PEREBUTAN KEKUASAAN DAN TIPOLOGI HEGEMONI
DALAM DRAMA MAN AND SUPERMAN
2.1. Pengantar
Drama Man and Superman merupakan drama komedi filosofis. Disebut demikian karena gaya bahasa yang digunakan merupakan sindiran-sindiran yang membuat pembaca tersenyum geli. Di balik kalimat atau ungkapan yang lucu tersebut terdapat kritikan yang berkaitan dengan nilai-nilai moral manusia yang ada di muka bumi ini. Penggunaan gaya bahasa ironi merupakan kekuatan yang dimiliki Geoge Bernard Shaw (GBS) di dalam menyampaikan kritikan-kritikan kepada masyarakat pembacanya. Hal ini merupakan bagian dari strategi propaganda yang disampaikan oleh GBS dalam menanggapi fenomena kehidupan sosial yang terjadi pada saat itu.
Drama Man and Superman merupakan drama yang menggambarkan adanya konflik terselubung di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat superior antara yang satu dengan yang lainnya. Sifat superior sering menimbulkan gesekan-gesekan yang memecah persatuan antarsesama manusia. Kenyataan ini menggugah GBS untuk menyadarkan masyarakat pembacanya bahwa setiap orang harus mengalahkan egonya agar tercipta manusia yang saling menghargai, membantu, dan saling mengenal terhadap sesamanya.
Drama ini secara tidak langsung ingin menunjukan bahwa hal yang paling penting di dalam mempertahankan posisi sosial adalah penguasaan ide-ide atau gagasan. Jika individu tidak ingin menjadi korban penindasan di dalam kehidupan masyarakat, maka setiap orang harus membekali dirinya dengan wacana kehidupan yang matang. Penguasaan atas wacana atau gagasan tersebut akan melepaskan seseorang dari belenggu di segala lapisan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Manusia yang cerdas akan mampu mengalahkan segala rintangan hidup, sebagaimana digambarkan dalam cerita Yunani bahwa manusia adalah Titan yang dapat mengalahkan dewa Olimpia dan Zeus (WadeBredford,http://plays.about.com/od/manandsuperman/a/superman
themes.htm).
Gambaran yang ada di dalam Man and Superman sangat erat berkaitan dengan kondisi masyarakat Inggris pada masa GBS hidup. Oleh karena itu, apa yang terdapat di dalam drama Man and Superman pada intinya merupakan kritik sosial terhadap masyarakat Inggris, khususnya, dan seluruh manusia pada umumnya. Disinilah konsep kemanfaatan karya sastra yang diyakini GBS, bahwa karya sastra yang bermanfaat adalah karya yang menyuarakan kepentingan kelompok atau suara zamannya (Yoesoef, 2007: 28).
Karya sastra adalah karya universal, nilai kritik yang disampaikan mencakup setiap zaman dan tidak terbatas pada suatu negara. Meskipun drama tersebut sudah ditulis beberapa tahun lalu, persoalan-persoalan yang terdapat di dalamnya masih relevan dengan persoalan masa kini. Dimanapun dan kapan pun sepanjang nilai kritik itu relevan, maka karya sastra masih dapat dijadikan sebagai media refleksi sosial. Sebagaimana yang dituliskan oleh Arif Rachman (2008:20); karya sastra yang baik adalah karya sastra yang tembus ruang dan waktu. Karya semacam itu adalah ”bukan untuk suatu abad, tetapi untuk sepanjang masa”. Di dalam Drama Man and Superman, ditemukan adanya beberapa konsep mengenai pemikiran Gramsci, yaitu hegemoni. Persoalan hegemoni tersebut meliputi tiga tipologi hegemoni, yaitu hegemoni kaum laki-laki atas kaum perempuan, hegemoni penguasa terhadap rakyatnya (negara politik dan masyarakat sipil), dan hegemoni antara kaum tua terhadap kaum muda (intelektual versus masyarakat biasa).
Tiga tipe hegemoni tersebut mengindikasikan bahwa alat hegemoni yang paling dominan di dalam masyarakat adalah penguasaan ide-ide. Gagasan dan wawasan yang dimiliki masing-masing kelompok menciptakan mereka menjadi pemenang, penguasa dari kelompok yang lain.
Tipologi hegemoni tergambar dalam komflik yang terjadi di dalam Man and Superman. Perselisihan antartokoh yang mencerminkan perebutan kekuasaan atau dominasi dari masing-masing tokoh. Oleh karena itu, gambaran singkat dari kondisi atau situasi yang terjadi di dalam drama itu sangat penting untuk digambarkan di dalam penelitian ini.
2.2. Drama Man and Superman
2.2.1. Sinopsis
Bagian pertama Man and Superman menggambarkan persoalan-persoalan yang timbul akibat kematian kepala keluarga itu, yaitu Tuan Whitefield. Keluarga Whitefield sangat terhormat di lingkungannya, selain karena keluarga secara ekonomi mapan, keluarga ini masih memiliki ikatan dengan keluarga kerajaan (ningrat). Sebagai keluarga yang terpandang, keluarga ini memiliki tata nilai yang sangat ketat. Tata krama pergaulan dan ketentuan-ketentuan di dalamnya mengakibatkan kehidupan sangat tergantung pada kepala keluarga. Kondisi ini mempersulit posisi kaum perempuan di dalam keluarga tersebut.
Sepeninggal Tuan Whitefield, persoalan pertama yang diangkat di dalam drama ini mengenai perwalian bagi anak perempuan mereka, Annie. Sebagai seorang anak perempuan, Ann dianggap tidak mampu menentukan kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, ia harus memiliki seorang wali atau penasehat dalam kehidupannya. Dengan adanya wali, Ann dapat mengkonsultasikan setiap persoalan yang dihadapi, terutama di dalam mengambil keputusan-keputusan besar. Kedudukan wali menggantikan peran ayah dalam keluarga tersebut.
Persoalan di dalam keluarga ini karena wali yang diwasiatkan oleh almarhum Tuan Whitefield ada dua orang. Kedua wali yang diwasiatkan tersebut memiliki pandangan yang sangat jauh berbeda. Tuan Ramsden, orang dekat keluarga itu merupakan representasi dari kaum tua yang berpandangan kolot dan feodalistik. Sedangkan wali yang kedua adalah Tuan Tanner, yaitu seorang pemuda yang berpikiran maju dan demokratis. Tanner merupakan representasi kaum muda revolusioner. Ia berpandangan liberal dan sangat akomodatif terhadap persoalan-persoalan kehidupan. Ia merupakan tokoh yang menggerakan azas kebebasan dan persamaan (egaliter).
Selain perselisihan mengenai perwalian, pada babak ke-2 drama ini menyinggung persoalan etika. Jika Ramsden memperlakukan orang lain atau bawahan sebagaimana orang yang tidak berharga, Tanner justru bertolak belakang, Tanner memperlakukan dan menganggap bawahan adalah sebagai partner yang harus dihormati dan diberikan hak-haknya sama dengan orang lain.
Gambaran pada babak ke-2 merupakan sebuah counter hegemony dari kaum muda tehadap kaum tua. Dengan demikian, sikap Tanner dapat diartikan sebagai sebuah dekonstruksi tata nilai sosial feodalistik yang ada di dalam masyarakat Inggris (baca hegemoni kaum tua versus kaum muda). Kondisi tersebut disebut dengan perang manuver, yaitu upaya menentang ideologi lama dengan ideologi baru. Di dalam babak ini dideskripsikan pemikiran-pemikiran Tanner yang dianggap tidak sesuai dengan adat masyarakat, pertentangan atas gagasan revolusioner John Tanner. Situasi ini dapat dilihat dari reaksi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang awalnya menetang Tanner. Octavius dan Ann juga belum dapat menerima pemikiran tersebut karena masih dipengaruhi norma-norma lama sebagai hasil doktrinasi kaum tua.
Persoalan ketiga yang digambarkan di dalam babak ke-3 merupakan inti permasalahan di dalam drama tersebut. Pada bagian ini GBS berbicara mengenai pandangannya atas paham sosialis yang menurutnya lebih pas dengan kehidupan masayarakat Inggris pada saat itu. Ia menolak paham kapitalis yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam babak ini tersirat pemikiran-pemikiran kritis mengenai konsep manusia yang di idealkan GBS. Menurutnya, kekuatan ekonomi bukan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan, karena penguasaan wacana dan ide-ide dapat menjadi bagian dari strategi perjuangan suatu komunitas. Wacana dapat disebarkan melalui suatu strategi artistik yang disebut dengan kebudayaan.
Pandangan sosialis tersebut digambarkan malalui tokoh Mendoza. Mendoza sebenarnya adalah orang yang sangat potensial sebagai pemimpin besar. Ia orang berkecukupan dan terhormat di lingkungannya. Namun demikian, posisi tersebut tidak menjadikannya hidup nyaman, ia hidup dengan kesederhanaan dan mengutamakan kebersamaan. Mendoza tidak mau menggunakan fasilitas yang dimiliki untuk dirinya sendiri, sebaliknya ia bergabung dengan para berandalan jalanan. Ia sangat bertentangan dengan tokoh Ramsden yang lebih mengunggulkan kekayaan dan kedudukan ningratnya.
Bagian akhir atau babak ke-4 merupakan penyelesaian persoalan dari drama ini. Tanner yang awalnya sangat idealis; optimis dengan kehidupan dan anti dengan perempuan, akhirnya mengubur idealimenya dengan “menyerahkan” diri kepada Ann. Ia tidak lagi idealis seperti pada awalnya dengan menyadari bahwa kehidupan yang sesungguhnya memang harus realistis dan praktis. Idealime dapat saja diperjuangkan dalam konteks tertentu, tetapi dalam hal-hal tertentu tidak mungkin. Karena yang dibutuhkan adalah kesejahteraan dan kedamaian, dimana semua itu hanya dapat direalisasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia. Yaitu sandang, pangan dan papan. Jika semua hal tersebut terpenuhi, maka secara tidak langsung akan dapat mengurangi ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.
2.2.2 Perebutan Kekuasaan (Dominasi)
Perselisihan atau perebutan kekuasaan antara Ramsden dengan Tanner berawal pada persoalan perwalian.
TANNER: “It’s all my own doing: that’s the horrible irony of it. He told me one day that you were to be Ann’s guardian; and like a fool I began arguing with him about the folly of leaving a young woman under the control of an old man with obsolete ideas.” (Shaw, 1903: 341).
Pernyataan tersebut merupakan awal dari konflik antara Ramsden dengan John Tanner. Sebagai seorang yang taat pada nilai-nilai feodal, Ramsden menolak bahkan mencemooh pemikrian-pemikiran Tanner. Ramsden seorang tokoh yang merepresetasikan golongan tua. Pemikirannya begitu feodalistik dan kolot. Ia memiliki pandangan bahwa kaum tua adalah segala-galanya dalam mengambil keputusan kehidupan.
Ramsden berpandangan bahwa pemikiran kaum muda sangat berbahaya. Selain dianggap masih bergantung pada emosional, pemikiran kaum muda dianggap tidak matang. Oleh karena itu, setiap pemikiran kaum muda harus didampingi dan dibatasi. Jika hal ini dibebaskan akan membahayakan kehidupan masyarakat.
Di dalam drama ini digambarkan usaha-usaha yang dilakukan Ramsden agar pemikiran Tanner tidak tersebar dan mempengaruhi orang lain dengan cara memberi penilaian jelek terhadap buku Tanner. Klaim terhadap kebenaran pemikiran kaum tua sangat penting sebagai penyeimbang pemikiran kaum muda. Oleh karena itu Ramsden berusaha dengan berbagai cara agar pemikiran Tanner tidak tersebar kepada orang-orang di sekelilingnya.
Ramsdem: “I’ll tell you, Octavious. (He takes from the table a book bound in red cloth). I have in my hand a copy of the most infamous, the most scandalous, the most mischievous, the most blackguardly book that ever escaped burning at the hands of the common hangman. I have not read it: I would not soil my mind with such filthe; but I have read what the papers say of it. The title is quite enough for me. (He reads it). The Revolutionist’s Handbook and Pocket Companion. By John Tanner, M.I.R.C., Member of the Idle Rich Class.” (Shaw, 1903: 337)
Selain percaturan wacana, Ramsden memberlakukan sistem feodalistik meskipun di lingkungan keluarganya sendiri. Aturan, tatakrama diberlakukan sangat ketat, baik dalam berhubungan dengan orang lain maupun terhadap kerabat sendiri. Hal ini dilakukan sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai feodalistik yang diyakini kebenarannya.
RAMSDEN: “(Jengkel) Demi tuhan, jangan kamu sebut si AKBM itu dengan Jack dalam rumahku! (Ramsden melempar buku itu ke atas meja kuat-kuat. Setelah agak lega dia mendekati octavius dan berbicara dengan serius) Octavius, aku tahu dari temanku almarhum tentang kebaikan hatimu. Aku tahu bahwa orang ini adalah bekas teman sekolahmu dan merupakan sahabatmu sejak kecil. Tapi, dengan sungguh-sungguh aku meminta kamu untuk memikirkan perubahan yang telah terjadi. Kamu sudah seperti anak sendiri bagi sahabatku almarhum dan kamu pun tinggal di rumahnya. Dengan sendirinya teman-temanmu pun bebas keluar masuk, termasuk si Tanner ini. Kamu memanggil Annie dengan nama baptisnya, dia pun begitu. Selama ayah si Annie masih hidup, aku tidak punya hak untuk ikut campur; itu bukan urusanku. Bagi sahabatku si Tanner ini cuma seorang anak kecil yang kata-katanya bisa ditertawakan. Tapi, Octavius, sekarang Tanner sudah dewasa dan Annie sudah menjadi seorang wanita dan bapaknya sudah meninggal. Kita memang belum tahu persis apa isi surat wasiatnya, tapi berhubung dia sering membicarakan surat wasiatnya dengan diriku, aku yakin bahwa aku akan ditunjuk oleh surat wasiat itu untuk menjadi wali bagi Annie. (dugaan tegas) Sekarang aku tidak mau kalau Annie sampai dekat-dekat dengan Tanner hanya karena semata-mata Annie tidak mau menyinggung perasaanmu. Itu tidak adil. Itu tidak boleh terjadi! Nah, sekarang apa yang akan kamu lakukan?” (Shaw, 1903: 337)
Pemikiran-pemikiran kolot tersebut selalu dilawan oleh kaum muda. John Tanner yang merepresentasikan kaum muda terus berjuang menanamkan nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan. Pemikiran-pemikirannya sangat terbuka dan idealistis. Tokoh ini memberikan berbagai perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran kaum tua dengan berbagai cara, baik malalui tingkah laku sehari-hari maupun dengan menuliskan di dalam buku.
Perjuangan Tanner dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mendekati kaum muda agar hidup bebas dan mandiri. Ia selalu memberikan pemahaman kepada Octavius, Annie dan teman-temannya mengenai kemandirian dan kebebasan. Hal ini dilakukan agar kaum muda tidak terkekang dan tidak terikat dengan tata nilai golongan tua yang sangat mengikat kebebasan berkreasi kaum muda.
Sebagai seorang yang sangat idealis, Tanner tidak pernah bisa berdiam diri melihat ketidakadilan. Ia aktif di berbagai organisasi pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan. Bukan hanya itu, Tanner bahkan menggandeng beberapa komplotan sparatis yang dianggapnya lebih manusiawi dibandingkan dengan pemerintah yang otoriter.
Pemikiran-pemikiran Tanner dituangkan di dalam sebuah buku yang berjudul ”Pegangan Revolusionis”, The Revolutinist’s Handbook and Pocket Companion. Buku yang berisi gagasan-gagasan kebebasan tersebut merupakan impian yang ingin dicapai Tanner.
Salah satu misi Tanner adalah ingin membebaskan Ann dari kungkungan golongan tua. Ia ingin memberikan pemahaman kepada Ann akan makna kebebasan. Tanner berharap Ann tidak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Ramsden yang usang. Ia berusaha meyakinkan kepada Ann bahwa pemikiran feodalistik yang diyakini oleh Ramsden sangat merugikan kaum perempuan, kaum perempuan dianggap sebagai objek yang harus diatur oleh kaum laki-laki.
Annie merupakan anak perempuan yang menjadi korban keyakinan kolot tersebut. Sebagai anak perempuan ia dianggap sebagai manusia lemah, harus bergantung kepada orang tuanya, terutama bapaknya. Konsep ini menjadikan kaum perempuan termarjinalkan di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk ketidakberdayaan perempuan di dalam drama ini digambarkan melalui posisi Ann dan ibunya. Sepeninggal ayahnya, Ann harus mempunyai seorang wali sebagai pengganti ayahnya. Dalam tradisi masyarakat Inggris, wali harus dari golongan tua. Namun demikian, wasiat Tuan Whitefield nampaknya bertentangan dengan paham terserbut. Dalam wasiat tersebut Tuan Whitefield meminta dua orang wali bagi anak perempuannya; yaitu Tuan Ramsden dan John Tanner. Kondisi ini mempersulit Ann dalam menentukan mana yang harus ia pilih, karena kedua wali tersebut saling berbeda pandangan.
Perlawanan kaum marjinal terhadap pemerintahan digambarkan melalui tokoh bernama Mendoza. Mendoza adalah pemimpin kelompok marjinal yang berjuang memperolah keadilan. Kelompok tersebut dinamakan dengan Kelompok Sosial Demokrat. Mereka berjuang secara tidak resmi (underground) dengan melakukan perampokan terhadap orang-orang berada dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di lingkungan kelompoknya. Kelompok ini memiliki ikatan emosional (persaudaraan) yang sangat erat antara satu dengan yang lain. Penggambaran tokoh Mendoza merupakan sindiran atau kritikan terhadap pola kehidupan kapitalis, dimana ikatan emosional antara yang miskin dengan yang kaya nyaris tidak ada, bahkan ada kecenderungan hubungan antara kaya dan miskin sekedar hubungan antara majikan dengan bawahan. Bawahan selalu diposisikan sebagai orang yang diperas oleh atasannya.
Sikap atau sifat seperti di atas menarik perhatian John Tanner. Sebagai seorang aktivis kebebasan dan kesamaan derajat, Tanner tertarik dengan pergerakan yang dipimpin Mendoza. Tanner pun sering melakukan diskusi sekitar persoalan sosial yang dihadapi masyarakat.
Kontradiksi antara tokoh Mendoza dengan Tanner terlihat dari perbedaan media perjuangan mereka, meskipun keduanya sama-sama mengatasnamakan perjuangan untuk rakyat atas persamaan hak. Media perjuangan Mendoza melalui jalur yang tidak jelas, sehingga pergerakannya pun tidak efektif bahkan sering berseberangan dengan pemerintah. Berbeda halnya dengan John Tanner, ia memilih menggunakan media intelektual sebagai alat perjuangannya. Ia percaya bahwa pemikiran sangat besar pengaruhnya terhadap pembenukkan karakter di dalam membangun masyarakat. Di samping dengan pemikiran-pemikiran yang tertulis, Tanner juga terjun langsung di dalam kancah politik. Meskipun tidak secara detail drama menggambarkan hal itu, namun kiprah Tanner dalam memperjuangkan idealismenya melalui politik dapat terlihat dari pemikiran-pemikirannya. Kita dapat melihat hal itu dengan membaca gagasan-gagasan yang tertuang di dalam buku yang telah ditulisnya, Buku Pegangan bagi Sang Rervolusionis, (The Revolutinist’s Handbook and Pocket Companion).
2.3 Tipologi Hegemoni Man and Superman
2.3.1 Hegemoni Laki-Laki terhadap Perempuan
Drama Man and Superman menggambarkan kaum perempuan yang posisinya tidak menguntungkan. Dalam berbagai hal, perempuan dianggap inferior dibandingkan laki-laki. Akibatnya, kaum perempuan selalu bergantung pada laki-laki, meskipun hanya sekedar memutuskan persoalannya sendiri. Segala sesuatu yang akan dilakukan oleh kaum perempuan harus mendapat persetujuan dari pihak laki-laki. Seorang istri harus mengkonsultasikan atau meminta izin ketika ingin keluar rumah kepada suaminya. Demikian juga seorang anak perempuan yang ayahnya meninggal, maka ia harus memiliki seorang wali laki-laki. Seorang ibu tidak bisa menggantikan kedudukan seorang ayah dalam hal-hal yang lebih besar, terutama dalam persoalan perkawinan.
Sebenarnya bukan hanya pertentangan antara kedua wali yang ditunjuk almarhum ayahnya yang menyebabkan Ann bersusah hati. John Tanner yang dicintai Ann merasa keberatan menjadi wali bagi dirinya. Padahal Ann sendiri lebih memilih Tanner sebagai walinya. Hal itu beralasan karena Ann mengharapkan Tanner sebagai suaminya, bukan sekedar wali.
Ann: (in low siren tones) “He ask me who would I have as my guardian before he made that will. I choose you!” (Shaw, 1903: 503)
ANN: (dengan nada putri duyung yang memikat) ‘Sebelum menulis surat wasiat, Bapak bertanya kepadaku siapa yang kumaui sebagai wali. Aku memilih kamu!’
Pilihan Annie ternyata bertentangan dengan ibunya, Nyonya Whitefield. Nyonya Whitefield lebih memilih Ramsden dengan alasan lebih tua dan dianggap lebih tepat bagi keluarga mereka. Nyoya Whitefield lebih dekat dengan Tuan Ramsden, selain sebagai orang yang lebih mapan, baik secara umur maupun kedudukan sosialnya, Ramsden adalah orang yang dianggap bijaksana. Oleh karena itu, setiap persoalan yang dihadapi keluarga Whitefield selalu meminta pertimbangan dari Ramsden.
Sebagai seorang perempuan, Nyonya Whitefield merasa tidak mampu mengendalikan anaknya sendiri. Nyonya Whitefield selalu meminta bantuan saudara yang tertua (laki-laki) yang dianggap lebih bijaksana dan lebih mampu memberikan jalan keluar terhadap segala persoalan yang mereka hadapi. Walhasil, Nyonya Whitefield tidak memiliki otoritas terhadap masa depan anak-anaknya, bahkan juga terhadap dirinya sendiri. Ia sering melimpahkan tanggungjawabnya kepada Tuan Ramsden yang terpandang di masyarakat.
Ann : (resuming in the same gentle voice, ignoring her mother’s bad taste) “Mamma knows that she is not strong enough to bear the whole responsibility for me and Rhoda without some help and advice. Rhoda must have a guardian; and thought I am older, I do not think any young unmarried woman should be left quite to her own guidance. I hope you agree with me, Granny.” (Shaw, 1903: 348-349).
Ann: (dengan suara tetap lirih seolah tidak mendengar kata-kata ibunya tadi) ‘Ibu tidak mampu menanggung seluruh beban tanggung jawab atas diri saya dan Rhoda tanpa pertolongan dan saran. Rhoda harus dibimbing seorang wali. Saya memang lebih tua, tapi saya pikir seorang wanita muda yang belum menikah tidak boleh dibiarkan begitu saja menentukan jalannya sendiri, betulkan Eyang?’
Anggapan kaum perempuan tidak memiliki kemampuan dalam hal kehidupan, sebenarnya bukan semata-mata datang dari orang lain, tetapi terkadang kaum perempuan sendiri merasa tidak mampu. Seperti halnya yang terjadi pada Nyonya Whitefield, ia merasa tidak bisa memegang amanah kehidupan yang dianggapnya sangat sakral. Wasiat suaminya adalah amanah yang harus ia limpahkan kepada orang yang dianggap mampu, karena wasiat suami adalah sesuatu yang sakral dan suci.
Kesadaran akan ketidakmampuan menentukan kehidupan diri sendiri merupakan suatu pengakuan kekalahan kaum perempuan. Jika ia memandang lemah, maka dirinya pun tidak akan dapat berdiri sendiri atau mandiri. Hal ini terjadi pada diri Nyonya Whitefield, ia merasa tidak percaya diri akan kemampuanya menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
Nyonya Whitefield: (hastily) “Now, Ann, I do beg you not to put it on me. I have no opinion on the subject; and if I had, it would probably not be attended to. I am quite content with whatever you thee think best.” (Shaw, 1903: 348).
Nyonya Whitefield: (cepat-cepat) ‘Ann, jangan suruh Ibu utuk membuat keputusan. Ibu benar-benar tidak punya pendapat apa pun dalam hal ini; seandainya Ibu punya pun tak akan ada yang peduli. Aku menyerahkannya pada kalian bertiga.’
Ungkapan tersebut menunjukan ketidakpercayaan Nyonya Whitefield terhadap dirinya sendiri. Ia merasa sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki kekuasaan untuk memikul tanggung jawab, meskipun kepada anak-anaknya sendiri. Ungkapan pesimisnya ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang terlanjur memposisikan kaum perempuan dalam ranah yang sempit. Pandangan-pandangan tersebut menyebabkan kaum perempuan secara psikologis menjadi tersubordinasi sehingga tidak berani melakukan terobosan-terobosan dalam kehidupan.
Adanya asumsi yang merendahkan kaum perempuan dalam masyarakat Inggris menjadikan kaum perempuan tersubordinat, masyarakat memposisikan kaum perempuan sebagai orang kedua. Perempuan ditempatkan dalam posisi yang tidak strategis. Dalam hal pekerjaan, rumah tangga dan sosial politik, perempuan sangat tergantung pada laki-laki. Dalam ranah rumah tangga, perempuan memiliki tanggung jawab dalam mengasuh anak dan mengurus dapus. Di sisi lain tanggung jawab keluarga yang bersifat keluar menjadi tanggungan laki-laki, seperti mencari nafkah.
Stigma tersebut menjadikan kaum perempuan tidak berani melakukan sesuatu yang melanggar ketentuan. Jika perempuan melanggar ketentuan tersebut akan dianggap sebagai perempuan tidak bermoral. Jika ada perempuan yang bekerja di luar rumah, apa lagi sampai larut malam, maka secara sosial akan dikucilkan atau diperlakukan secara tidak manusiawi oleh masyarakat di sekelilingnya. Stigma ini menjadikkan kaum perempuan takut membuat terobosan-terobosan dalam kehidupan mereka.
Selain polemik mengenai perempuan dalam ranah keluarga, persoalan perempuan pun timbul dalam ranah agama. Pelemik pertemuan Don Juan dengan seorang wanita tua merupakan gambaran bagaimana stigma agama terhadap perempuan. Di dalam agama, perempuan digambarkan sebagai makhluk lemah, baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Secara politis perempuan harus menggantungkan segala-galanya kepada laki-laki, sehingga keberadaannya hanya sebagai pelayan bagi kebutuhan laki-laki.
Di dalam drama tersebut, kaum perempuan menghadapi kondisi terjepit, mereka terpaksa melakukan tindakan yang menjerumuskan mereka ke dalam kenistaan. Kondisi yang dihadapi kaum perempuan merupakan jerat-jerat yang dibuat komunitas laki-laki. Aturan-aturan dan segala ketentuan dalam kehidupan, pada dasarnya dibuat oleh kaum laki-laki, sehingga kaum perempuan selalu menjadi kaum yang disalahkan atau dikalahkan.
Ada anggapan bahwa yang kuatlah yang akan menjadi pemenang (Teori Darwin). Tanner berprinsip bahwa yang lemah akan menjadi sasaran bagi orang lain atau komunitas lain untuk diperalat. Kaum lemah (perempuan) akan selalu menjadi korban bagi kaum yang kuat; sebagaimana orang kaya akan memperalat orang miskin, laki-laki memperalat perempuan, orang dewasa memperalat anak-anak dan seterusnya.
Keyakinan akan pentingnya wawasan dan kekuatan kepribadian mendorong John Tanner terus memperjuangkan gagasan-gagasannya melalui buku Pegangan Bagi Revolusionis. Buku tersebut sangat berpengaruh bagi kesadaran pentingnya kemandirian dan kemerdekaan seseorang. Dengan kemerdekaan dan kemandirian, seseorang dapat mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan dan akan menjadi makhluk merdeka. Hidup tanpa kekangan merupakan tujuan utama dari pemikiran John Tanner.
Pemikiran Tanner tersebut mempengaruhi perlaku Ann. Sebagai tokoh perempuan yang pada awal-awal babak digambarkan sebagai seorang yang penakut, ia berubah dan berani mengemukakan pendapat, bahkan dalam babak ke tiga Ann berani beradu argumentasi terhadap perselisihan yang dihadapinya.
Perdebatan antara Ann dengan ayahnya terjadi pada pertemuan mereka di neraka. Ann dilarang ayahnya pergi ke surga, kecuali dengan qualifikasi tertentu. Hal ini dianggap menyinggung dirinya sebagai seorang perempuan. Tuan Whitefield yang menganggap Ann tidak layak masuk sorga merupakan sindiran bahwa surga hanya untuk orang-orang berbudi pekerti baik, yaitu laki-laki. Sedangkan Ann di mata ayahnya merupakan anak perempuan yang belum dewasa dan tidak mampu menunjukan kebaikkan. Oleh karena itu, Ann dianggap tidak layak masuk surga (p. 137).
Saran ayahnya tersebut ditolak oleh Ann, dengan alasan bahwa semua orang berhak masuk surga, termasuk dirinya, meskipun ia seorang perempuan.
Gambaran tersebut menunjukan perkembangan pemikiran Ann sebagai seorang anak perempuan yang sudah mendapat pengaruh pemikiran baru. Pergaulannya dengan Tanner dan Don Juan memberikan wawasan dan keberanian dalam menentukan kehidupannya sendiri. Ann mulai berani membela diri dan menetukan jalan hidupnya sendiri. Hal ini berbeda dengan saat ayahnya meninggal, ia merasa tidak mampu, dan akhirnya tidak berani mengambil keputusan. Posisi perempuan yang dianggap begitu lemah, telah berubah, Ann merombak tatanan budaya masyarakat yang sangat menyudutkan kaum perempuan. Annie menjadi perempuan mandiri, ia merdeka dari keterbelakangan tatanan sosial.
Dari kontek ini, Ann merupakan representasi dari wanita modern yang paham akan kesetaraan gender, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sepanjang perempuan memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki, maka tidak perlu ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam kaitannya dengan hak-hak individu.
Perubahan pemikiran atau sikap Ann tersebut memerlukan proses yang cukup lama. Hasil pergaulannya dengan masyarakat dan pengalaman hidupnya berpengaruh terhadap pola pikir Ann. Selain itu, ia pun sadar bahwa setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama tanpa memandang jenis kelamin dan perbedaan lainnya.
Pemutarbalikan sifat perempuan juga digambarkan melalui tokoh Ann dalam hal hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam babak akhir dari drama ini, Ann dengan terang-terangan meminta John Tanner menikahinya. Ketika Tanner menolak Ann untuk menikah denganya, Ann memaksa atau mendesak Tanner dengan berbagai cara.
TANNER: “But why me-me of all men? Marriage is to me apostasy, profanation of the sanctuary of my soul, violation of my manhood, sale of my birthright, shameful surrender, ignominious capitulation, acceptance of defeat. I shall decay like a thing that wiith a future to a man with a past... “(Shaw, 1903: 501).
TANNER: ‘Tapi, mengapa harus denganku? Apa tidak ada laki-laki? Perkawinan bagiku adalah sebuah penghujatan terhadap kesucian jiwaku, penjualan kebebasan usia, kekalahan yang memalukan. Aku akan membusuk seperti sepah yang sudah habis manisnya... ‘
TANNER: ‘Tanner tidak akan kawin denganmu, aku tidak akan kawin dengan mu.’ (Shaw, 1903: 237).
Ungkapan Tanner tersebut merupakan bukti penolakannya terhadap usulan Ann untuk menikah dengannya. Meskipun demikian, Ann merayunya dan akhirnya Tanner pun jatuh kepangkuan Ann.
TANNER: “(seizing her in his arms) It is false: I love you. The Life Force enchants me: I have the whole world in my arms when I clasp you. But I am fighting for my freedom, for my honor, for my self, one and indivisible.” (Shaw, 1903: 504).
Ann: “(coaxing-emploringalmost exhousted) Yes. Before it is too late for pentace. Yes. “
TANNER: ‘(merengkuh Ann) Salah, aku mencintaimu. Sang daya Hidup telah memesonaku. Seluruh dunia jadi milikiku ketika kamu berada dalam pelukanku. Tapi, aku sedang berjuang untuk mempertahankan kebebasanku, kehormatanku untuk diriku sendiri yang utuh dan tak terbagi.’
ANN: ‘(Membujuk-memohon-kehabisan tenaga) Ya...sebelum semuanya terlambat. Ya.’ (Shaw, 1903: 237).
2.3.2 Hegemoni Penguasa terhadap Orang Kecil
Gambaran mengenai hegemoni antara penguasa dengan orang kecil dapat dilihat dari hubungan pemerintah dengan rakyat, orang tua dengan anak, atau hubungan antara majikan dengan para buruh. Dalam konteks ini, penguasa umumnya memperlakukan bawahannya sekehendak mereka. Sepanjang bawahan atau buruh menguntungkan, mereka akan tetap dijamin hak-hak terbatasnya. Sebaliknya jika bawahan atau kaum buruh tidak tidak memenuhi keinginan penguasa, maka dengan mudah para majikan akan meggantikan mereka dengan buruh lain.
Selain perlakuan tidak manusiawi, hubungan antara majikan dengan bawahan tidak bisa seharmonis sebagaimana hubungan dengan sesamanya. Ada pembatasan-pembatasan yang menyebabkan bawahan tidak dapat menerima atau mengakses fasilitas atau media yang dinikmati oleh para majikan.
“...He speak slowly and with a touch of sarcasm; and as he does not at all affect the gentleman in his speech, it may be inferred that his smart appearance is a mark of respect to himself and his own class, not to that which employs him... “(Shaw, 1903: 378)
‘Bicaranya lambat dengan nada sarkastik, sama sekali tidak ketularan nada bicara jentelmen. Ini menunjukan bahwa penampilannya yang rapi adalah tanda bahwa dia bangga akan dirinya dan kelasnya sendiri dan bukan akan majikannya. ‘
Gambaran di atas menunjukan bahwa kelas atau status seseorang dapat dilihat dari penampilan. Konsep ini merupakan konsep kapitalis, nilai seseorang ditentukan dari apa yang mereka miliki atau mereka pakai. Pakaian mampu menggambarkan kelas seseorang dan sekaligus menunjukan kepribadiannya. Oleh karena itu orang berlomba-lomba memperbaiki penampilan dengan harapan mendapat pengakuan dari masyarakat di sekelilingnya.
Selain pakaian, mobil dapat menjadi simbul status sosial. Mobil atau kendaraan merupakan cerminan kelas sosial Inggris pada zaman industrialisasi. Pada zaman itu, orang yang menggunakan kendaraan roda empat merupakan orang-orang mapan atau jetset, tidak semua orang dapat memiliki kendaraan roda empat. Persaingan merek (mahal) dan kecepatan mobil menjadi fenomena menarik, semakin cepat seseorang mengendarai mobil, maka akan mendongkrak nilai prestise mereka.
TANNER: “I may as well walk to the house and stretch my legs and calm my nerves a little. (looking at his watch) I suppose you know that we have come from Hyde Park Corner to Richmond in twenty-one minutes”
TANNER: ‘Saya juga berjalan ke rumah itu dan merenggangkan kaki saya secara pelan dan saya merasakan sedikit gerogi’
THE CHAUFFEUR : “I’d have done it under fifteen if I’d had a clear road al the way”
THE CHAUFFEUR : ‘Saya sudah akan pernah melakukan hal itu saat umur dibawah lima belas tahun ketika semua jalan sepi’
TANNER: “Why do you do it? Is it for love of sport or for the fun of terrifying your unfoortunate employer? “
TANNER: ‘Kenapa kamu mengerjakannya? Apakan sekedar kecintaan akan olah raga, untuk kesenangan bagi majikanmua yang ketakutan?’
THE CHAUFFEUR: “What are your affraid of?”
THE CHAUFFEUR: ‘Apa yang kamu takutkan?’
TANNER: “The police, and breaking my neck.” (Shaw, 1903: 379)
TANNER: ‘Polisi, dan patahnya leherku’
Seorang sopir akan memiliki kebanggaan jika mampu mengendarai kendaraan lebih cepat dari yang lain. Hal ini sebagai upaya mendapat simpati atau perhatian dari majikannya. Mereka (para sopir) akan merasa bangga jika dapat menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tanpa memperhitungkan keselematan diri sendiri.
Penghargaan majikan kepada bawahan merupakan bentuk memanusiakan bawahan. Hal ini memberikan motivasi kepada bawahan sehingga mereka merasa berharga sebagai manusia dan profesi yang dimiliki. Seseorang akan merasa bangga dengan kedudukannya karena mendapat pengakuan (sesuai dengan profesi masing-masing). Orang tidak malu atau rendah diri karena posisi yang tidak menguntungkan atau tidak setrategis. Hal inilah yang ingin disampaikan oleh George Bernard Shaw dalam drama ini, yaitu makna kehidupan yang harus dipahami oleh masyarakat. Jadi, setiap orang sebaiknya dapat menempatkan diri dalam posisi sesuai dengan profesinya dan bangga dengan kedudukan apapun. Dengan demikian, kesejahteraan dan kedamaian akan terwujud, dengan syarat setiap orang mengakui dan menghormati profesi seseorang dalam masyarakat.
Dengan kesadaran terhadap posisi setiap orang dalam masyarakat, maka akan terwujud optimisme dalam menjalani kehidupan. Optimisme merupakan kondisi potensial dalam membangun sebuah komunitas suatu masyarakat. Masyarakat terdiri dari individu-individu dan individu yang berpikir positif akan sangat mempengaruhi masa depan mereka. Situasi ini mampu menjadikan seseorang merdeka. Sehingga akan memberikan peluang untuk mencapai cita-cita dan harapan kehidupan yang lebih baik.
Menurut GBS, pemikiran yang merdeka merupakan kebutuhan setiap orang. Dengan kemerdekaan dan kebebasan, seseorang dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik. Menjadi manusia yang merdeka adalah menjadi manusia yang otonom. Oleh karena itu, setiap individu hendaknya berpikiran merdeka, tidak perlu takut dengan orang lain atau kelompok lain.
TANNER: “Do! Break your chains. Go your way according to your own conscience and not according to your mothers. Get your mind clean and vigorous; and learn to enjoy a fast ride in a motor car instead of seeing nothing in it but an excuse for a detestable intrigue……” (P. 33,l. 148)
TANNER: ‘Lakukan! Putuskan belenggu itu. Pergilah berdasar kemauan mu sendiri dan jangan tergantung pada kemauan ibumu. Bersihkan pikiranmu dan bertekunlah, belajarlah menikmati dan nikmatilah laju kendaraanmu daripada memikirkan intrik-intrik yang keji itu.’
Ketakutan dan ketergantungan merupakan dua kondisi yang sangat merugikan bagi kemajuan seseorang. Setiap orang sebaiknya melepaskan diri dari kekangan-kekangan, bukan hanya kekangan yang ada dalam suatu negara, tetapi juga kekangan dari keluarga sendiri. Makna kebebasan sangat berarti bagi kemajuan seorang individu.
Hubungan antara majikan (borjuis) dengan bawahan (buruh/proletar) merupakan hubungan ekonomis. Sang majikan melakukan kontak dengan para buruh sepanjang memiliki keperluan produksi. Dengan demikian keterkaitan atau keterikatan para buruh disebabkan oleh kepentingan ekonomi. Kondisi ini menjadikan para buruh mudah dikendalikan oleh para penguasa. Hal ini terjadi karena secara ekonomi buruh tergantung kepada majikan mereka. Dengan demikian, secara politik buruh tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Dalam drama Man and superman, John Tanner memutarbalikan fakta tersebut. Hubungan antara majikan dan buruh digambarkan memiliki kedudukan setara, majikan tidak membatasi hak-hak buruh sebagai manusia, buruh diperlakukan secara manusiawi. Hal ini terlihat pada sikap kooperatif dan hubungan harmonis antara John Tanner dengan sopirnya, yaitu Straker. Dalam hal ini berkedudukan sopir tidak direndahkan tetapi terhormat sebagaimana manusia pada umumnya.
TANNER: (Introducing) “My friend and chaufeur.”
TANNER: (Memperkenalkan) ‘Temanku dan Mekanikku.’
THE SULKY SOCIAL-DEMOCRAT: (Suspiciously) “Well, which is he? Friend or show-foor? It makes all the difference, you know” (Shaw, 1903: 409).
THE SULKY SOCIAL-DEMOCRAT: (Dengan curiga) ‘Baik, yang manakah yang benar? Teman atau sopir? Semua itu berbeda, bukan?’
MENDOZA: “What I say is, let us treat one another as gentlemen, and strive to excel in personal courage only when we take the field.” (Shaw, 1903: 408)
MENDOZA: ‘Maksudku merilah kita memperlakukan satu sama lain sebagai jentelmen, dan berusberusaha untuk mengungguli hanya dalam keberanian masing-masing hanya kalau kita terjun ke medan laga.’
Berbeda dengan hubungan antara Tuan Ramsden dengan orang di sekelilingnya, Tuan Ramsden memperlakukan para pembantunya sebagai orang yang tidak berharga, pembantu tidak berhak menempati atau memasuki tempat-tempat tertentu yang bagi kaum majikan dianggap akan merendahkan mereka. Ramsden memisahkan pembantu yang satu dengan yang lain disesuaikan dengan kedudukan dan tanggung jawab mereka.
Hal yang dilakukan Tanner terhadap Straker merupakan perlawanan ideologis kaum muda terhadap kaum tua. Majikan umumnya tidak menghargai pekerjanya. Apa yang dilakukan Johan Tanner dalam hal ini merupakan perlawanan ideologis politis terhadap paham kapitalis yang tidak memanusiawikan kaum bawah.
“Further, the imaginative man, if his life is to be tolerable to him, must have leisure to tell hiself stories, and a position which lends itself to imaginative decoration. The ranks of unskied labor offer no such positions. We misuse our laborers horribly; and when a man refuses to be misused, we have no right to say that he is refusing honest work.” (Shaw, 1903: 403).
‘Lebih jauh jika seseorang yang bermental imajinatif ingin menjalani hidup yang wajar, dia harus diberi kesempatan untuk menullis cerita-cerita dan diberi posisi yang memungkinkannya membuat cerita-cerita itu. Posisi sebagai tenaga kerja tidak-ahli tidak memungkinkan itu. Kita menyalahgunakan tenaga kerja kita; dan jika seseorang menolak disalahgunakan, kita tidak punya hak untuk berkata bahwa dia bersalah telah menolak bekerja secara halal. Marilah kita saling terbuka sebelum sandiwara ini dilanjutkan.’
Perlawanan masyarakat sipil terhadap penguasa digambarkan melalui pertemuan Tanner dengan Mendoza. Pertemuan tersebut merupakan gambaran riil terhadap maksud penulis menggambarkan perbedaan pandangan dari kedua golongan ini (Babak III). Ditambah lagi dengan hadirnya para anarkis, yang dalam pandangan para penguasa dianggap sebagai musuh bersama. Namun demikian anarkhisme dalam drama ini justru digambarkan sebagai sesuatu yang bertolak belakang. John Tanner mendukung kaum anarkis karena mereka lebih terhormat dibandingkan dengan para penguasa yang memeras rakyat lemah. Kaum anarkis dianggap wajar, meskipun mereka melakukan kejahatan tetapi bertujuan untuk membebaskan diri dari kekangan dan dominasi penguasa, bahkan apa yang mereka lakukan pada umumnya digunakan untuk kepentingan bersama.
MENDOZA: “Respectfully, (Much struck by this admission) you are a remarkable man, sir. Our guests usually describe themselves as miserably poor.”
MEDOZA: ‘Dengan penuh hormat, (Merasa terseinggung dengan persoalan ini) kamu orang terhormat, Tuan. Tamu kita biasanya menganggap mereka sendiri sebagai orang miskin.’
TANNER: “Pooh! Miserably poor people don’t own motor cars. “(Shaw, 1903: 411)
TANNER: ‘Puh! Orang yang miskin tidak mungkin memiliki mobil.’
Pernyataan di atas sebenarnya merupakan sindiran terhadap orang-orang mapan yang tidak suka membantu mereka yang lemah. Ironisnya, orang-orang kaya sering mengaku sebagai orang miskin dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini yang ingin dikritisi pengarang.
Pertemuan Mendoza dan Tanner menggambarkan berbagai persoalan, terutama berkaitan dengan kekuasaan dan persoalan ekonomi. Persoalan utamanya adalah ketidakadilan para penguasa yang melahirkan anarkisme. Anarkisme tidak akan pernah terjadi selama ada keadilan. Ketimpangan dan diskriminasi yang dilakukan para penguasa mengakibatkan sebagian golongan yang merasa terdiskriminasi membentuk sebuah kelompok untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ungkapan mengenai tindakan perampokan yang dilakukan oleh kelompok Mendoza terhadap orang-orang kaya merupakan sindiran.
MENDOZA: (with dignity) “Allow me to introduce myself. Mendoza, President of the League of the Sierra! (Posing loftily) I am a brigand: I live by robbing the rich. “(Shaw, 1903: 409)
MENDOZA: (Dengan anggun) ‘Kalau boleh saya memperkenalkan diri: mendoza, Presiden dari Liga Sierra! (dengan gagah) Saya adalah seorang badit. Saya hidup dari merampok orang kaya.‘
Ungkapan Mendoza dibalas dengan mengatakan bahwa Tanner menghidupi dirinya dengan merampok orang-orang miskin.
TANNER: (Promtly) “I am a gentleman: I live by robbing the poor. Shake hands.” (Shaw, 1903: 409)
TANNER: ‘Saya seorang jentelmen. Saya hidup dari merampok orang miskin. Mari kita berjabat tangan. ‘(Shaw, 1903:).
Ungkapan kedua tokoh yang bertolak belakang ini merupakan lelucon sekaligus sindiran bahwa semua lapisan masyarakat melakukan kejahatan, dari orang yang berkedudukan rendah sampai mereka yang berkedudukan paling tinggi. Masing-masing golongan berebut pengaruh, ingin saling mendominasi kelompok lain.
Mendoza adalah pimpinan eksekutif sebuah kelompok penjahat yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan dari masyarakatnya. Kelompok ini disebut dengan kelompok yang tersingkirkan karena tidak memiliki profesi terhormat sebagaimana halnya para bangsawan dan penguasa terdidik lainya. Walhasil, mereka melakukan berbagai kejahatan dengan merampok orang-orang kaya. Kelompok ini menamakan diri mereka sebagai kelompok sosialis. Kehidupan komunitas ini memiliki solidaritas tinggi dengan sesamanya. Saling menghormati, saling membantu, dan saling berbagi adalah ciri dari masyarakat sosialis. Kehidupan masyarakat sosialis tidak semata-mata memikirkan diri sendiri, mereka berjuang untuk kepentingan bersama. Mendoza menganggap tindakannya merampas orang-orang kaya bukan suatu kejahatan, melainkan suatu usaha untuk meratakan kekayaan kepada masyarakat luas. Mendoza menganggap bahwa tidak sepantasnya kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Kelompok yang dipimpin oleh Mendoza menamakan diri sebagai kelompok beraliran sosialis demokrat. Mereka memiliki paham pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat. Hal ini merupakan sindiran bagi paham kapitalis yang mendominasi masyarakat Inggris pada saat itu. Pertemuan antara Mendoza dengan John Tanner merupakan cerminan idealisme yang harus dibangun, seorang sosialis harus mampu menggabungkan konsep-konsepnya kepada seluruh masyarakat tanpa pandang bulu. Perbedaan kelas, keturunan, apalagi tingkat kekayaan hendaknya tidak dijadikan persoalan dalam pembangunan masyarakat.
John Tanner menyindir dengan mengatakan bahwa dirinya merampok orang-orang miskin, sedangkan Mendoza merampok orang-orang kaya. Sindiran ini merupakan indikasi adanya kejahatan di berbagai lini dalam masyarakat Inggris. Ini adalah sindiran kepada para penguasa yang tidak menggunakan wewenangnya demi kesejahteraaan rakyat, tetapi justru para penguasa menggunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri, keluarga dan golongannya. Inilah refleksi sesungguhnya dari para politisi yang ada di dalam masyarakat Inggris saat itu. Era berubahan masyarakat feodal ke era kapitalis mengubah pola pikir yang jauh berbeda.
Perubahan kondisi sosial politik dengan serta merta mengubah sosio-ekonomi dan sosio-budaya masyarakat Inggris. Oleh karena itu, pola tata sosial masyarakat pun berubah. Strata masyarakat semakin kompleks disebabkan lahirnya kelas sosial baru. Dengan perubahan sistem feodalisme ke sistem kapitalistik, maka orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki kedudukan justru dapat menjadi pengendali sosial. Hal ini terjadi karena adanya kemajuan dalam bidang ekonomi yang diraih kelompok kelas menengah yang terdiri dari para tenaga ahli, pegawai negeri, dan pedagang.
Pada zaman feudal, orang yang memiliki kedudukan terhormat ditentukan oleh keturunan bangsawan. Pada era kapitalisme, kedudukan seseorang ditentukan oleh kekayaan. Kondisi ini membuat hubungan antarindividu sangat dibatasi oleh golongan-golongan tertentu. Orang miskin tidak dapat melakukan komunikasi (hubungan personal) secara bebas dengan orang kaya. Seorang bangsawan juga tidak akan mungkin merasa dekat dengan orang miskin. Sebaliknya, antara bangsawan dan orang kaya dapat melakukan komunikasi dengan baik. Hubungan orang kaya bangsawan dengan orang miskin umumnya hanya sebatas hubungan hubungan bawahan atasan (majikan buruh), tidak ada nilai sosial yang dapat menyetarakan mereka. Dalam drama Man and Superman gerakan perjuangan kesetaraan ini tergambar dalam diri Mendoza yang mencintai Louisiana.
Gambaran hubungan Mendoza yang mencintai Lousiana tidak akan pernah terwujud. Karena Louisiana merupakan keturunan orang miskin, sedangkan Mendoza berasal dari kelompok orang kaya. Meskipun demikian, karena Mendoza seorang sosialis yang melakukan kontak dengan orang-orang yang termarjinalkan, maka ia bertekad menikahi Louisiana. Ini adalah pendobrakan adat atau tatanan yang telah mapan. Mendoza tidak memikirkan garis keturunan Louisiana dan mendesaknya untuk menikahinya.
2.3.3. Hegemoni Kaum Tua terhadap Kaum Muda
Selain sebagai orang kaya, Ramsden adalah orang yang dituakan, oleh karena itu ia sangat berpengaruh di dalam masyarakat. Kata-kata dan perintah Tuan Ramsden didengar dan diikuti oleh masyarakat. Kedudukan yang istimewa tersebut menjadikannya sangat dihormati. Ia bahkan berkedudukan seperti raja yang disegani, dihormati dan kata-katanya bagaikan petuah. Ia bahkan sering menjadi juru “selamat”, banyak orang berkonsultasi kepadanya ketika menghadapi persoalan hidup. Ia dimintai pertimbangan atas berbagai persoalan kehidupan masyarakat.
Gambaran mengenai kedudukan Ramsden mengindikasikan bahwa kewibawaan dan kehormatan seseorang sangat ditentukan oleh keturunan, kekayaan, dan umur. Seseorang yang secara ekonomi mapan akan menjadi panutan dalam masyarakat. Kondisi itu menyebabkan manusia berlomba-lomba dalam mendapatkan kekayaan. Orang percaya dengan kekayaan ia akan dihormati, demikian juga dengan orang-orang yang memiliki kelebihan pengetahuan, ketrampilan, dan wawasan (pengalaman) tertentu.
Gambaran keluarga Ramsden merupakan keluarga yang menganut sistem feodal. Di dalam masyarakat feodal tata krama merupakan aspek penting, bahkan sakral. Keluarga feodal memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat dan tak seorang pun berani melanggarnya. Tidak sembarang orang bisa masuk ke wilayah atau tempat raja/majikan. Sikap dan perilaku keluarga feodal selama di dalam rumah diatur sedemikian rupa, anak-anak, suadara dan siapapun yang datang ke rumah Ramsden harus mengikuti protokoler keluarga tersebut.
Saat Octavius berkunjung ke rumah Ramsden, Octavius tidak serta merta dapat memasuki rumah Ramsden, meskipun ia masih saudara dengan Ramsden, ia tetap harus mengikuti protokoler di dalam keluarga tersebut. Hal tersabut tergambar ketika pembantu rumah tangga meminta terlebih dahulu persetujuan dari tuan rumah, apakah Octavius dipersilahkan menemui Ramsden atau tidak. Setelah mendapat persetujuan, Octavius baru masuk rumah menemui Ramsden.
Gambaran ini menunjukan bahwa di dalam keluarga yang terkecil pun para bangsawan memiliki “protokuler” di dalam menerima tamu. Peraturan ketat tersebut menunjukan bahwa tidak semua orang dapat menemui Ramsden. Tata cara ini mengindikasikan adanya sekat atau pembatas antarindividu dalam pergaulan orang-orang kaya.
Situasi tersebut jauh berbeda dengan tatakrama masyarakat biasa (egaliter). Paham akan kesetaraan dan kesamaan hak dalam masyarakat biasa sangat dominan, tidak ada sekat-sekat hubungan dalam kehidupan. Oleh karena itu tatakrama yang diberlakukan Tuan Ramsden diputarbalikkan oleh tokoh John Tanner. Jika Tuan Ramsden memperlakukan orang lain penuh dengan peraturan, Tanner justru memberi kebebasan kepada siapapun, termasuk pesuruhnya (Straker). Tanner berusaha mengubah ketentuan masyarakat feodalis yang dibudayakan Ramsden. Hal ini dapat dilihat dari sikap Tanner saat memasuki rumah Ramsden tanpa sepengetahuan Ramsden. Ia masuk ke dalam rumah tersebut bersama Nyonya Whitefield.
John Tanner adalah tokoh protagonis, merupakan lawan Tuan Ramsden. Ia pembela tokoh perempuan yang merupakan salah satu korban kebijakan ideologis kaum laki-laki. Di samping itu, Tanner adalah seorang wali yang masih muda. Ia diangkat sebagai wali sebagaimana wasiat Tuan Whitefield (ayah Annn), karena keilmuannya, seorang yang berpendidikan, berwawasan luas dan penuh dengan gagasan-gagasan kesetaraan serta kebebasan. John Tanner merupakan individu yang ideal bagi kehidupan modern. Ia diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan keluarga Whitefield dalam menghadapi persoalan-persoalan manusia modern.
Pada babak ke-2 digambarkan perlawanan kaum muda terhadap kaum tua. Bentuk perlawanan John Tanner adalah dengan memutarbalikan tata nilai yang ada di dalam masyarakat. Perlawanan kaum muda atas sikap hidup juga dilakukan dengan suatu pertentangan atas perlakuan seseorang. Jika kaum tua memperlakukan bawahan sebagai pelayan yang tidak berharga, bawahan harus tunduk dan tidak mendapat hak-hak sebagaimana orang bebas. Bawahan harus bersikap tunduk dan patuh tampa ada komunikasi dua arah, seperti seorang pembantu yang tidak boleh mengemukakan pendapat atau memberi saran kepada majikannya.
Berbeda halnya dengan John Tanner, ia memperlakukan sopirnya, Straker, seperti temannya sendiri. John Tanner tidak membatasi hak-hak sopirnya tersebut. Apalagi melarangnya untuk melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya. Tanner justru sering meminta saran tentang sesuatu hal yang ia anggap Straker lebih tahu. Tanner memberi kebebasan kepada Straker dalam melakukan tindakan yang baik bagi dirinya, seperti memodifikasi mobil dan mengendarainya sebagaimana miliknya sendiri. John Tanner memberi hak kepada Straker untuk berkembang. Saat membeli koran pun ia memberi kesempatan memilih koran yang disukai.
STRAKER: “Would you believe it, Mr. Robinson, when we are out motoring we take in two papers, the Times for him, the Leader or the Echo for me. And do you think I ever see my paper? Not much. He grabs the Leader and leaves me the stodge myself with his Times.” (Shaw, 1903: 385)
STRAKER: ‘Tahu tidak, tuan Robinson, kalau sedang bepergian dengan mobil, koran yang dibeli ada dua; Times untuk Tuan Tanner, Leader atau Echo untukksaya. Tapi, koran itu tidak pernah lama ditangan saya karena diambil tuan tanner sementara saya gantian membaca Times.’ ( Shaw, 1903:385).
Gambaran tersebut bertentangan dengan cara-cara atau model hubungan kaum tua terhadap pesuruhnya. Tanner dalam hal ini memberikan fasilitas kepada Straker yang tidak berdeda dengan dirinya, ia memberi kesempatan kepada Straker untuk membaca koran bahkan keduanya saling bertukar pikiran terhadap segala sesuatu yang mungkin Straker lebih tahu.
Perlakukan Tanner terhadap Straker yang sangat manuasiawi itu merupakan idealisme yang ingin dibangun kaum sosialis atas persamaan hak manusia. Seseorang yang hanya sebagai pembantu, buruh atau bawahan tetap diberi kebebasan. Dengan perlakukan seperti itu, semua orang akan merasa nyaman dan bahkan bangga dengan profesi yang dimiliki, meskipun dia hanya seorang sopir.
“...he does not at all effect the gentleman in his speech, it may be inferred that his smart appearance is a mark of respect to himself and his own class, not to that which employs him” (Shaw, 1903: 378)
‘... ini menunjukan bahwa penampilanya yang rapi adalah tanda bahwa dia bangga akan dirinya dan kelasnya sendiri dan bukan akan majikannya. ‘
Hubungan harmonis antara majikan dengan bawahan menimbulkan komunkikasi dua arah yang saling membangun. Tidak akan ada rasa takut, bahkan Straker sering memberikan saran kepada Tanner. Jika kondisi ini bisa terwujud, maka tidak akan ada ketegangan antara kelas majikan dan buruhnya. Mereka akan mencintai dan bekerja sepenuh hati.
TANNER: (Working himself up into a sociological rage) “Is that any reason why you are not to call your soul your own? Oh, I protest against this vile abjection of youth to age! Look at fashionable society as you know it. ... “
.... I tell you, the first duty of manhood and womanhood is a Declaration of Indepnedence: the man who pleads his father’s authority is no man: the woman who pleads her mother’s authority is unfit to bear citizents to a free people....” (Shaw, 1903: 390).
TANNER: (Mengumbar amarah sosiologinya) ‘Apakah itu bisa dijadikan alasan untuk tidak mandiri dalam bersikap? Aku memprotes perbudakan yang dilakukan oleh orang tua terhadap orang muda! Lihat lingkungan pergaulan lkelas atasmu itu.’
Pernyataan tersebut merupakan ungkapan lugas akan ketidaksetujuan Tanner dengan Tuan Ramsden. Baginya, kebebasan dan kemandirian merupakan modal kehidupan yang paling penting bagi manusia. Kemandirian merupakan modal dalam menjalani hidup manusia. Orang yang masih bergantung pada orang lain ibarat hidup dalam penjara.
Tokoh Ramsden dalam drama Man and Superman merupakan representasi dari kaum burjois. Ia hidup dengan bergelimang harta. Karena hartanya itulah ia memiliki kedudukan terhormat dan berkuasa atas orang-orang yang ada di sekelilingnya.
“Roubck Ramsden is in his study opening the morning letters. The study, handsomely and solidly furnished, proclaims the man of means. Not a speck of dusts visible: it is clear that there are at least two housemaids and a parlormaid downstairs, and a housekeeper upstairs who does not let them spare elbow-grease. Even the top of Roubuck’s head is polished.” (Shaw, 1903: 333)
‘Roubck Ramsden sedang berada di ruang kerjanya, membukai surat-surat yang datang pagi itu. Perabotan yang mewah menunjukan bahwa pemiliknya adalah orang berada. Tidak setitik debu pun terlihat; setidaknya pasti ada dua orang pembantu dan seorang pelayan kamar dan kepala pelayan yang tidak akan membiarkan anak buahnya bermalas-malasan; bahkan kepala Ramsden pun licin mengkilat seperti di gosok.“
Deskripsi di atas merupakan gambaran orang-orang mapan masyarakat Inggris pada zaman itu. Kekayaan dan kedudukan seseorang dapat dilihat dari perabot rumah tangga dan para pelayan yang ada di rumah. Rumah dan pelayan merupakan simbol kehormatan seseorang. Ramsden adalah orang terdidik yang setiap saat bisa menikmati berbagai kemudahan-kemudahan.
Orang-orang kaya di dalam masyarakat Inggris memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat biasa, sebagaimana yang digambarkan dalam diri Ramsden yang selalu membaca koran. Kegiatan membaca koran hanya dilakukan orang-orang terdidik dan secara ekonomi mapan. Orang-orang miskin tidak memiliki waktu untuk membaca karena waktunya habis untuk mencari nafkah.
Gambaran Ramsden yang cukup sempurna ini menjadikannya memiliki pengaruh kuat terhadap orang lain, mampu menguasai golongan lain dengan mudah. Hal ini disebabkan oleh kesadaran kapitalis yang terjadi di dalam masyarakat Inggris pada masa itu. Kesempurnaan dan kehormatan hidup seseorang ditentukan oleh harta yang dimiliki, semakin kaya seseorang, maka ia akan menjadi panutan bagi orang-orang di sekelilingnya. Dengan kekayaannya, seseorang dapat mengendalikan sekelompok orang, meskipun tanpa memberikan uang. Orang-orang akan merasa segan, hormat dan mematuhi apa yang menjadi kehendak orang kaya.
“He is more than a highly respectable man: he is marked out as a president of highly respectable man, a chairman among directors, an alderman among councilors, a mayor among alderman.” (Shaw, 1903: 333).
‘Ia adalah ketua dari kumpulan orang-orang terhormat, presiden direktur dari pada direktu, penasehat utama dari para penasehat dan ketua dari para penasehat utama.’
Dalam masyarakat Inggris, penampilan menjadi sesuatu yang penting. Lewat penampilan, seseorang dapat diketahui kelas atau status sosialnya. Di dalam kehidupan sehari-hari, penampilan dijadikan ukuran bagi harga diri seseorang, hal ini merupakan salah satu ciri masyarakat kapitallis. Orang berlomba-lomba menunjukan status sosial mereka dengan barang-barang yang dimiliki.
Padahal, yang sesungguhnya bukanlah demikian. Penampilan hanyalah sebuah ilusi, yang berarti penampilan tidak bisa menjadi tolak ukur atau kedudukan seseorang.
Don Juan: “You see, Senora, the look was only an illusion. Your wrinkles laid, just as the plump smooth skin of many a stupid girl of 17, with heavy spirits and decrepit ideas, lies about her age. Well, here we have no bodies: we see each other as bodies only because we learn to think about one another under that aspect when we were alive; and we still think in that way; knowing no other. But we can appear to one another at what age we choose. You have but to will any of your old looks backs, and back they will come.” (Shaw, 1903: 424)
Don Juan: ‘Maka Anda sekarang bisa mengerti, Senora, kalau saya katakan bahwa penambilan hanyalah ilusi. Keriput anda tidak mengatakan yang sebenarnya tentang jiwa Anda, seperti juga wajah halus seorang gadis muda menutupi jiwanya yang berat seperti orang tua dan ide-idenya yang sudah kuno. Di Neraka kita tidak memiliki jasad. Kita melihat satu sama lain sebagai jasad. Kita melihat satu sama lain sebagai jasad karena itulah yang bisa kita lakukan pada waktu kita masih hidup dan kebiasaan itu masih terbawa ke sini. Kita bisa tampil dalam umur berapa pun yang kita mau. Anda tinggal menginginkannya saja, dan penampilan Anda yang dulu akan kembali.’ (Shaw, 1903: 424)
Sikap ingin menguasai juga dapat dicermati dari umur seseorang. Semakin tua seseorang, maka ia akan mendapat posisi yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang lebih muda. Orang yang lebih tua dianggap berpengalaman, kata-kata dan tindakannya sering dijadikan rujukan bagi kaum muda. Ini merupakan gambaran konsep Hegemoni atau kepemimpinan kaum tua yang terjadi di dalam masyarakat.
Ramsden tidak menghargai John Tanner sebagai partner dalam membimbing Ann. Hal ini merupakan bukti ketidakharmonisan hubungan antara kaum tua dengan kaum muda. Pemikiran Tanner dianggap belum mapan dan sangat berbahaya bagi masa depan Ann, bahkan Ramsden melarang Ann untuk membaca buku karya John Tanner.
RAMSDEN: “I’ll tell you, Octavious. (He takes from the table a book bound in red cloth). I have in my hand a copy of the most infamous, the most scandalous, the most mischievous, the most blackguardly book that ever escaped burning at the hands of the common hangman. I have not read it: I would not soil my mind with such filthe; but I have read what the papers say of it. The title is quite enough for me. (He reads it). The Revolutionist’s Handbook and Pocket Companion. By John Tanner, M.I.R.C., Member of the Idle Rich Class.” (Shaw, 1903: 337)
RAMSDEN: ‘Lihat ini, Octavius. (Ramsden mengambil sebuah buku berwarna mera dari atas meja) Aku sekarang sedang memgang sebuah eksempllar dari buku yang paling bejat, buku paling keji yang pernah lolos dari tangan sensor. Aku belum membacanya. Aku tidak akan pernah mau mengotori pikiranku dengan sampah seperti ini; tapi,aku sudah membaca apa kata koran tentang buku ini. Judulnya saja sudah cukup bagiku. (Ramsden membacanya) Buku Pegangan Revolusionis, oleh John Tanner, AKBM, Anggota Kelas Berada yang Malas.’ (Shaw, 1903: 337)
Ungkapan ini menunjukan penilaian sebuah karya anak muda yang dianggap membahayakan kekuasaan kaum tua. Kekhawatiran tersebut menunjukan bahwa gagasan adalah sesuatu yang paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Teori Hegemoni Gramsci mendukung asumsi tersebut. Sehingga setiap pemikiran yang berbahaya harus dijauhkan dari wacana atau pemikiran seseorang. Jika perlu publikasi yang dapat merusak konsep-konsep yang sudah mapan dihilangkan.
THE DEVIL: “You forget that brainless magnificence of body has been tried. Things immeasurably greater than man in every respect but brain have existed and perished. The megatherium, the ichthyosaurus have paced the earth with seven-league steps and hidden the dairy with cloud vast wings. ..... When I left I chalked up on the door the old nursery saying “Ask no questions and you will be told no lies.......” ( Shaw, 1903: 348)
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa kekuatan pikiran lebih penting dibandingkan kekuatan fisik. Pikiran dapat menjadikan seseorang atau sekelompok orang mempertahankan posisinya sampai kapan pun. Pikiran membuat manusia menjadi satu-satunya makhluk yang dapat bertahan sepanjang jaman.
TANNER: “It’s all my own doing: that the horrible irony of it. He told me one day that you were to be Ann’s guardian; and like a fool I began arguing with him about the folly of leaving a young woman under the control of an old man with obsolete ideas.” (P. 5, L. 56)
Gambaran pertentangan antara Ramsden dengan John Tanner merupakan pergolakan batin antara kaum tua dengan kaum muda. Lebih jauh dari itu, pertentangan tersebut merupakan representasi dari ketegangan antara paham feodalistik dengan pemikiran revolusionis. Ramsden dapat diasosiasikan sebagai kaum tua yang merepresentasikan pemikiran-pemikiran feodalistik masyarakat Inggris, sedangkan John Tanner mewakili seorang revolusionaris yang berpikiran maju. Pemikiran John Tanner adalah produk dari perkembangan pemikiran Marxisme yang menentang klasifikasi kelas dan diskriminasi (Babak 3).
Gagasan merupakan sarana terpenting dalam memperoleh kekuatan dominasi (hegemoni). Hal ini diterapkan oleh John Tanner dalam mencapai kekuatan dominasi terhadap tokoh-tokoh lain. Ia menulis sebuah buku berjudul “The Revolutionist’s Handbook and Pocket Companion”. Buku tersebut selain berisi gagasan yang ingin disampaikan, juga sebagai bentuk kekuatan kecerdasannya (intelektual). Pada masa itu, seseorang yang menuliskan gagasannya akan dianggap sebagai orang yang cerdas sehingga pemikirannya akan selalu diikuti oleh orang lain.
Carl Boggs (1984) menyatakan bahwa untuk mencapai suatu kuasa hegemonik dalam tataran kultural-ideologis sebuah kelompok kuasa selalu berusaha untuk menjastifikasi kekuasaan, kekayaan, dan statusnya secara ideologis, dengan tujuan mengamankan penerimaan rakyat kebanyakan terhadap kekuasaan dominannya sebagai sesuatu yang alamiah. Cara lain adalah dengan menggunakan aparatus hegemonik—seperti media televisi, radio, maupun media cetak. Media tersebut dapat berfungsi sebagai media mempertegas kekuasaan dalam masyarakat (via Refianti, 2008:117). Hal ini menjadikan buku John Tanner dianggap berbahaya bagi pemikiran orang lain. Ramsden mengatakan “I would not soil my mind with such filth; but I have read what the papers say of it. The title is quite enough for me.” (Shaw, 1903: 337).
Di dalam pemikiran manusia, terutama dalam kaitannya dengan sebuah kepentingan (baik kepentingan individu maupun kelompok) merupakan representasi dari sebuah perjuangan politik. Pada dasarnya kehidupan seorang individu tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan orang-orang yang ada dalam komunitasnya. Karena itu, perbedaan kepentingan sering menyebabkan adanya benturan-benturan antarindividu, kadang antarkelompok tertentu. Hal ini melahirkan menjadikan adanya perjuangan bagi setiap individu dalam meraih idealisme. Perjuangan tersebut merupakan sebuah proses dinamika sosial yang harus dihadapi oleh setiap orang. Gottfried Keller (via Daiches, 1981: 368) menyatakan bahwa segala sesuatu adalah politik.
“... On the contrary, in his view-as n Balzac’s and Tolstoy’s –every action, thought and emotion of human beings is inseparablly bound up with the life and strugles of the community, i.e., wth politic; whther the humans themselves are conscous of this, unconscious of it or even trying to escape from it, objectively their actions, thoughts and emotions nevertheless spring from and run into politics.”
Menurut pendapat tersebut, pemikiran yang tertuang secara tertulis (meskipun tidak secara terang-terangan) memiliki keberpihakan secara politis. Pada umumnya setiap pemikiran dan setiap gagasan merupakan implikasi dari suatu perjuangan politik dari penulisnya. Pemikiran atau gagasan tersebut mendorong atau mempengaruhi seseorang melakukan sesuatu sebagaimana yang diwacanakan.
“The authors identify three factors critical to social movements: political opportunity, organizational capacity, and framing ability. They look at social movements as politics by other means, often the only means open to relatively powerless challenging groups. They argue for the constancy of discontent and emphasize the variability of resources in accounting for the emergence and development of insurgency. A reliable model of social change, they say, must be able to account for both micro and macro phenomena, and be able to explain not only the emergence but the maintenance and development of social movement organizations .”
Pertentangan anatara kaum tua dengan kaum muda dijabarkan kembali dalam babak ke empat atau babak terakhir. Dalam babak ini digambarkan pertentangan Hektor dengan ayahnya, Malon. Pertentangan tersebut bermula ketika Melon membuka surat rahasia Hektor. Hektor marah besar kepada ayahnya karena merasa privasinya dilanggar. Hector beranggapan bahwa sebuah surat pribadi adalah sebuah rahasia yang tak seorang pun boleh membukanya kecuali yang berhak membacanya.
HECTOR: “Well, you’ve just spoiled it all by opening that letter. A letter from an English lady, not addressed to you—a confidential letter! A delicate letter! A private letter! Opened by my father! That’s a sort of thing a man can’t struggle againtst in England. The sooner we go back together the better. (He appeals mutelly to the heavens to witness the shame and anguish of two outcasts).” (Shaw, 1903: 484)
HECTOR: ‘Dan Bapak merusak semua yang telah dibeli dengan uang itu dengan membuka surat itu. Pak, surat dari seorang nona Inggris yang tidak dialamatkan kepada Bapak adalah surat p-r-i-b-a-d-i, Pak. Surat penting yang penuh dengan curahan perasaan harus dijaga kerahasisaanya. Dan Bapak sekarang malah membukanya. Waduh, wadu, waduh! Kesalahan seperti ini tidak termaafkan, Pak, di Inggris. Lebih cepat kita pulang lebih baik. (memohon dengan membisu kepada langit supaya mau menjadi saksi bagi kedua ekspatriat ini).’
Hektor menegaskan lagi kekesalannya dengan pernyataan;
HECTOR: “I’m very sorry, Miss Robinson; but I’m contending for a principle. I am a son, and, I hope, a dutiful one; but before everything I’m a Man!!! An when dad treats my private letters as his own, and takes it on himself to say that I shan’t marry you if I am happy and fortunate enough to gain your consent, then I just snap my fingers and go my own way.” (Shaw, 1903: 485).
HECTOR: ‘Saya sangat menyesal, Nona Robinson. Tapi, saya sedang membela prinsip saya. Saya adalah seorang anak dan saya harap saya adalah anak yang cukup berbakti. Tapi, di atas semua itu saya adalah seorang laki-laki! Dan jika ayah saya bertindak seenaknya sendiri dan memperlakukan surat saya seolah-olah suratnya sendiri dan melarang saya menikahi anda seandainya saya cukup beruntung untuk mendapatkan kesediaan anda, apa lagi yang harus saya lakukan kecuali pergi?’
Ungkapan tersebut di atas menunjukan suatu pertentangan yang dilakukan oleh seorang anak laki-laki terhadap orang tuanya. Secara jelas Hector menyatakan bahwa dia adalah seorang laki-laki. Hal ini mengindikasikan bahwa menurut pendapatnya laki-laki memiliki kebebasan dan kemandirian, ia tidak dapat disamakan dengan anak perempuan. Baginya, pengikatan atau pengaturan adalah pemasungan yang harus dihindarkan karena kebebasan merupakan kunci kemandirian dan harga diri seseorang.
Pertentangan yang dilakukan oleh Hector sebenarnya bukan semata-mata persoalan privasi, namun di dalamnya terdapat nilai budaya yang mengindikasikan perubahan cara pandang orang tua terhadap kehidupan. Kaum tua umumnya lebih mempertimbangkan aspek keturunan di dalam menentukan pendamping hidup bagi anak-anak mereka. Bagi mereka, keturunan bangsawan atau orang kaya dapat mengangkat harkat dan martabat bagi keluarga. Oleh karena itu jika anak-anak mereka akan menikah tidak bisa dilakukan dengan sembarang orang, tetapi harus mempertimbangkan latar belakangnya.
Hal itu berbeda dengan pandangan kaum muda yang lebih modern. Aspek keluarga atau keturunan tidak begitu diperhatikan, yang paling penting bagi mereka adalah faktor suka sama suka. Dengan demikian, seorang anak bangsawan dapat saja menikah dengan anak petani atau buruh biasa. Konsep ini akan menghilangkan sekat-sekat sosial yang dapat merusak hubungan antara golongan.
VIOLET: “What objection have you to me, pray? My social position is as good as Hector’s, to say the least. He admits it.” (Shaw, 1903: 481).
VIOLET: ‘Dan mengapa anda tidak setuju Hector menikah dengan saya? Status sosial saya setara dengan Hector. Itu setidaknya. Dia mengakuinya.’ (Shaw, 1903: 481).
Idealisme yang dibangun kaum muda sebenarnya sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Pertimbangan bibit, bobot dan bebet tidak lagi menjadi hal urgen. Pertimbangan-pertimbangan tersebut hanya akan mempersulit kehidupan seseorang.
Sikap atau tindakan yang dilakukan Malone terhadap Hector merupakan bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak. Dalam benak Malone, mendidik anak bukan hanya sampai mereka dewasa, tetapi sampai akhir hayatnya, termasuk ketika anak-anak mereka sudah menikah. Kebutuhan nafkah selalu diberikan kepada anak-anak mereka, termasuk memberikan semua fasilitas bekal kehidupan keluarga anak-anak mereka.
MALONE: (shrewdly) “You tell him so from time to time, eh? Hector’s social position in England, Miss Robinson, is just what I choose to buy fro him. I have made him a fair offer. Let him pick out the most historic house, castle or abbey that England contains. The day that he tells me he wants it for a wife worthy of its traditions, I buy it for him, and give him the means of keeping it up.” (Shaw, 1903: 481).
MALONE: ‘Rupanya itu yang anda katakan padanya, bahwa dia setara dengan anda? Dengar baik-baik, Nona Robinson, siapa Hector di Inggris adalah apa yang saya beli untuknya di Inggris. saya memberinya tawaran yang adil. Dia bisa mencari rumah terkuno, yang paling bersejarah, yang paling bergengsi, dan yang paling apa saja yang ada di Inggris; dan pada hari dimana dia mengatakan bahwa dia memerlukannya untuk seorang istri yang selaras dengan tradisi rumah itu, saya akan membelinya untuknya dan memberikan dana untuk merawatnya.’ (Shaw, 1903: 481).
Malone tidak menginginkan keturunannya hidup sengsara sebagaimana yang dialami oleh nenek atau orang tua ayahnya. Awalnya keluarga besar ini hidup miskin, namun berkat perjuangan Malone, keluarga ini memiliki status sosial yang mapan. Pengalaman ini menjadikan Malone merasa harus mengawal kehidupan anaknya sampai mereka benar-benar mapan. Dengan demikian, kualitas kehidupan keturunannya tidak merosot karena kesalahan dalam memilih pasangan hidup.
MALONE: “His grandmother was a barefooted Irish girl that nued me by a turf fire. Let him marrry another such, and I will not stint her marriage portion. Let him raise himself socially with my money or raise somebody else: so long as there is a social profit somewhere, I’ll regard my expenditure as justified. But there must be a profit for someone. A marriage with you would leave thins just where they are.” (Shaw, 1903: 481).
MALONE: ‘Nenek Hector adalah wanita petani Irlandia yang tidak punya alas kaki yang menyusui saya di dekat perapian. Jika dia menikah dengan wanita seperti yang saya katakan tadi saya tidak akan mengutak-atik apa yang sudah saya sediakan untuknya. Jika dia ingin menaikan derajat sosialnya dengan uang saya atau mengangkat orang lain, asalakan ada keuntungan sosial yang bisa didapat, saya anggap saya tidak mengeluarkan uang dengan sisa-sia. Tapi, perkawinan dengan anda tidak akan mengubah apa-apa. Untuk apa saya keluar uang?’
VIOLET: ‘Sekalipun saya bukan wanita bangsawan, banyak dari sanak keluarga saya saya yang keberatan kalau saya menikahi cucu seorang wanita dari desa. Mungkin itu Cuma sekadar prasangka, tapi keinginan anda agar dia menikai sebuah gelar pun juga merupakan prasangka.’ (Shaw, 1903: 205).
Kepercayaan dan rasa tanggung jawab Malone ditolak oleh Hector dengan alasan dirinya bisa mandiri. Ia tidak mau menggadaikan kemerdekaannya dengan sebuah alasan ekonomi. Baginya, kemerdekaan merupakan harga yang tidak dapat ditawar-tawar, karena kemerdekaan merupakan modal seseorang menentukan kehidupannya sendiri.
HECTOR: (mengeluarkan kertas dari buku sakunya) ‘Ini ceknya. (memberikannya kepada ayahnya) Bapak ambil kembali cek ini. Aku sudah cukup mendapat jatah dan saya tidak ada urusan lagi dengan bapak. Aku tidak akan menjual kesempatan untuk menghina istriku dengan harga 1.000 dolar atau berapa pun.’ (Shaw, 1903: 212).
2.4 Simpulan
Setelah memahami secara mendalam drama Man and Superman, dapat penulis simpulkan bahwa drama ini merupakan bagian dari sebuah perjuangan politik GBS. Perjuangan politik yang ditekankan di dalam drama ini mengenai posisi perempuan yang sangat lemah di dalam masyarakat. Posisi tawar yang lemah tersebut menjadikan kaum perempuan korban kebijakan dari kaum laki-laki.
Persoalan yang tergambar di dalam drama Man and superman merupakan kriti pedas bagi para penguasa terutama bagi para pemegang status quo, mereka memiliki pandangan kolot akan kehidupan dan kebersamaan. Pada zaman moderen ini pengekangan dan pembatasan gerak seseorang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihilangkan. pengekangan akan menghambat perkembangan seseorang. Kebebasan merupakan hal terpenting di dalam meraih keberhasilan dalam kehidupan dewasa ini.
Persoalan hegemoni tersebut di atas sebenarnya masih sekedar hegemoni dominan, masih ada beberapa aspek hegemoni lain yang ingin disampaikan George Bernard Shaw. Peneliti sengaja memilih pokok persoalan tersebut karena peneliti anggap sebagai konsep hegemoni terpenting di dalam dinamika sosial politik masyarakat Inggris yang saat itu sedang mengalami transisi dari masyarkat petani ke dalam masyarakt industri.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat ditarik simpulan bahwa ekonomi bukan merupakan aspek terpenting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, tetapi ide-idelah yang merupakan faktor terpenting. Di dalam kehidupan moderen, ideologi merupakan aspek terpenting di dalam menguasai dinamika perubahan sosial. Perubahan sosial diperjuangkan melalui sebuah perjuangan kebudayaan atau lebih tepatnya perjuangan ideologis, yaitu melalui ilmu pengetahuan, budaya, filsafat, dan seni. Faktor-faktor tersebut akan menentukan kemenangan suatu kelas sosial.
Wednesday, March 3, 2010
PEREBUTAN KEKUASAAN DAN TIPOLOGI HEGEMONI
Posted by Wajiran, S.S., M.A. at 10:29 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment