkan bahwa unlike Marxist theories of domination, Gramsci relegates economic determinants to the background and brings to the fore the role of intellectuals in the process (1999) . Dengan kata lain, teori hegemoni Antonio Gramsci lebih menekankan pada tataran budaya dan ideologi, sedangkan Marxisme lebih pada wilayah kekuatan ekonomi. Gramsci menyebutkan bahwa perubahan ideologi harus diutamakan dalam pembangunan masyarakat.
“Antonio Gramsci's theory of hegemony is of particular salience to the exploration of racial representations in the media because of its focus on culture and ideology.”

Dalam sebuah negara, tuntutan para penguasa terhadap kepatuhan hukum yang dibuat pemerintah adalah sebuah keputusan ideologis. Hukum yang dibuat oleh para penguasa berdasarkan pada kepentingan-kepentingan kelas yang berkuasa, meskipun terkadang dibuat atas nama kepentingan masyarakat yang diperintah. Ironisnya semua itu hanya pengelabuhan/pembohongan yang dilakukan para penguasa untuk mendapat hati dari masyarakat.
Kedudukan ideologi dalam sistem kapitalisme sama dengan konsep di dalam negara. Dalam kapitalisme, pemilik modal memiliki kedudukan sama dengan para penguasa. Pemilik modal dapat mengendalikan dan membuat aturan yang menguntungkan pemilik modal. Meskipun kaum buruh dapat menolak hal itu, tetapi jika pemilik modal bersikukuh dengan kententuannya, maka para buruh tidak akan dapat hidup. Bagaimanapun kehidupan kaum buruh sangat tergantung dari pekerjaan yang diberikan oleh para pemilik modal. Marx menyebutkan, meskipun kaum buruh memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak pekerjaan yang ditawarkan pemilik modal, tetapi karena mereka hanya dapat hidup apabila bekerja, dan dengan demikianterpaksa para buruh menerima pekerjaan tersebut.
Hegemoni suatu kelas terhadap kelas yang ada di bawahnya merupakan hasil dari bangunan konsensus. Konsensus merupakan suatu dominasi yang dilakukan bukan dengan suatu paksaan tetapi melalui persetujuan dan pemahaman. Dalam Kamus Ilmiah Populer (Hantanto:1994), konsensus diartikan sebagai suatu persetujuan, kesepakatan bersama atau kata sepakat. Oleh karena itu, pada dasarnya konsensus berkaitan dengan persoalan psikologis. Dengan kata lain, konsensus merupakan kepatuhan atau ketertundukan seseorang atau sekelompok orang karena adanya suatu kesadaran.
Pada dasarnya ketertundukan pada aturan dan perangkat hukum penguasa dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena takut, terbiasa, dan karena kesadaran/persetujuan. Dari ketiga hal tersebut, pandangan yang terakhir merupakan ciri dalam konsep hegemoni. Dengan demikian hegemoni bersifat menyeluruh karena bersifat psikologis (Patria dkk., 2003:125).
Menurut Gramsci, hegemoni berdasar pada konsensus yang muncul melalui komitmen aktif atas klas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan produksi. Gramsci mengatakan (secara tidak langsung) bahwa konsensus adalah komitmen aktif yang didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada adalah sah. Konsensus ini secara historis lahir karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi (Patria dkk., 2003:126).
Sebuah konsensus yang diterima oleh kelas pekerja, bagi Gramsci, pada dasarnya bersifat pasif. Kemunculan konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni dan menganggap struktur sosial yang ada itu sebagai keinginan mereka. Sebaliknya, hal tersebut terjadi karena mereka kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara efektif.
Femia (Patria dkk., 2003:124) menyatakan bahwa setidaknya ada empat model konsensus, yaitu konsensus pada masa Romawi Kuno, pra-moderen, masa masyarakat kapitalis, dan masa pemikiran kontemporer. Keempat masa ini memiliki pemikiran-pemikiran khas. Untuk lebih jelasnya berikut ini ditampilkan kutipan pendapat Femia mengenai konsensus hegemoni (Hendarto (1993: 79, Nezar dkk., 2003:124-125).
Pertama, dalam sejarah Romawi Kuno, pusat kekuasaan berada dalam tangan seorang Kaisar. yang berperan sebagai hakim agung, sumber otoritas politik. “Konsensus” berada di tangan Kaisar seorang, segala sesuatu mutlak di tangan kaisar.
Kedua, dalam sejarah pra-moderen, pandangan tentang konsensus tampil sejalan dengan konsepsi masyarakat organik dengan paham bahwa setiap orang mempunyai status dan fungsi yang ditentukan dalam hierarki alamiah (kodrat). Bahwa etika politik bukanlah pertama-tama bertalian dengan masalah hukum, melainkan lebih merupakan kewajiban manusia terhadap masyarakatnya. Di dalam konsensus dipahami bahwa subjek-subjek yang memegang otoritas memahami dan mengikutinya. Dalam pengertian ini tidak dipakai penerimaan indiviual karena tujuannya pada keteraturan universal.
Ketiga, dalam masyarakat kapitalis lanjut secara filosofis dan politik tampil teori-teori hukum alam dan kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya dilakukan dengan sukarela secara individual, tidak ada sesuatu pun yang dapat memaksa manusia. Konsensus memasuki hidup bersama dengan perjanjian positif. Dengan kata lain, kebebasan individu mendapat tempat utama dalam masyarakat.
Keempat, dalam pemikiran politik dewasa ini, ada perubahan pengertian konsensus dari pengertian liberal mengungkapkan tuntutan yang baru. Warga negara secara individual menuntut keterlibatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam masyarakat politik yang diorganisasi dan ditentukan. Dapat dikatakan bahwa konsep ini mengisi arti pokok yang tidak ada dalam pemikiran mengenai kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familliar.

Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukanakn Gramsci dalam konsepnya mengenai hegemoni, yaitu pertama hegemoni total (integral), hegemoni merosot (decadent), dan hegemoni minimum. Pertama, hegemoni integral adalah hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas, masyarakat menunjukan kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Kondisi tersebut tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah.
Kedua, hegemoni merosot adalah suatu kondisi hegemoni yang mengandung kontradiksi. Kontradiksi itu mengakibatkan adanya pertentangan-pertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai. Dalam hegemoni ini rawan terjadi disintegrasi.
Ketiga adalah minimal hegemoni. Hegemoni ini merupakan hegemoni paling rendah. Hegemoni bersandar pada satuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang diturunkan bersamaan dengan keengganan setiap campur tangan massa dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat.
Kata Ideologi memiliki pengertian yang cukup luas, oleh karena itu perllu diperhatikan makna dari ideologi. Pertama, ideologi adalah semua sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia. Ideologi memberikan ajaran kepada manusia tentang suatu keadaan, terutama mengenai struktur kekuasaan yang dianggap sah. Ideologi merupakan ilusi atau kesadaran palsu yang tidak menggambarkan situasi nyata manusia sebagaimana adanya. Ideologi menggambarkan realitas dengan penafsiran terbalik. Apa yang tidak baik dan tidak wajar dinyatakan sedemikian rupa sehingga nampak baik dan wajar. Hal itu terjadi karena ideologi melayani kepentingan kelas yang berkuasa sebagai alat legitimasi (Magnis-Suseno, 1999:122-123).
Kedua, ideologi adalah sistem berpikir, kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Ideoloogi adalah sistem gagasan yang mempelajari keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial. Ideologi dalam hal ini disebut neutral conception (Thompson, 2003:17).
Ketiga, ideologi merupakan kepercayaan kepada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh kelompok masyarakat tertentu. Hal ini biasanya terwujud dalam suatu perkumpulan yang berjuang merealisasikan gagasan atau kepentingan kelompok tersebut, seperti perkumpulan anggota partai politik, serikat buruh, dan organisasi sosial lain yang bertujuan merealisasikan kepentingan mereka. Ideologi ini seringnya disebut dengan ideologi yang diselewengkan, karena ideologi yang dianut merupakan idealisme pemimpin mereka.
Keempat, pengertian ideologi sama dengan kesadaran palsu, yaitu praktik-praktik gerakan ideologis untuk menggerakan suatu kelompok demi suatu kepentingan. Distorsi tersebut sengaja disebut untuk melanggengkan kepentingan kelompok berkuasa dan mengendalikan sepenuhnya pihak yang lemah (Storey, 2003:5).
Kelima, ideologi dapat juga digunakan sebagai alat menyembunyikan realitas sebenarnya, yakni realitas dominasi para panguasa. Hal ini umumnya terdapat dalam ideologi kapitalis. Pada umumnya ideologi ini mengaburkan agar orang-orang yang dieksploitasi tidak merasa ditindas meskipun sesungguhnya mereka sedang diperas.
Keenam, ideologi bukan hanya pelembagaan ide-ide, tetapi sebagai praktik material yang dapat dijumpai dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ideologi seperti ini terdapat dalam cara-cara dan tempat ritual, kebiasaan-kebiasaan tertentu yang menghasilkan akibat yang mengikat dan melekatkan seseorang pada tatanan sosial.
Persoalan sesungguhnya adalah kenapa ideologi tersebut lebih banyak menguntungkan orang-orang berkuasa. Ada beberapa alasan yang menjadikan ideologi para penguasa beredar di masyarakat. Pertama, pikiran yang berkuasa setiap zaman adalah pemikiran kelas berkuasa. Kedua, kelas yang menguasai sarana produksi material adalah kelas yang menguasai sarana produksi spiritual. Ketiga, hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pemikiran serta gagasan mereka. Akhirnya, nilai-nilai resmi masyarakat adalh nilai-nilai kelas atas (Magnis-Suseno, 1999: 124).
Penguasaan ideologi kelas atas ini terjadi bukan hanya di dalam sistem masyarakat feodal, tetapi juga di dalam masyarakat kapitalis. Di zaman feodal, raja dianggap sebagai titisan Tuhan. Raja adalah orang suci yang sudah dipilih Tuhan untuk memerintah masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada yang berani membantah atau melanggar ketentuan dari seorang raja. Perbedaannya dengan sistem masyarakat kapitalis adalah kekuatan pemimpin itu sudah agak berkurang, meskipun kekuatan itu masih tetap ada dan masyarakat masih tunduk kepada ketentuan mereka yang kuat, baik kuat secara ekonomi, keturunan, maupun intelektual.
Dari seluruh pengertian ideologi yang sudah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ideologi dapat disamakan dengan kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, atau reformasi moral dan intelektual (Simon, 2001: 85). Berdasarkan pengertian tersebut, ideologi memiliki aspek psikologis karena berkaitan dengan kesadaran dan ketidaksadaran seseorang. Ideologi dalam hal ini berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, ideologi bukan fantasi seseorang karena ia terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat.

1.5.2 Kebudayaan, Kepercayaan Populer, dan Common Sense
Gramsci menyadari bahwa kebudayaan merupakan kekuatan material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat (via Faruk, 1999: 65). Oleh karena itu, kebudayaan bukan sekedar pengetahuan tanpa makna, tetapi kebudayaan dapat berarti kekuatan politik.
Gramsci menganggap kebudayaan sebagai organisasi, disiplin diri batiniah seseorang, merupakan suatu pencapaian suatu kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya seseorang berhasil dalam memahami nilai historis diri dan fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (via Faruk, 1999: 66). Dengan demikian, kebudayaan tidak bisa disepelekan hanya sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diperhatikan dan dipahami sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kebudayaanlah sebuah negara atau suatu komunitas dapat mengangkat derajat dan martabatnya di mata komunitas atau negara lain.
Pentingnya peranan kebudayaan didasarkan pada pemahaman bahwa manusia adalah produk sejarah. Mengingat yang paling penting dari manusia adalah pikirannya, dengan demikian kesadaran akan posisi seseorang akan menggugah adanya kesadaran diri untuk mengubah nasib diri yang sedang tereksploitasi, ia akan melakukan perlawanan atau pemberontakan setelah menyadari bahwa dirinya diperalat atau diperas oleh golongan atau kelompok lain. Kebudayaan memiliki peran penting karena dapat memberikan kesadaran kepada kelompok-kelompok yang menjadi korban eksploitasi kelas penguasa. Itulah sebabnya Gramsci beranggapan bahwa sebuah revolusi sosial hanya akan terjadi jika didahului oleh adanya revolusi kebudayaan. Revolusi sosial tidak terjadi secara spontan, alamiah, tatapi melibatkan berbagai faktor kutural tertentu yang memungkinkan terjadinya revolusi sosial (via Faruk, 1999: 66).
Gagasan-gagasan dan kepercayaan populer merupakan aspek yang sangat penting dalam perubahan sosial. Menurut Gramsci gagasan-gagasan dapat juga dikatakan sebagai kekuatan material. Aspek ini akan mempengaruhi cara pandang seseorang mengenai dunia. Dengan demikian dinamika sosial sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang terhadap kehidupan.
Dalam kaitannya dengan penyebaran gagasan-gagasan tersebut, folklor, common sense, dan opini-opini memiliki peran penting dalam penyebaran gagasan atau ideologi. Faruk menyebutkan ada tiga cara penyebaran gagasan-gagasan atau filsafat tertentu, yaitu melalui bahasa, common sense, dan folklor (Faruk, 1999: 71). Folklor meliputi sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul-tahayul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu. Jika folklor dapat disamakan dengan karya sastra, maka karya sastra (sebagaimana disebutkan oleh Lotman) merupakan media yang tidak tergantikan oleh media lain dalam peranannya terhadap penyebaran gagasan.
“Literature is accordingly defined as secondary modeling system (...) Literature possesses an exclusive, inherent system of signs (...) which serve to transmit special messages, not transmittable by other means” (via Noth, 1995351).

Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa karya sastra merupakan media paling efektif dalam menyebarkan gagasan-gagasan. Dengan demikian, karya sastra menjadi sangat penting dipelajari dan dianalisis karena di dalamnya terdapat gagasan ideologis yang dapat mengubah kondisi sosial masyarakat.
Selain folklor dan common sense, bahasa juga memiliki peran sentral dalam penyebaran gagasan. Bahasa marupakan media utama komunikasi antara manusia dalam masyarakat. Dengan demikian, melalui bahasa dapat diketahui sejauh mana pemikiran seseorang. Menurut Faruk (1999:71) dari bahasa seseorang dapat ditafsirkan kompleksitas yang lebih besar atau lebih kurang dari konsepsinya mengenai dunia. Di dalam bahasa terkandung elemen-elemen suatu konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan.
Gramsci menyatakan bahwa common sense merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasif meskipun tidak sistematik. Common sense berbeda dengan filsafat karena ia mempunyai dasar dalam pengalaman popular dan tidak merepressentasikan suatu konsepsi yang terpadu menganai dunia. Dengan demikian, filsafat merupakan tatanan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh agama dan common sense (via Faruk, 1999: 71).
Stratum sosial memiliki common sense sendiri-sendiri. Setiap arus filosofis manusia meninggalkan endapan pada common sense. Hal itu merupakan dokumen dari efektivitas historisnya. Common sense sendiri bukan merupakan sesuatu yang kaku dan immobil, melainkan selalu mentransformasikan dirinya, memperkaya dirinya dengan gagasan ilmiah dan opini-opini filosofis yang memasuki kehidupan sehari-hari. Sebagaimana disebutkan oleh Faruk, common sense menciptakan folklor masa depan, yaitu sebagai satu fase yang relatif kukuh dari pengetahuan popular pada suatu ruang dan waktu tertentu (via Faruk, 1999: 71).
Menurut Gramsci, kesadaran untuk menjadi bagian dari kekuatan hegemonik yang khusus adalah tahap pertama ke arah kesadaran diri yang progresif yang di dalamnya teori dan praktek menjadi satu (via Faruk, 1999: 73). Hal ini dimaksudkan bahwa pemahaman teori harus diaplikasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Setiap teori akan disempurnakan dalam praktek, dengan demikian teori akan mempermudah praktek dalam kehidupan sehari-hari. Teori akan menginspirasi adanya perubahan sosial masyarakat, teori merupakan panduan kehidupan atau praktek sosial.
Dengan demikian, pengertian mengenai filsafat atau konsepsi mengenai dunia bagi Gramsci bukan sekedar persoalan akademik, melainkan merupakan persoalan politik. Filsafat merupakan gerakan kebudayaan, suatu ideologi dalam pengertian luas, yaitu sebagai suatu konsepsi mengeani dunia yang secara implistik memanifestasikan dirinya dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi, dan dalam kehidupan individual maupun kolektif (via Faruk, 1999:74). Dengan demikian, ideologi filsafat berfungsi mempersatukan kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan. Hal ini tercermin dari pada fungsi agama yang mempersatukan berbagai kekuatan sosial dalam satu jalur agama tersebut.

1.5.3 Kaum Intelektual
Kaum intelektual merupakan agent of change yang memiliki fungsi menyebarkan ideologi perubahan kepada masyarakat. Oleh karena itu, ideologi tidak akan pernah efektif atau bermanfaat selama tidak ada yang menyebarkan ideologi tersebut. Para intelektual adalah pelaku atau pendorong adanya perubahan. Dengan kata lain, merekalah kunci utama adanya dinamika sosial. Peranan kaum intelektual di dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai ideologis kepada masyarakat menjadi dominan.
Penanaman nilai-nilai ideologis dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga sekolah atau lembaga pengajaran dan lembaga keagamaan. Melalui lembaga-lembaga inilah ideologi disebarkan dan menjadi sebuah komando perubahan sosial. Dengan demikian, kaum intelektual disebut sebagai fungsionaris hegemoni (Faruk, 1999:75).
Menurut Faruk (1999:75) kata intelektual bukan dipahami dalam pengertian yang sederhana, tetapi suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan fungsi organisasinonal dalam pengertian yang luas, baik dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik.
Di dalam Prison Notebooks disebutkan bahwa sebenarnya semua orang berpotensi menjadi seorang intelektual. Namun ke-intelektual-an tersebut sangat ditentukan oleh fungsi mereka dalam masyarakat (via Hoare, 1983: 3).
“All man are potentially intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function.”

Pernyataan tersebut menunjukan bahwa fungsi atau peran seseorang atau kaum intelektual lebih ditentukan oleh fungsinya dalam mempengaruhi dinamika sosial. Lebih lanjut Gramsci membedakan kaum intelektual menjadi dua, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah para intelektual yang memiliki profesi khusus (seperti para ahli di bidang ilmu pengetahuan, bidang sastra dan lain sebagainya), sedangkan yang kedua adalah intelektual organik, yaitu mereka yang mengorganisasi dan memikirkan organisasi sosial tententu. Dalam konteks ini mereka tidak memiliki profesi tententu, tetapi peran mereka menginspirasi dan mendorong dinamika sosial (via Hoare, 1983: 3). Pengertian kedua ini menunjukan bahwa kaum intelektual memiliki peran paling besar di dalam menyebarkan ideologi-ideologi perubahan sosial.
Simpulan dari paparan di atas adalah Gramsci menyatakan bahwa kaum intelektual merupakan ‘deputi’ dari kelompok dominan yang menjalankan fungsi khusus dari hegemoni sosial dan pemerintahan sosial, yang meliputi:
1). Persetujuan ‘spontan’ yang diberikan oleh populasi massa yang besar kepada kepemimpinan umum yang dilakukan kelompok dominan atas kehidupan sosial; persetujuan ini bersifat ‘historis’ disebabkan oleh prestise (dan kepercayaan diri yang konsekuen) dimana kelompok dominan menikmatinya karena posisi dan fungsi mereka dalam dunia produksi.
2). Aparat kekuasaan secara ‘legal’ memaksakan disiplin pada kelompok-kelompok ini pada siapa yang tidak ‘setuju’ baik secara aktif maupun pasif. Aparatus ini, bagaimanapun juga, digunakan untuk seluruh masyarakat sebagai antisipasi dalam momen krisis dari kepemimpinan atau manakala persetujuan spontan telah melemah (Patria, 2003:158).

1.5.4 Negara
Sebelum membicarakan makna sesungguhnya dari apa yang dinamakan negara, perlu kiranya dipahami bahwa pandangan Gramsci akan negara selalu bertolak dari pandangan Marxisme (meskipun ada beberapa perbedaan mendasar). Lahirnya konsep negara dan hegemoni Gramsci sebenarnya berasal dari ketimpangan yang ada dalam aliran pemikiran tersebut. Pertama, terjadinya kesenjangan teori Marxis antara teori dan praktek kelas proletariat. Kedua, upaya menemukan sarana dan strategi partai revolusioner dalam menumbuhkan dukungan dan mencapai kekuatan penuh dalam masyarakat kapitalisme. Dengan kata lain, Gramsci ingin menyelesaikan kegagalan strategi dan taktik kelas proletariat dalam menumbangkan kelas borjuis di Italia.
Bagi Gramsci, partai adalah alat sesungguhnya bagi kelas pekerja untuk menyatukan teori dan praktik. Teori muncul dari partai dan dalam rangka merespon problem yang dihadapi oleh masa yang terorganisir. Oleh karena itu, konsep tentang negara dan hegemoni sesungguhnya merupakan bagian dari praktek revolusioner yang dilakukannya. Dari praktik ini pula, Gramsci mencoba menyusun konsep baru tentang peranan partai dalam rangka menjalankan tugas revolusi (Patria, dkk., 2003: 113).
Negara atau state dalam Bahasa Inggris berarti suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Dengan pengertian lain, negara adalah pengorganisasian masyarakat dalam suatu wilayah dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu sebagai tempat negara itu berada (http://id.wikipedia.org/wiki/Negara).
Negara merupakan institusi resmi yang mengatur kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, melalui negara produk-produk hukum dan aturan dibuat guna mengendalikan kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Negara dalam pandangan Marxisme berkaitan dengan kelas-kelas sosial. Dengan demikian, negara dalam Marxisme adalah negara kelas.
Dalam konsep Marxisme, negara tidak lepas dari model dalam kaitannya dengan ekonomi. Menurut Marx, para penguasa merupakan bagian dari orang-orang yang memiliki modal, hanya orang kaya yang dapat masuk di lembaga pemerintahan. Dengan kata lain, struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-Suseno, 2000: 121).
Marx berpandangan bahwa negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan apa yang diusahakan oleh para pemegang kekuasaan tersebut sebagai usaha mengelabuhi masyarakatnya dengan tindakan-tindakan yang seolah-olah untuk kepentingan rakyat. Frederick Enggel menyatakan bahwa negara bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa (Magnis-Suseno, 2000:120). Jika demikian adanya, maka negara merupakan alat untuk melanggengkan kekuasaan bagi kelas-kelas atas atau kelas pemilik modal. Negara mengawasi setiap gerak dan pemikiran masyarakat sipil yang berada di bawah naungannya. Untuk itu Karl Marx (1869) menyebutkan bahwa negara berperan sebagai berikut.
Negara terlibat, mengontrol, mengawasi, dan mengelola masyarakat sipil dari perbagai ekspresinya yang mencakup semua hal sampai gerakan-gerakannya yang paling tidak signifikan, dan dari bentuk-bentuk eksistensinya yang paling umum sampai kehidupan pribadi individu-individu .

Dengan demikian, di dalam konsep Marxisme, negara merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas. Negara dalam hal ini bukan kawan melainkan lawan bagi masyarakat kecil. Orang kecil diharapkan tidak menuntut keadilan atau bantuan yang sesungguh-sungguh dari negara, karena negara justru merupakan wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil (Magnis-Suseno, 2000:121).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas Plato menyatakan;
“Dan bentuk pemerintahan yang berbeda membuat hukum menjadi demokratis, tiranis, dan aristokratis, sesuai dengan kepentingan mereka; dan hukum ini, yang mereka ciptakan untuk kepentingan para penguasa sendiri, merupakan keadilan yang mereka terapkan pada rakyat mereka, dan seseorang yang melanggar hukum itu mereka hukum sebagai pelanggar hukum dan penjahat. ... satu-satunya kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa dimana-mana hanya ada satu prinsip tentang keadilan yang merupakan kepentingan dari yang lebih kuat.” (Plato, 1992: 22)

Setelah memahami konsep negara di dalam Marxisme, kita perlu mengetahui konsep negara menurut Gramsci. Gramsci membedakan dua wilayah dalam negara; yaitu dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik. Wilayah pertama penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah “kesetujuan” dan “kehendak bebas”. Wilayah kedua merupakan dunia kekerasan, pemaksaan dan intervensi (Faruk, 1999:77). Negara tidak hanya menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga aparat-aparat hegemonik atau masyarakat sipil. Jika Marx memandang negara hanya sebatas fisik, Gramsci lebih dalam dari itu. Negara adalah kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoritis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah.
Pemahaman tersebut merupakan perluasan dari makna negara yang sesungguhnya. Gramsci memandang bahwa negara secara fisik dan ideologis, karena itu ada negara “etis” atau negara “kebudayaan”. Suatu negara disebut etis sepanjang salah satu fungsi terpentingnya adalah untuk membangkitkan massa penduduk yang besar pada level moral dan kultural; suatu level yang berhubungan dengan kebutuhan akan kekuatan-kekuatan produktif, dengan interes-interes kelas penguasa. Dengan demikian, negara dapat berfungsi sebagai edukator sejauh ia cenderung menciptakan suatu tipe atau level kebudayaan baru (Faruk, 1999:77).

1.6. Metode Penelitian, Objek Penelitian, dan Metode Pengumpulan Data
1.6.1. Metode Penelitian
Secara umum, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif melalui data-data yang berhubungan dengan permasalahan dan studi pustaka yang difokuskan pada analisis data yang berupa teks. Menurut Moleong (2007:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Secara khusus, metode yang digunakan adalah analisis wacana sosiologi dengan penekanan pada persepsi wacana hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu menentukan karya sastra yang akan dianalisis, menentukan tema penelitian, menentukan metode yang akan digunakan, menentukan data dan mengapa data itu penting, analisis dan mengambil simpulan dari hasil pembacaan.
Langkah awal yang dilakukan adalah menentukan drama Man and Superman yang akan dianalisis menggunakan pendekatan hegemoni Gramsci. Hal tersebut dilakukan dengan mengamati isu-isu hegemoni/dominasi yang dibangun dalam wacana yang ada dalam drama tersebut. Setelah melakukan pembacaan secara cermat, kemudian peneliti menentukan tema penelitian; yaitu dengan mencermati isu-isu ideologis politis atas dinamika yang dibangun dalam drama tersebut.
Langkah berikutnya, peneliti menentukan pendekatan atau metode yang akan digunakan, yaitu menggunakan analisis tekstual. Peneliti menggunakan pendekatan ini karena dalam kajian karya sastra kita bisa mengunakan analisis yang berorientasi tekstual dan kontekstual. Teks dapat menjadi sesuatu yang dapat diteliti dan merupakan data empiris yang sangat penting dalam studi karya sastra. Selain itu, analisis tekstual dapat memperkaya pengetahuan tentang aspek formal teks media. Untuk mendapatkan kajian yang kaya makna sosiokultural, maka kajian karya sastra ini memperhatikan konteks sosio-kultural yang ada dalam karya sastra.
Untuk memahami konteks budaya Inggris, studi ini mencoba memahami konsep hegemoni berdasar konflik-konflik yang tergambarkan dalam Man and Superman. Konflik sosial tersebut kemudian dikorelasikan atas pemikiran Marxisme dan konsep hegemoni Gramsci. Berdasar dari itu, penelitian ini menghubungkan dinamika sosial yang dibangun di dalam drama Man and Superman dengan konteks sosial masyarakat Inggris pada masa-masa penulisan karya sastra tersebut.
Untuk menunjukan korelasi antara teks drama Man and Superman dengan konteks sosio-budaya masyarakat Inggris, penulis melakukan pembacaan intertekstual berdasarkan analisis penulis tentang materi-materi yang ada di dalam drama Man and Superman yang dihubungakan dengan isu-isu dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan, perjuangan kelas dan konflik-konflik sosial yang muncul di dalam cerita drama tersebut. Untuk mencapai pemahaman intertektual tersebut, penulis akan menggunakan analisis wacana berdasarkan adegan dalam masing-masing babak yang dianggap mencerminkan adanya persoalan hegemoni atau dominasi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Sebelum sampai ke tahapan analisis, penulis menentuan data yang akan diambil yaitu berupa kutipan dialog dan pernyataan yang merepresentasikan gagasan hegemonis dari masing-masing tokoh yang ada di dalam drama tersebut. Data tersebut sangat penting mengingat metode penelitian yang akan digunakan adalah analisis tekstual. Data yang diambil, sebelumnya diseleksi dan diklasifikasi terlebih dahulu sehinggga akan ditemukan data yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini.
Dengan menggunkan analilsis tekstual yang dipadu dengan wacana yang ada dalam masyarkat maka data-data yang sudah dipilih akan diposisikan sebagai wacana tekstual. Agar lebih komprehensif, wacana-wacana tekstual tersebut dikaji dalam (1) tokoh yang terlibat dalam sebuah dialog; (2) bagaimana mereka menmperbincangkan topik hegemoni; (3) bagaimana pengaruh wacana hegemoni; (4) bagaimana konflik-konflik yang muncul dari berkembangnya wacana hegemoni atau dominasi dalam masyarakat; dan (5) bagaimana drama ini memandang wacana dinamika perjuangan kelas dan persoalan hegemoni.
Hasil dari analisis wacana kemudian dikaitkan dengan persoalan hegemoni yang terjadi di dalam masyarakat Inggris masa itu, sekaligus dipadukan dengan pemikiran-pemikiran kritis tentang hegemoni, perjuangan kelas, dan dominasi. Dengan demikian, akan dapat diketahui bagaimana posisi yang diambil drama Man and Superman dalam memandang persoalan tersebut.

1.6.2. Objek Penelitian
1.6.2.1 Objek Material
Objek material penelitian ini adalah sebuah tek drama berjudul Man and Superman yang ditulis oleh George Bernard Shaw (GBS) pada tahun 1903. Penelitian ini mendasarkan pada tek drama tersebut yang ditulis kembali oleh John A. Bertolini yang diterbitkan pada tahun 2004 dan di cetak oleh Creative Media Inc. di Amerika Serikat. Oleh Bertolini buku tersebut diberi judul Man and Superman and Three other Plays karena di dalamnya terdapat tiga teks drama lain, diantaranya; Mrs. Warren Profession, Candida dan The Devil’s Diciple.

1.6.2.2 Objek Formal
Supaya penelitian ini dapat mengkorelasikan gagasan-gagasan yang ada dalam karya sastra dengan tema penelitian ini, maka objek formal yang digunakan adalah teori hegemoni. Teori ini merupakan pengembangan dari konsep sosiologi Marxisme. Di dalam teori sosiologi ini akan kita temukan konsep-konsep yang sesuai dengan tema yang akan ditemukan dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang dimaksud adalah konsep penindasan atau hegemoni, persaingan kelas, dan deskriminasi.

1.6.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data library research, yaitu penelitian pustaka yang dilakukan dengan membaca buku-buku ataupun dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian atau tema penelitian ini.
Data-data yang berkaitan dengan judul akan dituliskan dalam kolom-kolom yang disesuaikan dengan pokok persoalan dari judul tesis ini. Setelah data terkumpul, penulis mengklasifikasi dan menyusun data tersebut.
Data-data yang sudah didapatkan dari hasil pembacaan, kemudian dianalisis berdasarkan kerangka teori yang sudah ditentukan. Analisis tersebut dilakukan dengan cara mengkomparasikan gagasan-gagasan yang ada di dalam landasan teori dengan data-data yang sudah di dapatkan dari objek penelitian.

1.7. Sistematika Penyajian
Penulisan tesis ini akan dilakukan dengan cara sebagai berikut;
Bab pertama akan membahas mengenai latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.
Bab kedua, berbicara mengenai drama Man and Superman; sinopsis, konflik antartokoh, dan tipologi hegemoni yang terdapat di dalam drama tersebut. Tipologi hegemoni meliputi: hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan, hegemoni penguasa terhadap rakyatnya (negara politik dan masyarakat sipil), dan hegemoni kaum tua terhadap kaum muda (intelektual versus masyarakat biasa).
Bab ketiga berbicara mengenai konteks keterkaitan sastra dengan masyarakat, kondisi sosial politik masyarakat Inggris, sejarah hidup pengarang serta kiprah penulis Man and Superman dalam pergerakan masyarakat.
Bab keempat merupakan simpulan dan saran. Simpulan diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dari hasil penelitian ini tentunya akan didapat beberapa poin penting yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya. Sedangkan saran dimaksudkan agar pembaca dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini.