Sponsor Links

Saturday, August 7, 2010

Demi Waktu

Demi Waktu
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

Sesungguhnya Manusia dalam kerugian.
Kecuali Orang-orang yang beramal shaleh dan
saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
(QS : Al-Ashr 1-3)

Demi waktu, bahwa kita dalam keadaan merugi. Kita sering melakukan hal-hal yang tidak berguna. Sepanjang hidup kita; tenaga, waktu dan pikiran, sering kita gunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Ironisnya kita lebih suka menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak jelas tujuannya. Padahal jelas sekali Al-Qura’an mengajarkan kepada kita untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Allah.

Kita terlena dengan waktu luang kita. Waktu luang adalah saat-saat dimana kita berfikir tidak ada sesuatu yang harus kita kerjakan. Padahal, dalam hidup ini sebenarnya tidak ada waktu yang harus kita buang secara percuma. Kita bisa mengisi detik-detik hidup kita dengan aktivitas yang bermanfaat. Bahkan tidur saja itu bisa menjadi kegiatan yang bermanfaat jika detik-detik lainnya kita diisi dengan aktivitas produktif. Jadi tidur merupakan usaha membangun kekuatan atau memulihkan tenaga agar kita lebih kuat lagi untuk mengerjakan pekerjaan selanjutnya.

Untuk itu, perlu kiranya kita memformulasikan hari-hari dalam kehidupan kita dengan jadwal aktivitas yang teratur. Jadwal ini akan memberikan arah ataupun panduan kepada kita akan apa yang harus kita kerjakan pada setiap detiknya. Pasalnya, kebanyakan dari kita itu terbunuh oleh waktu dan usia. Waktu luang yang kita gunakan untuk sesuatu yang sia-sia atau tidak produktif akan membawa kita pada kematian yang sia-sia. Waktu adalah pedang, jika kita tidak pandai menggunakannya. Maka kitalah yang akan terbunuh dengan waktu. Demikian juga dengan usia. Usia adalah masa dimana kita memiliki batas waktu. Dimana batas akhirnya pun tidak ada yang tahu. Batas waktu usia adalah rahasia Allah atas manusia. Allah sengaja tidak memberi tahu kapan kehidupan kita berakhir karena Ia ingin menguji sejauh mana keimanan dan komitmen aplikasi keimanan dalam hidup kita. Itulah sebabnya manusia harus berkarya dengan ibadah sebanyak-banyaknya guna mempersiapkan diri agar siap dipanggil kapan pun juga.

Semakin banyak aktivitas produktif dalam hidup kita, semakin banyak juga kemungkinan amal ibadah kita. Kita bekerja untuk dunia dapat dikatakan ibadah jika kita bekerja sesuai dengan ajaran agama atau tidak melanggar hukum agama. Kita bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kebaikan umat manusia adalah jihad yang sangat besar pahalanya di sisi Allah swt. Apalagi kehidupan kita diisi dengan ibadah-ibadah yang sudah jelas-jelas untuk Allah swt. Kita solat, kita puasa, zakat dan naik haji merupakan bukti keimanan kita, dan keimanan itu akan terpancar dari gerak-gerik kita di dalam kehidupan bermasyarakat dan berkomunitas. Semakin sholih kita, berarti kita harus lebih banyak memberi daripada meminta.

Setiap muslim dianjurkan menjadi orang kuat. Orang yang kuat adalah orang yang kuat secara lahir dan batin. Orang yang kuat secara lahir berarti ia mampu berdiri sendiri. Ia mampu berkarya dalam kehidupannya sesuai dengan bidang yang ditekuni. Dengan demikian, ia akan dapat lebih banyak memberi daripada meminta. Sedangkan orang yang kuat batinnya. Ia akan tabah menghadapi cobaan, hambatan dan rintangan. Sehingga ia bagaikan pelita dalam kegelapan persoalan suadara-saudarannya. Orang yang kuat secara batin akan menjadi panutan. Ia tidak pernah mengeluh dengan kesulitan hidup ini. Ia tidak mudah menyerah dengan segala kondisi hidup ini. Bahkan ia mampu memberi semangat kepada saudara-saudaranya agar bangkit dan terus berjalan menuju Sang Pencipta. Ia benar-benar menyadari bahawa semua kehidupan adalah cobaan sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak ada yang perlu ditakuti dan disesali. Setiap makhluk yang sudah terlahir di muka bumi, maka apapun kondisinya kehidupan harus jalan terus. Tidak boleh berhenti. Tidak boleh menyerah. Sebelum sampai pada tujuan hakiki kehidupan, yaitu Allah swt. Semoga kita dimudahkan untuk mencapainya. Amien....

Thursday, August 5, 2010

Amanah Berbuat Adil

Amanah Berbuat Adil




“ Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak dengannya dan apabila kalian menghukumi diantara manusia, maka hukumilah dengan adil. Sesungguhnya Allah yang paling baik menasehati kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (An-Nisa: 58).


Saat ini banyak orang putus asa dengan kehidupan ini. Pasalnya banyak orang yang diberi amanah menjadi pemimpin, tetapi tidak mengemban amanah itu secara baik. Amanah itu justru dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau golongannya. Ironisnya sebelum diberi amanah,berupa jabatan, mereka berjanji bahkan bersumpah dengan nama Illahi untuk mendapat simpati.

Kejadian yang terjadi di gedung DPR/MPR hanya bagian kecil dari bukti keputusasaan rakyat kecil untuk mengingatkan para pemimpin yang tidak adil. Kata-kata tidak didengar lagi. Demo sudah bukan barang baru, bahkan sekedar menjadi intertainment semata. Walhasil, wajarlah jika lahir tindakan-tindakan “destruktif” seperti yang dilakukan pak Pong dan kawan lainnya. Jika kritik sudah tidak mempan lagi apalagi hanya sekedar saran dan kritikan.

Jika para pemimpin sudah tidak lagi mengindahkan nasehat para ulama’ di negeri ini, maka siapa lagi yang dapat diandalkkan oleh rakyat kecil. Hasilnya adalah ketidak percayaan, sehingga setiap orang akan dengan caranya sendiri mengekspresikan kekecewaan dan kekesalan terhadap para pemimpin mereka. Hal itu tentu akan melahirkan tindakan destruktif yang berkepanjangan.

Pemimpin yang adil
Saat ini memang sangat sulit mencari pemimpin yang dapat di percaya. Hal ini terbukti dengan semakin terpuruknya lembaga-lembaga hukum kita. Lembaga hukum kita telah tercoreng dengan ditemukannya beberapa oknum yang terlibat dalam korupsi dan kolusi. Jika lembaga hukum saja demikian, bagaimana dengan lembaga-lembaga yang lain? Jawabanya, tentu akan lebih para dari itu.

Pemimpin yang adil akan mengemban amanah sesuai yang telah ditetapkan atau dijanjikan. Ia akan konsisten mencapai tujuan dengan tindakan-tindakan mulia, yaitu dengan cara yang benar, dengan tidak mengorbankan kepentingan rakyatnya. Pemimpin yang adil tidak akan mengorbankan bawahan demi kepentingan dirinya bahkan kepentingan organisasinya. Pemimpin yang adil harusnya justru berani berkorban untuk orang lain terutama bawahan agar bawahannya mendapatkan hak sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan.

Dalam konsep yang sederhana, pemimpin adalah orang yang dipercaya mengemban amanah untuk mewakili kepentingan organisasinya (dalam kontek negara, rakyat). Pemimpin yang adil tidak akan melakukan atau memutuskan sesuatu tanpa landasan kebenaran. Apapun yang terjadi dengan organisasi, pucuk pimpinan bertanggungjawab atas segala sesuatunya. Sehingga keputusan apapun dan kebijakan apappun sangat tergantung dengan kebijakan pimpinan itu sendiri. Jika pemimpin dapat bersikap adil, dalam arti menempatkan segala sesuatu sesuai dengan ketentuannya, maka sinergi organisasi itu akan semakin baik. Jika sinergi ini dalam kondisi yang baik, maka organisasi itu akan semakin mudah mencapai tujuan bersama. Namun berbeda halnya jika pemimpin tidak bisa menempatkan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan. Sudah dapat dipastikan jalan organisasi akan pincang. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya sinergi di dalam organisasi tersebut.

Ketidakadilan dapat berakibat fatal dalam kehidupan. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai persoalan sosial akibat persaingan yang tidak sehat. Bahayanya lagi, ketidakadilan akan melahirkan kecemburuan sosial yang berakibat pada dihalalkanya segala cara untuk meraih jabatan. Kondisi ini pernah melanda umat islam, pada zaman kekhalifahan. Seperti yang digambarkan oleh KH Abdurrahman Muhammad (2009); “…caci maki dan fitnah terhadap keluarga Ali tidak saja dilakukan di wilayah privat, tapi juga di tempat-tempat umum, bahkan di masjid-masjid. Tak sedikit di antara para Khatib yang memanfaatkan mimbar Jumat sebagai ajang caci maki terhadap Ali dan keluarganya. Padahal, semua orang tahu bahwa Ali adalah orang pertama dari kelompok anak muda yang masuk Islam. Ia kelurga dekat, juga menantu kesayangan Rasulullah SAW. Ali mengikuti hampir semua peperangan menghadapi kaum kafir.”
Kejadian seperti itu tentu tidak boleh terulang kembali di kalangan umat Islam. Sesama muslim hendaknya mempererat persaudaraan dan ukhuah islamiah. Kalaupun ada pertentangan atau perbedaan hendaknya diselesaikan secara musyawarah. Hal itu akan lebih meredam perpecahan dan permusuhan.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menciptakan sinergi dalam organisasi. Yaitu kondisi dimana setiap komponen dalam komunitas itu memiliki rasa memiliki dan bersemangat untuk menjalankan tanggungjawabnya masing-masing.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah memulai segala kebaikan dari pucuk pimpinan. Pemimpin adalah representasi dari setiap orang yang ada di bawahnya. Ia adalah representasi dari organisasi yang dipimpinnya. Jika pemimpin sudah sesuai dalam menjalankan amanah kekpemimpinan, secara otomatis menggerakan bawahan akan semakin mudah. Karena bawahan tidak akan membangkan dan akan lebih menghormati pemimpin yang amanah. Tetapi berbeda halnya jika pemimpin itu dholim. Pemimpin dholim; pilih sih atau tidak adil, maka akan lehir bawahan yang tidak sinergi dan tidak akan mengikuti bahkan menentang atasan mereka.

Kedua, seorang pemimpin harus transparan terhadap kebijakan-kebijakannya. Kebijakan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, yaitu bawahan. Jika pemimpin dapat memusyawarahkan segala keputusan dan ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban bawahannya, insya Allah bawahan akan menerima dengan lapang dada dan tidak akan membangkan dengan ketentuan pimpinannya. Oleh karena itu, pemimpin yang adil harus bersikap lapang dada dan terbuka terhadap segala ketentuan yang dibuat bersama. Tidak ada yang diistimewakan atas setiap komponen yang ada di dalam lembaga tersebut.

Ketiga, seorang pemimpin hanya akan mengambil keputusan jika sesuatu itu sudah dapat dibuktikan. Idealnya seorang pemimpin harus bijaksana terhadap segala persoalan. Ia tidak mudah percaya terhadap isu-isu yang berkembang, terutama yang berkaitan dengan persoalan di lembaga sendiri. Karena bisa jadi, orang-orang di sekelilingnya akan berusaha dengan berbagai cara untuk mendapat simpati dari pemimpinnya. Dengan demikian, orang-orang yang berkepentingan akan menyebarkan fitnah terhadap golongan lain di dalam lembaga itu. Jika ini terjadi maka akan terjadi perpecahan, yang berarti juga akan mengurangi kekuatan atau bahakn menghancurkan organisasi itu sendiri.

Keempat, seorang pemimpin tidak suka menghukum, tetapi lebih suka memberi motivasi. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat. Tetapi kalau kita melihat pola kepemimpinan Rasulullah saw, kita akan menemukan betapi beliau lebih banyak memotivasi orang-orang yang berbuat salah ketimbang memberi hukuman. Contoh saja ketika ada seseorang yang mengadu bahwa dirinya telah batal menjalankan puasa, karena ketidakmampuannya terhadap istrinya. Maka tidak sertamerta, Rasulullah menghujatnya sebagai manusia berdosa. Tetapi dengan bijaksana beliau mengajari dan menyarankan hamba itu berbuat sesuatu yang lebih baik. Inilah contoh pemimpin yang diharapkan oleh setiap manusia sepanjang jaman.

Kelima, seorang pemimpin lebih banyak memberi contoh daripada menegur. Dalam setiap kesempatan kita tentu melihat bagaimana pola kepemimpinan di lingkungan kita. Seorang pemimpin ditakuti, tetapi bukan dihormati. Kalaupun ada yang dihormati itu sementara saja saat pemimpin itu ada di depan mata, tetapi ketika pemimpin sudah pergi akan menjadi bahan caci maki. Coba lihatlah bagaimana bisa seorang pemimpin di negeri yang mayoritas muslim, justru jadi cemoohan, ejekan dan hujatan. Hal ini tentu karena seorang pemimpin tidak dapat memberi contoh yang lebih baik dalam kehidupan ini.

Mudah-mudahan kesadaran kita akan pentingnya memimpin dengan amanah akan membawa kita pada kedamaian dan kesejahteraan bersama. Hal itu hanya akan terwujud jika kita meneladani pola kepemimpinan yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Semoga dengan usaha yang sungguh-sunggu kita akan diberi kekuatan untuk mengikuti pola kepemimpiannya. Amin..

Ikhlas Mengemban Amanah

Ikhlas Mengemban Amanah


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.
(Al-Anfal 27)

Kehidupan adalah sebuah amanah yang sangat mulia bagi setiap manusia. Setiap orang memiliki amanah dari Allah swt, untuk memberikan kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Dalam konsep yang lebih besar, manusia diciptakan hanyalah untuk beribadah. Beribadah dalam arti bahwa setiap tindakan harus dapat memberikan kemanfaat bagi seluruh alam.

Sayangnya banyak diantara kita yang terlena dengan kenikmatan dunia. Kita cenderung mengorientasikan hidup kita untuk diri sendiri. Kita abaikan amanah terbesar kita, yaitu untuk kebaikan bersama. Kita sering menganggap orang lain sebagai bukan apa-apa, tidak berarti, atau bahkan musuh dalam hidup kita. Walhasil, dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak bersemangat di dalam menjalani kehidupan ini, terutama jika apa yang kita lakukan tidak mendapat imbalan dari manusia.
Dalam lingkup yang lebih sempit, kita sering melalaikan amanah di lingkup pekerjaan kita. Kita tidak sungguh-sungguh mengerjakan apa yang sudah menjadi tanggungjawab kita. Secara sembunyi-sembunyi atau bahkan terang-terangan banyak diantara kita yang mengurangi waktu bekerja, atau tidak mengerjakan sesuai yang seharusnya. Ironisnya, kita sudah digaji dan bahkan sepanjang hidup kita tergantung dari lembaga dimana kita bekerja.

Kita sering mengeluh dengan kondisi yang kita hadapi di kantor. Kita menyalahkan orang lain. Kita sering menyalahkan bawahan atau bahkan atasan, atas kebijakan yang tidak sesuai dengan hati kita. Walhasil, kita pun tidak kooperatif terhadap segala tanggungjawab yang seharusnya kita kerjakan secara sungguh-sungguh.

Kerja sebagai ibadah
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….”
(an-Nahl: 90)

Hidup kita semata-mata hanya untuk beribah kepada Allah. Jadi apapun yang kita lakukan tidak lain hanya untuk mencari ridho Allah. Kita sudah semestinya tidak mudah mengeluh apalagi putus asa terhadap segala kondisi yang kita hadapi dalam kehidupan ini.

Apapun yang kita kerjakan sepanjang untuk kebaikan, maka harus dikerjakan secara sungguh-sungguh. Jika orientasi kita hanya untuk mengabdi kepada Allah maka kita harus mengerjakan apapun itu dengan tidak mengharap imbalan dunia semata. Allah adalah tujuan dari sagala apa yang kita lakukan. Kalaupun ada imbalan dunia, maka itu bukan orientasi utama kita.

Orientasi hidup kita harus ingin selalu memberi yang terbaik. Baik untuk keluarga, kerabat maupun untuk umat manusia. Memberi lebih baik dari pada menerima. Karena kita mengemban amanah memberikan bukan meminta. Untuk itu tidak sepantasnya seorang muslim meminta imbalan kepada manusia, kecuali memang sudah menjadi hak kita. Menjadi orang yang hanya selalu meminta menunjukan bahwa kita adalah orang yang lemah. Orang lemah di dalam Islam sangat tidak dianjurkan. Kita harus menjadi orang yang kuat lahir, batin; yaitu orang yang bisa mengayomi dan memberikan segala bantuan kepada orang lain.

Agar semangat hidup kita selalu membara dalam mengarungi hidup ini, kita harus berorientasi pada kehidupan jangka panjang. Yaitu apa yang kita kerjakan tidak harus mendapat imbalan pada saat ini. Karena kita yakin apapun itu, imbalannya pasti ada. Imbalan tidak harus yang berupa materi duniawi, tetapi imbalan bisa berupa pahala dari Allah, persaudaraan, juga imbalan yang berupa materi sesaat, berupa uang. Imbalan terbaik adalah pahala dari Allah swt. Sedangkan imbalan jangkan menengah adalah eratnya persaudaraan antara kita dengan saudara-saudara kita.

Imbalan yang berupa persaudaraan adalah imbalan jangka menengah. Imbalan ini akan kita nikmati dengan semakin banyaknya rezki berupa kasih sayang dan kepercayaan dari saudara-saudara kita. Logikannya, jika kita mengerjakkan sesuatu dengan baik, maka setiap orang akan mempercayai kita dengan pekerjaan-pekerjaan selanjutnya. Dengan demikian kita akan menjadi harapan dan tumpuan bagi mereka. Ini berarti peluang kedepan kita untuk mendapatkan saudara dan imbalan berupa materi secara otomatis akan kita peroleh.

Berbeda halnya dengan jika kita melakukan sesuatu hanya berorientasi pada jangka pendek, berupa materi. Kita pasti akan mengeluh ketika materi yang kita dapatkan tidak sesuai dengan standar yang kita harapkan. Kita akan putus asa dan bahkan memusuhi orang yang telah mempekerjakan kita. Ironis lagi kita akan mencaci saudara kita sendiri ataupun lembaga sendiri. Hal ini tentu akan berdampak pada kehidupan kita yang terpuruk. Kita akan kehilangan kepercayaan dan peluang yang lebih besar dalam hidup kita.

Kerja Ikhlash
Dengan demikian sudah sepantasnyalah kita mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Apalagi perkerjaan itu memang sudah menjadi tanggungjawab kita. Bekerja secara sungguh-sungguh akan memberikan pelayanan atau hasil yang maksimal.
Setiap orang kan merasa puas dengan apa yang kita kerjakan. Dengan demikian, kita tidak akan mengecewakan saudara-saudara kita. Jikalaupun ada kekurangan, itu bukan disebabkan karena niat kita yang tidak tulus, tetapi karena memang keterbatasan kita. Dengan demikian, kita tetap akan mendapat pahala karena niatan tulus kita.
Kerja ikhlas akan menjadikan hidup kita tenang. Hidup kita akan lebih puas karena telah berusaha sebaik mungkin untuk memberikan pelayanan. Kehidupan yang ikhlas juga akan mendatangkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Inilah sebabnya diperlukan pemahaman akan tujuan hakiki dari kehidupan kita, yaitu mencari ridho Allah swt. Wallahua’lam..

(Dimuat di Radar Jogja Senin 16 Agustus 2010)