Sponsor Links

Tuesday, January 8, 2008

SEMIOTIKA NEGATIVA S.T. SUNARDI

Oleh
Wajiran, S.S.
(Mahasiswa Pasca UGM)


Pengantar
Semiotika Nagativa yang menjadi judul dari buku ini merupakan tanggapan dari Semiotika Positiva. Konsep ini lahir sebagai upaya untuk membantuk seimotika positiva yang belum menjamah tanda-tanda secara mendalam. Dalam Semiotika Negativa, tanda dipahami bukan sekedar dari apa yang ada (kenyataan), namun tanda dipahami dari benda itu sendiri sekaligus apa yang ada dibalik dari benda itu (after the fact). Dalam semiotika positiva kita sering mengabaikan beberapa hal yang kita anggap sepele. Kita sering memahami suatu tanda semata-mata dari sudut materi benda itu, tetapi apa yang ada di balik benda itu, tidak pernah kita pikirkan. Padahal hal-hal yang ringan (sederhana) itu ternyata memiliki peranan yang cukup besar dalam kehidupan kita. Itulah mengapa gagasan semiotika negativa itu menjadi judul dari buku ini.
Dalam kehidupan kita memiliki beberapa produk budaya yang sangat penting untuk dipelajari karena bisa menjadi cermin bagi kita sendiri. produk budaya itu adalah bahasa, mitos, foto/gambar, karya sastra, dan wacana. Namun kenyataannya kita masih anggap remeh produk budaya terebut. Dalam semiotika negativa hal-hal yang nampak sepele ini menjadi perhatian utama dalam telaah tanda-tanda. Karena pemahaman terhadap produk-produk budaya ini bisa menjadi solusi atas beberapa persoalan yang dihadapi dalam suatu kelompok masyarakat. Untuk lebih jelasnya mengenai pembahasan buku ini akan dijelaskan sebagai berikut.

Semiotika, Bahasa dan Karya Sastra
Peranan semiotika dalam mengungkap tanda-tanda dari kebudayaan manusia sangat besar. Semiotika mampu memberikan interpretasi yang sangat penting bagi perkembangan suatu kebudayaan masyarakat. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Saussure menyatakan bahwa “semiology is a science which studies the role of signs as part of social life. Sebagai ilmu yang mepelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki cakupan yang sangat luas. Karena itulah dalam buku ini juga dibahas mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan tanda.
Semiotika bisa dikatakan sebagai satu-satunya alat yang bisa mengungkap apa yang ada dalam tanda-tanda itu. Dalam buku ini disebutkan bahwa semiotika dianggap sebagai kartu AS dalam menelaah budaya. Dengan semiotika orang akan mengetahui segala persoalan budaya yang dihadapi dalam pergulatan sosial.
Barthers berkeyakinan bahwa semiotika merupakan kekuatan eksentrik budaya modern. Eksentrik bukan hanya dalam arti “aneh” (sekalipun mungkin terasa aneh) namun lebih dalam arti kekuatan kritik dari ”luar”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 4 ).

Semiotika akan menjadi semacam kursi roda, kartu As dalam pengethuan wacana. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 4).

Produk budaya modern yang sangat nyata dan penuh dengan tanda-tanda sosial adalah karya sastra. Karya sastra merupakan cerminan dari masyarakatnya, oleh karena itu karya sastra memiliki makna simbolis yang perlu diungkap dengan model semiotika. Sebagai karya yang bermediakan bahasa, karya sastra memiliki bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa yang lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun karya ilmiah. Bahasa dalam sastra menggunakan gaya bahasa tersendiri. Disini disebutkan bahwa bahasa merupakan dimensi horisontal dan gaya adalah dimensi vertikal. Sebagai lingkungan keniscayaan, bahasa dan gaya menghasilkan Nature atau kodrat bagi seorang penulis. Jadi bahasa dan gaya merupakan suatu objek (dalam arti Gegendstand) ((p. 11).
Bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan pranata sosial yang di dalamnya terkandung sistem nilai. Oleh karena itu bahasa merupakan bagian terbesar dari telaah semiotika. Bahasalah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain. Dengan bahasa manusia mampu berkomunikasi dan berintaraksi dengan sesamanya. Bahasa itulah yang telah menjebatani lahirnya berbagai kemajuan yang ada dalam kebudayaan manusia. Disinilah lahir konsep setrukturalisme antropologis yang mempercayai bahasa yang digunakan dalam suatu komunitas menggambarkan kondisi komunitas itu sendiri.
Dalam karya sastra, seorang penulis dianggap memiliki otonomi. Penulis memiliki kebebasan menggunakan gaya bahasa yang dipilih sesuai dengan yang dikehendaki tampa harus mempertimbangkan kehendak dari luar dirinya. Karena kebebasannya inilah maka seorang pengarang mampu memberikan pandangan dan gagasannya secara leluasa tanpa harus merasa khawatir terhadap tatabahasa yang digunakannya. Dengan demikian apa yang dituliskan dalam karya sastra seorang pengarang tentu memiliki harapan dan tujuan yang bersifat pribadi pula. Dari sinilah lahir suatu sudut pandang yang hendak ditanamkan oleh seorang pengarang kepada pembacanya. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan karya sastra membawa idelogi dari sang penulis. Sebagai kiasan disebutkan sebagai peberikut;
Sastra ibarat cahaya yang menembus bidang-bidang yang masih gelap namun perlu didalami. Tetapi sastra juga bisa membuat hal-hal yang tak absurd menjadi lebih bisa diterima-sekalipun tidak intelligible. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 17).

Keotonomian pengarang dalam mengolah karya sastra, menjadikan muatan yang ada dalam karya sastra menjadi sangat subjektif. Dalam arti apa yang diyakini oleh pengarang akan tercermin dan akan terefleksikan dalam karya sastranya. Termasuk bahasa dan gaya yang digunakan dalam menyampaikan gagasan melalui karyanya. Dengan cara yang demikian, sastra mampu memberikan keterangan terhadap suatu persolan sangat sulit diungkap dengan kata-kata di luar karya sastra. Lotman (1970:21) mengatakan bahwa “Literature posesses an exclusive, inherent system of signs (...) which serve to transmit special messages, nontransmittable by other means.

Bahasa, budaya, dan Ideologi
Seperti yang sudah disebutkan di atas, kebebasan yang dimiliki oleh seorang penulis membawa pada lahirnya suatu pemikiran atau lebih luasnya ideologi. Ideologi yang dibawa oleh sebuah karya sastra akan merubah pola pikir, sudut pandang dan sampai pada perilaku masyarakat sebagai penikmat karya sastra. Oleh karena itu keterkaitan antara bahasa, budaya dan ideologi tidak bisa dipisahkan. Ketiganya akan saling terkait. Bahasa sebagai salah satu media terpenting dalam budaya manusia melahirkan suatu konsep yang dinamakan dengan ideologi. Hal itu juga yang tertuang dalam media massa modern yang saat ini sedang mengalami perkembangan sangat pesat. Seperti yang disebutkan Lipovetsky dalam tulisan berikut ini
“In the past few years, several social thinkers in France and Italy have confronted the reign of mass culture as largely and searchingly as possible, while we in the English-speaking world have tended to narrow this subject to violence on television, the sexual ethics of rock stars, or the vices and virtues of an urban landscape increasingly resembling Desneyland”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 28).
Dari paparan di atas dapat kita simpulkan bahwa aktivitas membaca sebuah karya merupakan proses untuk menghasilkan sesuatu. Jadi pembaca karya sastra bukan semata-mata untuk sekedar menikmati karya, tetapi dari situlah akan melahirkan pemikiran yang distimuli oleh karya yang sudah dibacanya. Dengan demikian membaca bukan mencari struktur, melaikan merestrukturasi. Membaca juga bukan sekedar mengonsumsi tetapi untuk memproduksi tek kembali. Karena perananya yang begitu besar dalam mempengaruhi pembaca, maka tugas penulis bukan sekedar menulis begitu saja. Tetapi seorang penulis atau pengarang meliki tugas untuk melahirkan keinginan yang kuat dari pembaca untuk membaca tulisannya.

Sistem tanda dalam semiotika
Tanda dapat ditemukan dalam ekpresi yang terungkap dalam aktivitas manusia. Dari aktivitas komunikasi manusia akan terdapat perbedaan (kejanggalan). Perbedaan dalam suatu proses komunikasi inilah yang disebut tanda. Dengan demikian, suatu sistem tanda dapat menghasilkan makna karena prisip perbedaan (difference). Dengan demikian makna suatu tanda bukanlah terjadi secara alamiah melainkan dihasilkan dari lewat sistem tanda yang dipakai dalam kelompok orang tertentu (p. 53).
Untuk memudahkan pemahaman kita akan hubungan simbolis mengenai tanda dapat diperhatikan gagasan Saussure mengenai tiga gagasan dalam semiotika. Yaitu; simbolik, paradigmatik dan sintagmatik. Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan dirinya sendiri (hubungan internal). Hubungan paradigmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu sistem atau satu kelas. Sedangkan hubungan sintagmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu struktur. Hubungan paradigmatik dan sintagmatik ini disebut juga hubungan ekternal. Sedangkan hubungan simbolik disebut juga sebagai koordinat simbolik sedangkan dua yang terakhir koordinat klasifikasi atau koordinat taksonomik. (p. 54).
Makna tanda dalam kehidupan masyarakat sebenarnya sangat signifikan. Tanda-tanda ini bahkan menghiasi segala gerak individu dalam masyarakat. Barthes menyatakan bahwa tanda simbolik memenuhi kebutuhan manusia akan pengalaman metafisis, otentisitas, kemutlakan, dan keabadian. Pribadi yang kaya dengan tanda-tanda simbolik akan merasa solid, dan masyarakat yang disatukan dengan hubungan simbolik memperarat atau menyatukan keanekaragaman. Kesadaran simbolik berguna untuk mengintegrasikan antara yang lahir dan yang batin, tampak dan tidak tampak, permukaan dan dasar. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 61).
Pendekatan semiotika bersifat struktural karena semiotika mengasumsikan adanya hirarki sistem tanda. Struktur inilah yang akan menjadi media kita menemukan perbedaan-perbedaan itu. Berbicara mengenai struktur kita tidak bisa lepas dari konsep struktur Levi Strauss mengenai konsep struktur tanda. Struktur tanda yang dimaksud adalah; petama, linguistik struktural bergeser dari kajian gejala linguistik yang disadari ke kajian infrastruktur tak-sadar. Kedua, linguistik struktural tidak memperlakukan terms (istilah) sebagai entitas independen melainkan mengangkatnya sebagai landasan analisis untuk mendapatkan hubungan antar-term. Ketiga, linguistik struktural memasukkan konsep sistem linguistik modern tidak hanya menyatakan bahwa fonem selalu merupakan bagian dari suatu sistem; fonetik menunjukkan sistem fonetik yang konkret dan menunjukkan strukturnya. Dengan demikian linguistik struktural bertujuan menyingkapkan hukum umum, entah dengan induksi atau dengan deduksi logis, yang dapat menunjukan ciri absolutnya. (p. 95).

Mitos dan ideologi
Setelah memahami arah penelitian semiotika dan struktur tanda dalam semiotika, pembahasan fokus pada mitos. Mitos berasal dari bahasa Yunani yakni Mutos, yang berarti cerita. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 103). Mitos biasanya menunjukan cerita yang belum tentu benar. Dengan kata lain mitos merupakan cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap memiliki kekuatan oleh karena itu tetap dibutuhkan oleh manusia. Dengan adanya mitos manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.
Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yakni; sigifier, signified, dan sign. Atau istilah lain yang digunakan oleh Barthes adalah form, concept, dan signification. Form sejajar dengan signifier, concept dengan signified, dan signification dengan sign. Untuk menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil seluruh sistem tanda tingkat pertama sebagai signifier atau form. Sign diambil oleh sistem tingkat dua menjadi form. Adapun concept diciptakan oleh pembuat atau pengguna mitos. Sign yang diambil untuk dijadikan form diberinama lain, yaitu meaning karena kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Ini berarti satu kaki meaning beradiri di atas tingkat kebahasaan (sebagai sign), satu kaki yang lain di atas tingkat sistem mitis (sebagai form).
Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa (budaya media). Karena dalam perkembangannya mitos bukan hanya berkaitan dengan cerita-cerita yang tidak logis. Mitos berkembang dalam kontek yang lebih modern. Dalam bukunya Mythology (1983) Barthes menyebutkan bahwa mitos bisa dalam bentuk fotografi, sinema, reportasi, olahraga, pertunjukan, pulbikasi yang mendukung wacana mitis. Untuk itu mitos yang ditelaah dalam buku ini juga mitos yang terdapat dalam media massa. Roland Barthes menyatakan media massa memiliki makna mitologi yang tersebar di masyarakat. Dengan mengangkat media massa sebagai kajian, Barthes memeriksa bentuk-bentuk mitos yang kita temukan dalam media massa dan muatan ideologis yang ada di dalammya.
Kekuatan mitos sangat besar dalam masyarakat. Oleh karena itu mitos tidak dapat dilawan secara frontal. Kalau hal ini dilakukan, kita akan menjadi mangsa mitos. Mitos harus dilawan dengan mitos baru. Mitos baru ini dibuat berdasarkan mitos-mitos yang sudah ada. Inilah komunikasi kreatif yang diidealkan Barthes. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 102).
Contoh produk budaya yang mengandung mitos modern, dapat kita pelajari dari contoh yang diberikan Roland Barthes berkut ini. Barthes menafsirkan gambar foto seorang anak kulit hitam dengan seragam tentara Perancis yang sedang menghormat sebuah bendera Perancis. Gambar ini ditafsirkan sangat mendalam dalam telaah semiotikanya. Foto/serdadu negro itu adalah form, tafsiran “kebesaran imperium Negara Perancis” kita sebut dengan concept, sedangkan signification dalam kedua hal ini adalah keseluruhan sistem tanda tentang kebesaran Perancis atau mitos kebesaran Perancis. Foto inilah yang secara langsung mampu menyampaikan konsepsi mengenai negara Perancis, meskipun kita tidak membaca uraian tertulis dari foto itu.
Deformasi terjadi karena konsep dalam mitos terkait erat dengan kepentingan pemakai atau pembuat mitos (yaitu kelompok masyarakat tertentu). Dilihat dari proses signification, mitos berarti menaturalisasikan konsep (maksud) yang historis dan meng-historisasi-kan sesuatu yang intensional. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 113). Oleh karena itulah mitos dibuat bukannya tanpa maksud melainkan intensional. Mitos dibuat dengan tujuan tertentu. Seperti gambar foto seorang negero di atas. Gambar itu dipilih oleh Said yang sedang membahas hubungan antara imperialisme dan budaya. Disitu tentu terkandung maksud tertentu dari si penulis dalam menggunakan foto itu sebagai kover bukunya.
***
Berdasarkan kesadaran akan tujuan dari dibuatnya suatu mitos. Maka pembahasan ini tentu dikaitkan dengan kepentingan pembuat mitos. Lebih jauh lagi pembahasan mitos berkaitan dengan ideologi. Dalam analisis ideologi secara semiotik, Barthes menyarankan agar kita melakukan pendekatan campuran, yaitu semiologi dan ideologi. Akan tetapi ia memperingatkan bahwa “ideology has its methods, and so has sociology”. Sejauh ini kita sudah memeriksa metode semiotik. Kita sekarang masih harus memeriksa metode ideologi dan bagaimana menggabungkan dua pendekatan ini agar kita dapat melakukan kritik ideologi secara semiotik.
Gagasan mengenai ideologi sendiri sebenarnya masih sangat kabur. Masing-masing orang terkadang memiliki pengertian yang berbeda. Marx mengartikan ideologi sebagai pengelabuan, Gramsci sebagai “pandangan tentang dunia”, dan Althussser mengatakan bahwa “ideology interpellates the subjects”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 133). Dari beberapa pendapat ini, yang terdekat dengan mitos adalah pendapat Marx. Sebagaimana kita lihat muatan mitos yang tidak memiliki nilai historis sebenarnya hanya kemampuan si pembuat mitos untuk mengelabuhi masyarakat. Disinilah kemenangan si pembuat mitos yang secakarang mungkin disebut dengan wacana itu. Inilah yang kemudian memungkinkan kita melakukan kajian ideologi baik secara sinkronik maupun diakronik. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 133).
Dengan pandangan demikian, dapat kita pastikan bahwa kemenangan orang-orang modern sekarang adalah pada tataran wacana. Semakin tinggi tingkat kemampuan menciptakan mitos-mitos modern, orang akan survive dalam pergulatan masyarakat modern sekarang ini. Walhasil semua orang berlomba dalam menggaungkan wacana, agar bisa menjadi mitos dalam masyarakat. Seperti gagasan liberalisme. Gagasan ini sebenarnya bentuk dari esensialisme: semua orang bebas asalkan bertindak sesuai dengan posisi dan sifat yang sudah ditentukan. “Ditentukan” yang pada mulanya merupakan peristiwa historis menjadi “ditentukan” dalam waktu mitis. “peristiwa” tidak lagi dipahami secara historis melaikan mitis. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 137). Karena konteknya yang demikian, maka budaya, singkatnya bukan merupakan konsep yang statis melainkan sebuah arena untuk kontes politis dan ideologis yang penuh kegetiran”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 141).
Singkatnya pemahaman akan mitos akan sangat penting bagi setiap manusia modern. Karena kita tidak akan pernah bisa melawan mitos tanpa melawan dengan mitos baru. Jika kita tidak mengetahui mitos yang berkembang maka kita akan selalu berada dalam ketertindasan. Seperti yang sudah disebutkan di dalam mitos terdapat kekuatan untuk mempengaruhi atau menanamkan suatu kepercayaan yang berarti kekuasaan. Model interaksi seperti inlah yang saat ini terjadi di dalam percaturan masyarakat modern. Semakin kuat mitos yang dikeluarkan makan akan menjadi suatu pegangan dan itulah yang disebut dengan kebudayaan. Dalam kehidupan modern kebudayaan adalah sebuah proses untuk mengaktualisasikan kekuatan kapital.... Jadi ideologi dibedakan dengan gejala kebudayaan. Kalau gejala kebudayaan dapat dikenali cukup lewat bahasa, ideologi harus dikenali lewat wacana (dan untuk mengenali wacana tentu saja harus lewat bahasa karena wacana tidak lain adalah “ a kind of writen word according to a special code”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 143).

Foto atau gambar
Pembahasan mengenai mitos sudah membawa kita pada kesadaran akan pentingnya pemahaman makna dari mitos. Media massa seperti gambar juga dapat melahirkan gagasan atau sering disebut mitos. Masyarakat modern tidak bisa dilepaskan dari media ini. Segala aktivitas dan bentuk komunikasi sangat berkaitan erat dengan media ini. Terutama sekali adalah media massa yang identik dengan gambar. Media massa setiap hari akan menampilkan foto atau gambar yang mengandung pesan-pesan tertu. Ada beberapa alasan mengapa Barthes membahas persoalan gambar; yang pertama adalah ia ingin mengembangkan sebuah pendekatan struktural untuk membaca foto media. Kedua, Barthes ingin melihat fungsi dan kedudukan gambar dalam pembentukan budaya media (Semiotika Negativa, p. 156).
Tidak berbeda dengan pembahasan kita akan makna mitos, foto atau gambar juga memiliki fungsi ideologis. Gambar memiliki peran penyampai informasi yang terkadang lebih efektif kepada masyarakat. Itulah kenapa foto atau gambar juga sering dianggap sebagai bagian dari propaganda (p. 157). Dalam dunia bisnis gambar sering digabungkan dengan kata-kata. Dalam iklan gambar lebih menekankan pada fungsi memperjelas atau memberikan daya tarik.

Wacana
Pembahasan kedudukan dan fungsi masing-masing komponen dalam buku ini membawa kita pada bentuk produk budaya yang paling kuat. Jika pada awal buku ini dibahas mengenai fungsi bahasa, karya sastra, mitos dan gambar, maka pada bagian akhir buku ini dibahas mengenai wacana. Barthes menyatakan bahwa wacana merupakan produkk budaya yang paling efektif untuk membentuk atau mempengaruhi masyarakat. Wacana dipahami sebagai bahasa imajiner dan satu-satunya media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Karena itu dalam wacana bahasa memiliki makna ganda; yaitu sebagai media penyampai informasi dan juga sebagai pemberi hiburan.
Menurut Barthes, wacana dan bahasa tidak bisa dipisahkan meskipun keduanya memiliki perbedaan. Dalam buku ini disebutkan; language flows out into discourse; discourse flows back into language; they persist one above the other like children topping each other’s fists on baseball bat (p. 234). Dengan kata lain bahasa mengalir dalam wacana dan wacana disedot lagi oleh bahasa. Keduanya saling tarik menarik. Hanya dengan bahasalah kita dapat menyusun wacana. Dan wacana adalah tindakan kita saat kita menggunakan bahasa.
Namun demikian dalam kontek ini Barthes lebih mengutamakan wacana daripada bahasa. Karena wacana menyangkut kebebasan manusia, budaya sebagai ungkapan kebebasan harus dilihat pada wacana. Demikian juga persoalan identitas dan subjektivitas harus dilihat dalam wacana. Wacana dalam kata-kata Barthes, adalah “the realm of the individual moments of language use, of particular ‘utterance’ or ‘messages’ whether spoken or written.” (p. 236). Dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai subject, homo loquens, dapat dikenali paling jelas dalam wacana. Di dalam wacana eksistensi manusia modern diakui.
Begitu besarnya peranan bahasa dalam menyusun wacana. Barthes menganggap adanya kekuasaan bahasa dalam wacana. Oleh karena itu wacana dibagi dalam dua hal; yaitu; wacana teroris dan wacana oportunis. Wacana teroris adalah wacana yang muncul hanya karena “kekerasan yang inheren” dalam bahasa atau kata. Karena wacana teroris dibuat dengan menggunakan stereotipe, dalam stereotipe kekuasaan bahasa. Karena bahasa adalah masalah kekuasaan dan wacana adalah persoalan menjalankan kehendak untuk berkukasa. Wacana yang disusun dari stereotipe dapat disebut wacana oportunis.
Membahas mengenai kekuasaan bahasa tentunya kita akan kembali pada keistimewaan karya sastra. Barthes menyatakan untuk menghindarkan diri dari fasisme kekuasaan bahasa salah satunya dengan menggunakan karya sastra. Sastra memungkinkan kita memahami wacana di luar belenggu kekuasaan. Lewat pesona revolusi abadi bahasa. Ia mengatakan sastra merupakan muslihat yang menyembuhkan, strategi untuk menghindar, dan siasat yang dasyat untuk mengelabui. (p. 242).
Ada tiga fungsi sastra yaitu; methasis, mimesis, dan semiosis. Fungsi methasis adalah fungsi sastra untuk memberikan pengetahuan tentang kenyataan. Sastra bisa memberikan tema baru bagi wacana baru pula. Fungsi mimesis adalah fungsi untuk menghadirkan yang tidak mungkin dihadirkan. Fungsi semiosis adalah fungsi sastra untuk menghidupkan tanda (to act signs). Masing-masing fungsi ini bisa disebut juga sebagai fungsi realis, fungsi utopian (representatif), dan fungsi performatif (p. 242-243). Inilah sebenarnya kenapa bahasa dan wacana adalah kekuasaan dan kekuatan.

Kematian author
Jika dalam proses penulisan karya sastra sebelumnya sudah disebutkan bahwa penulis memiliki kebebasan berekpresi. Dalam arti bahwa penulis memiliki kebebasan mengungkap segala hal yang mungkin sulit untuk diungkap dengan media lain. Namun demikian, dalam kaitannya dengan tek yang telah dihasilkannya pengarang tidak memiliki otoritas untuk mempertahankan tek yang telah dibuatnya. Informasi yang telah tertuang dalam tek yang telah dibuat si pengarang akan mengalami perubahan interpretasi ketika dibaca oleh penikmatnya.
Barthes berpendapat bahwa author telah mati (Kematian Author). Dalam konsep ini seorang author sudah tidak memiliki otoritas untuk mempertahankan kandungan teknya. Author hanya sekedar menyampaikan apa yang ada dalam benaknya. Namun keputusan akan makna dari tek yang telah dihasilkan akan sangat tergantung pada kemampuan interpretasi seorang pembaca. Dalam hal ini pembaca sangat bebas memperlakukan dan menafsirkan apa yang sudah ditulis oleh author. Apapun yang dipahami oleh pembaca seutuhnya bisa terlepas dari apa yang dimaksudkan oleh si author.
As institution, the author is dead: his civil status, his biographical person have disappeared; dispossessed, they no longer exercise over his word the formidable paternity whose account literary history, teaching, and public opinion had the responsibility of establishing and renewing; but in the text, in a way, I desire the author: I need his figure (which is neither his representation nor his projection), as he needs mine (except to “prattle”).

Kesimpulan
Setelah membaca secara seksama buku Semiotika Negativa, dapat disimpulkan bahwa maksud dari buku ini adalah memberikan kesadaran kepada kita akan pentingya kita memahami produk budaya masyarakat. Mitos, karya sastra, foto, dan wacana selama ini telah mempengaruhi kehidupan kita secara nyata. Produk budaya yang tadinya kita anggap tidak penting ini ternyata memiliki peranan yang luar biasa dalam mengungkap persoalan-persoalan yang terjadi di dalam pergulatan sosial kita.
Pemahaman kita akan persoalan di atas juga menyadarkan kita akan peranan bahasa yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Bahasa bukan sekedar sebagai media berkomunikasi tetapi juga dalam bahasa itu terdapat aspek-aspek budaya yang dimiliki manusia. Mitos, karya sastra dan wacana yang bermediakan bahasa bisa menjadi media untuk mengungkap nilai-nilai budaya yang ada pada suatu masyarakat. Itulah kenapa kita juga mengenal adanya Struralisme Antropologi yang mempelajari sosio-budaya melalui bahasa.