Runtuhnya Peradaban Kita
Wajiran
(Dosen di sebuah Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta)
Pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi dengan serta merta telah merubah segala aspek kehidupan manusia. Hal ini ditandai dengan semakin rumitnya persoalan hidup. Baik kerumitan dalam memenuhi kebutuhan hidup maupun gaya hidup manusia yang semakin jauh dari ajaran agama. Lahirnya pergaualan bebas, meningkatnya budaya kumpul kebo yang berakibat banyaknya kelahiran anak di luar nikah, dan meningkatnya budaya koruptif merupakan dampak dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi.
Pertumbuhan penduduk telah mempersulit gerak manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Persaingan antar individu semakin ketat, menjadikan manusia sering melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya pencurian, perampokan, korupsi, manipulasi, intimidasi dan berbagai kejahatan sosial terjadi dimana-mana. Dalam situasi seperti ini sangat sulit untuk mengendalikan kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Nilai-nilai luhur bangsa luntur seiring dengan perkembangan budaya hedonisme, materialisme dan konsumerisme.
Karena semakin kompleknya persoalan hidup, kejahatan sosial bukan hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mampu secara ekonomi. Meraka yang secara ekonomi terpenuhi masih merasa kehausan dengan kedudukan dan kehormatan. Manusia telah kehilangan jati dirinya. Seperti apa yang dikatakan Eric Fromm (1996), manusia telah beralih menjadi mesin yang tidak berfikir dan tidak berperasaan. Segala aktivitas manusia telah digantikan oleh mesin yang serba cepat. Manusia semakin malas melakukan hal-hal fisik, tetapi mereka ingin menikmati kemudahan dan kemewahan hidup. Akibatnya bagi mereka yang tidak mampu mengikuti perkembangan, tidak ada jalan lain kecuali melakukan tindakan-tindakan amoral demi tercapainya tujuan itu.
Kecintaan manusia pada barang-barang mewah dan kedudukan tidak lain disebabkan oleh pergaulan sosial yang melingkupinya. Semakin banyak barang yang dimiliki manusia merasa lebih berharga dibanding dengan orang lain. Seperti apa yang dikatakan Eric From (2001), bahwa manusia sering bersifat syirik terhadap barang-barang ciptaannya sendiri. Manusia akan merasa lebih terhormat dan memiliki harga diri setelah memiliki barang-barang mewah. Harta, kendaraan dan kedudukan merupakan barang yang dianggap bisa mengangkat harga diri seseorang di masyarakat.
Akibat dari sifat ingin diakui terjadilah persinggungan di dalam kehidupan sosial. Hubungan antara orang kaya dan orang miskin tidak harmonis. Mereka berlomba-lomba mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Demi untuk memenuhi kebutuhan ruh mereka yang gersang.
Perbedaan kepemilikan dan tingkat pendidikan telah membentuk sekat-sekat sosial yang tidak baik. Komunikasi tidak lancar sehingga kontrol sosial pun menjadi lemah. Hal inilah yang menyebabkan rusaknya moral bangsa. Lahirnya pergaulan bebas, perselingkuhan, merupakan akibat lemahnya kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat.
Identitas dan jati diri suatu bangsa telah luntur bersamaan dengan egoisme materialistik yang menjangkiti manusia moderen. Nilai luhur bangsa yang mengagungkan kejujuran, kesabaran dan ketulusan telah hilang digantikan oleh budaya angkuh dan individualistis yang diajarkan oleh masyarakat barat.. Ajaran-ajaran materialisme yang tersebar melalui media massa atau teknologi informasi telah meracuni manusia di segala level. Mulai dari anak-anak, kaum muda bahkan tidak ketiggalan kaum tua. Mereka sangat gandrung dengan hal-hal yang berasal dari barat. Padahal tidak semua yang datang dari barat lebih maju daripada apa yang sudah ada di negeri kita sendiri. Hal ini merupakan bukti bahwa kita sampai saat ini tidak memiliki identitas. Kita tidak memiliki kepribadian dan harga diri. Harga diri kita sebatas barang yang kita miliki. Setelah barang-barang yang kita miliki rusak, maka hilanglah harga diri kita.
Tidak ada lagi yang mampu mempertahankan identitas diri. Lembaga pendidikan, agama, suku dan adat seolah tidak berkutik. Lembaga-lembaga ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Lebih ironisnya lagi lembaga sekolah justru mendukung ajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai kepribadian masyarakat kita. Nilai-nilai materialistis, gaya hidup hedonis sering menjangkiti manusia-manusia berpendidikan. Lembaga sekolah hanya digunakan sebagai media mencari setatus sosial. Sama halnya dengan barang mewah yang dimiliki, status pendidikan dianggap bisa mengangkat harkat dan martabat mereka. Padahal semakin tinggi pendidikan, orang semakin angkuh dan merasa paling berharga.
Agama juga tidak berdaya dengan inviltrasi kebudayaan Barat. Agama hanya sekedar lipstik bagi manusia moderen. Agama tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan seorang individu. Setelah mengenal dunia glamour, manusia pun semakin jauh tersesat. Tidak ketinggalan agamawan atau yang sering disebut kiai pun sering ikut-ikutan. mereka yang pada awalnya khonaah dengan kehidupan sederhana, suka menolong dan menjadi obat kegelisahan umat. Telah menggadaikan harga diridengan sifatnya yang gila hormat dan materialistis. Mereka tidak lagi menjadi simbul keteduhan bagi masyarakat.
Kemana lagi kita akan kembali?
Kondisi sosio budaya masyarakat yang sudah demikian rusak menjadikan manusia dalam kebingungan. Kepada siapa lagi mereka menyampaikan keluhan? Kemana mereka akan pergi? Terjadilah kekosongan dalam diri manusia moderen. Mereka semakin kehausan. Tidak ada lagi tempat teduh untuk bersandar. Tidak ada lagi tempat untuk meneguk air kedamaian bagi mereka. Kiai, ustad, sudah tidak lagi dipercaya.
Kekuasaan, kekayaan, dan kedudukan yang mereka banggakan tidak bisa memberikan ketenangan dalam diri mereka. Sebaliknya dengan kedudukan dan kekayaan menjadikan mereka semakin kehausan. Hidup mereka tidak pernah tenang. Mereka berada dalam ketakutan kehilangan kedudukan dan kekayaan. Padahal segala cara telah dilakukannya untuk mendapatkan kebahagiaan semu itu. Tindakan menghujat, mencacimaki, menyuap, membunuh karakter bahkan membunuh jiwa sering dilakukan demi tercapainya tujuan mereka.
Tindakan mendholimi sesama sudah bukan rahasia lagi. Tidak ada lagi ikatan seagama, sesuku, bahkan ikatan darah pun tidak bisa membendung hasrat mereka untuk menindas. Tidak jarang sesama muslim, hanya karena perpedaan kepentingan dan cara pandang duniawi saling mencaci maki. Agama hanya dianggap perahu cadangan ketika nanti darurat. Agama hanya sebagai penghias kehidupan mereka. Simbul-simbul keagamaan mereka gunakan hanya untuk mencari kehormatan manusia, tetapi dibalik itu semua tindakan tindakan terlarang sering mereka lakukan.
Sudah saatnyalah lembaga-lembaga agama serperti NU, Al-Irsyad dan Muhammadiyah merubah pola pikir masyarakat yang sangat memprihatinkan itu. Organisasi keislaman memiliki tanggungjawab yang besar dalam mendidik umat kepada jalan yang benar. Lembaga dakwah harus mampu menawarkan nilai-nilai spiritual yang dibutuhkan oleh umat. yaitu nilai yang bisa memberikan kesejukan dan kedamaian bagi setiap individu dalam menjalani kehidupan. Semakin populernya para paranormal, dukun dan kiai-kiai “gembleng” merupakan akibat dari lemahnya masyarakat terhadap agamawan sekarang ini. Wallahua’lamu bish shawab.