Oleh
Wajiran, S.S.
(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM dan
Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Pengantar
Sampai saat ini masih banyak orang meremehkan sastra. Dengan kata lain orang cenderung menganggap sastra sebagai sesuatu yang tidak penting dalam pembangunan masyarakat. Dibandingkan dengan bidang lain, seperti ilmu pengetahuan alam, tehnik, kesehatan dan bidang praktis lain, sastra dianggap sesuatu yang tidak mendatangkan nilai ekonomis. Hal ini terlihat pada animo para mahasiswa yang mayoritas lebih memilih jurusan eksata dibandingkan jurusan yang berbau sastra. Sastra atau ilmu budaya biasanya menjadi pilihan terakhir setelah yang lain tidak bisa didapatkan. Pandangan ini merupakan gambaran akan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra.
Dibandingkan dengan bidang eksata, sastra memang tidak mempunyai pengaruh secara langsung atau secara fisik. Peranan sastra sebenarnya lebih pada emosi atau spiritual. Sastra merubah seseorang melalui pola pikir, wawasan dalam memandang hidup dan lain sebagainya. Ahmadun Yosi (2007) mengatakan bahwa sejarah pergolakan suatu bangsa tidak pernah lepas dari dorongan-dorongan yang diekpresikan melalui karya sastra. Karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower) dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial yang begitu dasyat di lingkuangan masyarkat pembacanya.
Jabrohim (2005) mengatakan bahwa kedudukan sastra sama dengan ilmu pengetahuan yang lain, yaitu sesuatu yang penting bagi kemajuan masyarakat. Dengan karya sastra pengarang bisa menanamkan nilai-nilai moral dan pesan-pesan tertentu kepada masyarakat pembacanya. Subjektivitas yang disampaikan pengarang melaui karya sastra mampu memberikan motivasi atau dorongan bagi suatu perubahan baik secara individu maupun kolektif (masyarakat).
Yang menjadi pertanyaan, kenapa sastra bisa mempengaruhi masyarakat? Plato mengatakan bahwa sastra merupakan refleksi sosial (Diana Laurenson, dkk. 1971). Sebagai suatu reflesi sosial ia akan menggambarkan kondisi sosial yang ada di sekelilingnya. Karena muatan yang ada dalam sastra adalah gambaran atau reflesi sosial, sastra akan mendapatkan tanggapan dan kritik sekaligus penilaian dari pembaca. Dari jalan ini sastra akan mempengaruhi pola pikir masyarakatnya.
Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra diakibatkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap pentingnya sastra dalam perubahan sosial. Masyarakat masih banyak yang tidak memahami nilai-nilai moral dan kritik yang ada dalam sastra. Disamping itu membaca karya sastra memang membutuhkan waktu yang cukup menyita dibandingkan dengan media lain. Dibandingkan dengan film dan drama, karya sastra membutuhkan waktu yang lebih lama. Ditambah lagi budaya membaca masyarakat kita yang memang masih sangat rendah.
Dewasa ini tanggapan masyarakat masih sebatas golongan terdidik saja. Para pelajar dan mahasiswa sudah mulai memahami pentingnya menelaah karya sastra. Meskipun mereka membaca karya sastra masih sebatas sebagai hiburan, tetap nilai-nilai moral tetap akan mempengaruhi mereka. Sehingga tidak jarang penulis-penulis terkenal di negeri ini mulai digandrungi oleh para remaja Indonesia.
Funsi Sastra
Sastra sebagaimana yang disebutkan Horace berfungsi sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna (Renne Wellek, dkk 1995). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa peranan sastra bukan sekedar menghibur tetapi juga mengajarkan sesuatu.
Karena perenannya yang menghibur sekaligus berguna inilah maka sastra dianggap sebagai media yang paling efektif. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh Prof. Chamamah Soeratno sastra adalah means that not transmitable by other means, karya sastra bisa dikatakan sebagai media yang tidak tergantikan oleh media lain. Ada beberapa poin yang harus kita perhatikan kelebihan sastra dibanding dengan media kritik lain.
Sastra merupakan sarana kritik yang menghibur sehingga pesan yang tersampaikan bisa meresap dalam pikiran manusia secara tidak disadari. Dengan demikian konfrontasi terhadap nilai suatu ideologi yang ada dalam sastra tidak kasar, tetapi merasuk secara perlahan-lahan. Sastra yang memiliki pengaruh seperti ini biasanya adalah sastra yang mengandung nilai didaktis yang tinggi; dan umumnya sastra yang demikian biasanya karya sastra yang berkaitan dengan suatu agama atau ideologi politik.
Montgomery Belgion dalam buku Renne Wellek mengatakan;
“Irresponsible propagandist”. That is to say, every writer adopts a view or theory of life... the effect of the work is always to persuade the reader to accept that view or theory. This persuasion is to say, the reader is always led to believe something, and that assent is hypnotic-the art of the presentation seduces the reader...
Sastra yang berkaitan dengan agama bisa kita lihat pada karya sastra modern saat ini. Karya Helvi Tiana Rosa misalnya merupakan contoh yang paling kongkrit dari sastra yang berbau keagamaan. Karya-karya Helvi telah mempengaruhi kalangan muda Indonesia yang gemar membaca karya-karya sastra islami. Dan objek dari sastra ini adalah kaum muda yang biasanya sangat optimis terhadap kehidupan. Sastrawan-sastrawan yang seirama dengan Helvi adalah Gola Gong, Asna Nadia, dll.
Sastra yang biasanya kontraversial dan sering menimbulkan polemik adalah sastra yang berbau ideologi politik. Sastra yang seperti ini sering mengkonfrotasi penguasa yang dholim. Pramudia Ananta Toer merupakan sastrawan yang bisa dikatakan mewakili sastrawan politik. Karya-karyanya sempat dilarang terbit oleh pemerintahan Orde Baru karena dianggap membahayakan penguasa Suharto. Selain Pramudya masih banyak sastrawan Indonesia yang menyerukan perlawanan terhadap kedholiman penguasa diantaranya; Rendah, M.H. Ainun Najib, Ratna Sarumpaet, dan Nano Riantarno. Mereka adalah sastrawan yang pernah sercara langsung dianggap berbahaya oleh pemerintaha Orde Baru.
Adanya pelarangan atau pembredelan terhadap suatu karya sastra menunjukan pentingnya sastra terhadap perubahan pola pikir pembacanya. Sastra bisa menyadarkan seseorang akan eksistensinya dan juga kebenaran-kebenaran yang harus diperjugankan dalam kehidupan. Dengan karya sastralah orang akan mampu memberikan suatu pemahaman atau pemikiran secara leluasa dan independen. Sastra merupakan sarana nation formation atau nation building yang berarti sastra sebagai pembentuk karakteristik masyarakat.
Sastra merupakan benteng terakhir dari kebudayaan dan peradaban kita yang masih mampu kita pertahankan dari hempasan gelombang penjajahan ekonomi, politik dan militer dari penjajah kafir (Jabrohim, 2005). Dengan karya sastra kita bisa melihat betapa kejayaan masa lalu telah bisa merubah negeri ini seperti yang kita nikmati selama ini. Dengan adanya karya sastra kita bisa melihat dan mengerti pemikiran para pejuang dan leluhur yang telah melukiskan pemikiran mereka dalam karya sastra yang mereka tinggalkan. Peninggalan-peninggalan seperti hikayat, kitab-kitab, babad dan serat yang ditulis para pujangga mampu memberikan gambaran kehebatan leluhur kita dimasa yang lalu.
Lebih lanjut sastra merupakan ekpresi identitas yang bisa digunakan untuk memperteguh identitas suatu bangsa. Nilai-nilai yang ada dalam sastra yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat tentu akan memberikan corak tersendiri dalam masyarakat dimana sastra itu lahir. Seorang sastrawan akan memberikan nilai-nilai didactic sebagai kritik sekaligus peringatan kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan menyadari kekurangan dan kekhilafan yang telah dilakukan. Dari sinilah nilai-nilai identitas akan muncul dan terjaga karena karya sastra itu. Sastra akan menanamkan nilai-nilai itu tampa disadari oleh siapapun.
Penutup
Gambaran di atas menunjukan betapa karya sastra tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat. Sebagai cerminan masyarakat, sastra mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu penting kiranya dipahami bahwa sastra sudah sepantasnya untuk diperhatikan dan diapresiasi sebagai sesuatu yang sangat perlu untuk baca, dipahami dan jika perlu dikembangkan.
Maraknya sastra islami merupakan angin segar bagi kaum muslim bagi penyebaran nilai-nilai islam di negeri ini. Lahirnya sastra ini mampu mengimbangi karya sekuler dan erotik yang membahayakan kaum muda. Lahirnya karya sastra islami perlu diberikan appresiasi yang tinggi mengingat peranannya yang begitu penting bagi keberlangsungan generasi muda kita. Umat islam perlu terus memotivasi dan mendorong para sastrawan muslim untuk berdakwah melalui karya sastra. Dengan demikian kita akan mampu memperjuangkan eksistensi ideologi islam menggunakan media yang sangat istimewa ini. Wallahua’alamu bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi D., MERETAS RANAH Bahasa, Semiotika, dan Budaya, suntingan Husen, Ida, Sundari, dkk., Bentang, Yogyakarta, 2001.
Jabrohim, Kekuatan Sastra, Majalah Suara Muhammadiyah, n0.21/TH. Ke-89/1-15 November 2005.
Sedyawati, Edi, MERETAS RANAH Bahasa, Semiotika, dan Budaya, suntingan Husen, Ida, Sundari, dkk., Bentang, Yogyakarta, 2001.
Wellek, Renne, dkk., The theory of Literature, translated by Melani Budianta, Teori Kesusastraan, 1995, Gramedia, Jakarta
Damono, Sapardi D., MERETAS RANAH Bahasa, Semiotika, dan Budaya, suntingan Husen, Ida, Sundari, dkk., Bentang, Yogyakarta, 2001.
Jabrohim, Kekuatan Sastra, Majalah Suara Muhammadiyah, n0.21/TH. Ke-89/1-15 November 2005.
Sedyawati, Edi, MERETAS RANAH Bahasa, Semiotika, dan Budaya, suntingan Husen, Ida, Sundari, dkk., Bentang, Yogyakarta, 2001.
Wellek, Renne, dkk., The theory of Literature, translated by Melani Budianta, Teori Kesusastraan, 1995, Gramedia, Jakarta
0 comments:
Post a Comment